“Kamu hamil?” tanya Justin dengan bibir tersungging mengejek Amira yang menatapnya tanpa berkedip. “Dan kamu ingin aku bertanggung jawab, begitu?”
“Mau nggak?!” Amira berseru cukup lantang yang membuat Justin memundurkan kepalanya heran. “Toh kamu dipaksa untuk menikah demi mewarisi seluruh harta kekayaan Brotolaras, ‘kan? Dan bahagianya, Mamamu akan mendapatkan cucu sekaligus.”
Justin pernah mendengar temannya berkata jika kaum hawa memang penghuni bumi yang paling sulit untuk ditebak apa maunya. Mereka adalah sekumpulan manusia yang mencari penyakit telah menciptakan sebuah masalah. Mereka bertindak arogan padahal tahu tidak ada tameng di dalam dirinya saat sebuah fakta diungkapkan. Mereka akan menangis tersedu-sedu sambil menyalahkan kaum adam dengan berseru: kamu jahat!
“Siapa?” Justin menoleh dengan tangan meremas kemudinya kuat-kuat. Amira melihatnya dengan jelas hingga buku-buku kuku Justin memutih. “Siapa yang melakukan itu padamu? Aku tahu kamu bukan wanita bebas bak jalang di luar sana. Aku tahu kamu berbeda dari wanita lain sehingga Mamaku begitu ngotot menginginkan dirimu menjadi menantu Brotolaras. Katakan padaku! Beritahu aku dan aku akan menikahi kamu. Aku menerima calon bayimu tanpa terkecuali!”
Amira masih sempat-sempatnya membalas dengan decihan. Menatap Justin dengan pandangan super jijik dan memalingkan begitu saja. Jika sudah begini, pria mana yang tidak kebingungan? Justin bukannya marah atau tersinggung dengan pertanyaan Amira. Hanya saja, bisa tidak memberi penjelasan yang detail agar tidak menimbulkan kesalahpahaman?
“Kamu sedang unjuk gigi, ya, seakan-akan kamu mampu? Kamu sadar dari mana asalmu?” cibir Amira. “Kamu akan mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan oleh Mamamu dengan menerimaku, begitu? Aku tidak tertarik ataupun tersentuh.”
“Jangan libatkan Mamaku, tolong. Mari kita singkirkan masalah orang tua masing-masing dan fokus saja dengan masalahmu. Kamu memancing niat baik seseorang untuk bertanggung jawab lalu melepasnya bak balon yang terbang terbawa angin. Kamu terlalu arogan untuk seorang wanita yang telah kehilangan masa depannya,” balasan Justin tak kalah pedasnya. Terakhir, Justin menyematkan kekehan yang membuat Amira menatap dengan sinis.
“Apa kamu pikir kamu yang paling layak untuk bertanggung jawab atas masalahku? Lagi pula, serius, kamu sangat percaya diri untuk aku meminta pertolonganmu. Aku bisa mengatasi masalahku sendiri. Aku bisa menemukan jalan keluar untuk semua perkara yang aku ciptakan. Aku hanya bertanya tentang pendapatmu saja. Jangan terlalu berlebihan, oke?” Amira bergegas keluar dari mobil Justin. “Ada menu baru di sini.”
Amira berjalan meninggalkan Justin yang masih duduk manis di dalam mobilnya. Pria itu berdecak dengan gerutuan kecil di bibirnya. Umpatan demi umpatan bergaung dalam kepala Justin. Mengeluarkan unek-unek tanpa ada si empunya nama bukan sesuatu yang etis untuk Justin lakukan. Hanya akan menimbulkan rasa dongkol tak berkesudahan.
***
Amira mengetuk-etukkan jarinya di atas meja. Setelah makan siang usai bersama Justin dan berakhir dengan saling diam selama perjalanan, Amira menyadari jika tindakannya terbilang keterlaluan. Tidak seharusnya mulutnya mengeluarkan unek-unek yang tidak tepat hanya untuk menguji seorang Justin Brotolaras. Mendengar cara bicaranya yang tegas dan siap bertanggung jawab padanya tanpa melihat apa masalahnya dan dari mana sumbernya, Amira yakin jika pria itu memang layak untuk dimiliki. Tapi apakah mungkin?
“Aku ini sudah rusak. Mana mungkin orang mau menikahiku di saat sudah rusak begini,” gumam Amira seraya menarik napasnya dalam-dalam. “Aku juga mau menikah tapi kenapa aku selalu sial dalam percintaan?”
“Mengeluh saja tidak akan menghasilkan apa-apa!” Vokal yang masuk ke dalam rungu Amira membuat wanita berbalut kemeja formal itu mendengkus penuh kekesalan. “Kamu harus memikirkan kandunganmu. Aku tidak ingin berkomentar terlalu panjang lebar tapi kamu melupakan letak otak yang sebenarnya. Kenapa bisa-bisanya kamu kebablasan sampai hamil?”
“Diam!” bentak Amira dengan wajah lucu yang diberi tanggapan usapan pada kepalanya. “Berhenti memperlakukanku seperti anak kecil!” Tangan kekar itu menjauh dari kepala Amira yang berwajah kusut. “Aku hanya penasaran dan tidak berminat untuk menikah. Jika bisa aku membesarkan seorang diri, kenapa tidak?”
“Kamu bosan hidup?” tanya si pria sarkas. Kedua tangannya terlipat dan bibirnya tersungging penuh ejekan. “Aku bisa membantumu jika memang ingin mengakhiri hidup.”
“Apa yang kamu ketahui tentang hidup? Kamu selalu menjadi sempurna untuk kedua orang tuamu dan mengalah dengan mengorbankan hidupmu sendiri. Lalu sekarang kamu berkomentar tentang kehidupan yang sesungguhnya. Ada kaca di sebelah sana, Kevin.”
Pria yang disebutkan namanya sebagai Kevin oleh Amira itu mendudukkan dirinya di samping Amira. Wanita ini pernah mentahtai hati Kevin. Namun sayang, karena Kevin yang tidak berpegang teguh pada prinsipnya, Amira memilih hengkang.
“Aku juga ingin bahagia bersamamu. Tapi kamu menolakku dan mengejar Justin yang bukan apa-apa. Semua orang tahu bahkan publik pun tahu. Kenapa dia?” Kevin penasaran sementara Amira acuh. “Kenapa harus dia?”
Amira menoleh dengan kedua mata menyipit. Lalu menunjuk wajah Kevin menggunakan garpunya yang masih belepotan cokelat. “Jika kamu mampu melawan kehendak Mamamu, ayo menikah. Tapi jika tidak bisa membawa serta bayi ini ke dalam keluarga Kusumo, maka jangan berharap apa pun lagi padaku. Kita tetap menjadi teman dan beri aku sekat karena aku merasakan nyaman saat menjadi temanmu. Bagaimana?”
***
“Aku bingung.” Justin menyulut rokok dengan koreknya. “Serius, aku nggak ngerti jalan pikiran wanita itu seperti apa. Mereka asal ngomong tapi setelah diberi respons justru merendahkan dan bersikap arogan.”
“Amira?” tanya Pandu menebak. “Kamu nggak seharusnya terlibat dengan Amira. Dia itu terkenal dengan mulutnya yang pedas.”
“Aku nggak pernah masalah dengan itu. Kita sama-sama memiliki mulut dengan level kepedasan cabe 50 kilo.”
Ayolah! Kalian para wanita yang memiliki pemikiran rumit, sadarlah! Tidak semua yang kalian inginkan harus selalu terwujud. Pikirkan kami, kaum adam yang selalu kalian tindas dengan kata-kata kejam. Jangan mencari masalah dengan kami. Jangan merasa seolah-olah paling tersakiti padahal masalah itu kalian sendiri yang mencari. Kalian seharusnya cukup diam dan bertanya ketika memang di rasa perlu. Lalu percaya dengan jawaban kami yang memang benar adanya. Jangan kalian ungkit masalah yang telah berlalu selama bertahun-tahun. Lihat saja detik ini yang sedang terjadi dan kita temukan solusi bersama-sama.
“Ya sudah, kalau sudah merasa yakin dan bisa. Cuma perlu nikahin dia, ‘kan?”
Jusin berdecak. Pandu dan otaknya yang kecil sungguh perpaduan yang menguras energy.
“Menikah bukan hal yang sulit. Aku perlu pemahaman bahwa saat aku menjawab ya artinya aku serius.”
“Katanya nggak masalah. Kenapa sekarang mengeluh? Wanita seperti Amira nggak bakalan mau mengerti perkara begituan. Kamu ditanya dan mengajukan tanya justru bikin dia naik darah.”
“Terus aku nggak punya hak buat bertanya, begitu?”
“Muminya pindah ke sini, ya?” tanya sebuah suara yang tetap membuat Amira bergeming di tempatnya. “Aku baru tahu wabahnya telah menyerang Semarang.”Barulah Amira mendongakkan kepalanya diiringi senyuman tipis yang canggung. Bak maling tertangkap basah, Amira menolehkan kepalanya ke arah jam digital di atas mejanya. Oh, sekarang Amira tersadar kenapa pria ini berada di kantornya. Rupanya Amira yang terlambat dapat ke ruang rapat.“Tersadar, eh?” kekehnya dengan wajah penuh ejekan. “Aku pikir kamu orang yang disiplin dan selalu memanfaatkan waktu yang kamu miliki. Siapa yang sangka kamu bisa seceroboh ini?”“Hm, aku ceroboh,” aku Amira yang cepat-cepat berdiri dari duduknya. “Ini, ‘kan yang kamu butuhkan?” Amira bubuhkan tanda tangan miliknya setelah semalam membaca isi kontraknya. “Ada beberapa yang harus kamu revisi termasuk nominal uang yang tertera. Jangan terlalu menekan pihak lawan atau mereka akan membalas secara diam-diam. Dunia bisnis tidak seaman yang kamu bayangkan. Banyak l
“Mereka itu cocok, ‘kan?” ucap teman Mamanya yang Justin ingat namanya Kanina. Wanita paruh baya dengan kemeja santainya namun terlihat elegan itu tersenyum ke arah Justin yang mendapat balasan segaris dari bibir Justin. “Siapa dulu yang mengusulkan ide ini lebih dulu? Aku dan Juan hanya berpikir jika ini candaan semata.”Justin memotong dengan malas steaknya lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Kunyahannya lambat namun cukup memberi kesan jika pria 30 tahunan itu ingin cepat-cepat hengkang dari pertemuan membosankan ini. Sudah berapa kali dalam satu bulan Mamanya membawanya ke dalam obrolan bisnis? Justin tidak sempat menghitungnya karena terlalu sering.Tami, Mama Justin membalas dengan senyum merekah di bibirnya yang berpoles lipstik merah lembut. “Andre yang pertama kali berpikir begitu. Aku juga sepemikiran denganmu. Kupikir, semuanya tidak perlu kita atur toh pada akhirnya nanti mereka akan bertemu dan berkenalan. Ah, aku merasa tertekan membesarkan Justin yang dingin dan tidak pe
“Kenapa bukan Mama saja?” tanya Justin menanggapi omelan Tami yang menurutnya terlalu sering dilakukan.Tidak sekali, dua kali ketika selesai dalam pertemuan makan malam dengan teman beserta anaknya, Tami akan mengomel bak truk tronton kehilangan kendali remnya. Dan Justin yang terbiasa diam serta enggan menyuarakan kekesalannya, malam ini meledak tanpa bisa dicegah.“Kamu ngelawan Mama?!” teriak Tami cukup histeris. Sikap dramatis Tami tidak Justin ambil pusing. Mamanya sudah terbiasa bersikap yang begitu dan kenyang menjadi satu-satunya kesimpulan yang selalu Justin berikan. “Kamu itu sudah 30 tahun, Justin, 30 tahun! Dan kamu masih santai seperti tidak punya hasrat untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih baik lagi. Kenapa bisa Mama melahirkan kamu yang bebal seperti ini, sih!?”“Dan memangnya aku pernah meminta dilahirkan dari rahim Mama!” Justin berucap sarkas namun itu jelas mengacu pada kenyataan yang ada di hadapannya saat ini. “Jika Mama mengenalku, tidak perlu Mama mendesak
“Ayo makan,” ajak Amira yang siang itu masuk ke ruangan rapan Justin tanpa izin apa lagi mengetuk pintu.Wajahnya yang songong menjadi pusat perhatian para klien Justin yang hari itu sedang melakukan rapat penting. Alih-alih peduli dan risih lantaran mendapat perhatian dari semua orang, Amira justru berdiri dengan santai. Tubuhnya bersandar di pintu seraya memperhatikan kuku-kukunya yang baru saja diwarnai.Justin hanya bergeming di tempatnya. Tanpa berniat berdiri dari duduknya dan menegur perilaku Amira yang sembrono. Justin justru di buat penasaran dan berpikir harus melakukan apa kepada Amira. Wanita itu cukup punya nyali untuk menghampiri dirinya di kantor. Sejauh ingatan Justin, selama ini tidak banyak wanita yang berani menerobos kantornya.“Kita akhiri sampai di sini.”Barulah Amira hengkang dari tempatnya berdiri. Duduk di kursi depan ruangan rapat menunggu Justin keluar. Satu per satu orang yang duduk di kursi rapat pergi dengan gunjingan yang tidak Amira pusingkan. Mereka h
“Muminya pindah ke sini, ya?” tanya sebuah suara yang tetap membuat Amira bergeming di tempatnya. “Aku baru tahu wabahnya telah menyerang Semarang.”Barulah Amira mendongakkan kepalanya diiringi senyuman tipis yang canggung. Bak maling tertangkap basah, Amira menolehkan kepalanya ke arah jam digital di atas mejanya. Oh, sekarang Amira tersadar kenapa pria ini berada di kantornya. Rupanya Amira yang terlambat dapat ke ruang rapat.“Tersadar, eh?” kekehnya dengan wajah penuh ejekan. “Aku pikir kamu orang yang disiplin dan selalu memanfaatkan waktu yang kamu miliki. Siapa yang sangka kamu bisa seceroboh ini?”“Hm, aku ceroboh,” aku Amira yang cepat-cepat berdiri dari duduknya. “Ini, ‘kan yang kamu butuhkan?” Amira bubuhkan tanda tangan miliknya setelah semalam membaca isi kontraknya. “Ada beberapa yang harus kamu revisi termasuk nominal uang yang tertera. Jangan terlalu menekan pihak lawan atau mereka akan membalas secara diam-diam. Dunia bisnis tidak seaman yang kamu bayangkan. Banyak l
“Kamu hamil?” tanya Justin dengan bibir tersungging mengejek Amira yang menatapnya tanpa berkedip. “Dan kamu ingin aku bertanggung jawab, begitu?”“Mau nggak?!” Amira berseru cukup lantang yang membuat Justin memundurkan kepalanya heran. “Toh kamu dipaksa untuk menikah demi mewarisi seluruh harta kekayaan Brotolaras, ‘kan? Dan bahagianya, Mamamu akan mendapatkan cucu sekaligus.”Justin pernah mendengar temannya berkata jika kaum hawa memang penghuni bumi yang paling sulit untuk ditebak apa maunya. Mereka adalah sekumpulan manusia yang mencari penyakit telah menciptakan sebuah masalah. Mereka bertindak arogan padahal tahu tidak ada tameng di dalam dirinya saat sebuah fakta diungkapkan. Mereka akan menangis tersedu-sedu sambil menyalahkan kaum adam dengan berseru: kamu jahat!“Siapa?” Justin menoleh dengan tangan meremas kemudinya kuat-kuat. Amira melihatnya dengan jelas hingga buku-buku kuku Justin memutih. “Siapa yang melakukan itu padamu? Aku tahu kamu bukan wanita bebas bak jalang d
“Ayo makan,” ajak Amira yang siang itu masuk ke ruangan rapan Justin tanpa izin apa lagi mengetuk pintu.Wajahnya yang songong menjadi pusat perhatian para klien Justin yang hari itu sedang melakukan rapat penting. Alih-alih peduli dan risih lantaran mendapat perhatian dari semua orang, Amira justru berdiri dengan santai. Tubuhnya bersandar di pintu seraya memperhatikan kuku-kukunya yang baru saja diwarnai.Justin hanya bergeming di tempatnya. Tanpa berniat berdiri dari duduknya dan menegur perilaku Amira yang sembrono. Justin justru di buat penasaran dan berpikir harus melakukan apa kepada Amira. Wanita itu cukup punya nyali untuk menghampiri dirinya di kantor. Sejauh ingatan Justin, selama ini tidak banyak wanita yang berani menerobos kantornya.“Kita akhiri sampai di sini.”Barulah Amira hengkang dari tempatnya berdiri. Duduk di kursi depan ruangan rapat menunggu Justin keluar. Satu per satu orang yang duduk di kursi rapat pergi dengan gunjingan yang tidak Amira pusingkan. Mereka h
“Kenapa bukan Mama saja?” tanya Justin menanggapi omelan Tami yang menurutnya terlalu sering dilakukan.Tidak sekali, dua kali ketika selesai dalam pertemuan makan malam dengan teman beserta anaknya, Tami akan mengomel bak truk tronton kehilangan kendali remnya. Dan Justin yang terbiasa diam serta enggan menyuarakan kekesalannya, malam ini meledak tanpa bisa dicegah.“Kamu ngelawan Mama?!” teriak Tami cukup histeris. Sikap dramatis Tami tidak Justin ambil pusing. Mamanya sudah terbiasa bersikap yang begitu dan kenyang menjadi satu-satunya kesimpulan yang selalu Justin berikan. “Kamu itu sudah 30 tahun, Justin, 30 tahun! Dan kamu masih santai seperti tidak punya hasrat untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih baik lagi. Kenapa bisa Mama melahirkan kamu yang bebal seperti ini, sih!?”“Dan memangnya aku pernah meminta dilahirkan dari rahim Mama!” Justin berucap sarkas namun itu jelas mengacu pada kenyataan yang ada di hadapannya saat ini. “Jika Mama mengenalku, tidak perlu Mama mendesak
“Mereka itu cocok, ‘kan?” ucap teman Mamanya yang Justin ingat namanya Kanina. Wanita paruh baya dengan kemeja santainya namun terlihat elegan itu tersenyum ke arah Justin yang mendapat balasan segaris dari bibir Justin. “Siapa dulu yang mengusulkan ide ini lebih dulu? Aku dan Juan hanya berpikir jika ini candaan semata.”Justin memotong dengan malas steaknya lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Kunyahannya lambat namun cukup memberi kesan jika pria 30 tahunan itu ingin cepat-cepat hengkang dari pertemuan membosankan ini. Sudah berapa kali dalam satu bulan Mamanya membawanya ke dalam obrolan bisnis? Justin tidak sempat menghitungnya karena terlalu sering.Tami, Mama Justin membalas dengan senyum merekah di bibirnya yang berpoles lipstik merah lembut. “Andre yang pertama kali berpikir begitu. Aku juga sepemikiran denganmu. Kupikir, semuanya tidak perlu kita atur toh pada akhirnya nanti mereka akan bertemu dan berkenalan. Ah, aku merasa tertekan membesarkan Justin yang dingin dan tidak pe