“Mereka itu cocok, ‘kan?” ucap teman Mamanya yang Justin ingat namanya Kanina. Wanita paruh baya dengan kemeja santainya namun terlihat elegan itu tersenyum ke arah Justin yang mendapat balasan segaris dari bibir Justin. “Siapa dulu yang mengusulkan ide ini lebih dulu? Aku dan Juan hanya berpikir jika ini candaan semata.”
Justin memotong dengan malas steaknya lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Kunyahannya lambat namun cukup memberi kesan jika pria 30 tahunan itu ingin cepat-cepat hengkang dari pertemuan membosankan ini. Sudah berapa kali dalam satu bulan Mamanya membawanya ke dalam obrolan bisnis? Justin tidak sempat menghitungnya karena terlalu sering.
Tami, Mama Justin membalas dengan senyum merekah di bibirnya yang berpoles lipstik merah lembut. “Andre yang pertama kali berpikir begitu. Aku juga sepemikiran denganmu. Kupikir, semuanya tidak perlu kita atur toh pada akhirnya nanti mereka akan bertemu dan berkenalan. Ah, aku merasa tertekan membesarkan Justin yang dingin dan tidak pedulian. Aku harap Amira tidak terlalu sakit hati dengan sikap Justin.”
Yang namanya disebut dan merasa terpanggil hanya diam saja. Melakukan aktivitas yang sama seperti yang Justin lakukan, wanita berusia 29 tahun dengan dress hitamnya itu meneguk winenya. Makan malam kali ini tidak jauh berbeda dengan makan malam sebelumnya. Hanya berganti orangnya saja. Nasib Amira Meena bisa dikatakan sama persis dengan Justin. Bedanya hanyalah Amira mempunyai pikiran ekstrem bahwa menikah adalah bencana.
Kanina memandangi Amira lalu beralih pada Justin yang berekspresi datar. “Aku tidak menyangka jika mereka sudah tumbuh menjadi sesukses sekarang. Amira dalam pandanganku masih bocah berusia lima tahun yang hobi merengek meminta mainan milik Kakaknya.”
Tami tertawa. Meletakkan pisau dan garpunya lalu melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Kanina. “Kamu benar, Nina. Kita semakin tua dan mereka semakin bertumbuh. Rasanya aku ingin mengembalikan mereka ke masa di mana suara rengekannya memekakkan telinga.”
Bak badut yang sedang ditanggap, Justin dan Amira hanya menjadi pendengar. Kedua Mama mereka bercengkerama dengan asiknya tanpa memusingkan perasaan Justin dan Amira atau sekadar bertanya, apakah kalian mau melanjutkan perjodohan ini? Basa-basi nampaknya tidak berlaku di sini.
“Aku ingin mencari udara segar,” pamit Amira yang langsung hengkang setelah memundurkan kursinya. Berjalan menjauh dari meja di mana makan malam bisnis itu berlangsung.
“Aku juga.”
Bariton berat itu masuk ke dalam rungu Amira dengan langkah kaki membuntuti dirinya di belakang. Senyum menyeringai di bibir Amira terlukis tanpa sadar dan tepat saat keluar dari pintu restoran itu, langkah Amira terhenti begitu juga dengan milik Justin. Dengan santai, Amira layangkan pandangannya ke suasana luar restoran yang sunyi. Lampu-lampu taman berpendar menambah nuansa sejarah meski langit malam telah membungkus. Amira balikkan tubuhnya dan menatapi Justin dengan saksama.
“Jangan melakukan apa pun!” perintah Amira dengan suara rendah. Mata sayunya menatap Justin penuh selidik. “Ini hidupmu dan kamu bisa memulai segalanya dengan pilihanmu sendiri. Aku heran, apa kamu selalu menjadi seperti ini?”
“Seperti ini yang bagaimana menurutmu?” tanya Justin dengan wajah kebingungan. Pasalnya, Amira menyatakan tentang dirinya tanpa memberi penjabaran yang mudah dipahami. “Apa kita saling mengenal sebelumnya?”
Oh, itu cukup menohok. Amira mendecakkan lidahnya tidak peduli jika sikapnya terkesan tidak sopan. Amira memalingkan wajahnya dari tatapan Justin yang dingin lalu mengedikkan bahunya tidak peduli. Jikapun pernah saling mengenal, Amira tidak ingin memberi penjelasan untuk ingatan Justin mengorek masa lalu.
“Aku rasa itu tidak penting. Aku hanya berkata asal dan sebaiknya kamu bisa bertindak lebih tegas sebagai seorang pria,” balas Amira tak kalah pedasnya.
Mata Justin melotot tak terima mendengar balasan Amira yang cukup menggelitik harga dirinya. Bibir wanita itu seksi namun mengandung racun yang cukup mematikan. Ah, atau mungkin itu alasan hingga detik ini masih betah menjomblo? Mana ada pria yang mau dengan wanita bermulut racun sepertinya.
Justin berdecih dengan memalingkan wajahnya. Tidak peduli soal Amira yang tersinggung dan sakit hati dengan tingkahnya.
“Apa kamu selalu bertingkah arogan seperti ini? Kamu lupa jika kamu wanita?” hardik Justin. “Katanya, wanita itu rawan. Perilaku mereka selalu dilirik oleh masyarakat untuk kemudian dijadikan bahan obrolan. Kamu tidak takut dengan penilaian buruk seperti itu?”
Amira menoleh. Menatapi Justin dari atas hingga bawah lalu kembali merajut mata dengan milik pria itu. Ada pemikiran lain yang Amira sematkan untuk Justin setelah mendengar pria itu berkata panjang lebar.
“Apa kamu selalu bersikap sehangat ini kepada para wanita?” Mata Amira berkedip lucu. “Kamu tidak sadar, ya, jika kita baru saja bertemu. Ini adalah pertama kalinya kita bertemu dan kamu sudah sangat peduli padaku. Kenapa aku merasa itu aneh, ya? Begini, lebih jelasnya adalah sorot mata kamu saat di dalam beberapa menit yang lalu dengan yang sekarang terlihat berbeda. Apa kamu memang selalu bersikap seperti itu di hadapan Mamamu dan sehangat ini di depan orang baru? Kamu punya masalah dengan itu?”
Justin tertegun. Kepalanya pasti terbentur sesuatu sehingga meracau tidak karuan seperti itu. Kenapa Amira? Bayangkan! Wanita yang baru pertama kali Justin temui dan rasa pedulinya muncul secara tiba-tiba. Justin gila! Justin Brotolaras bukan pria bertipe seperti itu bahkan kepada Seina saja tidak demikian.
“Kamu pasti kesepian,” ejek Amira yang mendudukkan tubuhnya di kursi tak jauh dari Justin berdiri. “Kamu keluar dari zona yang telah lama kamu beri sekat tanpa bisa mengendalikan.”
“Apa maksudmu!?” Justin bertanya dengan tegas. Desisan di akhir kalimat cukup membuat Amira mengangkat kepalanya penuh keheranan. “Kamu memberiku penilaian seolah-olah kamu yang paling mengenal aku. Kamu pikir itu hebat?”
“Bagaimanapun, aku memang hebat dalam beberapa hal. Jangan heran jika aku menarik kesimpulan sedangkal sungai. Kamu pantas aku nilai demikian karena bahasa tubuhmu mengatakan yang seperti itu. Akui saja jika kamu memang kesepian. Katakan saja jika kamu mencintai wanita lain dan tidak bisa menyatakan perasaan terpendammu. Sebagai pria, seharusnya kamu gantle untuk mengambil tindakan. Bukan malah menuruti maunya Mamamu.”
Wah, Justin tidak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari Amira. Wanita arogan itu baru saja menunjukkan taringnya yang menyatakan jika kualitas hidupnya jauh lebih tinggi daripada milik Justin. Sejenak Justin terdiam dan berdiri di tempatnya denga nisi kepala yang berkecamuk. Harga diri Justin amblas ke dasar bumi karena Amira menilainya begitu rendah.
“Aku hanya mencoba menyenangkan mereka. Bukankah kamu juga begitu?” Amira mengangguki pertanyaan Justin. “Jika tidak, mana mungkin kamu hadir di sini,” kekeh Justin. “Lalu kamu, apa tujuanmu dengan semua ini?”
“Kenapa bukan Mama saja?” tanya Justin menanggapi omelan Tami yang menurutnya terlalu sering dilakukan.Tidak sekali, dua kali ketika selesai dalam pertemuan makan malam dengan teman beserta anaknya, Tami akan mengomel bak truk tronton kehilangan kendali remnya. Dan Justin yang terbiasa diam serta enggan menyuarakan kekesalannya, malam ini meledak tanpa bisa dicegah.“Kamu ngelawan Mama?!” teriak Tami cukup histeris. Sikap dramatis Tami tidak Justin ambil pusing. Mamanya sudah terbiasa bersikap yang begitu dan kenyang menjadi satu-satunya kesimpulan yang selalu Justin berikan. “Kamu itu sudah 30 tahun, Justin, 30 tahun! Dan kamu masih santai seperti tidak punya hasrat untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih baik lagi. Kenapa bisa Mama melahirkan kamu yang bebal seperti ini, sih!?”“Dan memangnya aku pernah meminta dilahirkan dari rahim Mama!” Justin berucap sarkas namun itu jelas mengacu pada kenyataan yang ada di hadapannya saat ini. “Jika Mama mengenalku, tidak perlu Mama mendesak
“Ayo makan,” ajak Amira yang siang itu masuk ke ruangan rapan Justin tanpa izin apa lagi mengetuk pintu.Wajahnya yang songong menjadi pusat perhatian para klien Justin yang hari itu sedang melakukan rapat penting. Alih-alih peduli dan risih lantaran mendapat perhatian dari semua orang, Amira justru berdiri dengan santai. Tubuhnya bersandar di pintu seraya memperhatikan kuku-kukunya yang baru saja diwarnai.Justin hanya bergeming di tempatnya. Tanpa berniat berdiri dari duduknya dan menegur perilaku Amira yang sembrono. Justin justru di buat penasaran dan berpikir harus melakukan apa kepada Amira. Wanita itu cukup punya nyali untuk menghampiri dirinya di kantor. Sejauh ingatan Justin, selama ini tidak banyak wanita yang berani menerobos kantornya.“Kita akhiri sampai di sini.”Barulah Amira hengkang dari tempatnya berdiri. Duduk di kursi depan ruangan rapat menunggu Justin keluar. Satu per satu orang yang duduk di kursi rapat pergi dengan gunjingan yang tidak Amira pusingkan. Mereka h
“Kamu hamil?” tanya Justin dengan bibir tersungging mengejek Amira yang menatapnya tanpa berkedip. “Dan kamu ingin aku bertanggung jawab, begitu?”“Mau nggak?!” Amira berseru cukup lantang yang membuat Justin memundurkan kepalanya heran. “Toh kamu dipaksa untuk menikah demi mewarisi seluruh harta kekayaan Brotolaras, ‘kan? Dan bahagianya, Mamamu akan mendapatkan cucu sekaligus.”Justin pernah mendengar temannya berkata jika kaum hawa memang penghuni bumi yang paling sulit untuk ditebak apa maunya. Mereka adalah sekumpulan manusia yang mencari penyakit telah menciptakan sebuah masalah. Mereka bertindak arogan padahal tahu tidak ada tameng di dalam dirinya saat sebuah fakta diungkapkan. Mereka akan menangis tersedu-sedu sambil menyalahkan kaum adam dengan berseru: kamu jahat!“Siapa?” Justin menoleh dengan tangan meremas kemudinya kuat-kuat. Amira melihatnya dengan jelas hingga buku-buku kuku Justin memutih. “Siapa yang melakukan itu padamu? Aku tahu kamu bukan wanita bebas bak jalang d
“Muminya pindah ke sini, ya?” tanya sebuah suara yang tetap membuat Amira bergeming di tempatnya. “Aku baru tahu wabahnya telah menyerang Semarang.”Barulah Amira mendongakkan kepalanya diiringi senyuman tipis yang canggung. Bak maling tertangkap basah, Amira menolehkan kepalanya ke arah jam digital di atas mejanya. Oh, sekarang Amira tersadar kenapa pria ini berada di kantornya. Rupanya Amira yang terlambat dapat ke ruang rapat.“Tersadar, eh?” kekehnya dengan wajah penuh ejekan. “Aku pikir kamu orang yang disiplin dan selalu memanfaatkan waktu yang kamu miliki. Siapa yang sangka kamu bisa seceroboh ini?”“Hm, aku ceroboh,” aku Amira yang cepat-cepat berdiri dari duduknya. “Ini, ‘kan yang kamu butuhkan?” Amira bubuhkan tanda tangan miliknya setelah semalam membaca isi kontraknya. “Ada beberapa yang harus kamu revisi termasuk nominal uang yang tertera. Jangan terlalu menekan pihak lawan atau mereka akan membalas secara diam-diam. Dunia bisnis tidak seaman yang kamu bayangkan. Banyak l
Justin datang dengan sendirinya menemui Amira. Yang siang itu panas terik menyambangi Semarang dan sampai kapanpun Semarang dengan cargon ‘neraka bocor’ memang selalu melekat tanpa bisa dipisahkan. Bak perangko dan kertas surat yang selalu bersama. Semarang dan udara panasnya adalah perpaduan yang syahdu bak nyanyian pasangan kasmaran.“Makan siang?” Amira mengerutkan keningnya saat Justin menawarkan makan siang yang serupa dengan pertanyaan. Pria ini tidak bisakah langsung saja menyampaikan niatnya tanpa berkelit-kelit atau Amira yang selalu sensitif jika Justin berada di dekatnya?“Kapan?” tanya Amira membalas pertanyaan Justin. Dengan wajah juteknya, Amira tahu jika saat ini Justin berniat mengajaknya makan siang. Mungkin untuk mengakrabkan diri dan mengenal satu sama lain. “Aku lumayan sibuk.”“Aku tahu.” Justin tersenyum dan tetap berdiri di hadapan meja kerja Amira. “Kamu hanya sedang menghindariku dan mencari sejuta alasan agar ajakanku kamu tolak. Kenapa?” Justin melihat
Terbangun dari tidurnya di tengah malam, perasaan sedih melingkupi diri Amira. Perasaan itu campur aduk namun yang paling bertahta adalah kesedihan dan kesakitan. Tanpa alasan yang jelas, Amira ingin menangis sejadi-jadinya. Rasa sakitnya teramat dalam sehingga yang Amira rasakan adalah remasan sakit pada jantungnya. Bak di tusuk-tusuk kawat berduri, rasa sakitnya membuat Amira sesak napas. Amira ingin menyerah. Berhenti dan menghentikan semua yang saat ini ada di depan matanya. Namun faktanya, Amira akan menjadi manusia paling bodoh yang mengambil tindakan tanpa mau berpikir panjang. Amira masih memiliki hati nurani bahwa kehidupan berat tidak hanya menyapa dirinya. Mungkin saja di luar sana masih ada yang lebih daripada ini. Amira hanyalah bagian dari secuil biji sawi.“Mimpi buruk?” tanya sebuah suara dari arah samping Amira. “Minum.” Menyodorkan gelas berisi air, Amira menoleh dan mendapati Justin yang terduduk dengan wajah menahan kantuknya. “Kalau ada apa-apa, beritahu aku.”
Amira tidak tahu. Perasaannya bisa campur aduk seperti ini dan genangan liquid bening yang tengah menutupi pelupuk matanya mengaburkan segala pandangan di hadapannya. Kedua kaki Amira gemetar hebat dan membeku di tempat. Rasa sakit itu belum juga menghilang meski perlakuan manis Justin cukup membuatnya terkesan. Namun, Amira justru berpikir untuk mendorong Justin pergi. Amira tidak ingin bersama dengan siapapun di sini. Amira ingin sendiri dan hanya di peluk oleh rasa sakitnya saja. Amira ingin menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan rasa sakitnya.“Ayo, sarapan.” Justin membuka pintu kamarnya dan mendapati Amira yang duduk sedang mengusapi kedua pipinya dengan tangan. “Menangis?” tanya Justin dengan tebakan. “Kenapa? Ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman? Ingin sarapan di luar?”Justin tidak akan menjudge apa-apa saja yang Amira alami. Setiap orang berhak merasakan sedih dan rasa sakitnya. Setiap orang juga berhak untuk menangis agar sesak di dadanya bisa berkurang. Amira di mata J
“Tentang meminta maaf, apa yang kamu pikirkan tentang itu?” tanya Amira pada seorang pria yang telah lama ingin dirinya temui. “Kamu bersembunyi dengan sangat apik. Semarang seluas itu ternyata.”Amira terkekeh sebentar lalu meneguk minuman dinginnya. Hari ini cuaca di Semarang panas. Dalam beberapa hari ini hujan tidak mengguyur setelah terakhir kali membuat banjir di titik tertentu. Semilir angin membelai kulit Amira dan anak-anak rambutnya yang tidak terkuncir rapi ikut terbang terbawa. Ah, rasanya masih seperti mimpi bisa bertemu dengan pria ini. Amira tidak menyangka akan bertemu dengan mudah setelah sekian lama menunggu kabar darinya.“Jangan bilang kamu mengancamku?” Pria itu bertanya lalu tersenyum sinis. Menatap Amira yang tidak merasa terintimidasi seperti sebelumnya. Wanita ini kembali bangkit dari keterpurukannya dengan cepat. “Kamu penuh kejutan dan aku tidak berpikir tentang ini sebelumnya. Apa dia lebih baik dariku? Maksudnya, kamu yakin akan membersamainya setelah ta
Justin dan segala bentuk kejutannya yang tidak terduga.Amira kira obrolan memasak adalah omong kosong belaka. Nyatanya Justin melakukannya dengan sungguh-sungguh dan tanpa Amira duga. Melihat betapa seriusnya Justin memasak dan keringat kecil yang menempel di dahinya, Amira merasa sedikit panas. Amira merasakan gejolak yang tidak tahu dari mana arah datangnya."Kamu nggak capek cuma berdiri di situ saja?"Suara Justin membuat Amira terkesiap. Kedua matanya berkedip beberapa kali sebelum memutus tatapannya kepada Justin."Sebentar lagi selesai."Amira berjalan menuju kursi yang tepat berada dihadapan Justin."Aku pikir cuma bercanda soal memasak ini."Justin tersenyum miring."Sejak kapan aku bercanda soal semuanya?"Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Justin tidak pernah mengabulkan apa yang Amira inginkan bahkan saat Amira tidak menginginkannya. Justin dengan sendirinya melakukannya. Tanpa Amira harus memohon atau pun menjatuhkan harga dirinya. Sekali lagi, Justin sangat menjaga
"Aku nggak berani berharap lebih ke kamu," ucap Justin di sore hari. Sambil menyesap kopi panasnya, Justin edarkan pandangan matanya ke taman samping rumahnya. "Aku takut kamu makin terbebani."Amira yang mendengarnya hanya diam. Ada perasaan sakit dan perih tapi Amira sadar bahwa mungkin ini yang terbaik. Jika Justin sudah memutuskan demikian maka yang bisa Amira lakukan hanyalah menghormati pilihannya."Tapi bukan berarti aku menyerah," sambung Justin yang membuat Amira menutup mulutnya lagi. "Aku berhenti berharap bukan artinya aku melepaskan kamu tapi aku memberi waktu untuk kamu berpikir. Jika aku terus mencurahimu dengan perhatian berlebihan, kamu akan merasa risih."Benar. Apa yang Justin katakan sedang menggambarkan diri Amira yang sebenarnya. Karena tidak mudah jatuh cinta, maka saat Amira menyukai seseorang akan bertindak bodoh."Kamu harus menyayangi dirimu sendiri. Mulai sekarang kamu bisa menikmati waktu dan apa pun yang kamu inginkan tapi tolong selalu libatkan aku.""Ke
Hidup seperti apa yang diinginkan setiap orang?Jawabannya berbeda-beda. Tidak semua kehidupan yang diinginkan tiap-tiap orang sama. Perbedaan prinsip, cara pandang atau bahkan perdebatan-perdebatan kecil yang mengarah pada panutan hidup tiap orang.Begitu juga dengan Amira dan Key, teman masa kecilnya yang baru saja kembali dari luar negeri. Key menyelesaikan studynya di Paris dan kembali ke Indonesia untuk menikah."Kamu yakin nggak mau nikah?" tanya Key dengan ekspresi wajah mengejek. "Kamu harus tahu serunya menikah," lanjut Key dengan santainya.Amira tidak menanggapi dengan serius. Tangannya sibuk menyuap salad buah ke dalam mulutnya. Pandangan matanya mengedar ke seluruh penjuru kafe di mana keduanya bertemu. "Seru kalau sama orang yang tepat.""Justin nggak tepat?"Amira mendelikkan matanya kesal. Hampir-hampir meninju wajah Key yang tertawa penuh ejekan."Yang kamu tunggu apa, sih, Mir?""Konyol!" balas Amira. "Pertanyaan nggak mutu.""Bagian mana yang nggak mutu?""Buang-bu
Acara makan malam berjalan dengan lancar. Obrolannya seputar bisnis dan diselingi candaan sesekali. Amira lebih banyak diam dan menjawab saat diajukan pertanyaan. Makan malam kali ini Amira menikmati pertemuan dengan keluarganya. padahal biasanya bukan hal yang Amira sukai saat berkumpul seperti ini.Apa karena Justin diterima di keluarganya?Amira tidak mau memikirkan asumsinya yang masih dini. Yang terus Amira lakukan adalah memasukkan makanan yang telah dihidangkan oleh chef keluarganya. Jika lidahnya menerima rasanya maka Amira bereaksi dengan memejamkan kedua matanya, jika tidak Amira akan mengunyah dengan perlahan."Kamu mual?" tanya Justin berbisik rendah.Ekspresi wajahnya penuh khawatir saat Amira menolehkan kepalanya."Enggak.""Kunyahan kamu nggak excited.""Makanan ini nggak bisa nyatu sama lidahku."Amira ambil pudding orange yang ada dihadapan Justin dan memasukkan ke mulutnya. Kali ini kedua matanya terpejam yang artinya enak."Yang ini enak," ucap Amira sambil memasukk
Sekali pun menunjukkan reaksi yang enggan untuk Amira hadir di acara makan malam keluargnya, nyatanya di pukul tujuh malam tepat Amiratelah siap dengan dress hitamnya yang mencetak lekuk tubuhnya. Sedikit berisi karena hamil namun tidak mengurangi keseksiannya.Justin yang melihat Amira berdandan rapi tertegun bingung. Tidak, bukan cuma itu. Justin lebih mengagumi tubuh Amira yang seksi."Yuk," ajakan Amira terdengar santai."Ke mana?" balas Justin masih dengan ekspresi wajah bingung."Makan.""Di mana?"Amira berdecak kesal. Wajahnya yang sejak menuruni tangga berekspresi datar kini menampilkan kekesalan."Kamu yang ngoto minta kita datang ke acara makan malam keluarga, kamu juga yang lupa?" Pertanyaan serupa dengan pernyataan ini membuat Justin mengerutkan dahinya."Aku nggak pernah maksa atau minta kamu datang. Cuma memberi pilihan saja kalau kamu mau.""Buktinya aku mau!" Amira dan keras kepalanya yang tidak bisa dibantah oleh siapa pun."Syukur, deh."Justin masih berlagak sant
Menikah adalah takdir bukan pilihan.Menikah itu perlu karena kita tidak mungkin selalu sendiri.Menikah itu tidak semenakutkan yang ada dipikiran kita. Menakutkan jika kamu tidak bersama dengan orang yang kamu mau atau orang yang tepat.Pernah dengar kalimat menikahlah dengan orang yang mau denganmu? Katanya itu lebih manjur dan berjalan awet hingga ajal menjemput.Menikah itu kodrat.Amira tertawa getir. Senyum dibibirnya yang kecil merekah namun jika diperhatikan secara saksama ada kengerian di dalamnya. Wanita dengan dress hitamnya itu berdiri sembari mengusapi perutnya yang mulai membuncit.“Sayangnya aku lebih siap menjadi seorang ibu ketimbang harus menikah,” gumamnya lirih hampir tidak terdengar.“Susumu.” Suara Justin dari balik tubuh mungil Amira muncul. “Masih hangat.” Justin sodorkan gelas yang dibawanya dari dapur. Amira membalikkan tubuhnya dan menatapi Justin dengan intens. Tidak ada ekspresi apa pun dari wajah Amira sehingga Justin mengerutkan keningnya.“Mak
“Siapa yang bilang?”Amira masukkan potongan pangsit ke dalam mulutnya. Mengunyahnya perlahan guna meresapi rasa daging yang berbumbu.“Banyak yang seliweran.”“Jawaban kamu nggak masuk akal.”“Kenapa gitu?”“Sekarang coba pikir, yang bikin kata-kata itu manusia, ‘kan? Cuma lewat pengalaman yang dia alami. Benar, sih, dia mencurahkan isi hatinya tapi nggak serta merta kita menelannya mentah-mentah. Ada kok yang pernikahannya berhasil dan bahagia. Badainya? Nggak perlu kamu tanya sudah berapa banyak maaf dan terus memperbaiki diri. Karena kalau sudah memutuskan untuk menikah, risiko dan segala cobaan di dalamnya akan kita hadapi. Tinggal caranya saja yang gimana."Amira tetap tidak peduli. Baginya pernikahan adalah momok menakutkan yang dihindarinya. Hamil di luar nikah bukan suatu aib baginya. Amira akan tetap cuek dengan penilaian orang bahkan jika itu keluarganya sendiri. Amira sukses dan finansialnya lebih dari cukup. Zaman sekarang apa pun bisa dibeli dengan uang."Justin lebih da
“Menikah itu nasib.”Amira terkekeh mendengarnya.“Bagiku menikah itu pilihan.”“Pikirkan masa tuamu nantinya.”“Menikah atau tidak bukan hak orang lain untuk mencampuri.”“Bukan ikut campur hanya memberi nasihat.”“Nasihat yang sedikit memaksa.”“Nggak ada maksud kayak gitu, Mir. Aku peduli karena tahu rasanya kesepian.”“Kalau sudah biasa sendiri, apa salahnya menjadi kesepian. Aku pikir nggak ada yang aneh sama itu.”“Mir!?”“Semua kembali ke diri masing-masing. Memangnya menikah jadi jaminan kamu bahagia? Kamu menikah, kamu juga harus menikahi orang yang kamu cintai.”“Itu makanya aku bilang menikah itu nasib.”“Lebih tepatnya kesialan, sih.”“Aku tahu kamu terluka tapi jangan dinilai sama rata kayak gini dong. Tiap orang yang datang ke kehidupan kita selalu ngasih pelajaran. Mereka datang nggak sekadar datang.”Amira teguk es tehnya. Cuaca panas sedang menyelimuti Jakarta. Padahal di daerah lain sudah sering diguyur hujan. Jakarta hanya menunggu banjir datang dan se
“Kalau sama orang yang salah saja kamu bisa setulus ini gimana sama orang yang tepat?”Adalah kalimat terakhir yang Amira dengar sebelum Justin hengkang.Sejenak Amira bimbang. Ragu untuk melangkah namun mustahil berjalan ditempat. Justin membuatnya ragu dan ingin maju tapi juga takut untuk semua risiko yang sudah menunggu.“Justin itu baik banget,” ucap Nita—sahabat Amira yang baru kembali dari studynya di Singapura. “Dia kelihatan tulus sama kamu. Cuma kamunya saja yang belum siap buat membuka diri.”“Setelah semua ini?” Amira perlihatkan perutnya yang mulai kelihatan. “Aku punya trauma yang aku sendiri nggak tahu kapan mau sembuh.”“Trauma nggak bisa sembuh total. Seumur hidup dia bakal menghantui kamu. Tinggal gimana kamunya dalam mengambil langkah. Life must go on, Mir. Kamu nggak bisa terus-terusan kejebak di masa kelam. Justin itu masa depan sedangkan yang jadi ketakutanmu adalah dirimu sendiri. Semua tergantung gimana kamu.”Amira diam. Apa yang Nita katakan benar adanya. Kala