“Kenapa bukan Mama saja?” tanya Justin menanggapi omelan Tami yang menurutnya terlalu sering dilakukan.
Tidak sekali, dua kali ketika selesai dalam pertemuan makan malam dengan teman beserta anaknya, Tami akan mengomel bak truk tronton kehilangan kendali remnya. Dan Justin yang terbiasa diam serta enggan menyuarakan kekesalannya, malam ini meledak tanpa bisa dicegah.
“Kamu ngelawan Mama?!” teriak Tami cukup histeris. Sikap dramatis Tami tidak Justin ambil pusing. Mamanya sudah terbiasa bersikap yang begitu dan kenyang menjadi satu-satunya kesimpulan yang selalu Justin berikan. “Kamu itu sudah 30 tahun, Justin, 30 tahun! Dan kamu masih santai seperti tidak punya hasrat untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih baik lagi. Kenapa bisa Mama melahirkan kamu yang bebal seperti ini, sih!?”
“Dan memangnya aku pernah meminta dilahirkan dari rahim Mama!” Justin berucap sarkas namun itu jelas mengacu pada kenyataan yang ada di hadapannya saat ini. “Jika Mama mengenalku, tidak perlu Mama mendesakku sampai seperti ini. Menikah itu jelas akan aku lakukan tapi nanti. Lagi pula Mama begitu terburu ingin aku menikah tujuannya hanya demi mendapatkan cucu, ‘kan?”
“Kamu!” Tami semakin histeris di buatnya. Perkataan Justin tidak tersaring dengan baik dan meluncur tanpa dosa. “Gunakan otak kamu, Justin! Jika hanya karena cucu, Mama tidak akan menjadi gila seperti saat ini. Tapi kamu tahu apa yang terjadi di rumah!? Kamu melihat bagaimana keluarga kita terbentuk dan dengan entengnya kamu masih memikirkan soal cucu yang Mama inginkan? Gila! Mama benar-benar tidak waras dengan mempertahankan kamu jika mendapat balasan yang menyakitkan seperti ini!”
Mendengar itu, Justin sadar jika Tami sedang melakukan aksi merajuknya. Sekali lagi Justin katakan, jika hal itu pun sudah biasa Justin dengar. Tidak ada waktu untuk sakit hati apa lagi mengeluhkan keadaan yang membelenggunya. Justin hanya perlu fokus pada karier dan dirinya sendiri. Setidaknya ketika di depak dari keluarga Brotolaras, ada ilmu dalam berbagai kemampuan yang dirinya bawa serta.
“Mungkin Mama harus lebih sadar jika semua ancaman yang Mama lakukan bisa memengaruhiku. Aku tidak hidup untuk masalah seremeh itu. Mama harus tahu, aku sudah lebih dari siap jika harus dibuang seperti yang selalu Mama katakan. Lagi pula, aku tidak ingin membebani Mama. Kenapa tidak Mama gugurkan aku saat tahu ada yang hidup di perut Mama?” Justin bertanya yang membuat Tami semakin geram. “Karena Mama butuh Andre untuk mencukupi semua kebutuhan Mama. Mama butuh menjadi wanita kaya yang diakui oleh semua orang dan tentunya lingkungan yang selama ini Mama jalani. Jadi, Ma, berhenti menjadi munafik dengan terus menekanku. Aku akan menikah, dengan atau bukan pilihan Mama. Aku pria 30 tahun yang mempunyai jalan hidup dan akulah pemegang kendali untuk kehidupanku sendiri.”
Tami tertegun mendengarnya. Tidak biasanya Justin berkata panjang lebar seperti sekarang ini yang menandakan jika putra bungsunya benar-benar marah. Tami hanya menatapi wajah Justin dengan rahangnya yang mengeras. Tami tahu tapi tidak mau repot-repot peduli. Sekalipun benar yang dikatakan Justin, wanita mana yang ingin hidup susah di era terbatas ini? Tami hanya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang datang menujunya. Namun mulutnya yang mengandung emosi sudah menyentil sisi lain di diri Justin.
“Kamu harus tahu bahwa tidak semua kehidupan selalu berjalan mulus. Ada beberapa jalan terjal yang harus kamu lalui dan berbagai cobaan lainnya. Jadi jangan terlalu sombong bahwa kamu mampu melakukannya seorang diri. Kamu pikir berada di puncak ini tidak membutuhkan banyak pengorbanan? Kamu pikir untuk bisa naik dan setara dengan saudaramu, Mama hanya diam saja dan rela diinjak-injak? Tidak Justin. Ada banyak cara yang Mama lakukan dan yang Mama inginkan hanyalah, kamulah pemegang perusahaan. Karena hanya kamu kandidat yang paling tepat untuk menggantikan kepemimpinan Andre,” tutur Tami panjang lebar yang terlalu sering diucapkan.
Justin terkekeh sinis. Cara pikir Tami yang hanya berisi tentang harta dan bersenang-senang tidak mau tahu tentang fakta yang telah lama beredar. Tidak terbantahkan namun Tami selalu angkuh dengan rasa percaya dirinya yang tinggi.
“Mama yakin itu bisa atau Mama bisa membuat aku berada di puncak? Aku harus menjadi pemimpin dan berada di atas Rangga dan Anggi. Mama yakin dengan itu? Buktikan jika memang Mama bisa karena aku tidak suka pekerjaan setengah-setengah dengan janji manis. Aku tidak akan banyak membual selama Mama mampu melakukannya. Aku akan menikahi wanita manapun yang Mama bawakan ke hadapanku.”
***
“Mama bercanda, ‘kan?” tanya Amira yang baru saja menapaki lantai marmer rumah kedua orang tuanya. “Mama tidak sedang mendorongku ke jurang dengan menikahi Justin, ‘kan? Ma, ayolah, sadar! Ini bukan zamannya Mama dan Papa yang memaksakan setiap kehendak. Aku juga punya kehidupan yang ingin aku jalani dan menikah bersama orang yang aku pilih.”
“Memangnya kamu punya? Dari perusahaan mana, berapa saham yang dia miliki, apa dia setara dengan kita? Lebih kondang dari perusahaan Justin? Bawa ke hadapan Mama.” Kanina tidak mau rugi melepaskan Amira dengan pria sembarangan yang tidak berbobot. “Sementara Justin, dia tidak datang menawarkan diri ataupun kamu yang Mama bawa ke hadapan keluarga Brotolaras. Tapi kamu tahu siapa Andre Brotolaras? Dia yang meminta kamu dan Justin untuk bersama.”
“Aku tidak peduli, Mama,” jawab Amira dengan mata berapi-api penuh ketegasan. “Entah mereka atau mungkin Mama dan Papa sekalipun. Dia bukan orang yang aku mau. Aku tidak memiliki rasa yang khusus sehingga harus membersamainya. Dan lagi pula, Mama pasti yang paling tahu daripada aku jika Tami bukan istri sah yang sebenarnya.”
Mata Kanina melotot. Terkejut dengan penuturan Amira yang membuat putri semata wayangnya terkekeh penuh kemenangan. Kanina tidak tahu jika Amira bisa membalasnya hingga membuatnya terdiam. Kanina pikir, Amira tetaplah seorang anak yang penurut dan mau mendengarkan setiap permintaannya. Meski tidak semua yang Kanina perintahkan selalu Amira turuti, seharusnya masa lalu Tami tidak perlu masuk ke rungu Amira.
“Kamu tahu dari mana?” tanya Kanina penasaran. “Jangan dengarkan gosip yang tidak valid. Kamu menolak artinya kamu menentang Papamu. Amira, dengarkan Mama sekali ini saja, oke? Mama benar-benar serius ingin kamu bersama Justin karena hanya dengan begitu, bisnis Papamu akan tertolong. Tidak ada perusahaan lain selain milik keluarga Brotolaras yang mau membantu Papamu dan hanya kamu harapan kami satu-satunya.”
“Pernikahan bisnis, ya? Mama dan Papa menjualku kepada keluarga mereka? Apa Mama tahu jika anak tertua mereka sering berulah dengan beberapa wanita dan kabar terakhir yang aku dengar, dia memperkosa adiknya sendiri. Lalu bagaimana denganku?”
“Ayo makan,” ajak Amira yang siang itu masuk ke ruangan rapan Justin tanpa izin apa lagi mengetuk pintu.Wajahnya yang songong menjadi pusat perhatian para klien Justin yang hari itu sedang melakukan rapat penting. Alih-alih peduli dan risih lantaran mendapat perhatian dari semua orang, Amira justru berdiri dengan santai. Tubuhnya bersandar di pintu seraya memperhatikan kuku-kukunya yang baru saja diwarnai.Justin hanya bergeming di tempatnya. Tanpa berniat berdiri dari duduknya dan menegur perilaku Amira yang sembrono. Justin justru di buat penasaran dan berpikir harus melakukan apa kepada Amira. Wanita itu cukup punya nyali untuk menghampiri dirinya di kantor. Sejauh ingatan Justin, selama ini tidak banyak wanita yang berani menerobos kantornya.“Kita akhiri sampai di sini.”Barulah Amira hengkang dari tempatnya berdiri. Duduk di kursi depan ruangan rapat menunggu Justin keluar. Satu per satu orang yang duduk di kursi rapat pergi dengan gunjingan yang tidak Amira pusingkan. Mereka h
“Kamu hamil?” tanya Justin dengan bibir tersungging mengejek Amira yang menatapnya tanpa berkedip. “Dan kamu ingin aku bertanggung jawab, begitu?”“Mau nggak?!” Amira berseru cukup lantang yang membuat Justin memundurkan kepalanya heran. “Toh kamu dipaksa untuk menikah demi mewarisi seluruh harta kekayaan Brotolaras, ‘kan? Dan bahagianya, Mamamu akan mendapatkan cucu sekaligus.”Justin pernah mendengar temannya berkata jika kaum hawa memang penghuni bumi yang paling sulit untuk ditebak apa maunya. Mereka adalah sekumpulan manusia yang mencari penyakit telah menciptakan sebuah masalah. Mereka bertindak arogan padahal tahu tidak ada tameng di dalam dirinya saat sebuah fakta diungkapkan. Mereka akan menangis tersedu-sedu sambil menyalahkan kaum adam dengan berseru: kamu jahat!“Siapa?” Justin menoleh dengan tangan meremas kemudinya kuat-kuat. Amira melihatnya dengan jelas hingga buku-buku kuku Justin memutih. “Siapa yang melakukan itu padamu? Aku tahu kamu bukan wanita bebas bak jalang d
“Muminya pindah ke sini, ya?” tanya sebuah suara yang tetap membuat Amira bergeming di tempatnya. “Aku baru tahu wabahnya telah menyerang Semarang.”Barulah Amira mendongakkan kepalanya diiringi senyuman tipis yang canggung. Bak maling tertangkap basah, Amira menolehkan kepalanya ke arah jam digital di atas mejanya. Oh, sekarang Amira tersadar kenapa pria ini berada di kantornya. Rupanya Amira yang terlambat dapat ke ruang rapat.“Tersadar, eh?” kekehnya dengan wajah penuh ejekan. “Aku pikir kamu orang yang disiplin dan selalu memanfaatkan waktu yang kamu miliki. Siapa yang sangka kamu bisa seceroboh ini?”“Hm, aku ceroboh,” aku Amira yang cepat-cepat berdiri dari duduknya. “Ini, ‘kan yang kamu butuhkan?” Amira bubuhkan tanda tangan miliknya setelah semalam membaca isi kontraknya. “Ada beberapa yang harus kamu revisi termasuk nominal uang yang tertera. Jangan terlalu menekan pihak lawan atau mereka akan membalas secara diam-diam. Dunia bisnis tidak seaman yang kamu bayangkan. Banyak l
Justin datang dengan sendirinya menemui Amira. Yang siang itu panas terik menyambangi Semarang dan sampai kapanpun Semarang dengan cargon ‘neraka bocor’ memang selalu melekat tanpa bisa dipisahkan. Bak perangko dan kertas surat yang selalu bersama. Semarang dan udara panasnya adalah perpaduan yang syahdu bak nyanyian pasangan kasmaran.“Makan siang?” Amira mengerutkan keningnya saat Justin menawarkan makan siang yang serupa dengan pertanyaan. Pria ini tidak bisakah langsung saja menyampaikan niatnya tanpa berkelit-kelit atau Amira yang selalu sensitif jika Justin berada di dekatnya?“Kapan?” tanya Amira membalas pertanyaan Justin. Dengan wajah juteknya, Amira tahu jika saat ini Justin berniat mengajaknya makan siang. Mungkin untuk mengakrabkan diri dan mengenal satu sama lain. “Aku lumayan sibuk.”“Aku tahu.” Justin tersenyum dan tetap berdiri di hadapan meja kerja Amira. “Kamu hanya sedang menghindariku dan mencari sejuta alasan agar ajakanku kamu tolak. Kenapa?” Justin melihat
Terbangun dari tidurnya di tengah malam, perasaan sedih melingkupi diri Amira. Perasaan itu campur aduk namun yang paling bertahta adalah kesedihan dan kesakitan. Tanpa alasan yang jelas, Amira ingin menangis sejadi-jadinya. Rasa sakitnya teramat dalam sehingga yang Amira rasakan adalah remasan sakit pada jantungnya. Bak di tusuk-tusuk kawat berduri, rasa sakitnya membuat Amira sesak napas. Amira ingin menyerah. Berhenti dan menghentikan semua yang saat ini ada di depan matanya. Namun faktanya, Amira akan menjadi manusia paling bodoh yang mengambil tindakan tanpa mau berpikir panjang. Amira masih memiliki hati nurani bahwa kehidupan berat tidak hanya menyapa dirinya. Mungkin saja di luar sana masih ada yang lebih daripada ini. Amira hanyalah bagian dari secuil biji sawi.“Mimpi buruk?” tanya sebuah suara dari arah samping Amira. “Minum.” Menyodorkan gelas berisi air, Amira menoleh dan mendapati Justin yang terduduk dengan wajah menahan kantuknya. “Kalau ada apa-apa, beritahu aku.”
Amira tidak tahu. Perasaannya bisa campur aduk seperti ini dan genangan liquid bening yang tengah menutupi pelupuk matanya mengaburkan segala pandangan di hadapannya. Kedua kaki Amira gemetar hebat dan membeku di tempat. Rasa sakit itu belum juga menghilang meski perlakuan manis Justin cukup membuatnya terkesan. Namun, Amira justru berpikir untuk mendorong Justin pergi. Amira tidak ingin bersama dengan siapapun di sini. Amira ingin sendiri dan hanya di peluk oleh rasa sakitnya saja. Amira ingin menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan rasa sakitnya.“Ayo, sarapan.” Justin membuka pintu kamarnya dan mendapati Amira yang duduk sedang mengusapi kedua pipinya dengan tangan. “Menangis?” tanya Justin dengan tebakan. “Kenapa? Ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman? Ingin sarapan di luar?”Justin tidak akan menjudge apa-apa saja yang Amira alami. Setiap orang berhak merasakan sedih dan rasa sakitnya. Setiap orang juga berhak untuk menangis agar sesak di dadanya bisa berkurang. Amira di mata J
“Tentang meminta maaf, apa yang kamu pikirkan tentang itu?” tanya Amira pada seorang pria yang telah lama ingin dirinya temui. “Kamu bersembunyi dengan sangat apik. Semarang seluas itu ternyata.”Amira terkekeh sebentar lalu meneguk minuman dinginnya. Hari ini cuaca di Semarang panas. Dalam beberapa hari ini hujan tidak mengguyur setelah terakhir kali membuat banjir di titik tertentu. Semilir angin membelai kulit Amira dan anak-anak rambutnya yang tidak terkuncir rapi ikut terbang terbawa. Ah, rasanya masih seperti mimpi bisa bertemu dengan pria ini. Amira tidak menyangka akan bertemu dengan mudah setelah sekian lama menunggu kabar darinya.“Jangan bilang kamu mengancamku?” Pria itu bertanya lalu tersenyum sinis. Menatap Amira yang tidak merasa terintimidasi seperti sebelumnya. Wanita ini kembali bangkit dari keterpurukannya dengan cepat. “Kamu penuh kejutan dan aku tidak berpikir tentang ini sebelumnya. Apa dia lebih baik dariku? Maksudnya, kamu yakin akan membersamainya setelah ta
“Kamu gila?!”“Ah, kamu mengejutkanku.”Kurang lebih begitulah para betina yang sedang mengaung. Amarah yang Amira tahan-tahan sejak tadi akhirnya tersembur keluar begitu Randy hengkang dari hadapannya. Menatap Justin lekat-lekat dengan napas yang memburu, Amira kesal setengah mati. Pria ini datang ke hidupnya jika sekadar untuk menjadi pasangan hidup, maka tidak akan menjadi masalah. Namun karena Justin datang dan merusak segala tatanan hidupnya, Amira sungguh-sungguh ingin membuang Justin ke kali Banjar Kanal. Masuk bui bukan suatu hal masalah yang besar asal Justin bisa lenyap dari jangkauannya.“Tidak seharusnya kamu menantang Randy. Kamu tahu apa akibatnya?” Beruntung sekali karena kafe di siang itu telah kembali sepi. Jam istirahat perkantoran telah usai sehingga mneyisakan beberapa pengunjung yang tidak duduk berdekatan dengan keberadaan Amira. “Dia itu gila, kamu tahu! Dia bisa melakukan apa saja yang bahkan kamu tidak akan menduganya sama sekali. Ya, aku mengakuinya. Aku s
Justin dan segala bentuk kejutannya yang tidak terduga.Amira kira obrolan memasak adalah omong kosong belaka. Nyatanya Justin melakukannya dengan sungguh-sungguh dan tanpa Amira duga. Melihat betapa seriusnya Justin memasak dan keringat kecil yang menempel di dahinya, Amira merasa sedikit panas. Amira merasakan gejolak yang tidak tahu dari mana arah datangnya."Kamu nggak capek cuma berdiri di situ saja?"Suara Justin membuat Amira terkesiap. Kedua matanya berkedip beberapa kali sebelum memutus tatapannya kepada Justin."Sebentar lagi selesai."Amira berjalan menuju kursi yang tepat berada dihadapan Justin."Aku pikir cuma bercanda soal memasak ini."Justin tersenyum miring."Sejak kapan aku bercanda soal semuanya?"Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Justin tidak pernah mengabulkan apa yang Amira inginkan bahkan saat Amira tidak menginginkannya. Justin dengan sendirinya melakukannya. Tanpa Amira harus memohon atau pun menjatuhkan harga dirinya. Sekali lagi, Justin sangat menjaga
"Aku nggak berani berharap lebih ke kamu," ucap Justin di sore hari. Sambil menyesap kopi panasnya, Justin edarkan pandangan matanya ke taman samping rumahnya. "Aku takut kamu makin terbebani."Amira yang mendengarnya hanya diam. Ada perasaan sakit dan perih tapi Amira sadar bahwa mungkin ini yang terbaik. Jika Justin sudah memutuskan demikian maka yang bisa Amira lakukan hanyalah menghormati pilihannya."Tapi bukan berarti aku menyerah," sambung Justin yang membuat Amira menutup mulutnya lagi. "Aku berhenti berharap bukan artinya aku melepaskan kamu tapi aku memberi waktu untuk kamu berpikir. Jika aku terus mencurahimu dengan perhatian berlebihan, kamu akan merasa risih."Benar. Apa yang Justin katakan sedang menggambarkan diri Amira yang sebenarnya. Karena tidak mudah jatuh cinta, maka saat Amira menyukai seseorang akan bertindak bodoh."Kamu harus menyayangi dirimu sendiri. Mulai sekarang kamu bisa menikmati waktu dan apa pun yang kamu inginkan tapi tolong selalu libatkan aku.""Ke
Hidup seperti apa yang diinginkan setiap orang?Jawabannya berbeda-beda. Tidak semua kehidupan yang diinginkan tiap-tiap orang sama. Perbedaan prinsip, cara pandang atau bahkan perdebatan-perdebatan kecil yang mengarah pada panutan hidup tiap orang.Begitu juga dengan Amira dan Key, teman masa kecilnya yang baru saja kembali dari luar negeri. Key menyelesaikan studynya di Paris dan kembali ke Indonesia untuk menikah."Kamu yakin nggak mau nikah?" tanya Key dengan ekspresi wajah mengejek. "Kamu harus tahu serunya menikah," lanjut Key dengan santainya.Amira tidak menanggapi dengan serius. Tangannya sibuk menyuap salad buah ke dalam mulutnya. Pandangan matanya mengedar ke seluruh penjuru kafe di mana keduanya bertemu. "Seru kalau sama orang yang tepat.""Justin nggak tepat?"Amira mendelikkan matanya kesal. Hampir-hampir meninju wajah Key yang tertawa penuh ejekan."Yang kamu tunggu apa, sih, Mir?""Konyol!" balas Amira. "Pertanyaan nggak mutu.""Bagian mana yang nggak mutu?""Buang-bu
Acara makan malam berjalan dengan lancar. Obrolannya seputar bisnis dan diselingi candaan sesekali. Amira lebih banyak diam dan menjawab saat diajukan pertanyaan. Makan malam kali ini Amira menikmati pertemuan dengan keluarganya. padahal biasanya bukan hal yang Amira sukai saat berkumpul seperti ini.Apa karena Justin diterima di keluarganya?Amira tidak mau memikirkan asumsinya yang masih dini. Yang terus Amira lakukan adalah memasukkan makanan yang telah dihidangkan oleh chef keluarganya. Jika lidahnya menerima rasanya maka Amira bereaksi dengan memejamkan kedua matanya, jika tidak Amira akan mengunyah dengan perlahan."Kamu mual?" tanya Justin berbisik rendah.Ekspresi wajahnya penuh khawatir saat Amira menolehkan kepalanya."Enggak.""Kunyahan kamu nggak excited.""Makanan ini nggak bisa nyatu sama lidahku."Amira ambil pudding orange yang ada dihadapan Justin dan memasukkan ke mulutnya. Kali ini kedua matanya terpejam yang artinya enak."Yang ini enak," ucap Amira sambil memasukk
Sekali pun menunjukkan reaksi yang enggan untuk Amira hadir di acara makan malam keluargnya, nyatanya di pukul tujuh malam tepat Amiratelah siap dengan dress hitamnya yang mencetak lekuk tubuhnya. Sedikit berisi karena hamil namun tidak mengurangi keseksiannya.Justin yang melihat Amira berdandan rapi tertegun bingung. Tidak, bukan cuma itu. Justin lebih mengagumi tubuh Amira yang seksi."Yuk," ajakan Amira terdengar santai."Ke mana?" balas Justin masih dengan ekspresi wajah bingung."Makan.""Di mana?"Amira berdecak kesal. Wajahnya yang sejak menuruni tangga berekspresi datar kini menampilkan kekesalan."Kamu yang ngoto minta kita datang ke acara makan malam keluarga, kamu juga yang lupa?" Pertanyaan serupa dengan pernyataan ini membuat Justin mengerutkan dahinya."Aku nggak pernah maksa atau minta kamu datang. Cuma memberi pilihan saja kalau kamu mau.""Buktinya aku mau!" Amira dan keras kepalanya yang tidak bisa dibantah oleh siapa pun."Syukur, deh."Justin masih berlagak sant
Menikah adalah takdir bukan pilihan.Menikah itu perlu karena kita tidak mungkin selalu sendiri.Menikah itu tidak semenakutkan yang ada dipikiran kita. Menakutkan jika kamu tidak bersama dengan orang yang kamu mau atau orang yang tepat.Pernah dengar kalimat menikahlah dengan orang yang mau denganmu? Katanya itu lebih manjur dan berjalan awet hingga ajal menjemput.Menikah itu kodrat.Amira tertawa getir. Senyum dibibirnya yang kecil merekah namun jika diperhatikan secara saksama ada kengerian di dalamnya. Wanita dengan dress hitamnya itu berdiri sembari mengusapi perutnya yang mulai membuncit.“Sayangnya aku lebih siap menjadi seorang ibu ketimbang harus menikah,” gumamnya lirih hampir tidak terdengar.“Susumu.” Suara Justin dari balik tubuh mungil Amira muncul. “Masih hangat.” Justin sodorkan gelas yang dibawanya dari dapur. Amira membalikkan tubuhnya dan menatapi Justin dengan intens. Tidak ada ekspresi apa pun dari wajah Amira sehingga Justin mengerutkan keningnya.“Mak
“Siapa yang bilang?”Amira masukkan potongan pangsit ke dalam mulutnya. Mengunyahnya perlahan guna meresapi rasa daging yang berbumbu.“Banyak yang seliweran.”“Jawaban kamu nggak masuk akal.”“Kenapa gitu?”“Sekarang coba pikir, yang bikin kata-kata itu manusia, ‘kan? Cuma lewat pengalaman yang dia alami. Benar, sih, dia mencurahkan isi hatinya tapi nggak serta merta kita menelannya mentah-mentah. Ada kok yang pernikahannya berhasil dan bahagia. Badainya? Nggak perlu kamu tanya sudah berapa banyak maaf dan terus memperbaiki diri. Karena kalau sudah memutuskan untuk menikah, risiko dan segala cobaan di dalamnya akan kita hadapi. Tinggal caranya saja yang gimana."Amira tetap tidak peduli. Baginya pernikahan adalah momok menakutkan yang dihindarinya. Hamil di luar nikah bukan suatu aib baginya. Amira akan tetap cuek dengan penilaian orang bahkan jika itu keluarganya sendiri. Amira sukses dan finansialnya lebih dari cukup. Zaman sekarang apa pun bisa dibeli dengan uang."Justin lebih da
“Menikah itu nasib.”Amira terkekeh mendengarnya.“Bagiku menikah itu pilihan.”“Pikirkan masa tuamu nantinya.”“Menikah atau tidak bukan hak orang lain untuk mencampuri.”“Bukan ikut campur hanya memberi nasihat.”“Nasihat yang sedikit memaksa.”“Nggak ada maksud kayak gitu, Mir. Aku peduli karena tahu rasanya kesepian.”“Kalau sudah biasa sendiri, apa salahnya menjadi kesepian. Aku pikir nggak ada yang aneh sama itu.”“Mir!?”“Semua kembali ke diri masing-masing. Memangnya menikah jadi jaminan kamu bahagia? Kamu menikah, kamu juga harus menikahi orang yang kamu cintai.”“Itu makanya aku bilang menikah itu nasib.”“Lebih tepatnya kesialan, sih.”“Aku tahu kamu terluka tapi jangan dinilai sama rata kayak gini dong. Tiap orang yang datang ke kehidupan kita selalu ngasih pelajaran. Mereka datang nggak sekadar datang.”Amira teguk es tehnya. Cuaca panas sedang menyelimuti Jakarta. Padahal di daerah lain sudah sering diguyur hujan. Jakarta hanya menunggu banjir datang dan se
“Kalau sama orang yang salah saja kamu bisa setulus ini gimana sama orang yang tepat?”Adalah kalimat terakhir yang Amira dengar sebelum Justin hengkang.Sejenak Amira bimbang. Ragu untuk melangkah namun mustahil berjalan ditempat. Justin membuatnya ragu dan ingin maju tapi juga takut untuk semua risiko yang sudah menunggu.“Justin itu baik banget,” ucap Nita—sahabat Amira yang baru kembali dari studynya di Singapura. “Dia kelihatan tulus sama kamu. Cuma kamunya saja yang belum siap buat membuka diri.”“Setelah semua ini?” Amira perlihatkan perutnya yang mulai kelihatan. “Aku punya trauma yang aku sendiri nggak tahu kapan mau sembuh.”“Trauma nggak bisa sembuh total. Seumur hidup dia bakal menghantui kamu. Tinggal gimana kamunya dalam mengambil langkah. Life must go on, Mir. Kamu nggak bisa terus-terusan kejebak di masa kelam. Justin itu masa depan sedangkan yang jadi ketakutanmu adalah dirimu sendiri. Semua tergantung gimana kamu.”Amira diam. Apa yang Nita katakan benar adanya. Kala