Beranda / Romansa / Cinderella, Mah, Apa Atuh? / Bab 08 - Menyerah Sebelum Kalah

Share

Bab 08 - Menyerah Sebelum Kalah

Ke-kekeh-an Rella untuk ikut serta ke minimarket membuat Stella mau tidak mau mengalah dan memberi restu-eh-izin. Padahal, gadis yang kabarnya baru saja didatangi bulan itu masih dalam kondisi drop, jalan saja seperti orang habis mabuk ciu. Terpaksa jarak lima puluh meter dari kos-an tersebut harus ditempuh menggunakan si Rose. Astaga, tinggal tekan gas satu detik pun sudah sampai. Dasar manusia kuker, salahkan saja Rella yang ngebet.


Satu di antara beberapa alasan Rella kekeh ikut, sejenak mencipta gelak tawa dari Stella. Masih terikat dengan mimpi yang entah buruk atau baik waktu lalu, Rella bersama kemantapan hati pun jiwa, berseru, "Siapa tahu mimpi aku jadi kenyataan, Stel! Didatangi bulan sama stok pembalut di mimpi saja, jadi beneran, apalagi dengan bagian adegan ketemu sama Pak Alka, mungkin saja jadi kenyataan! Alu ikut, ya ... please ...!"


Untuk pertama kalinya, Stella melihat aura berbeda pada diri Rella. Entahlah, yang pasti, seperti bukan Rella yang Stella kenal. Namun, kali ini ia akan menuruti permintaan sahabat sehati sejiwanya, mungkin saja ucapan gadis itu bisa diwujudkan Tuhan. Semoga saja.


Lalu, sekarang mereka berdiri mematung di depan minimarket, memandang lurus ke pintu ganda berbahan kaca yang tertutup. Bukan, bukan Stella pelaku utamanya, tetapi Rella. Dalam benak gadis-berjaket biru dengan kerudung senada, beserta celana longgar panjang berwarna hitam-itu terputar adegan ketika ia dan Alka bertemu. Alur sebatas angan, tetapi mampu mencipta debaran nyata dan perasaan mengawang.


"Di sini, Stel, aku sama Pak Alka bertemu," aku Rella bersama pendar manik penuh harap.


"Dalam mimpi," sahut Stella seketika, berusaha menahan tawa. Seketika pula Rella melayangkan tatapan aneh padanya, membuat Stella mengurungkan niat untuk menyemburkan gelak. "Iya, iya, gue doain, deh, semoga lo sama Pak Alka a.k.a pangerannya Cinderella, dipertemukan oleh Tuhan dan berakhir di pelaminan."


"Aamiin." Rella mengusap wajahnya cepat, lantas menyunggingkan senyum pada Stella. 


"Yaelah, gitu aja senengnya pake banget. Udah, yuk, keburu kram kaki gue bediri terus kayak manekin yang lagi promosi." Gadis itu segera menyambar lengan Rella, menariknya dengan sekuat tenaga disertai ringisan.


Sampai di dalam, hawa dingin dari ac menyergapi tubuh, suasana pun tidak terlalu ramai. Rella dan Stella memencar, mencari kebutuhan masing-masing. Namun, gadis gempal itu terus mengedarkan pandangan, bilamana menemukan laki-laki semampai berkulit putih dengan rambut hitam tertata rapi, seketika jantung berdegup kencang.


Akan tetapi, khayal memang hanya sebatas khayal, nyatanya yang dilihatnya bukanlah Alka, melainkan orang tak dikenal. Perasaan kecewa menghinggapi, Rella memilih fokus memilah barang yang hendak dibeli. Jika memang Allah menghendaki doa Rella, pasti bertemu. Demikian pikir gadis itu, tetapi tetap saja maniknya liar mencari-cari.


Sampai selesai berbelanja pun, sosok Alka tidak kunjung ditemukan. Rella masih belum mau beranjak dari tempat sepi itu, meminta Stella untuk menunggu beberapa saat lagi. Mungkin saja Alka masih di jalan, atau belum berangkat. 


Stella benar-benar dibuat melongo atas sikap Rella yang demikian. Bagaimana bisa gadis seperti Rella yang biasanya menumpukan setiap hal di atas agama, tiba-tiba teramat mengharapkan kejadian dalam mimpi menjadi kenyataan? Sangat di luar dugaan.


Di depan minimarket, mereka mununggu ketidakpastian itu hingga belasan menit berlalu. Ketika kejemuan Stella berkubang, baru ia menyuarakan ketidaksetujuan, "Ella, gue tau lo suka sama Pak Alka, tapi nggak gini juga, dong .... Lo lupa sama apa yang udah lo ajarin ke gue?" Stella melontarkan kalimat itu karena terlalu lelah dengan sikap Rella yang keluar dari jalur seharusnya.


Rella memalingkan wajah dari jalan-yang nantinya menjadi arah kedatangan Alka-pada Stella. Melayangkan tatapan bingungnya, lalu bertanya, "Maksud lo?"


Stella mengembuskan napas, menatap lekat kedua manik legam Rella dengan serius. "Terlalu mengharapkan ketidakpastian itu tidak disukai Allah, lebih-lebih berharap pada manusia."


Deg!


Bagai busur panah menembus kalbu, terasa begitu ngilu. Perasaan bersalah menyapa Rella, seketika tubuhnya membeku bak es batu. Tak berkutik sedikit pun mendengar satu kalimat menampar dari sang sahabat. Benda cair terasa bergumul hebat di pelupuk mata, memaksa untuk keluar. Untuk berkata pun ia tidak mampu, hanya bisa mengembuskan napas guna menghilangkan sesak yang menjamah dada.


"El," panggil Stella pelan seraya menyentuh pundak gadis yang termangu itu, "are you okay?"


Air mata berjatuhan di kedua pipi gembul Rella, isakan turut keluar dari persembunyian. "Stel, makasih udah ngingetin aku ...." Ia bergerak merengkuh tubuh Stella, hingga membuat lidah gadis itu menjulur keluar karena dekapan Rella yang teramat erat, membuat napas tersendat.


"Iya, sama-sama," cicit Stella dengan raut tersiksa, sungguh, siapa pun bantu Stella!


Sementara, Rella menangis dalam pelukan yang menurutnya amat nyaman itu. Tidak sedikit pun berniat melepas atau sekadar mengendurkan rengkuhan. "Ya Allah ... maafkan hamba yang zalim ini ...."


Tampaknya, bukan hanya karena perasaan sadar akan kesalahan, tetapi juga efek dari menstruasi, sehingga meningkatkan sensitifitas pada Rella. Stella mencoba lebih sabar lagi, tidak mungkin ia meminta Rella untuk melepas pelukan, sedangkan sahabatnya masih dalam keadaan tidak baik-baik saja. Semoga saja Stella tidak mati kehabisan napas hanya karena mendapat dekapan dari sang sahabat sehati sejiwa.


***


Rose melaju membelah keramaian, bangunan minimarket seperti melambaikan tangan, bersyukur Rella telah menyudahi kesedihan yang berlangsung selama hampir setengah jam. Hanya sekilas, dan kini mereka sudah memasuki pekarangan kos-kosan, berhenti di area parkir yang sudah disediakan.


Stella menoleh pada Rella yang bersandar tanpa gairah. Raut sendu masih terpahat di wajah gembil itu. Menghadapkan tubuh pada Rella, Stella mulai melayangkan pertanyaan, "Masih belum bisa lupain soal mimpi itu?"


Napas Rella menguar berat. "Sepertinya, aku musti benar-benar melupakan Pak Alka, deh, Stel," kata gadis itu dengan suara serak lantaran terlalu lama terisak.


"Dulu, lo juga pernah bilang gitu, tapi tetep aja lo nggak bisa, 'kan? Maksud gue, gagal buat move on. Hari ini bilang gitu, malemnya galmove, a.k.a gagal move on."


Ya, pertanyaan sekaligus pernyataan Stella sangat benar. Akan tetapi, kali ini mungkin berbeda dari yang sudah-sudah. Sekali lagi, Rella menghempaskan napas panjang. "Sekarang aku mikir, Stel, kalau ternyata memikirkan dan berharap bisa berjodoh sama Pak Alka malah membuat iman aku sering kali goyah, bahkan hampir kebablasan."


Tangan Stella terulur, menghapus bulir bening yang berjatuhan bagai hujan di pipi Rella. Kenapa gadis sekuat Rella, bisa serapuh itu jika menyangkut perihal cinta? 'Bukan cuma Pak Alka, El, tapi juga Jojon, cowok yang dulu pernah lo ceritain ke gue dan hampir bikin lo bunuh diri.' Batin Stella.


Memang, perihal rahasia di masa silam, Rella tidak pernah sungkan untuk menceritakannya pada Stella. Jujur saja, batin gadis itu selalu berteriak ingin menyuarakan beban, khususnya pada Stella seorang, sahabat yang begitu setia menemani di kala susah pun senang.


"C'mon, El, gue nggak setuju sama pendapat lo. Iman itu bisa goyah karena belum terbiasa, kalo kita ngebiasain dan bertekad buat nggak biarin dia goyah, pasti nggak akan terjadi meski lo jatuh cinta sama pria mana pun. Trust me, El," kata Stella sembari mengusap pundak Rella.


Isak tangis Rella terhenti, bersamaan dengan tatapan yang tertuju pada Stella. "I trust you, very. Tapi aku takut tidak bisa melakukan hal itu, Stel," cicit gadis bermuka merah bak tomat matang itu, lantas menggeleng. "Aku tidak bisa, mungkin dengan jalan melupakan Pak Alka dan mengubur perasaan itu dalam-dalam, adalah yang terbaik."


Usapan Stella terhenti, tangannya meluruh. Baru saja Rella menyuarakan keputusan, mengibarkan bendera kekalahan sebelum berperang. Biasanya, setelah mendengar nasihat Stella, gadis itu akan kembali menggaungkan semangat juang. Akan tetapi, malam ini dia memilih menghentikan langkah, mundur secara perlahan.


Rella keluar dari mobil, meninggalkan Stella yang memandangi punggungnya dengan tatapan sendu. "Gue nggak tau kalo lo bisa serapuh itu hanya karena mimpi yang nggak jadi nyata, El."


Tidak, Stella salah. Rella bukan rapuh karena mimpi yang tidak menjadi nyata. Namun, karena terlalu sering ‘hampir kehilangan pegangan’ jika sudah terjerumus dalam hal percintaan. Apalagi, Rella harus menyadari kenyataan pahit jika manusia seperti dirinya tidak pantas disandingkan dengan pria berpangkat tinggi dan berkharisma seperti Alka. Dunia saja menentang, bagaimana dengan lelaki itu?


***


To be continue ...



[Kyuni's Note]: Jangan lupa apresiasinya ❤

Alhamdulillah, sampai bab 8 juga. Semoga kalian suka ❤

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Taufiq Randawi
sangat suka
goodnovel comment avatar
Wahyuni Suriati
suka thor 🤩🤩🥺
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status