“Muminya pindah ke sini, ya?” tanya sebuah suara yang tetap membuat Amira bergeming di tempatnya. “Aku baru tahu wabahnya telah menyerang Semarang.”
Barulah Amira mendongakkan kepalanya diiringi senyuman tipis yang canggung. Bak maling tertangkap basah, Amira menolehkan kepalanya ke arah jam digital di atas mejanya. Oh, sekarang Amira tersadar kenapa pria ini berada di kantornya. Rupanya Amira yang terlambat dapat ke ruang rapat.
“Tersadar, eh?” kekehnya dengan wajah penuh ejekan. “Aku pikir kamu orang yang disiplin dan selalu memanfaatkan waktu yang kamu miliki. Siapa yang sangka kamu bisa seceroboh ini?”
“Hm, aku ceroboh,” aku Amira yang cepat-cepat berdiri dari duduknya. “Ini, ‘kan yang kamu butuhkan?” Amira bubuhkan tanda tangan miliknya setelah semalam membaca isi kontraknya. “Ada beberapa yang harus kamu revisi termasuk nominal uang yang tertera. Jangan terlalu menekan pihak lawan atau mereka akan membalas secara diam-diam. Dunia bisnis tidak seaman yang kamu bayangkan. Banyak langkah yang harus kamu ambil setelah mempertimbangkan semuanya. Jadi, jangan terlalu arogan.”
Pria itu, Daffa Kusuma tertawa sumbang. Ekspresi wajahnya benar-benar sombong dengan kedua mata yang menyipit kala bibirnya terangkat.
“Aku? Arogan?” tunjuknya pada dirinya sendiri setelah puas menatap Amira penuh cemooh. “Aku tidak perlu berlaku demikian. Bukankah sikapku sudah menunjukkannya secara terang-terangan?”
“Benar. Kamu sudah sombong sejak lahir. Karena tidak mempunyai pilihan yang sulit untuk kamu pertimbangkan maka menjadi pongah dalam bertingkah adalah ciri khasmu. Tidak heran jika banyak lawan yang menyerang. Kamu membuka pintu perang tanpa memberi penghalang sedikitpun. Nikmatilah!” titah Amira seraya menyerahkan dokumen yang Daffa minta.
Yang Amira kira akan segera membuat kedua kaki Daffa hengkang dari ruangannya. Namun yang terjadi adalah, pria itu tetao berdiri dengan wajah yang tak terbaca. Amira menyodorkan kembali dokumen itu dan Daffa tetap tak beranjak dari tempatnya.
“Kamu membicarakan tentang sebuah pilihan,” ucapnya secara tiba-tiba. Jari-jari Amira berhenti sejenak dari menari di atas keyboard laptopnya lalu melanjutkan tanpa banyak menerka. “Aku juga pernah berada di posisi yang sulit. Kamu pikir, berdirinya aku di sini tanpa membuat sebuah pilihan?”
Amira sepenuhnya menghentikan jari-jemarinya di atas keyboard dan merangkum satu sama lain. Kepala Amira terangkat dengan sorot mata yang menatap Daffa dengan serius. Pria itu tak kalah seriusnya membalas tatapan Amira yang terpancar penuh pertanyaan.
“Bagaimana dengan keputusan? Itu lebih tepat untuk aku sematkan ketimbang menganggapnya sebuah pilihan. Orang sepertimu tidak bisa diberi pilihan karena terlalu angkuh dengan perilakumu. Lagi pula, apa yang ingin kamu pilih? Tidak ada selain yang sudah masuk ke dalam daftar rencanamu. Ah, benar. Aku tidak patut menghakimi pilihanmu karena aku tidak mengenalmu. Aku tidak tahu tentangmu dan bagaimana kamu. Apa aku harus peduli?” tanya Amira dengan wajah penuh ejekan.
Daffa mendengkus. Amira tepat sasaran dan itu cukup menyentil harga dirinya. Kenapa wanita ini begitu mudah menebak tentang dirinya sementara Daffa harus mengorek informasi tentangnya sampai sedetail mungkin, sih? Itupun lewat orang suruhannya. Daffa tidak pernah tahu bagaimana caranya membuat nama Amira Meena benar-benar buruk di mata keluarga. Sekali saja, Daffa ingin citra baik Amira hancur melebur bersama tanah.
“Hanya aku yang penuh dosa dan kamu yang satu-satunya paling suci. Pilihan yang kamu buat tidak pernah membuatmu kesulitan di masa mendatang. Tapi, apa kamu yakin mempertahankan bayi tanpa ayahnya juga akan membuatmu baik-baik saja?” ejek Daffa dengan tawa yang di buat-buat. “Dunia akan tahu siapa kamu yang sebenarnya dan anak itu akan mendapat pukulan paling telak. Mentalnya akan hancur, nyalinya akan ciut dan tiba waktunya nanti, dia akan mengakhiri hidupnya sendiri tanpa perlu diminta.”
“Siapa yang akan mengakhiri hidupnya?”
Vokal lain yang ikut nimbrung mengurungkan keterkejutan di wajah Amira saat Daffa tahu jika dirinya sedang mengandung. Justin datang mengenakan setelan paling elite dan wajahnya berbinar dipenuhi cahaya. Langkahnya pasti dengan senyuman yang tersemat di bibirnya sedang satu tangannya meletakkan paper bag dari brand makanan kenamaan.
“Kamu melewatkan sarapan. Ini penting dan anak kita membutuhkan asupan lebih. Jadi jangan coba-coba mengabaikan gizi untuknya.” Justin mengusap kepala Amira dengan sayang lalu menolehkan kepalanya ke arah Daffa yang menatapnya horor. “Apanya yang tidak jelas? Bayi ini milikku.”
Amira terkejut dengan pernyataan yang Justin akui pun dengan Daffa yang membuka dan menutup mulutnya bak ikan koi.
“Bagaimana bisa?” tanyanya sedikit berseru dengan suara kencang. “Kalian baru saja bertemu.”
“Oh, kamu melewatkan gosip hangat tentang kita. Baguslah!” Justin tersenyum miring. “Aku tidak suka ketika orang asing menggerecoki pilihan yang aku pilih.”
***
“Semalam aku mengeluh,” kata Justin membuka obrolan.
Amira yang sedang menikmati salad buahnya cuma bisa diam dan akan mendengarkan kelanjutan ucapan Justin.
“Aku tahu, setiap yang diberi kehidupan dan terlahir ke dunia ini, selalu memiliki pilihan dan hak untuk menentukan pilihannya. Hal itu mutlak dan tidak bisa dibantah dengan mudah. Jikapun ada yang terlalu berpegang teguh pada prinsip, ada pertanyaan yang meluncur tanpa filter: apakah akan bahagia?”
Baik Justin maupun Amira sama-sama terkekeh. Karena sederhananya adalah, apa itu bahagia? Jika sebuah pilihan menjadi penentu kebahagiaan seseorang, bolehkan memiliki banyak pilihan dalam hidupnya? Sedangkan pilihan hanya ada dua: ambil atau tidak sama sekali.
“Aku pikir cuma aku yang nggak punya banyak pengalaman dalam hidup.”
“Apa maksudmu?” Justin kerutkan keningnya.
“Aku pernah terbelenggu. Bukan cuma kamu yang bisa ngeluh tapi aku juga. Aku punya pertanyaan yang nggak aku temukan jawab sampai detik ini. Dicintai atau mencintai? Wanita selalu memiliki kegalauan perihal ini. Di antara dua pilihan, pria yang dia cintai atau pria yang mencintainya. Sebagian orang akan memilih untuk bersama dengan orang yang dicintainya tanpa tahu alasan dibaliknya. Lain halnya ketika kamu memilih membersamai pria yang mencintai kamu. Sebab, saat kamu memilih pria yang mencintaimu, kamu akan diperlakukan seperti ratu. Sedangkan jika memilih pria yang dicintainya, dia hanya akan dicintai dengan syarat.”
“Nggak adil, ya?”
“Setuju. Makanya banyak yang galau sama pilihan ini.”
“Tapi, Mir, aku nggak mau ngeluh lagi soal itu. Semalam aku berpikir keras. Memilih kamu bukan sesuatu yang buruk.”
“Sialan!” umpat Amira.
“Aku serius. Mir, kamu harus tahu, aku memendam suka padamu sejak dulu.”
“Eh?” Amira terkejut.
“Aku pacaran sama cewek lain biar kamu cemburu. Tapi kamu memang manusia rumit yang nggak bisa aku tebak.”
“Jangan buat aku bimbang!”
“Maka buatlah pilihan secepatnya.”
“Huh!”
“Aku nggak suka nunggu, Mir. Kamu harus tahu dan dengar sendiri.”
“Mereka itu cocok, ‘kan?” ucap teman Mamanya yang Justin ingat namanya Kanina. Wanita paruh baya dengan kemeja santainya namun terlihat elegan itu tersenyum ke arah Justin yang mendapat balasan segaris dari bibir Justin. “Siapa dulu yang mengusulkan ide ini lebih dulu? Aku dan Juan hanya berpikir jika ini candaan semata.”Justin memotong dengan malas steaknya lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Kunyahannya lambat namun cukup memberi kesan jika pria 30 tahunan itu ingin cepat-cepat hengkang dari pertemuan membosankan ini. Sudah berapa kali dalam satu bulan Mamanya membawanya ke dalam obrolan bisnis? Justin tidak sempat menghitungnya karena terlalu sering.Tami, Mama Justin membalas dengan senyum merekah di bibirnya yang berpoles lipstik merah lembut. “Andre yang pertama kali berpikir begitu. Aku juga sepemikiran denganmu. Kupikir, semuanya tidak perlu kita atur toh pada akhirnya nanti mereka akan bertemu dan berkenalan. Ah, aku merasa tertekan membesarkan Justin yang dingin dan tidak pe
“Kenapa bukan Mama saja?” tanya Justin menanggapi omelan Tami yang menurutnya terlalu sering dilakukan.Tidak sekali, dua kali ketika selesai dalam pertemuan makan malam dengan teman beserta anaknya, Tami akan mengomel bak truk tronton kehilangan kendali remnya. Dan Justin yang terbiasa diam serta enggan menyuarakan kekesalannya, malam ini meledak tanpa bisa dicegah.“Kamu ngelawan Mama?!” teriak Tami cukup histeris. Sikap dramatis Tami tidak Justin ambil pusing. Mamanya sudah terbiasa bersikap yang begitu dan kenyang menjadi satu-satunya kesimpulan yang selalu Justin berikan. “Kamu itu sudah 30 tahun, Justin, 30 tahun! Dan kamu masih santai seperti tidak punya hasrat untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih baik lagi. Kenapa bisa Mama melahirkan kamu yang bebal seperti ini, sih!?”“Dan memangnya aku pernah meminta dilahirkan dari rahim Mama!” Justin berucap sarkas namun itu jelas mengacu pada kenyataan yang ada di hadapannya saat ini. “Jika Mama mengenalku, tidak perlu Mama mendesak
“Ayo makan,” ajak Amira yang siang itu masuk ke ruangan rapan Justin tanpa izin apa lagi mengetuk pintu.Wajahnya yang songong menjadi pusat perhatian para klien Justin yang hari itu sedang melakukan rapat penting. Alih-alih peduli dan risih lantaran mendapat perhatian dari semua orang, Amira justru berdiri dengan santai. Tubuhnya bersandar di pintu seraya memperhatikan kuku-kukunya yang baru saja diwarnai.Justin hanya bergeming di tempatnya. Tanpa berniat berdiri dari duduknya dan menegur perilaku Amira yang sembrono. Justin justru di buat penasaran dan berpikir harus melakukan apa kepada Amira. Wanita itu cukup punya nyali untuk menghampiri dirinya di kantor. Sejauh ingatan Justin, selama ini tidak banyak wanita yang berani menerobos kantornya.“Kita akhiri sampai di sini.”Barulah Amira hengkang dari tempatnya berdiri. Duduk di kursi depan ruangan rapat menunggu Justin keluar. Satu per satu orang yang duduk di kursi rapat pergi dengan gunjingan yang tidak Amira pusingkan. Mereka h
“Kamu hamil?” tanya Justin dengan bibir tersungging mengejek Amira yang menatapnya tanpa berkedip. “Dan kamu ingin aku bertanggung jawab, begitu?”“Mau nggak?!” Amira berseru cukup lantang yang membuat Justin memundurkan kepalanya heran. “Toh kamu dipaksa untuk menikah demi mewarisi seluruh harta kekayaan Brotolaras, ‘kan? Dan bahagianya, Mamamu akan mendapatkan cucu sekaligus.”Justin pernah mendengar temannya berkata jika kaum hawa memang penghuni bumi yang paling sulit untuk ditebak apa maunya. Mereka adalah sekumpulan manusia yang mencari penyakit telah menciptakan sebuah masalah. Mereka bertindak arogan padahal tahu tidak ada tameng di dalam dirinya saat sebuah fakta diungkapkan. Mereka akan menangis tersedu-sedu sambil menyalahkan kaum adam dengan berseru: kamu jahat!“Siapa?” Justin menoleh dengan tangan meremas kemudinya kuat-kuat. Amira melihatnya dengan jelas hingga buku-buku kuku Justin memutih. “Siapa yang melakukan itu padamu? Aku tahu kamu bukan wanita bebas bak jalang d
“Muminya pindah ke sini, ya?” tanya sebuah suara yang tetap membuat Amira bergeming di tempatnya. “Aku baru tahu wabahnya telah menyerang Semarang.”Barulah Amira mendongakkan kepalanya diiringi senyuman tipis yang canggung. Bak maling tertangkap basah, Amira menolehkan kepalanya ke arah jam digital di atas mejanya. Oh, sekarang Amira tersadar kenapa pria ini berada di kantornya. Rupanya Amira yang terlambat dapat ke ruang rapat.“Tersadar, eh?” kekehnya dengan wajah penuh ejekan. “Aku pikir kamu orang yang disiplin dan selalu memanfaatkan waktu yang kamu miliki. Siapa yang sangka kamu bisa seceroboh ini?”“Hm, aku ceroboh,” aku Amira yang cepat-cepat berdiri dari duduknya. “Ini, ‘kan yang kamu butuhkan?” Amira bubuhkan tanda tangan miliknya setelah semalam membaca isi kontraknya. “Ada beberapa yang harus kamu revisi termasuk nominal uang yang tertera. Jangan terlalu menekan pihak lawan atau mereka akan membalas secara diam-diam. Dunia bisnis tidak seaman yang kamu bayangkan. Banyak l
“Kamu hamil?” tanya Justin dengan bibir tersungging mengejek Amira yang menatapnya tanpa berkedip. “Dan kamu ingin aku bertanggung jawab, begitu?”“Mau nggak?!” Amira berseru cukup lantang yang membuat Justin memundurkan kepalanya heran. “Toh kamu dipaksa untuk menikah demi mewarisi seluruh harta kekayaan Brotolaras, ‘kan? Dan bahagianya, Mamamu akan mendapatkan cucu sekaligus.”Justin pernah mendengar temannya berkata jika kaum hawa memang penghuni bumi yang paling sulit untuk ditebak apa maunya. Mereka adalah sekumpulan manusia yang mencari penyakit telah menciptakan sebuah masalah. Mereka bertindak arogan padahal tahu tidak ada tameng di dalam dirinya saat sebuah fakta diungkapkan. Mereka akan menangis tersedu-sedu sambil menyalahkan kaum adam dengan berseru: kamu jahat!“Siapa?” Justin menoleh dengan tangan meremas kemudinya kuat-kuat. Amira melihatnya dengan jelas hingga buku-buku kuku Justin memutih. “Siapa yang melakukan itu padamu? Aku tahu kamu bukan wanita bebas bak jalang d
“Ayo makan,” ajak Amira yang siang itu masuk ke ruangan rapan Justin tanpa izin apa lagi mengetuk pintu.Wajahnya yang songong menjadi pusat perhatian para klien Justin yang hari itu sedang melakukan rapat penting. Alih-alih peduli dan risih lantaran mendapat perhatian dari semua orang, Amira justru berdiri dengan santai. Tubuhnya bersandar di pintu seraya memperhatikan kuku-kukunya yang baru saja diwarnai.Justin hanya bergeming di tempatnya. Tanpa berniat berdiri dari duduknya dan menegur perilaku Amira yang sembrono. Justin justru di buat penasaran dan berpikir harus melakukan apa kepada Amira. Wanita itu cukup punya nyali untuk menghampiri dirinya di kantor. Sejauh ingatan Justin, selama ini tidak banyak wanita yang berani menerobos kantornya.“Kita akhiri sampai di sini.”Barulah Amira hengkang dari tempatnya berdiri. Duduk di kursi depan ruangan rapat menunggu Justin keluar. Satu per satu orang yang duduk di kursi rapat pergi dengan gunjingan yang tidak Amira pusingkan. Mereka h
“Kenapa bukan Mama saja?” tanya Justin menanggapi omelan Tami yang menurutnya terlalu sering dilakukan.Tidak sekali, dua kali ketika selesai dalam pertemuan makan malam dengan teman beserta anaknya, Tami akan mengomel bak truk tronton kehilangan kendali remnya. Dan Justin yang terbiasa diam serta enggan menyuarakan kekesalannya, malam ini meledak tanpa bisa dicegah.“Kamu ngelawan Mama?!” teriak Tami cukup histeris. Sikap dramatis Tami tidak Justin ambil pusing. Mamanya sudah terbiasa bersikap yang begitu dan kenyang menjadi satu-satunya kesimpulan yang selalu Justin berikan. “Kamu itu sudah 30 tahun, Justin, 30 tahun! Dan kamu masih santai seperti tidak punya hasrat untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih baik lagi. Kenapa bisa Mama melahirkan kamu yang bebal seperti ini, sih!?”“Dan memangnya aku pernah meminta dilahirkan dari rahim Mama!” Justin berucap sarkas namun itu jelas mengacu pada kenyataan yang ada di hadapannya saat ini. “Jika Mama mengenalku, tidak perlu Mama mendesak
“Mereka itu cocok, ‘kan?” ucap teman Mamanya yang Justin ingat namanya Kanina. Wanita paruh baya dengan kemeja santainya namun terlihat elegan itu tersenyum ke arah Justin yang mendapat balasan segaris dari bibir Justin. “Siapa dulu yang mengusulkan ide ini lebih dulu? Aku dan Juan hanya berpikir jika ini candaan semata.”Justin memotong dengan malas steaknya lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Kunyahannya lambat namun cukup memberi kesan jika pria 30 tahunan itu ingin cepat-cepat hengkang dari pertemuan membosankan ini. Sudah berapa kali dalam satu bulan Mamanya membawanya ke dalam obrolan bisnis? Justin tidak sempat menghitungnya karena terlalu sering.Tami, Mama Justin membalas dengan senyum merekah di bibirnya yang berpoles lipstik merah lembut. “Andre yang pertama kali berpikir begitu. Aku juga sepemikiran denganmu. Kupikir, semuanya tidak perlu kita atur toh pada akhirnya nanti mereka akan bertemu dan berkenalan. Ah, aku merasa tertekan membesarkan Justin yang dingin dan tidak pe