Share

Bab 3

Kalung ini adalah satu-satunya kenangan yang aku dan ayahku miliki tentang ibuku.

Aku melihat pupil Bagas menyusut sejenak, tetapi detik berikutnya dia malah merangkul bahu Sari dan berkata dengan tenang, "Kalau kalung ini begitu penting bagimu, kenapa kamu nggak menawarkan harga lebih tinggi saat lelang tadi?"

Aku menatap tangannya yang terletak di bahu Sari. Bekas cincin di jari manisnya sudah memudar.

"Aku nggak punya uang sebanyak itu."

"Itu masalahmu," kata Bagas sambil memandangku. "Kalau saja kamu lebih cepat setuju untuk bercerai, uang ganti rugi yang aku berikan pastinya cukup untuk membeli kalung rubi ini."

Kata-katanya terasa seperti pisau tajam yang menghunjam tepat di hatiku.

"Jadi, kamu membantu Sari mendapatkan kalung ini hanya untuk memaksaku bercerai?"

Aku bahkan merasakan nyeri saat mengucapkan kata-kata itu. "Bagas, bagaimana kamu bisa memperlakukanku seperti ini?"

"Aku sudah nggak memiliki perasaan padamu lagi, Lina. Kenapa kamu nggak mau lepas tangan?"

Pada akhirnya, aku tetap tidak bisa mendapatkan kembali kalung ibuku dari Sari.

Setelah pulang ke rumah, pikiranku dipenuhi oleh pertanyaan terakhir Bagas.

Aku duduk termenung di sofa, memandang meja kopi dan lukisan di ruang tamu. Semua itu adalah hasil dekorasi kami bersama.

Kami pernah merencanakan masa depan dengan penuh harapan, bagaimana bisa dia tiba-tiba jatuh cinta pada orang lain?

Aku tidak ingin percaya semua yang terjadi ini.

Meskipun Bagas sudah berhubungan dengan Sari secara terbuka dan semua orang yang mengenal kami tahu bahwa dia telah memiliki kekasih baru, aku tetap tidak mau bercerai.

Aku tidak sudi.

Aku menatap foto kami yang terletak di atas meja, seolah-olah bisa melihat kembali saat-saat ketika kami baru bersama.

Aku dan Bagas bertemu saat kami duduk di bangku SMA. Aku adalah siswa teladan, sementara dia adalah anak nakal. Dia duduk di belakangku dan sering menarik ekor rambutku.

Saat aku menatapnya dengan marah, dia justru menyodorkan selembar kertas kepadaku.

"Lina, aku suka padamu. Mau nggak kamu pacaran denganku?"

Sejak hari itu, dia mulai bangun pagi-pagi, menungguku di depan rumahku, lalu menemaniku berangkat dan pulang sekolah.

Lambat laun, orang tuaku tahu tentang keberadaannya, begitu pula orang tuanya.

Kedua keluarga kami bahkan pernah makan bersama untuk membicarakan hubungan kami.

"Kalian masih pelajar, jadi jangan pacaran dulu," nasihat ibunya. "Jangan sampai merugikan anak orang."

Dia terus mengangguk, tetapi diam-diam menggenggam tanganku di bawah meja.

Tahun terakhir SMA, ibuku mengalami kecelakaan mobil yang tragis.

Mobilnya meledak, bahkan sisa tubuhnya pun tidak ada yang tersisa.

Sosok ayahku berubah tua hanya dalam waktu semalam, bisnisnya merosot tajam, sementara aku menangis terus hingga tidak bisa pergi ke sekolah. Aku bahkan didiagnosis menderita depresi.

Bagas meminta izin untuk menemaniku.

"Lina, jangan bersedih. Kamu masih punya aku dan ayahmu."

Dia mengelus kepalaku dan memelukku dengan lembut.

Berkat kehadirannya, aku perlahan-lahan mulai pulih dan berhasil mengikuti ujian akhir. Namun, dampak kejadian itu membuatku gagal masuk ke kampus impianku.

Demi tetap bersamaku, Bagas mengorbankan kesempatan untuk masuk ke kampus yang lebih baik dan memilih kampus lain di kota yang sama denganku.

Aku mengatai dirinya bodoh, tetapi dia hanya tersenyum sambil menggenggam tanganku. "Kekasihku begitu cantik. Kalau kita terpisah dan kamu digoda oleh pria lain di kampus, apa yang bisa aku lakukan?"

Itu adalah pertama kalinya dia mengucapkan kata-kata yang begitu mesra padaku. Kata kekasihku membuatku tersipu dan berdebar-debar.

Aku pun mengumpulkan keberanian untuk bertanya, "Sebenarnya, bagaimana perasaanmu terhadapku?"

Bagas terdiam sejenak. Telinganya memerah dan dia terlihat canggung.

"Apakah aku belum menunjukkan perasaanku dengan cukup jelas?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status