Ke-kekeh-an Rella untuk ikut serta ke minimarket membuat Stella mau tidak mau mengalah dan memberi restu-eh-izin. Padahal, gadis yang kabarnya baru saja didatangi bulan itu masih dalam kondisi drop, jalan saja seperti orang habis mabuk ciu. Terpaksa jarak lima puluh meter dari kos-an tersebut harus ditempuh menggunakan si Rose. Astaga, tinggal tekan gas satu detik pun sudah sampai. Dasar manusia kuker, salahkan saja Rella yang ngebet.
Satu di antara beberapa alasan Rella kekeh ikut, sejenak mencipta gelak tawa dari Stella. Masih terikat dengan mimpi yang entah buruk atau baik waktu lalu, Rella bersama kemantapan hati pun jiwa, berseru, "Siapa tahu mimpi aku jadi kenyataan, Stel! Didatangi bulan sama stok pembalut di mimpi saja, jadi beneran, apalagi dengan bagian adegan ketemu sama Pak Alka, mungkin saja jadi kenyataan! Alu ikut, ya ... please ...!"
Untuk pertama kalinya, Stella melihat aura berbeda pada diri Rella. Entahlah, yang pasti, seperti bukan Rella yang Stella kenal. Namun, kali ini ia akan menuruti permintaan sahabat sehati sejiwanya, mungkin saja ucapan gadis itu bisa diwujudkan Tuhan. Semoga saja.
Lalu, sekarang mereka berdiri mematung di depan minimarket, memandang lurus ke pintu ganda berbahan kaca yang tertutup. Bukan, bukan Stella pelaku utamanya, tetapi Rella. Dalam benak gadis-berjaket biru dengan kerudung senada, beserta celana longgar panjang berwarna hitam-itu terputar adegan ketika ia dan Alka bertemu. Alur sebatas angan, tetapi mampu mencipta debaran nyata dan perasaan mengawang.
"Di sini, Stel, aku sama Pak Alka bertemu," aku Rella bersama pendar manik penuh harap.
"Dalam mimpi," sahut Stella seketika, berusaha menahan tawa. Seketika pula Rella melayangkan tatapan aneh padanya, membuat Stella mengurungkan niat untuk menyemburkan gelak. "Iya, iya, gue doain, deh, semoga lo sama Pak Alka a.k.a pangerannya Cinderella, dipertemukan oleh Tuhan dan berakhir di pelaminan."
"Aamiin." Rella mengusap wajahnya cepat, lantas menyunggingkan senyum pada Stella.
"Yaelah, gitu aja senengnya pake banget. Udah, yuk, keburu kram kaki gue bediri terus kayak manekin yang lagi promosi." Gadis itu segera menyambar lengan Rella, menariknya dengan sekuat tenaga disertai ringisan.
Sampai di dalam, hawa dingin dari ac menyergapi tubuh, suasana pun tidak terlalu ramai. Rella dan Stella memencar, mencari kebutuhan masing-masing. Namun, gadis gempal itu terus mengedarkan pandangan, bilamana menemukan laki-laki semampai berkulit putih dengan rambut hitam tertata rapi, seketika jantung berdegup kencang.
Akan tetapi, khayal memang hanya sebatas khayal, nyatanya yang dilihatnya bukanlah Alka, melainkan orang tak dikenal. Perasaan kecewa menghinggapi, Rella memilih fokus memilah barang yang hendak dibeli. Jika memang Allah menghendaki doa Rella, pasti bertemu. Demikian pikir gadis itu, tetapi tetap saja maniknya liar mencari-cari.
Sampai selesai berbelanja pun, sosok Alka tidak kunjung ditemukan. Rella masih belum mau beranjak dari tempat sepi itu, meminta Stella untuk menunggu beberapa saat lagi. Mungkin saja Alka masih di jalan, atau belum berangkat.
Stella benar-benar dibuat melongo atas sikap Rella yang demikian. Bagaimana bisa gadis seperti Rella yang biasanya menumpukan setiap hal di atas agama, tiba-tiba teramat mengharapkan kejadian dalam mimpi menjadi kenyataan? Sangat di luar dugaan.
Di depan minimarket, mereka mununggu ketidakpastian itu hingga belasan menit berlalu. Ketika kejemuan Stella berkubang, baru ia menyuarakan ketidaksetujuan, "Ella, gue tau lo suka sama Pak Alka, tapi nggak gini juga, dong .... Lo lupa sama apa yang udah lo ajarin ke gue?" Stella melontarkan kalimat itu karena terlalu lelah dengan sikap Rella yang keluar dari jalur seharusnya.
Rella memalingkan wajah dari jalan-yang nantinya menjadi arah kedatangan Alka-pada Stella. Melayangkan tatapan bingungnya, lalu bertanya, "Maksud lo?"
Stella mengembuskan napas, menatap lekat kedua manik legam Rella dengan serius. "Terlalu mengharapkan ketidakpastian itu tidak disukai Allah, lebih-lebih berharap pada manusia."
Deg!
Bagai busur panah menembus kalbu, terasa begitu ngilu. Perasaan bersalah menyapa Rella, seketika tubuhnya membeku bak es batu. Tak berkutik sedikit pun mendengar satu kalimat menampar dari sang sahabat. Benda cair terasa bergumul hebat di pelupuk mata, memaksa untuk keluar. Untuk berkata pun ia tidak mampu, hanya bisa mengembuskan napas guna menghilangkan sesak yang menjamah dada.
"El," panggil Stella pelan seraya menyentuh pundak gadis yang termangu itu, "are you okay?"
Air mata berjatuhan di kedua pipi gembul Rella, isakan turut keluar dari persembunyian. "Stel, makasih udah ngingetin aku ...." Ia bergerak merengkuh tubuh Stella, hingga membuat lidah gadis itu menjulur keluar karena dekapan Rella yang teramat erat, membuat napas tersendat.
"Iya, sama-sama," cicit Stella dengan raut tersiksa, sungguh, siapa pun bantu Stella!
Sementara, Rella menangis dalam pelukan yang menurutnya amat nyaman itu. Tidak sedikit pun berniat melepas atau sekadar mengendurkan rengkuhan. "Ya Allah ... maafkan hamba yang zalim ini ...."
Tampaknya, bukan hanya karena perasaan sadar akan kesalahan, tetapi juga efek dari menstruasi, sehingga meningkatkan sensitifitas pada Rella. Stella mencoba lebih sabar lagi, tidak mungkin ia meminta Rella untuk melepas pelukan, sedangkan sahabatnya masih dalam keadaan tidak baik-baik saja. Semoga saja Stella tidak mati kehabisan napas hanya karena mendapat dekapan dari sang sahabat sehati sejiwa.
***
Rose melaju membelah keramaian, bangunan minimarket seperti melambaikan tangan, bersyukur Rella telah menyudahi kesedihan yang berlangsung selama hampir setengah jam. Hanya sekilas, dan kini mereka sudah memasuki pekarangan kos-kosan, berhenti di area parkir yang sudah disediakan.
Stella menoleh pada Rella yang bersandar tanpa gairah. Raut sendu masih terpahat di wajah gembil itu. Menghadapkan tubuh pada Rella, Stella mulai melayangkan pertanyaan, "Masih belum bisa lupain soal mimpi itu?"
Napas Rella menguar berat. "Sepertinya, aku musti benar-benar melupakan Pak Alka, deh, Stel," kata gadis itu dengan suara serak lantaran terlalu lama terisak.
"Dulu, lo juga pernah bilang gitu, tapi tetep aja lo nggak bisa, 'kan? Maksud gue, gagal buat move on. Hari ini bilang gitu, malemnya galmove, a.k.a gagal move on."
Ya, pertanyaan sekaligus pernyataan Stella sangat benar. Akan tetapi, kali ini mungkin berbeda dari yang sudah-sudah. Sekali lagi, Rella menghempaskan napas panjang. "Sekarang aku mikir, Stel, kalau ternyata memikirkan dan berharap bisa berjodoh sama Pak Alka malah membuat iman aku sering kali goyah, bahkan hampir kebablasan."
Tangan Stella terulur, menghapus bulir bening yang berjatuhan bagai hujan di pipi Rella. Kenapa gadis sekuat Rella, bisa serapuh itu jika menyangkut perihal cinta? 'Bukan cuma Pak Alka, El, tapi juga Jojon, cowok yang dulu pernah lo ceritain ke gue dan hampir bikin lo bunuh diri.' Batin Stella.
Memang, perihal rahasia di masa silam, Rella tidak pernah sungkan untuk menceritakannya pada Stella. Jujur saja, batin gadis itu selalu berteriak ingin menyuarakan beban, khususnya pada Stella seorang, sahabat yang begitu setia menemani di kala susah pun senang.
"C'mon, El, gue nggak setuju sama pendapat lo. Iman itu bisa goyah karena belum terbiasa, kalo kita ngebiasain dan bertekad buat nggak biarin dia goyah, pasti nggak akan terjadi meski lo jatuh cinta sama pria mana pun. Trust me, El," kata Stella sembari mengusap pundak Rella.
Isak tangis Rella terhenti, bersamaan dengan tatapan yang tertuju pada Stella. "I trust you, very. Tapi aku takut tidak bisa melakukan hal itu, Stel," cicit gadis bermuka merah bak tomat matang itu, lantas menggeleng. "Aku tidak bisa, mungkin dengan jalan melupakan Pak Alka dan mengubur perasaan itu dalam-dalam, adalah yang terbaik."
Usapan Stella terhenti, tangannya meluruh. Baru saja Rella menyuarakan keputusan, mengibarkan bendera kekalahan sebelum berperang. Biasanya, setelah mendengar nasihat Stella, gadis itu akan kembali menggaungkan semangat juang. Akan tetapi, malam ini dia memilih menghentikan langkah, mundur secara perlahan.
Rella keluar dari mobil, meninggalkan Stella yang memandangi punggungnya dengan tatapan sendu. "Gue nggak tau kalo lo bisa serapuh itu hanya karena mimpi yang nggak jadi nyata, El."
Tidak, Stella salah. Rella bukan rapuh karena mimpi yang tidak menjadi nyata. Namun, karena terlalu sering ‘hampir kehilangan pegangan’ jika sudah terjerumus dalam hal percintaan. Apalagi, Rella harus menyadari kenyataan pahit jika manusia seperti dirinya tidak pantas disandingkan dengan pria berpangkat tinggi dan berkharisma seperti Alka. Dunia saja menentang, bagaimana dengan lelaki itu?
***
To be continue ...
[Kyuni's Note]: Jangan lupa apresiasinya ❤
Alhamdulillah, sampai bab 8 juga. Semoga kalian suka ❤
Di malam sunyi sepi. Merendah pasrah pada sang Ilahi. Bila esok 'kan tiba. Biarlah cerita mengalir apa adanyaAllah lebih tahu . Segala hal yang terbaik untukku. Jadi tiada lagi . Gundah gelisah merundung hatiAku 'kan jadi hujan. Tegar, tak putus asa. Aku 'kan jadi mutiara. Tersembunyi di balik cangkangAku adalah seperti apa yang Tuhan takdirkan. Biarlah dunia menyiksa. Biarlah mereka mencela. Aku adalah aku, Tuhan lebih tahu ituUntukmu, pemilik jiwa juang lagi tegar
Rose melaju membelah jalan dengan kecepatan sedang. Gadis di balik kemudi sesekali memutar leher hanya untuk mengamati raut yang tercetak di wajah gembil milik Rella. Berdehem, Stella menggerakkan jari-jemarinya di atas kemudi, mulai memikirkan apa yang akan ia katakan. Kejadian semalam cukup membuat komunikasi mereka sedikit memburuk. Sedari awal, Rella hanya menampilkan senyum tipis tanpa suara, paling untuk menjawab setiap perkataan Stella, itu pun satu-dua patah kata.Entah sudah berapa lama hening meraja, hingga akhirnya potongan kejadian waktu lalu menyambangi pikiran Stella. Demikian membuat gadis itu segera berkata, "Kemarin waktu lo nggak masuk, Kak Abil cariin lo tau."Rella menampakkan respon dengan wajah menghadap Stella. Kedua alisnya bertaut tajam dengan mimik terkejut. "Kak Abil nyari aku?" tanya gadis itu, lantas mendapat anggukan cepat dari St
Keheningan tercipta beberapa saat setelah Rella mengungkapkan tentang kondisi tubuhnya yang sudah membaik atas jawaban dari pertanyaan Abil dan Alka. Tentu hal itu membuat Rella sempat melambung, tetapi sebisa mungkin menyadarkan diri.Tidak lama, seorang waiter sekaligus barista di cafe itu datang membawa pesanan. Tidak lain adalah Jean. Ketika meletakkan secangkir air putih hangat ke hadapan Rella, ia berkata, "This is your water my princess Ella."Rella mendongak kaku, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Mengulas senyum, lantas menjawab lirih, "Thankyou, 'my prince' Jean." Dua kata yang mungkin terdengar memalukan itu diucap sangat-sangat lirih oleh Rella. Ya, pastinya memalukan, apalagi di depan para penyandang gelar 'the most
Cinderella tercenung lama di depan cermin, tidak kunjung memoles krim bayi yang terdapat pada kedua pipi, dahi, dan dagunya. Kejadian waktu lalu masih terngiang di ingatan, berputar berulang kali bagai roller coaster. Bahkan, derit pintu terbuka pun tidak didengar, apalagi dengan gemeletuk high heels Stella yang menguasai ruang."Good evening, my princess Ella ...""Allahu laa ilaha illahu wal hayyul qoyyum, laa ...! Ya, Allah, Stella ... bikin kaget saja kamu, ah!" teriak Rella histeris sambil menodongkan sisir ke arah Stella yang berjongkok di sampingnya.Stella mencebik, kembali berdiri sembari bersedekap depan dada. "Gila aja lo, El, masa gue dibacain ayat kursi? Emangnya gue hantu, apa?"
"Melupakanmu adalah hal yang cukup sulit. Namun, melupakan Allah demi mengingatmu, itu mustahil. Ya, lebih baik melupakan kamu daripada dilupakan Allah."***Cuaca pagi ini menggambarkan suasana hati Rella, kelabu dan mungkin sebentar lagi hujan akan tumpah ruah membasahi bumi. Hari libur biasanya gadis itu akan mengisi kekosongannya dengan menggambar sketsa baju muslim/ah, menjahit kain-kain perca, membuat kerajinan tangan, menyelesaikan tugas kulih, atau pergi ke pemakaman almarhum sang papa. Namun, kejadian kemarin sore benar-benar menjatuhkan mood-nya untuk sekadar melakukan kegiatan seperti biasa.Sementara, Stella baru saja berpamitan karena harus memenuhi panggilan orang tuanya. Tidak lain untuk membahas tentang pe
"Ketika kamu dalam proses move on, hati kamu harus sekuat baja, iman tetap kokoh seperti tiang masjid, dan hilangkan sifat mudah BAPER itu. Semangat, jangan kasih kendor!"***Hari ini Rella harus menyiapkan hati yang kuat dalam rangka bertemu dengan Alka. Bagaimanapun reaksi laki-laki itu nanti ketika bertemu, ia akan berusaha bersikap biasa tanpa melibatkan perasaan. Sebab, di dalam niatnya sudah mutlak tertulis 'Lupakan Alka!'. Oke, fighting Cinderella!Dengan semangat '45, gadis itu memasuki Rose yang terparkir syantik di halaman kos. "Yuk, berangkat," katanya pada Stella selepas mengenakan seatbelt.
"Karenamu aku melayang, karenamu pula aku tenggelam. Bukan salahmu, tetapi hati ini yang jauh dari-Nya dan ketika kaudatang, ia (hati) tiada daya, hingga akhirnya iman pun jadi taruhan. Harus kuakui, aku lemah tanpa Dzat ar-Rahman."***Entah sudah berapa kali Rella mondar-mandir tidak jelas di depan Stella yang matanya tidak pernah lekang mengikuti arah pergerakan gadis itu sembari menopang dagu. Selang lima detik, Rella mengembuskan napas berat. Tidak jarang satu tangannya memegangi kepala dan tangan lainnya berkacak pinggang, menggambarkan betapa runyam pikirannya saat ini."Kenapa nggak lo tolak aja kalo emang nggak bisa?"Rella berhenti, menatap Stella, lalu berkata, "Aku merasa tidak enakan untuk menolak a
Rella menyodorkan gelas dengan bahan porselen dan bertelinga yang berisi cokelat hangat pada Stella, lalu duduk di tepi ranjangnya membuat mereka saling berhadapan. Gadis dengan balutan kardigan hitam tebal yang duduk bersila di ranjang, seraya bersandar pada tembok itu kembali ke kos beberapa menit lalu dalam keadaan basah-basahan. Seketika sisi keibuan Rella timbul ke permukaan dan melayani Stella layaknya gadis tersebut adalah sang anak."Thankyou very much, Mom. You're so kind," kata Stella memuji disertai kekehan."You're welcome, Honey," balas Rella sedikit mencebik, tetapi kemudian menyunggingkan senyum. Menyeruput minu
[Assalamu'alaikum, El, aku cuma pengin kamu tau satu hal, kalo sebenarnya perjodohan antara Kak Stella dan Kak Alka itu murni karena paksaan dari Om Antonio sama Mama Gloria.][Kalo kamu nggak percaya, bisa tanyakan langsung sama Kak Alka, tapi aku yakin, kamu nggak akan mau ngelakuin itu. Jadi, di sini aku mau ngeyakinin kamu kalo di antara Kak Stella dan Kak Alka nggak ada perasaan cinta sedikit pun. Mereka murni berteman, nggak lebih. Aku lihat, Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Terbukti waktu aku ngembaliin sepatu kaca itu, dia keliatan kecewa banget, El.][Oh, iya, aku ngembaliin sepatu itu beberapa saat setelah kita ketemu di cafe J. Awalnya Kak Alka nolak ajakanku, tapi pas nyebut nama kamu dan sepatu kaca pemberiannya, akhirnya dia mau.][Aku yakin, seyakin-yakinnya kalo Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Dan aku juga yakin, Kak Alka nerima perjodohan itu pasti karena ada alasan yang kuat dan nggak bisa disepelekan. Aku sedikit kenal gimana perangai Om Antonio. Kalo dia
Wanita dengan rambut hitam yang tercepol asal itu tengah sibuk mengemasi barang-barang ke dalam tas koper ketika seseorang menghubunginya via video call. Rella, setelah melihat pada layar gawai di samping tempat duduknya, seketika melebarkan kedua mata. “Kak Abil?!” pekiknya panik. Secepat kilat dia meraih ciput dan jilbab bergo yang ada di tepi ranjang, lantas memakainya tanpa bercermin. Gawai masih terus berbunyi, Rella segera mengambil dan meletakkannya ke bolongan berbentuk persegi panjang pada meja laptop yang biasa dia gunakan belajar jika ingin lesehan di lantai. Ini kali pertama Abil menghubunginya via vc, tentu saja Rella tidak cukup berani, tetapi ingin menolak pun rasanya segan. Setelah memastikan dirinya sudah siap, barulah Rella menggeser tombol hijau dan beberapa saat kemudian, wajah tampan Abil memenuhi layar gawainya. Rella mengerjap beberapa kali, mengatur gestur tubuh dan mimik wajah agar terlihat baik dan tidak tegang. Dia mengulas senyum canggung. “Assalamu'ala
Selepas puas bercurhat ria pada sang mama, kini Rella lebih lega untuk menarik dan mengembuskan napasnya. Meskipun masih ada sedikit perasaan kecewa dan luka yang terasa perih di dada. Namun, dia akan berusaha untuk ikhlas, merelakan segala alur yang telah dirancang Allah sedemikian rupa. Wanita itu membuka sebuah aplikasi sosial media dan mencari nama akun seseorang yang menjadi topik utama curhatannya barusan. Setelah masuk ke profil akun tersebut, dia mengklik bagian kirim pesan. Beruntung onstagramnya tidak diblokir juga, sementara itu nomor telepon dan wutsapp-nya sudah diblokir. Sebelum mengetikkan pesan, Rella mengatur napas, menarik seutas senyum penenang. Barulah jari-jemarinya bermain di layar keyboard dengan pelan bersama detakan jantung yang terasa lebih cepat. [Hai, Stel. Kabar baik? Aku harap sangat baik. Maaf malam-malam mengirimimu pesan lewat dm. Aku ... hanya merasa segan untuk memintamu bertemu langsung. Selain itu, aku juga nggak tau nomormu yang lain. Malam
Sejak diantar pulang ke kosan oleh Abil, Rella tidak henti-hentinya menangis. Pikiran dan hatinya benar-benar tidak tenang, kacau. Dia bukan menangisi perihal Alka yang lebih memilih wanita lain, melainkan tentang persahabatannya bersama Stella. Rella memang kecewa atas perlakuan Alka, sangat. Dua kali dilamar, tetapi bukan dirinya yang dinikahi. Namun, Rella sudah berusaha untuk merelakan, sebab jika memang Tuhan tidak menakdirkan mereka berjodoh, mau sekuat apa pun berjuang juga tidak akan pernah bersatu. Sekarang, pikirannya lebih terbuka untuk tidak lagi berlarut-larut menangisi perihal asmara. Itu semua tidak lekang dari bantuan Stella yang selalu setia memberi dukungan, juga nasihat dari Pak Psikolog alias Abil. Hanya saja, kali ini dia tidak yakin bisa lebih tegar. Kehilangan sahabat sungguh berkali-kali lebih menyakitkan dibanding kehilangan kekasih. Bagi Rella, sosok Stella tidak ada gantinya. Sahabat terbaik sejak awal masuk kuliah hingga masuk semester 6, rasanya ketika
Abil menatap lawan bicaranya sembari menahan amarah. “Lo berhutang penjelasan soal kejadian tadi pagi di rumah keluarga Stella. Soal pertunangan kalian yang katanya ... terpaksa?”Laki-laki berwajah lesu itu sekalipun tidak membalas tatapan Abil. Sepasang mata lelahnya hanya tertuju pada permukaan meja dengan segelas air putih yang baru saja ia hidangkan untuk tamu di depan. Alka mengembus berat. Sedikit pun tidak tampak bias keceriaan di wajahnya, hanya ada ketidaktenangan. “Kamu sudah mendengar semua perkataan Stella, apa masih kurang jelas?” Nada suaranya terdengar sangat malas untuk sekadar membahas permasalahan yang baru saja dilalui. Jika boleh, dia sendiri tidak ingin menghadapi alur serumit itu. “Jelas, tapi kenapa lo malah jalanin kalo lo sama Stella nggak mau? Lo udah sering bikin Ella sakit hati, Al, dan sekarang lo bener-bener ngehancurin harapan dia!”Alka memejam. Ia sangat sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, sangat sadar telah membuat luka baru untuk Rella di s
“Tiada yang lebih baik daripada melepaskan. Karena jika aku memilih untuk terus mempertahankan, mungkin retaknya akan terus berulang.” *** Bagaikan racun yang dibungkus kain sutera, begitulah Stella yang menjadi racun dan Rella sebagai pembungkusnya. Kebaikan Rella menutupi segala bentuk tujuan buruk Stella, tetapi lambat laun ketika seseorang memaksa menyingkirkan kain sutera, mau tidak mau racun pun tampak. "Kenapa kamu masih di sini?" "Stella, aku--" "Pergi!" Bahkan, Stella memilih menenggak habis racun itu tanpa sisa, sebab tidak ingin sahabat terbaiknya terluka lebih jauh karena mempertahankan pertemanan mereka. Dia rela menjadi jahat, asalkan Rella menjauhinya. Dia rela menjadi bilah pisau, asalkan tidak ada lagi luka yang tercipta setelahnya. Demi kebaikan Rella, Stella rela menjadi seburuk-buruknya manusia. Rella tidak pantas bersahabat dengan manusia berhati busuk. Rella tidak pantas bebuat baik pada manusia berhati rubah. Sungguh tidak pantas. Satu dua tete
Wanita berpakaian khas dokter itu menggelung tt dan memasukkannya ke dalam tas khusus. Rautnya tampak berbeda selepas memeriksa keadaan pasien yang terbaring di ranjang king size. Sesaat kemudian, dia melempar senyum kepada orang tng duduk di kursi dekat ranjang, Gloria. "Bagaimana keadaan Stella, San? Dia tidak kenapa-napa, kan?" Kecemasan tergurat jelas di wajah renta Gloria. "Ibu jangan khawatir, Stella baik-baik aja. Dia cuma butuh istirahat untuk memulihkan tenaga, sebentar lagi pasti siuman." Ucapan Santiya, dokter yang biasa menanganinya terdengar meyakinkan, membuat Gloria tersenyum tenang dan bernapas lega. "Entah apa yang Stella kerjakan selain kuliah sampai membuatnya kecapean, tapi syukurlah kalau dia nggak kenapa-napa." Gloria berdiri mendekati Santiya yang telah selesai mengemasi peralatan medisnya. "Kamu nggak makan dulu bareng kita? Sambil nunggu Stella siuman.""Nggak usah, Bu, saya mau langsung balik ke rumah sakit selesai dari sini. Mungkin ... lain kali kalau ng
"Sebesar apa pun perjuanganmu untuk mendapatkannya, sekalipun mendaki gunung himalaya, bahkan mengarungi samudera hindia, jika Tuhan tidak berkehendak, kamu tidak akan pernah bisa memilikinya."***Anna, kenapa gadis yang pernah menjadi saudara tirinya itu ada di sini? Pertanyaan itulah yang pertama kali menyambangi pikiran Rella tatkala masuk ke rumah bak istana milik Gloria. Ia benar-benar terkejut, Abil berbisik padanya bahwa gadis dengan dress selutut itu adalah adik Stella. Adik kandung, tetapi beda ibu. Satu rahasia kembali terkuak. Lantas, kenapa selama ini, Stella bersikap seolah tidak mengenal Anna? Tunggu dulu. Annasterra dan ... Annastella. Kenapa Rella baru sadar, jikalau nama dari kedua gadis itu ada kemiripan? Kenapa ia tidak ngeh sama sekali? Rella tidak habis pikir. Lantas, apa alasan Stella sampai merahasiakan tentang ikatannya dengan Anna? Anna sangat menyukai Alka, apakah Stella mendukung hal itu di belakang Rella? Apakah Stella hanya berpura-pura mendukung per
"Setiap hal yang tersembunyi, ada kalanya tampak ke permukaan. Semata-mata agar manusia paham, bahwa sesuatu yang seharusnya tidak menjadi rahasia, tidak perlu dirahasiakan. Jika ketersembunyian saja mencipta masalah baru, kenapa tidak dengan menyuarakan kebenaran saja? Toh, ujungnya akan tetap sama. Walau sejatinya, kejujuran di awal lebih mampu untuk diterima hati, daripada menyemai kebohongan, yang pada akhirnya tertuai kekecewaan dan sulit untuk sekedar diikhlaskan."***[Kemarin lusa, kan, kamu belum jawab iya apa enggak. Apa mau ke sana sekarang? Kebetulan udah selesai kuliah. Kamu udah selesai?]Pesan itu didapat Rella dari Abil dua hari setelah mengajar di panti asuhan. Hal itu yang sangat ingin ditanyakan Rella, seandainya kemarin lusa laki-laki tersebut tidak menerima telepon penting. Pembicaraan tentang Stella pun terhenti, terlupakan begitu saja. Ingin bertanya, sudah sampai kos-an, jadilah Rella menahan rasa penasarannya hingga sekarang. [Udah selesai, Kak, ini mau bali