“Kira-kira bagaimana ya reaksinya?”
Adriel memasuki kamar perawatan. Adriel menatap tajam Rigel yang masih berbaring tidur itu. “Kau ... orangnya,” ucap Adriel. Dia berjalan pelan kemudian mengarahkan jarinya untuk membelai ujung kelopak mata Rigel yang tampak sembab. Kedua mata birunya menyalang dalam kegelapan malam. Biru cerah yang bersinar memandangi Rigel yang terlelap dalam tidurnya itu. Detik selanjutnya dia sudah menghilang ditelan oleh malam.
Kedua mata Rigel terbuka dengan membelalak. Rigel langsung terduduk bangun. Ia mendapati dirinya berada dalam ruang perawatan. “Tidak ada seorang pun di sini, padahal tadi aku merasa ada orang yang sedang memerhatikanku.” Rigel berucap seorang diri sembari melihat kiri dan kanannya.
“Omong-omong, aku ada di mana?” Rigel memandangi ruangan putih ini. Ia juga melihat tangan kanannya yang terpasang sebuah infus set. Usai mengingat-ingat lagi, Rigel sadar jika ia sedang ada di Rumah Sakit. Terakhir kalinya ia sadar karena ledakan di Gedung Tyre.
“Sial, kedua mataku tidak mengenakan contact lensa lagi, aku yakin seseorang sudah melepaskannya,” celetuk Rigel. Kemudian buru-buru beranjak bangkit dari tempat tidurnya tapi Rigel langsung memandang sebal seorang wanita yang beranjak masuk dalam ruangannya itu.
“Aku yang melepaskannya, jadi tenanglah,” ucap seorang wanita. Dia sudah berdiri di ambang pintu kamar mandi sembari memandangi Rigel. “Bagaimana keadaanmu, Nak?” tanya Wanita itu.
“Siapa yang membawaku kemari?” tanya Rigel ketus
“Seorang Pria kenalanmu katanya, dia juga baru saja keluar dari sini tapi dia sempat menitipkan seikat bunga mawar untukmu,” jawab Wanita itu.
“Bukan Kapten Zidane?” terka Rigel.
Wanita itu menggeleng. “Ibu tidak kenal Pria itu tapi dia bilang kenalanmu.” Sang Ibu menjawab. “Kenapa tidak katakan padaku jika kamu sedang hamil?” Sang Ibu membuka pembicaraan yang sangat Rigel benci.
Rigel melototkan kedua mata lembayungnya. “Setelah tahu jika keluarganya tidak mau menerimaku, kehamilan ini tak sudi kuakui,” ketus Rigel sembari keluar dari kamar mandi. “Siapa Dokter yang mengurusi masalahku? Aku mau bicara dengannya,” ucap Rigel seraya duduk di pinggir ranjang kasurnya.
“Rigel sebenarnya ... kandunganmu sudah tiada lagi,” sahut Sang Ibu dengan nada yang lirih. Dia tidak mau melukai anaknya dengan kabar ini karena Rigel sudah beberapa minggu terbaring usai kecelakaan akibat ledakan itu. Dia memang selamat tapi setelah terpental serta alami cedera dan juga benturan membuat kehamilan mudanya tidak bisa diselamatkan.
Rigel sontak menyentuh perut ratanya. Dia memang membenci kehamilan ini usai tahu jika cinta yang ia elukan tak dapat ia raih. Rigel justru heran merasa terluka dan kehilangan usai mendengar kabar ini. “Aku ... tidak sungguh-sungguh dengan ucapanku,” ucap Rigel menangis.
“Rigel, ini pasti berat untukmu.” Sang Ibu berucap sembari mendekati Rigel kemudian memeluknya. Tubuh gemetar Rigel serta suara isak tangisnya bisa Wanita itu rasakan. Dia tahu jika Rigel menyayangi kehamilannya tapi karena murka sesaat membutakannya.
Pintu berdecit lagi terbuka tapi kali ini menampaki Corrie bersama dua orang pria muda. “Maaf apa kedatangan kami menganggu?” tanya Corrie sembari membawakan buah-buahan untuk Rigel.
Rigel yang mendapati kedatangan teman-temannya segera menyeka air matanya. “Corrie, Kak Alex dan Nico juga, kemarilah,” suruh Rigel yang memaksakan senyumnya. Ia juga melepaskan pelukan Sang Ibu. “Terima kasih sudah datang tapi hentikan wajah cemasmu Corrie, apakah kau mau menyampaikan sesuatu?” tanya Rigel tak berbasa-basi.
“Kami juga hendak memberi kabar jika ledakan kemarin bukan berasal dari bom atau ulah teroris seperti berita-berita yang beredar namun karena serpihan supernova yang berhasil lolos ke bumi,” jawab Corrie.
“Tak mungkin, tidak ada hal mustahil seperti itu,” sahut Rigel terkejut.
Corrie lantas mengangguk. “Itulah hasil investigasi resmi dari Tyre,” ucap Corrie sembari menyiku Pria berkacamata disebelahnya. “Kak Alex ... katakan sesuatu,” ucap Corrie berbisik.
“Kau ada di tempat kejadian tapi setelah evakuasi tubuhmu dengan cepat telah berpindah di Unit Gawat Darurat dari Rumah Sakit ini, aku yang diutus Tyre untuk melakukan penyelidikan dan wawancara padamu ... itu pun jika kau tidak keberatan, Rig,” ucap Pria itu.
Seketika denyut kepala Rigel jadi semakin sakit. Masalah dan kemalangan datang padanya secara bertubi-tubi. “Oh Tuhan, apa yang harus aku katakan?” Rigel menghela napas sekaligus menatap sendu.
Sudah dua jam berlalu bagi Rigel berada di ruang interogasi. Rigel terus menatap datar pada seorang petugas yang menyebutkan berbagai pertanyaan dari tumpukan kertas yang ada di atas meja. Kebanyakan isi pertanyaan terdiri atas pertanyaan pasif yang membuat Rigel tidak memiliki pilihan selain iya dan tidak.
"Baiklah, wawancara selanjutnya akan dilanjutkan oleh petinggi militer, terima kasih atas kerja samanya," ucap Wanita itu kemudian beranjak pergi meninggalkan Rigel seorang diri di ruangan interogasi.
Rigel kini hanya duduk seorang diri sembari memerhatikan seisi ruangan. Ruangan putih yang dikelilingi oleh kaca-kaca hitam tak tembus pandang, meski begitu Rigel tahu jika dia sendiri tengah diperhatikan oleh orang-orang.
"Ah, aku ingin cepat pulang," ucap Rigel mengeluh. Dia pun menurunkan kepalanya untuk berbaring diatas lipatan tangan pada atas meja. Rigel sebenarnya malas mendatangi panggilan interogasi ini. Dia bukanlah pelaku melainkan salah satu korban tapi wawancara yang mereka lakukan pada Rigel justru mirip dengan interogasi.
"Ingat, hanya mewawancarainya tapi jangan menyulut emosionalnya," peringat Alex pada Harlan yang hampir memasuki ruangan interogasi.
Harlan menghela napas saat memandangi Alex. Pria berkacamata itu mencoba memperingati Alex bahkan sebelum sampai di ruangan itu, Alex sudah mengomel banyak hal mengenai kondisi Rigel yang belum seutuhnya pulih. "Aku tahu, lagi pula anak yang gugur itu juga anakku," sahut Harlan sambil memasuki ruangan.
Rigel segera menoleh mendapati Harlan yang sudah duduk di seberang dirinya. "Oh, aku sudah menebaknya," ketus Rigel sambil duduk dengan tegap. Dia melipatkan kedua tangan didepan dadanya sembari memandangi Harlan dengan kesal.
Harlan menghela napas cukup panjang. "Akan ada beberapa pertanyaan dan aku harap kau menjawabnya dengan jujur," ucap Harlan.
"Lakukan, sesukamu." Rigel menyahut dengan ketus.
"Baiklah, saat kejadian ledakan itu terjadi dimana apakah kau ingat sedang ada dimana?" tanya Harlan.
"Di depan Gedung Tyre, kau juga ada di sana jika kau lupa," jawab Rigel.
"Apakah kau ingat siapa yang menolongmu saat ledakan itu terjadi?" tanya Harlan lagi.
Rigel terdiam sejenak. Dia tak tahu siapa yang menolongnya tapi Rigel masih ingat lengan yang langsung meraih tubuhnya itu. "Tidak, aku tidak tahu karena kesadaranku langsung hilang," jawab Rigel sembari menunduk.
"Baiklah, saat kejadian ledakan itu terjadi dimana apakah kau ingat sedang ada dimana?" tanya Harlan."Di depan Gedung Tyre, kau juga ada di sana jika kau lupa," jawab Rigel."Apakah kau ingat siapa yang menolongmu saat ledakan itu terjadi?" tanya Harlan lagi.Rigel terdiam sejenak. Dia tak tahu siapa yang sudah menolongnya tapi Rigel masih ingat lengan yang langsung meraih tubuhnya itu. "Tidak, aku tidak tahu karena kesadaranku langsung hilang," jawab Rigel sembari menunduk. Brakkk Rigel terkejut kala menatap Harlan yang tampak membanting tumpukan berkas diatas meja. "Persetanan dengan interogasi ini!" bentak Harlan yang langsung beranjak pergi dan keluar dari ruang interogasi tanpa berkata apa pun lagi."Kenapa dia? aneh sekali," ucap Rigel yang berbincang sendiri. Interogasi berjalan tidak lancar karena Petugas yang bertanggung jawab telah keluar dari ruangan lebih dulu, maka dari itu Rigel menyusul untuk keluar dari ruangan. Saat berjalan keluar dari gedung. Rigel sempat menyan
"Ada remahan cokelat disini," ucap Adriel sembari mengusap ujung bibir Rigel. Pria itu menatapnya dengan dalam. Rigel jadi tertegun saat kedua mata biru Adriel yang cerah itu beradu tatap dengannya. "Cantiknya," ucap Rigel tanpa sadar memuji Adriel. Tidak mengherankan jika Adriel bagaikan seorang pangeran berkuda putih. Tampang dan kedua matanya sangat cerah nan indah. "Apakah begitu?" Adriel semula tak mau menapaki keterkejutannya karena pada nyatanya Rigel yang lebih dulu mendekati dirinya. Adriel bahkan merasakan dadanya yang berdenyut cepat kala Rigel memujinya. Ketika hendak berbincang dengan Rigel lagi, Adriel justru menatap Rigel yang telah berjalan keluar.Rigel hanya berdiri di hamparan padang rumput seorang diri. Rigel memejamkan kedua matanya karena sedang menikmati angin sore yang bertiup sepoi-sepoi. Ketika senja nyaris berpisah, langit magenta petang dan Adriel yang ikut terdiam memandangi mahluk ciptaan Tuhan yang indah itu. Tatapan sepasang mata biru itu memuja Rige
"Semudah itu kau berpaling," ucap Harlan yang ternyata sedari tadi memerhatikan Rigel. Semua itu karena dia baru saja hendak meninggalkan gedung Tyre namun berpas-pasan dengan Rigel yang sedang bersama pria lain."Aku tidak menyangkanya." Harlan kini menatap kehampaan dari jauh tempatnya berpijak. Ia hanya bisa menatap motor hitam yang mengangkut Sang Kekasih bersama pria lain semakin menjauhinya. Dia hanya termangun dalam hampaan tapi ingin memperjuangkan Rigel masih jadi gelora hatinya sampai saat ini.Derapan langkah kaki seseorang mendekat. Sepasang sepatu hak tinggi yang mengkilap milik seorang wanita berwajah angkuh. "Sudah kukatakan, dia wanita gampangan yang cepat berpaling," celetuk Wanita itu sambil mengibaskan rambut pirangnya. "Sebagai anak pewaris Violens, kau ini cukup kurang kerjaan ya?" cibir Harlan. Setelah itu Harlan beranjak lebih dulu sembari membuang tatapannya. Dia cukup malas meladeni pertengkaran yang akan terjadi bersama Julia ini. "Maksudmu apa?" tanya Juli
"Nak, kau yakin dengan semua ini?" tanya Sang Ibu diambang pintu yang tengah memerhatikan Si Anak yang sedang memindahan beberapa tas berisi barang-barangnya. Tatapannya pilu tapi dia tahu jika dia tak bisa melarang anaknya. Rigel mencoba berdiri tegap sambil meraih tas ranselnya. "Yakin karena aku harus memulai lembaran baru," jawab Rigel. "Kota itu terpencil, jauh dari Pusat Pemerintahan, dan lagi pula tempat itu banyak ditinggali oleh orang-orang yang pernah terkena infeksi," ucap Ibu yang khawatir. "Sariya bukanlah kota yang buruk, memang banyak ditinggali dan selain itu ... disana hening dan sepi." Rigel memakai tas ransel sembari meraih tas jinjing lainnya. Dia sudah membulatkan tekad untuk pindah kerjaan menjadi paramedis klinik yang bekerja di Kota Sariya. Salah satu kota yang banyak ditinggalkan oleh penduduk karena pernah jadi salah satu tempat dimulainya virus crocus mewabah, meski pemerintah sudah memberikan keterangan aman untuk kota itu tetap saja marabahaya akan selal
"Terima kasih Bu Mantri," ucap seorang anak kecil yang baru saja diobati lukanya oleh Rigel.Rigel tersenyum kikuk. "Ah, aku lebih suka dipanggil Ners daripada Bu Mantri, atau Kakak saja," sahut Rigel sambil mengemasi kotak-kotak berisi obat-obatan itu. Rigel juga mengemasi perban dan beberapa set hecting sederhana."Ini obat antibiotik, dihabiskan ya," ucap Rigel. "Sebenarnya ini tugas Kak Alex tapi mengingat tempat ini terpencil dan sangat kekurangan akses jadi apa boleh buat?" Rigel berbincang seorang diri sementara Si Anak kecil memandangi Rigel dengan bingung. Rigel menatap Anak Kecil itu kemudian mengusap puncak kepalanya. "Kamu bisa kembali ke rumahmu sendiri?" tanya Rigel. Anak kecil itu mengangguk. "Terima kasih Bu Mantri, aku pulang dulu," ucap Si Anak Kecil sambil berlari keluar dari Klinik. "Hati-hati, kakimu baru saja dibersihkan!" teriak Rigel sembari berjalan ke depan Klinik. Rigel berdiri sesaat di halaman pekarangan Klinik. Klinik ini daripada mirip seperti banguna
"Misi pertama," ucap Rigel yang bergumam dengan kedua mata membelalak. Adriel mencoba mendekati Rigel namun Rigel langsung menyembunyikan surat yang ada dari dalam box. Rigel tersenyum untuk menyembunyikan misi yang sudah sampai ditangannya. "Bukan apapun, hanya beberapa surat rindu dari Corrie," ucap Rigel. Adriel memandangi Rigel sejenak. Kedua mata biru Adrian tampak mengekori langkah Si Manis Rigel yang beranjak dari dapur. Adriel tahu tatapan cemas dan kening mengkerut Rigel yang sedang berpikir keras itu. "Kalau begitu aku akan kembali ke Kantor Pengiriman," ucap Adriel pada Rigel."Ah benar sekali, aku juga harus kembali ke Klinik." Rigel juga bergegas beranjak sembari membawa box yang sebelumnya Adriel berikan padanya. "Terima kasih sudah menemaniku makan siang," Rigel tersenyum suka cita pada Adriel sampai membuat Pria itu salah tingkah.Adriel buru-buru memalingkan wajahnya. "Ehem ... ten ... tentu saja, kalau begitu selamat tinggal," ucap Adriel sambil buru-buru beranjak
"Inilah pahlawan kita, aksi beranimu Nona Meil!" puji Gubernur sembari mendatangi Rigel. Rigel pun membungkuk sedikit setelah itu mengulurkan tangannya untuk berjabatan tangan. "Salam Gubernur Carlos, terima kasih atas jamuan ini," ucap Rigel. Rigel langsung memandangi Gubernur dengan tidak nyaman karena ketika berjabatan tangan Sang Gubernur memengangi tangan Rigel. "Ehem ... Gubernur, terima kasih atas jamuan ini," sahut Adriel sembari meraih tangan Gubernur sehingga memisahan Rigel dari cengkeraman yang aneh itu. "Adriel Cooper, Kurir Pesan yang ditugaskan Pak Hamza," ucap Adriel sambil tersenyum pada Gubernur.Gubernur langsung menatap sinis. "Oh benar sekali, Pekerja Muda yang penuh semangat." Gubernur berucap sambil tertawa hambar. Dia tersinggung dengan sikap Adriel tapi sesaat setelah para tamu undangan mulai berdatangan, Gubernur pun beranjak untuk menyapa tamu kehormatan lain yang tak kala mencuri panggung,Kedua mata Rigel membelalak saat Harlan datang bersama Julia. Keda
"Muse ... kau tahu itu? suara mereka indah, tubuhnya elok dan parasnya rupawan ... mereka pengiring suara untuk dewa tapi kau selalu mengiringiku dan menghiburku, Adriel," ucap Rigel yang mabuk itu."Kau ... menggodaku?" tanya Adriel. Padahal Adriel tahu jika bertanya pada Rigel pun percuma karena Rigel sedang mabuk jadi Adriel menyelinap pergi dari Pesta tepat waktu tengah malam. Dia membopong tubuh Rigel meski setelah itu bingung karena motornya tidak akan bisa membawa Rigel bersamanya dalam keadaan mabuk seperti itu.Kota Sariya, termasuk kota kecil yang kendaraan umumnya hanya bus umum yang beroperasi saat pagi sampai sore. Tidak seperti New Neoma dan Kota Pusat Tyre yang saat malam pun hiruk pikuk kendaraan masih ramai. Selain kehampaan hanya ada kesunyian. Adriel pun menyentuh anting kanannya untuk memberikan sinyal pada Kaelar Si Ajudan Setia itu.Demi keselamatan Rigel, Adriel pun beralih menggendong tubuh Rigel yang mulai terkulai karena ketiduran itu. Adriel pun berjalan sed
Keadaan markas Tyre sedang genting. Para staff pemerintahan sedang berlalu lalang berkat adanya radar luar angkasa yang mendeteksi kehadiran armada militer asing. Rapat para petinggi sedang diadakan secara dadakan, seluruh petinggi sektor bertemu tak terkecuali pertahanan. Harlan Zidane, sudah memakai pakaian formal dengan mantel hijau tuanya berjalan tegap memasuki lift. Sepasang sepatu bootsnya terdengar tegas terdengar setiap kali ia berjalan. Sang Mantan Kapten Pertahanan Udara antariksa sekaligus mantan Kapten Anti-Crocus kembali memasuki area yang sempat ia tinggalkan.Harlan menghela napas sembari merogoh saku mantel panjangnya, ia tengah memasang sepasang sarung tangan hitamnya. Terasa ponselnya bergetar, ia segera melihat tampilan layar yang menyala itu. Nama Rigel muncul kemudian terdapat pesan singkat yang masuk."Aku akan pulang ke rumah memakai taxi." isi pesan singkat itu cukup membuat kedua mata zambrud beningnya mengkerut. Harlan lagi-lagi menghela napas, seharusnya i
Pagi ini Rigel diperbolehkan istirahat di rumah karena demam serta kondisi tubuhnya sudah membaik daripada kemarin. Rigel kini sedang mengemasi beberapa helai bajunya ke dalam koper. Perutnya sudah semakin besar bahkan kelahirannya hanya menghitung hari tapi Rigel memilih menunggu hari persalinan di rumah, ia rindu ketenangan seorang diri di rumah. Rigel sampai selesai berkemas tak mendapati sosok Harlan. Ia pun kembali duduk di sofa kemudian mengambil ponselnya. Rigel mencoba untuk menelpon Harlan tapi sambungan sepihak itu tak digubris Harlan. Rigel menghela napas kemudian mengiriminya pesan singkat."Aku akan pulang ke rumah memakai taxi." Rigel mengirimi pesan singkat itu kemudian duduk sejenak. Saat seorang diri terkadang Rigel rindu sosok Adriel. Perutnya terasa bergejolak karena tendangan Si Kecil. Rigel meringis pelan sambil menarik napas dan menghembuskan dengan perlahan. "Kau tahu, Nak, saat kita di New Neoma padahal ayahmu jarang mengunjungi kita," ucap Rigel teringat aka
"Dimana benda itu?" tanya Rigel sembari menarik tangan Harlan yang sedari tadi berdiri disamping ranjang kasur. "Benda apa yang kau maksud Rig?" tanya Harlan keheranan."Berikan anting itu padaku!" teriak Rigel.Harlan termagun saat Rigel melempar anting itu ke lantai kemudian menginjaknya sampai hancur. Harlan melihat raut wajah panik sekaligus murka dari Rigel tapi Harlan yang mulai paham pun memilih diam sejenak."Apa yang kau lakukan Rigel?" tanya Corrie. "Aku melakukan kebodohan, sekarang aku hanya membahayakan banyak orang," jawab Rigel meracau. Rigel membaringkan dirinya sembari menutup dahi dengan punggung tangan kirinya sendiri. Ia menatap langit-langit ruang perawatan yang hampa. Kepalanya terasa sakit dan dadanya juga jadi sesak. Wajah Rigel mulai bersemu kemerahan dan kedua matanya berkaca-kaca. Rigel menoleh menatap Harlan yang sedang memengang tangan kanannya."Kau harus kembali ke barak, karena bisa saja dia membuat kekacuan," ucap Rigel pada Harlan.Harlan menggelen
"Perintahkan armada menuju ke bumi!" perintah Adriel saat melintasi para prajurit."Baik Yang Mulia!" sahut seluruh Prajurit. Sepasang kaki dibalut sepatu boots mengkilap berjalan tegas di lantai keramik berkilau itu. Adriel, usai memerintahkan armada untuk siaga melakukan perjalanan ke bumi kini sedang berjalan keluar istana. Kala itu Ratu sempat berpas-pasan dengan anak lelakinya itu."Adriel, Nak, kau yakin?" tanya Ratu dengan pilu.Adriel menghentikan langkahnya untuk menatap Ratu. "Dia isteriku, Ibu," jawab Adriel tegas."Aku tahu Nak, tapi ini akan memicu konflik antara planet," ucap Ratu. "Sejarah seharusnya tak boleh terulang lagi, Nak." Ratu berusaha membujuk anak lelakinya yang sudah memegang kuasa saat ini. Sayangnya Ratu tahu jika usahanya akan sia-sia. "Terlambat, memang seharusnya Permaisuri kurebut kembali begitu juga dengan kekayaan bumi yang seharusnya jadi milik kita dari moyang terdahulu," ucap Adriel sembari beranjak berjalan pergi meninggalkan istana. Ratu meng
"Kami dengar kau kembali sakit." Corrie berucap sembari meletakkan keranjang berisi buah-buahan diatas nakas meja. "Kami juga hendak memberi kabar terbaru di benteng untukmu Kapten Zidane," celetuk Corrie."Mantan Kapten," celetuk Harlan sembari mendengkus kesal."Baiklah, baiklah, seperti itu ... apa kau tidak ada niatan kembali?" tanya Corrie."Kenapa?" "Kudengar zone Z jadi genting dan sinyal gelombang aneh juga mendekati bumi, entah dari mana asalnya," jawab Corrie. Rigel membelalakkan kedua matanya. Ia terkejut dan melotot. "Dimana benda itu?" tanya Rigel sembari menarik tangan Harlan yang sedari tadi berdiri disamping ranjang kasur. "Benda apa yang kau maksud Rig?" tanya Harlan keheranan."Berikan anting itu padaku!" teriak Rigel.Harlan keheranan tapi langsung mengerti maksud dari Rigel. Ia merogoh saku celana dan menyerahkan anting itu pada Rigel. Sementara Rigel langsung merampas anting itu. "Vetle, non aktif!" perintah Rigel. Sekilas cahaya kemilau dari anting itu berkila
"Kau hanya akan sia-sia jika terus memikirkan Wanita itu," ucap Aquilina.Adriel langsung menoleh ke arah Aquilina. "Apa maksudmu?" tanya Adriel dingin.Aquilina takut memandang kedua pandangan dingin Adriel tapi Aquilina terus membujuknya. "Pikirkan lagi, kenapa dia mau kembali ke bumi? pasti dia punya alasan sendiri, bagaimana misalnya dia punya lelaki lain yang masih jadi bagian dari hatinya?" Aquilina sengaja menghasut Adriel. Kedua mata biru Adriel langsung membelalak. Teringat akan sosok Pria lain yang pernah menjalin asmara dengan Rigel. "Tidak mungkin, itu mustahil," ucap Adriel menggeleng."Karena kau tidak disana saat ini, kau bahkan tak tahu dia ada dimana, Adriel," hasut Aquilina. Adriel terdiam sejenak. Teringat akan pertemuannya dengan Rigel. Pertemuan mereka bukan yang pertama melainkan saat Adriel bersama Rigel dalam keadaan yang buruk. Pertemuan pertama saat Adriel mengekori Rigel. Sebuah ledakan misterius yang nyaris mencelakakannya. Adriel sendiri yang bergerak un
"Bagaimana kabarmu sekarang?" tanya Alex yang menghampiri Rigel diruangannya.Rigel duduk bersandar dipinggiran ranjang kasur. Dia mengangguk. "Seluruh tubuhku semakin terasa berat, sakit dan tidak nyaman," jawab Rigel."Baiklah, biarkan aku melihat tekanan darahmu." Alex pun memasangkan manset sphygmomanometer pada lengan atas Rigel. Ia meletakkan stetoskop pada lengan itu juga tepat pada titik arteri brankial. "Aku butuh kau bernapas dengan santai," suruh Alex kemudian mulai memompa tekanan darah. Usai mengukur tekanan darah Rigel, Alex langsung mencubit pipi gempal Rigel. "Aduh, duh, kenapa?" tanya Rigel kesal."90/60 itulah hasil tekanan darahmu, untuk ibu hamil seharusnya tidak rendah seperti itu," omel Alex. Rigel menghela napas. "Tidurku cukup, makanku baik, mualku berkurang dan semuanya okay," celetuk Rigel tak mau kalah. "Benar, fisikmu baik-baik saja tapi tidak dengan isi kepalamu, kau stres Rigel," ucap Alex. "Lampu kamarmu menyala sampai jam dua dini hari, belum lagi be
Ketika resah dan kemurkaan menggelapkan hati maka akan selalu ada kelicikan yang ambil kesempatan. Semua orang di Kerajaan New Neoma sudah tahu jika seharusnya Pangeran Adriel yang sudah menaiki takhta itu harusnya menikah dengan tunangannya, yaitu Lady Aquilina anak dari Perdana Menteri. Semua itu jadi kandas karena sebuah ramalan dan tradisi kuno. Aquilina tentu tidak akan diam dengan situasi gelap Adriel saat ini. Permaisuri yang susah payah ia dapatkan justru melarikan diri. Pagi-pagi sekali Aquilina sudah bersolek dan memakai gaun terbaiknya untuk menemui Adriel. Hatinya berdegup kencang karena akan bertemu dengan pujaan hatinya. Kesempatan seperti ini tidak akan Aquilina sia-siakan.Aquilina keluar dari mansion tempat tinggalnya dengan senyum sumringan. "Calen! cepat siapkan kendaraanku!" perintah Aquilina. Pria berambut hitam panjang tiba sembari memberi hormat tuannya itu. Calen pelayan dari Aquilina sekaligus pesuruh setianya. Dia juga yang selama ini selalu mengincar keama
“Kau pasti punya alasan tersendiri untuk pergi dan kembali?” celetuk Corrie yang sedang duduk dipinggiran ranjang tidur.Rigel kemarin baru tiba tapi seharian harus melalui beberapa tahap agar bisa masuk ke bumi. Salah satunya pemeriksaan kesehatan yang diawasi langsung dengan Alex. Sebenarnya posisi Rigel yang tiba-tiba hilang misterius dan kembali misterius sudah jadi lirikan para Penjabat Atas tapi berkat perjanjian yang diajukan oleh Harlan, Rigel setidaknya dapat jaminan keamanan dari Harlan namun yang tak Rigel tahu jika Harlan rela menggadaikan jabatannya untuk keamanan Rigel.Corrie tahu hal itu tapi ingin tahu alasan Rigel terlebih dahulu. “Kau itu ... selalu menanggung beban sendiri tanpa mau berbagi,” ucap Corrie.Rigel tertegun mendengar Corrie. Ia yang setengah duduk di ranjang tidur dengan sebelah tangan yang masih diinfus nutrisi tambahan hanya bisa menghela napas. “Aku sudah pernah melakukan kesalahan jadi kali ini aku mau mempertahankannya,” jawab Rigel sambil mengusa