“Mereka itu cocok, ‘kan?” ucap teman Mamanya yang Justin ingat namanya Kanina. Wanita paruh baya dengan kemeja santainya namun terlihat elegan itu tersenyum ke arah Justin yang mendapat balasan segaris dari bibir Justin. “Siapa dulu yang mengusulkan ide ini lebih dulu? Aku dan Juan hanya berpikir jika ini candaan semata.”
Justin memotong dengan malas steaknya lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Kunyahannya lambat namun cukup memberi kesan jika pria 30 tahunan itu ingin cepat-cepat hengkang dari pertemuan membosankan ini. Sudah berapa kali dalam satu bulan Mamanya membawanya ke dalam obrolan bisnis? Justin tidak sempat menghitungnya karena terlalu sering.
Tami, Mama Justin membalas dengan senyum merekah di bibirnya yang berpoles lipstik merah lembut. “Andre yang pertama kali berpikir begitu. Aku juga sepemikiran denganmu. Kupikir, semuanya tidak perlu kita atur toh pada akhirnya nanti mereka akan bertemu dan berkenalan. Ah, aku merasa tertekan membesarkan Justin yang dingin dan tidak pedulian. Aku harap Amira tidak terlalu sakit hati dengan sikap Justin.”
Yang namanya disebut dan merasa terpanggil hanya diam saja. Melakukan aktivitas yang sama seperti yang Justin lakukan, wanita berusia 29 tahun dengan dress hitamnya itu meneguk winenya. Makan malam kali ini tidak jauh berbeda dengan makan malam sebelumnya. Hanya berganti orangnya saja. Nasib Amira Meena bisa dikatakan sama persis dengan Justin. Bedanya hanyalah Amira mempunyai pikiran ekstrem bahwa menikah adalah bencana.
Kanina memandangi Amira lalu beralih pada Justin yang berekspresi datar. “Aku tidak menyangka jika mereka sudah tumbuh menjadi sesukses sekarang. Amira dalam pandanganku masih bocah berusia lima tahun yang hobi merengek meminta mainan milik Kakaknya.”
Tami tertawa. Meletakkan pisau dan garpunya lalu melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Kanina. “Kamu benar, Nina. Kita semakin tua dan mereka semakin bertumbuh. Rasanya aku ingin mengembalikan mereka ke masa di mana suara rengekannya memekakkan telinga.”
Bak badut yang sedang ditanggap, Justin dan Amira hanya menjadi pendengar. Kedua Mama mereka bercengkerama dengan asiknya tanpa memusingkan perasaan Justin dan Amira atau sekadar bertanya, apakah kalian mau melanjutkan perjodohan ini? Basa-basi nampaknya tidak berlaku di sini.
“Aku ingin mencari udara segar,” pamit Amira yang langsung hengkang setelah memundurkan kursinya. Berjalan menjauh dari meja di mana makan malam bisnis itu berlangsung.
“Aku juga.”
Bariton berat itu masuk ke dalam rungu Amira dengan langkah kaki membuntuti dirinya di belakang. Senyum menyeringai di bibir Amira terlukis tanpa sadar dan tepat saat keluar dari pintu restoran itu, langkah Amira terhenti begitu juga dengan milik Justin. Dengan santai, Amira layangkan pandangannya ke suasana luar restoran yang sunyi. Lampu-lampu taman berpendar menambah nuansa sejarah meski langit malam telah membungkus. Amira balikkan tubuhnya dan menatapi Justin dengan saksama.
“Jangan melakukan apa pun!” perintah Amira dengan suara rendah. Mata sayunya menatap Justin penuh selidik. “Ini hidupmu dan kamu bisa memulai segalanya dengan pilihanmu sendiri. Aku heran, apa kamu selalu menjadi seperti ini?”
“Seperti ini yang bagaimana menurutmu?” tanya Justin dengan wajah kebingungan. Pasalnya, Amira menyatakan tentang dirinya tanpa memberi penjabaran yang mudah dipahami. “Apa kita saling mengenal sebelumnya?”
Oh, itu cukup menohok. Amira mendecakkan lidahnya tidak peduli jika sikapnya terkesan tidak sopan. Amira memalingkan wajahnya dari tatapan Justin yang dingin lalu mengedikkan bahunya tidak peduli. Jikapun pernah saling mengenal, Amira tidak ingin memberi penjelasan untuk ingatan Justin mengorek masa lalu.
“Aku rasa itu tidak penting. Aku hanya berkata asal dan sebaiknya kamu bisa bertindak lebih tegas sebagai seorang pria,” balas Amira tak kalah pedasnya.
Mata Justin melotot tak terima mendengar balasan Amira yang cukup menggelitik harga dirinya. Bibir wanita itu seksi namun mengandung racun yang cukup mematikan. Ah, atau mungkin itu alasan hingga detik ini masih betah menjomblo? Mana ada pria yang mau dengan wanita bermulut racun sepertinya.
Justin berdecih dengan memalingkan wajahnya. Tidak peduli soal Amira yang tersinggung dan sakit hati dengan tingkahnya.
“Apa kamu selalu bertingkah arogan seperti ini? Kamu lupa jika kamu wanita?” hardik Justin. “Katanya, wanita itu rawan. Perilaku mereka selalu dilirik oleh masyarakat untuk kemudian dijadikan bahan obrolan. Kamu tidak takut dengan penilaian buruk seperti itu?”
Amira menoleh. Menatapi Justin dari atas hingga bawah lalu kembali merajut mata dengan milik pria itu. Ada pemikiran lain yang Amira sematkan untuk Justin setelah mendengar pria itu berkata panjang lebar.
“Apa kamu selalu bersikap sehangat ini kepada para wanita?” Mata Amira berkedip lucu. “Kamu tidak sadar, ya, jika kita baru saja bertemu. Ini adalah pertama kalinya kita bertemu dan kamu sudah sangat peduli padaku. Kenapa aku merasa itu aneh, ya? Begini, lebih jelasnya adalah sorot mata kamu saat di dalam beberapa menit yang lalu dengan yang sekarang terlihat berbeda. Apa kamu memang selalu bersikap seperti itu di hadapan Mamamu dan sehangat ini di depan orang baru? Kamu punya masalah dengan itu?”
Justin tertegun. Kepalanya pasti terbentur sesuatu sehingga meracau tidak karuan seperti itu. Kenapa Amira? Bayangkan! Wanita yang baru pertama kali Justin temui dan rasa pedulinya muncul secara tiba-tiba. Justin gila! Justin Brotolaras bukan pria bertipe seperti itu bahkan kepada Seina saja tidak demikian.
“Kamu pasti kesepian,” ejek Amira yang mendudukkan tubuhnya di kursi tak jauh dari Justin berdiri. “Kamu keluar dari zona yang telah lama kamu beri sekat tanpa bisa mengendalikan.”
“Apa maksudmu!?” Justin bertanya dengan tegas. Desisan di akhir kalimat cukup membuat Amira mengangkat kepalanya penuh keheranan. “Kamu memberiku penilaian seolah-olah kamu yang paling mengenal aku. Kamu pikir itu hebat?”
“Bagaimanapun, aku memang hebat dalam beberapa hal. Jangan heran jika aku menarik kesimpulan sedangkal sungai. Kamu pantas aku nilai demikian karena bahasa tubuhmu mengatakan yang seperti itu. Akui saja jika kamu memang kesepian. Katakan saja jika kamu mencintai wanita lain dan tidak bisa menyatakan perasaan terpendammu. Sebagai pria, seharusnya kamu gantle untuk mengambil tindakan. Bukan malah menuruti maunya Mamamu.”
Wah, Justin tidak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari Amira. Wanita arogan itu baru saja menunjukkan taringnya yang menyatakan jika kualitas hidupnya jauh lebih tinggi daripada milik Justin. Sejenak Justin terdiam dan berdiri di tempatnya denga nisi kepala yang berkecamuk. Harga diri Justin amblas ke dasar bumi karena Amira menilainya begitu rendah.
“Aku hanya mencoba menyenangkan mereka. Bukankah kamu juga begitu?” Amira mengangguki pertanyaan Justin. “Jika tidak, mana mungkin kamu hadir di sini,” kekeh Justin. “Lalu kamu, apa tujuanmu dengan semua ini?”
“Kenapa bukan Mama saja?” tanya Justin menanggapi omelan Tami yang menurutnya terlalu sering dilakukan.Tidak sekali, dua kali ketika selesai dalam pertemuan makan malam dengan teman beserta anaknya, Tami akan mengomel bak truk tronton kehilangan kendali remnya. Dan Justin yang terbiasa diam serta enggan menyuarakan kekesalannya, malam ini meledak tanpa bisa dicegah.“Kamu ngelawan Mama?!” teriak Tami cukup histeris. Sikap dramatis Tami tidak Justin ambil pusing. Mamanya sudah terbiasa bersikap yang begitu dan kenyang menjadi satu-satunya kesimpulan yang selalu Justin berikan. “Kamu itu sudah 30 tahun, Justin, 30 tahun! Dan kamu masih santai seperti tidak punya hasrat untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih baik lagi. Kenapa bisa Mama melahirkan kamu yang bebal seperti ini, sih!?”“Dan memangnya aku pernah meminta dilahirkan dari rahim Mama!” Justin berucap sarkas namun itu jelas mengacu pada kenyataan yang ada di hadapannya saat ini. “Jika Mama mengenalku, tidak perlu Mama mendesak
“Ayo makan,” ajak Amira yang siang itu masuk ke ruangan rapan Justin tanpa izin apa lagi mengetuk pintu.Wajahnya yang songong menjadi pusat perhatian para klien Justin yang hari itu sedang melakukan rapat penting. Alih-alih peduli dan risih lantaran mendapat perhatian dari semua orang, Amira justru berdiri dengan santai. Tubuhnya bersandar di pintu seraya memperhatikan kuku-kukunya yang baru saja diwarnai.Justin hanya bergeming di tempatnya. Tanpa berniat berdiri dari duduknya dan menegur perilaku Amira yang sembrono. Justin justru di buat penasaran dan berpikir harus melakukan apa kepada Amira. Wanita itu cukup punya nyali untuk menghampiri dirinya di kantor. Sejauh ingatan Justin, selama ini tidak banyak wanita yang berani menerobos kantornya.“Kita akhiri sampai di sini.”Barulah Amira hengkang dari tempatnya berdiri. Duduk di kursi depan ruangan rapat menunggu Justin keluar. Satu per satu orang yang duduk di kursi rapat pergi dengan gunjingan yang tidak Amira pusingkan. Mereka h
“Kamu hamil?” tanya Justin dengan bibir tersungging mengejek Amira yang menatapnya tanpa berkedip. “Dan kamu ingin aku bertanggung jawab, begitu?”“Mau nggak?!” Amira berseru cukup lantang yang membuat Justin memundurkan kepalanya heran. “Toh kamu dipaksa untuk menikah demi mewarisi seluruh harta kekayaan Brotolaras, ‘kan? Dan bahagianya, Mamamu akan mendapatkan cucu sekaligus.”Justin pernah mendengar temannya berkata jika kaum hawa memang penghuni bumi yang paling sulit untuk ditebak apa maunya. Mereka adalah sekumpulan manusia yang mencari penyakit telah menciptakan sebuah masalah. Mereka bertindak arogan padahal tahu tidak ada tameng di dalam dirinya saat sebuah fakta diungkapkan. Mereka akan menangis tersedu-sedu sambil menyalahkan kaum adam dengan berseru: kamu jahat!“Siapa?” Justin menoleh dengan tangan meremas kemudinya kuat-kuat. Amira melihatnya dengan jelas hingga buku-buku kuku Justin memutih. “Siapa yang melakukan itu padamu? Aku tahu kamu bukan wanita bebas bak jalang d
“Muminya pindah ke sini, ya?” tanya sebuah suara yang tetap membuat Amira bergeming di tempatnya. “Aku baru tahu wabahnya telah menyerang Semarang.”Barulah Amira mendongakkan kepalanya diiringi senyuman tipis yang canggung. Bak maling tertangkap basah, Amira menolehkan kepalanya ke arah jam digital di atas mejanya. Oh, sekarang Amira tersadar kenapa pria ini berada di kantornya. Rupanya Amira yang terlambat dapat ke ruang rapat.“Tersadar, eh?” kekehnya dengan wajah penuh ejekan. “Aku pikir kamu orang yang disiplin dan selalu memanfaatkan waktu yang kamu miliki. Siapa yang sangka kamu bisa seceroboh ini?”“Hm, aku ceroboh,” aku Amira yang cepat-cepat berdiri dari duduknya. “Ini, ‘kan yang kamu butuhkan?” Amira bubuhkan tanda tangan miliknya setelah semalam membaca isi kontraknya. “Ada beberapa yang harus kamu revisi termasuk nominal uang yang tertera. Jangan terlalu menekan pihak lawan atau mereka akan membalas secara diam-diam. Dunia bisnis tidak seaman yang kamu bayangkan. Banyak l
“Muminya pindah ke sini, ya?” tanya sebuah suara yang tetap membuat Amira bergeming di tempatnya. “Aku baru tahu wabahnya telah menyerang Semarang.”Barulah Amira mendongakkan kepalanya diiringi senyuman tipis yang canggung. Bak maling tertangkap basah, Amira menolehkan kepalanya ke arah jam digital di atas mejanya. Oh, sekarang Amira tersadar kenapa pria ini berada di kantornya. Rupanya Amira yang terlambat dapat ke ruang rapat.“Tersadar, eh?” kekehnya dengan wajah penuh ejekan. “Aku pikir kamu orang yang disiplin dan selalu memanfaatkan waktu yang kamu miliki. Siapa yang sangka kamu bisa seceroboh ini?”“Hm, aku ceroboh,” aku Amira yang cepat-cepat berdiri dari duduknya. “Ini, ‘kan yang kamu butuhkan?” Amira bubuhkan tanda tangan miliknya setelah semalam membaca isi kontraknya. “Ada beberapa yang harus kamu revisi termasuk nominal uang yang tertera. Jangan terlalu menekan pihak lawan atau mereka akan membalas secara diam-diam. Dunia bisnis tidak seaman yang kamu bayangkan. Banyak l
“Kamu hamil?” tanya Justin dengan bibir tersungging mengejek Amira yang menatapnya tanpa berkedip. “Dan kamu ingin aku bertanggung jawab, begitu?”“Mau nggak?!” Amira berseru cukup lantang yang membuat Justin memundurkan kepalanya heran. “Toh kamu dipaksa untuk menikah demi mewarisi seluruh harta kekayaan Brotolaras, ‘kan? Dan bahagianya, Mamamu akan mendapatkan cucu sekaligus.”Justin pernah mendengar temannya berkata jika kaum hawa memang penghuni bumi yang paling sulit untuk ditebak apa maunya. Mereka adalah sekumpulan manusia yang mencari penyakit telah menciptakan sebuah masalah. Mereka bertindak arogan padahal tahu tidak ada tameng di dalam dirinya saat sebuah fakta diungkapkan. Mereka akan menangis tersedu-sedu sambil menyalahkan kaum adam dengan berseru: kamu jahat!“Siapa?” Justin menoleh dengan tangan meremas kemudinya kuat-kuat. Amira melihatnya dengan jelas hingga buku-buku kuku Justin memutih. “Siapa yang melakukan itu padamu? Aku tahu kamu bukan wanita bebas bak jalang d
“Ayo makan,” ajak Amira yang siang itu masuk ke ruangan rapan Justin tanpa izin apa lagi mengetuk pintu.Wajahnya yang songong menjadi pusat perhatian para klien Justin yang hari itu sedang melakukan rapat penting. Alih-alih peduli dan risih lantaran mendapat perhatian dari semua orang, Amira justru berdiri dengan santai. Tubuhnya bersandar di pintu seraya memperhatikan kuku-kukunya yang baru saja diwarnai.Justin hanya bergeming di tempatnya. Tanpa berniat berdiri dari duduknya dan menegur perilaku Amira yang sembrono. Justin justru di buat penasaran dan berpikir harus melakukan apa kepada Amira. Wanita itu cukup punya nyali untuk menghampiri dirinya di kantor. Sejauh ingatan Justin, selama ini tidak banyak wanita yang berani menerobos kantornya.“Kita akhiri sampai di sini.”Barulah Amira hengkang dari tempatnya berdiri. Duduk di kursi depan ruangan rapat menunggu Justin keluar. Satu per satu orang yang duduk di kursi rapat pergi dengan gunjingan yang tidak Amira pusingkan. Mereka h
“Kenapa bukan Mama saja?” tanya Justin menanggapi omelan Tami yang menurutnya terlalu sering dilakukan.Tidak sekali, dua kali ketika selesai dalam pertemuan makan malam dengan teman beserta anaknya, Tami akan mengomel bak truk tronton kehilangan kendali remnya. Dan Justin yang terbiasa diam serta enggan menyuarakan kekesalannya, malam ini meledak tanpa bisa dicegah.“Kamu ngelawan Mama?!” teriak Tami cukup histeris. Sikap dramatis Tami tidak Justin ambil pusing. Mamanya sudah terbiasa bersikap yang begitu dan kenyang menjadi satu-satunya kesimpulan yang selalu Justin berikan. “Kamu itu sudah 30 tahun, Justin, 30 tahun! Dan kamu masih santai seperti tidak punya hasrat untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih baik lagi. Kenapa bisa Mama melahirkan kamu yang bebal seperti ini, sih!?”“Dan memangnya aku pernah meminta dilahirkan dari rahim Mama!” Justin berucap sarkas namun itu jelas mengacu pada kenyataan yang ada di hadapannya saat ini. “Jika Mama mengenalku, tidak perlu Mama mendesak
“Mereka itu cocok, ‘kan?” ucap teman Mamanya yang Justin ingat namanya Kanina. Wanita paruh baya dengan kemeja santainya namun terlihat elegan itu tersenyum ke arah Justin yang mendapat balasan segaris dari bibir Justin. “Siapa dulu yang mengusulkan ide ini lebih dulu? Aku dan Juan hanya berpikir jika ini candaan semata.”Justin memotong dengan malas steaknya lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Kunyahannya lambat namun cukup memberi kesan jika pria 30 tahunan itu ingin cepat-cepat hengkang dari pertemuan membosankan ini. Sudah berapa kali dalam satu bulan Mamanya membawanya ke dalam obrolan bisnis? Justin tidak sempat menghitungnya karena terlalu sering.Tami, Mama Justin membalas dengan senyum merekah di bibirnya yang berpoles lipstik merah lembut. “Andre yang pertama kali berpikir begitu. Aku juga sepemikiran denganmu. Kupikir, semuanya tidak perlu kita atur toh pada akhirnya nanti mereka akan bertemu dan berkenalan. Ah, aku merasa tertekan membesarkan Justin yang dingin dan tidak pe