Dia adalah kakak tingkat yang menyelamatkanku di depan gerbang kampus.Tak disangka, hari ini dia menyelamatkanku lagi.Aku pun mentraktirnya makan dan mengetahui namanya, Darwin Vandasia.Kami saling bertukar kontak dan menjadi semakin akrab.Aku menyadari bahwa pandangan hidup kami sejalan, minat kami juga mirip. Lucunya, sebulan kemudian tetangga sebelah menghubungi ayahku untuk memperkenalkanku seorang calon pasangan, kebetulan dia yang diperkenalkan padaku.Enam bulan kemudian, kami menikah.Pada hari pernikahan, Darwin khawatir aku akan kelelahan mengenakan sepatu hak tinggi, jadi dia membiarkanku beristirahat di ruang rias sementara dia menyambut para tamu.Tiba-tiba, Bagas menerobos masuk.Dia tampak kumuh dengan mata kemerahan karena lelah.Saat melihatku mengenakan gaun pengantin, kilatan rasa takjub dan sakit hati bercampur dalam matanya."Lina."Dia melangkah mendekat, suaranya serak. "Aku baru saja bermimpi. Dalam mimpi itu, kita menikah. Tapi, aku mengkhianatimu dan jatuh
Hari ini aku ditemani ayahku menghadiri lelang tahunan di Kota Dipa.Lelang kali ini sangat penting, baik bagiku maupun ayah.Sebab, barang peninggalan ibuku akan dilelang di acara kali ini.Pemilik rumah lelang ini adalah teman lama ayah sehingga kami bisa mendapat tempat duduk di barisan paling depan. Setelah beberapa sesi berlangsung, akhirnya kalung rubi milik ibuku dikeluarkan."Dua miliar." Tanpa ragu, aku langsung menawarkan harga tinggi."Sepuluh miliar."Beberapa detik kemudian, seseorang langsung menawar dengan harga berkali-kali lipat.Suara itu terdengar agak familiar.Aku menoleh dan ternyata yang menawar adalah asistennya Bagas Saputra.Asisten itu juga melihatku, tapi tatapannya tampak gugup dan dia segera mengalihkan pandangannya.Seorang asisten jelas tidak mungkin punya sepuluh miliar. Tawaran ini pasti dari Bagas.Melihat ekspresi wajahnya, aku langsung paham untuk siapa kalung wanita ini akan diberikan.Kini, wanita bernama Sari Juwita itu adalah kesayangan Bagas, b
Aku menatapnya dengan dingin. "Kamu seharusnya memanggilku Nyonya Saputra.""Oh, maaf. Aku lupa." Sari menutup mulutnya seolah-olah terkejut. Gerakannya dibuat-buat agar terlihat imut, sementara wajahnya penuh sindiran. "Tapi bukankah Nyonya Saputra akan segera bercerai? Memanggilmu Nona Lina seharusnya nggak masalah, bukan?"Dia hanyalah seorang karyawan kecil di Grup Saputra, tapi sama sekali tidak menunjukkan rasa hormat padaku.Sebab, dia tahu betul bahwa kini statusku sebagai Nyonya Saputra hanyalah simbol belaka. Cepat atau lambat, status ini akan menjadi miliknya."Pak Toni, cepat ambil kalungnya," ujar Sari sambil berbalik ke arah Toni. "Kak Bagas barusan bilang dia sudah mendarat. Dia akan segera datang menjemputku. Dia pasti tidak sabar melihatku memakai kalung rubi ini!"Saat melihat wajah Sari yang penuh kemenangan dan membayangkan kalung peninggalan ibuku akan dikenakan di lehernya, aku benar-benar merasa jijik.Namun, aku menahan amarahku karena teringat ayahku. "Sari Juw
Kalung ini adalah satu-satunya kenangan yang aku dan ayahku miliki tentang ibuku.Aku melihat pupil Bagas menyusut sejenak, tetapi detik berikutnya dia malah merangkul bahu Sari dan berkata dengan tenang, "Kalau kalung ini begitu penting bagimu, kenapa kamu nggak menawarkan harga lebih tinggi saat lelang tadi?"Aku menatap tangannya yang terletak di bahu Sari. Bekas cincin di jari manisnya sudah memudar."Aku nggak punya uang sebanyak itu.""Itu masalahmu," kata Bagas sambil memandangku. "Kalau saja kamu lebih cepat setuju untuk bercerai, uang ganti rugi yang aku berikan pastinya cukup untuk membeli kalung rubi ini."Kata-katanya terasa seperti pisau tajam yang menghunjam tepat di hatiku."Jadi, kamu membantu Sari mendapatkan kalung ini hanya untuk memaksaku bercerai?"Aku bahkan merasakan nyeri saat mengucapkan kata-kata itu. "Bagas, bagaimana kamu bisa memperlakukanku seperti ini?""Aku sudah nggak memiliki perasaan padamu lagi, Lina. Kenapa kamu nggak mau lepas tangan?"Pada akhirny
Dia menatapku dan tiba-tiba memelukku erat-erat. "Lina, aku suka padamu. Apakah kamu bersedia membiarkanku melindungimu selamanya?"Aku bersandar di pelukannya, mengingat kembali momen ketika dia mengatakan bahwa aku masih punya dirinya. Tanpa sadar, aku mengangguk.Setelah lulus kuliah, aku dan Bagas menikah.Pada tahun pertama pernikahan kami, kami menghadapi wabah virus besar.Saat itu, dia sedang dalam perjalanan dinas, sementara aku terkurung sendirian di rumah. Aku tidak bisa mendapatkan obat dan sangat ketakutan setiap melihat laporan kematian yang kian hari kian meningkat.Tengah malam, aku mendengar suara ketukan di pintu. Aku pun melihat melalui lubang pintu dengan tegang dan ternyata itu adalah Bagas.Dia berdiri di depan pintu dengan napas terengah-engah, seolah-olah baru saja jatuh dari langit."Kenapa kamu sudah pulang?" Aku ingat bahwa siangnya dia masih berada di kota yang berjarak ratusan kilometer dariku."Aku nyetir pulang," katanya sambil terengah-engah di balik mas
Akan tetapi, selama lima belas tahun yang telah berlalu, dia benar-benar baik padaku. Perhatiannya dan kasih sayangnya begitu nyata dan hangat.Aku yakin kami saling mencintai.Aku mengira bahwa asalkan aku mengabaikan kejadian itu, kami masih bisa bersama hingga tua.Alhasil, aku memilih untuk memaafkannya.Sebulan kemudian, Sari bunuh diri.Dia mengiris pergelangan tangannya di rumah, lalu mengirimkan pesan kepada Bagas, "Aku nggak menyalahkanmu walau kamu nggak bertanggung jawab padaku."Saat itu, dia berjanji untuk menemaniku berlibur ke luar negeri. Begitu melihat pesan dari Sari, dia langsung berlari menuju bandara dan naik pesawat terdekat. Aku ditinggal sendirian di negeri yang sepenuhnya asing.Bagas menghilang selama tiga hari. Ketika aku bertemu dengannya lagi, dia menyerahkan selembar surat perceraian padaku."Lina Wilaiman, kita cerai saja. Sari nggak bisa hidup tanpaku."Saat melihat surat perceraian itu, semua kemarahan dan keangkuhanku lenyap seketika.Aku merampas sura
"Lina, apakah kamu bisa mengerjakan soal ini?"Suara familiar di telinga membuatku langsung membuka mata.Di depanku ada teman-teman sekelas yang mengenakan seragam sedang bercanda tawa. Ada pula papan tulis yang dipenuhi soal-soal matematika.Ini adalah pemandangan yang sering muncul dalam mimpiku sejak Bagas memaksaku untuk bercerai.Aku selalu ingin kembali ke masa SMA, masa-masa Bagas paling mencintaiku.Jadi, apakah aku bermimpi lagi?"Lina, aku bertanya padamu. Kenapa kamu melamun?" Sebuah tangan yang indah dan panjang melambai di depan mataku.Aku berbalik dan langsung bertemu dengan senyuman Bagas yang lebar.Bibirnya membentuk lengkungan yang indah, mata hitamnya menunjukkan kilauan lembut yang bersinar. Dia menatapku tanpa berkedip.Aku seketika tertegun.Sudah berapa lama aku tidak melihat Bagas menunjukkan senyuman seperti ini?Mungkin setahun, dua tahun, atau bahkan lebih lama lagi.Aku sudah tidak ingat.Reaksi pertamaku adalah merasa mimpi ini sangat nyata, tapi ada inst
Aku berjalan ke ruang tamu dan kebetulan melihat ayahku keluar dari dapur. Ayah terbatuk-batuk akibat asap yang tebal."Uhuk ... uhuk!"Tangan ayah terus mengibas di depan hidung. Ketika melihatku, wajahnya menunjukkan rasa segan. "Kamu sudah pulang sekolah, ya? Masakannya gosong, tunggu sebentar, ya."Sebelum ayah selesai bicara, aku sudah melompat ke pelukannya.Aku memeluknya erat-erat, menyembunyikan wajahku di bahunya yang lebar."Ada apa?" Ayah terdiam sejenak, lalu menepuk punggungku untuk menghibur. "Itu hanya gosong, bukan masalah besar. Ayah bisa masak lagi. Atau, kita makan di luar saja?"Aku tidak jawab, hanya menangis terus menerus.Setelah ibu meninggal, aku terjebak dalam kesedihan tanpa menyadari bahwa itu juga masa tersulit bagi ayahku. Selanjutnya untuk mendukungku dalam ujian akhir, ayah mengesampingkan pekerjaannya yang sibuk. Dia mulai belajar memasak dan mengurus semua pekerjaan rumah.Aku malah menganggap semua itu sebagai hal yang wajar dan bahkan pernah berteng