Share

Bab 2

Aku menatapnya dengan dingin. "Kamu seharusnya memanggilku Nyonya Saputra."

"Oh, maaf. Aku lupa." Sari menutup mulutnya seolah-olah terkejut. Gerakannya dibuat-buat agar terlihat imut, sementara wajahnya penuh sindiran. "Tapi bukankah Nyonya Saputra akan segera bercerai? Memanggilmu Nona Lina seharusnya nggak masalah, bukan?"

Dia hanyalah seorang karyawan kecil di Grup Saputra, tapi sama sekali tidak menunjukkan rasa hormat padaku.

Sebab, dia tahu betul bahwa kini statusku sebagai Nyonya Saputra hanyalah simbol belaka. Cepat atau lambat, status ini akan menjadi miliknya.

"Pak Toni, cepat ambil kalungnya," ujar Sari sambil berbalik ke arah Toni. "Kak Bagas barusan bilang dia sudah mendarat. Dia akan segera datang menjemputku. Dia pasti tidak sabar melihatku memakai kalung rubi ini!"

Saat melihat wajah Sari yang penuh kemenangan dan membayangkan kalung peninggalan ibuku akan dikenakan di lehernya, aku benar-benar merasa jijik.

Namun, aku menahan amarahku karena teringat ayahku. "Sari Juwita, jual kalung itu padaku. Terserah kamu mau buka harga berapa. Aku bisa cicil."

"Tapi aku sudah janji pada Kak Bagas bahwa aku akan memakai kalung ini saat makan malam romantis bersamanya nanti."

Sari pura-pura terpojok. "Bagaimana kalau kamu ikut bertemu dengan Kak Bagas dan bicara langsung padanya?"

"Bicara apa lagi!"

Suara ayahku yang marah terdengar dari belakang.

Dia berjalan cepat menghampiriku, lalu mencengkeram lenganku dengan kencang. "Cerai dengannya sekarang juga!"

"Ayah!"

Aku buru-buru menahan ayahku. "Kalung ibu masih ada di tangannya."

"Aku nggak mau kalung itu lagi! Ayo pulang denganku!" Ayah menarikku dengan paksa.

Aku menolak untuk pergi.

Ayah menatapku dengan kecewa. "Dia sudah memperlakukanmu dengan begitu buruk dan bahkan boleh dibilang harga dirimu diinjak-injak oleh mereka. Jangan bilang kamu masih mau melanjutkan pernikahan ini?"

"Ayah ... aku hanya ingin berbicara dengannya." Aku tidak berani menatap tatapan kecewa ayah.

"Kamu!"

Tangan ayah bergetar karena marah, sementara matanya menempel tajam padaku. "Di dunia ini ada begitu banyak pria, kenapa kamu ngotot bersama dengannya?"

Aku menunduk.

Memang benar di dunia ini ada banyak pria, tetapi yang aku cintai hanyalah Bagas Saputra.

Ayah menghempaskan tanganku. "Baiklah, teruslah terjebak dalam kebodohanmu! Suatu hari nanti kamu pasti akan menyesal!"

Setelah melontarkan kalimat itu, ayah berbalik dan pergi dengan kesal.

Sari melirikku dengan sinis. Tepat saat Toni kembali dengan membawa kalung itu, Sari berkata padaku, "Ayo, ikut aku."

Aku mengikuti langkahnya keluar dari ruang lelang, lalu melihat mobil yang tidak asing itu terparkir di sana.

Saat itu, kami bersama-sama memilih mobil ini. Aku menyukai warna putih, sementara Bagas lebih suka hitam. Ketika saatnya mengambil keputusan akhir, Bagas malah tanpa ragu memilih putih.

Aku sempat bertanya padanya, kenapa dia tidak memilih warna yang disukainya, padahal dia yang lebih sering menggunakan mobil ini. Dia menjawab, "Aku membeli mobil ini untuk membawamu ke tempat-tempat yang kamu suka. Lina, apa pun yang kamu suka, itulah yang akan aku beli."

Kini orang yang masuk ke dalam mobil malah bukan aku, tapi Sari. Dia bahkan duduk di samping Bagas.

Sementara aku berdiri di luar mobil, menatap Bagas yang menurunkan jendela. Pasangan mata yang dulunya penuh cinta itu kini menatapku dengan dingin.

"Kak Bagas, aku akhirnya mendapatkan kalung ini, tapi dia juga menginginkan kalung ini dan memintaku untuk memberinya."

Sari berkata dengan suara manja, "Kak Bagas, bagaimana ini?"

"Ini adalah barang peninggalan ibuku." Aku menatap tajam Bagas.

Kami sudah bersama selama 15 tahun, jadi dia tentu tahu betapa sedihnya aku ketika ibuku meninggal. Ibuku tidak meninggalkan apa pun, kecuali kalung ini yang ditemukan setelah kecelakaan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status