Rose melaju membelah jalan dengan kecepatan sedang. Gadis di balik kemudi sesekali memutar leher hanya untuk mengamati raut yang tercetak di wajah gembil milik Rella. Berdehem, Stella menggerakkan jari-jemarinya di atas kemudi, mulai memikirkan apa yang akan ia katakan. Kejadian semalam cukup membuat komunikasi mereka sedikit memburuk. Sedari awal, Rella hanya menampilkan senyum tipis tanpa suara, paling untuk menjawab setiap perkataan Stella, itu pun satu-dua patah kata.
Entah sudah berapa lama hening meraja, hingga akhirnya potongan kejadian waktu lalu menyambangi pikiran Stella. Demikian membuat gadis itu segera berkata, "Kemarin waktu lo nggak masuk, Kak Abil cariin lo tau."
Rella menampakkan respon dengan wajah menghadap Stella. Kedua alisnya bertaut tajam dengan mimik terkejut. "Kak Abil nyari aku?" tanya gadis itu, lantas mendapat anggukan cepat dari Stella yang merasa lega atas perubahan sikapnya.
Menelan saliva, kini Rella mulai berkeringat dingin. "Dia ... bilang apa sama kamu?"
"Kak Abil cuma nanyain keberadaan lo, itu doang, kok."
Kerutan di dahi Rella mulai mengendur, bersamaan dengan detak jantung yang kembali normal. "Dia tidak mengungkit soal ganti rugikah?"
Sembari fokus menyetir, Stella menggelengkan kepalanya beberapa kali "Tapi ..."
"Tapi, apa?" tanya Rella, kedua alisnya kembali bertaut bersama raut harap-harap cemas.
"Tapi gue yang deg-deg-an tau ...! Itu pertama kalinya gue natapin mata tajamnya Kak Abil secara langsung ...! Hadep-hadepan, lagi! Sumpah, tatapannya, tuh, tajam banget, sampe-sampe gue nggak bisa ngomong, lidah gue rasanya kaku. Ah, asli, dah, momen waktu itu nggak akan pernah bisa terlupakan!" tutur Stella seperti orang menang lotre.
Sementara, Rella membisu dengan pikiran berkecamuk. Suasana menghening, membuat Stella menatap heran pada sahabatnya yang tak kunjung bersuara. Namun, ia lebih fokus pada gerbang menjulang yang sudah di depan mata. Hingga Rose terparkir rapi di area parkiran, Rella tak kunjung menggerakkan bibir.
"Turun, yuk." Stella melepaskan seatbelt-nya, sedang Rella tetap mematung layaknya arca.
"El?"
"Huh?" Rella seperti orang kebingungan, kedua kelopak matanya turun naik beberapa kali.
"Udah nyampe, lo malah bengong. Turun, yuk."
Mengangguk kaku, Rella berkata, "M ..., iya."
***
Siang ini sesuai rencana, Alka menepati janji untuk menunggu Abil di cafe dekat kampus. Sepasang netra berbingkai kacamata dengan gagang hitam miliknya sesekali mengedar, mengamati para pengunjung yang berlalu lalang. Sesekali pula diseruputnya kopi hitam dalam gelas yang masih mengepulkan asap.
Bunyi lonceng otomatis tanda hadirnya pengunjung baru, menyita perhatian Alka, salah satu dari gerak refleks atas respon saraf-saraf otak. Namun, sepertinya Alka tak berniat untuk mengubah arah sorotan matanya pada satu titik di sana.
Sosok berbaju kurung biru langit tampak berdiri mematung di depan pintu. Dia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan sembari memejam untuk beberapa saat. Netranya mulai mengedar, hingga pada satu titik, ia pun menghentikan pergerakan.
Entah kenapa Alka tak segera memalingkan pandangan, sedang hal yang sama tengah terjadi pada sosok di depan. Detik demi detik berlalu, ruangan bertemankan alunan musik mellow menemani kekhidmatan mereka dalam mempertemukan pandang. Bibir membisu, detak jantung menggatikan peran untuk menyuarakan isi kalbu.
Sayangnya, Tuhan tidak menyukai detik demi detik yang terjalin di antara mereka. Hingga suara lonceng menyadarkan keduanya dari perbuatan yang tersebutlah zina mata. Pada akhirnya, kedua kawula itu sama-sama memalingkan pandangan, maka berakhir pula keburukan.
Gadis berjilbab putih tersebut memacu langkah dengan raut gugup dan wajah merah padam. Tidak lain sosok itu adalah Rella. Merutuki diri sendiri dalam hati, dia mulai mendudukkan diri di kursi yang letaknya sedikit berjauhan dari tempat Alka. Ya, kali ini niat untuk melupakan Alka tidak boleh gagal hanya karena debaran tak karuan di dalam sana.
Sibuk dengan kegiatan merutuki diri sembari membenamkan wajah dan bertingkah konyol, Rella tidak sadar jika Alka sudah berpindah tempat ke hadapannya. Laki-laki itu menatap heran pada Rella, tak lama sebelah sudut bibirnya terangkat.
"Cinderella? Baik-baik saja, 'kan?"
Bagai busur panah menembus cakrawala, alam semesta, hingga jagat raya, pupil Rella melebar seketika tanpa mengubah sikap tubuhnya. 'Allahumma Rabbi ..., apa telinga ini tidak salah dengar? Itu suara Pak Alka, 'kan? Aduh, bangun apa tidak, ya?'
"Kamu masih tidak enak badan?"
"Sori banget, ya, gue telat. Tadi ada sedikit urusan sama Pak Rektor. Loh, Rella kenapa?"
***
Beberapa jam yang lalu ....
"El, Kak Abil."
Ucapan Stella yang tiba-tiba ketika sampai di koridor kelas, membuat Rella menghentikan langkah dan sontak memacu peredaran darahnya menjadi lebih cepat. Sosok dari pemilik nama yang terlontar dari bibir Stella tampak memacu langkah pelan di depan sana, berjarak puluhan meter, tidak terlalu renggang pun tidak terlalu dekat.
Rella terbungkam, tanpa sadar begitu erat menggenggam tangan Stella, membuat gadis itu menepuk punggung tangannya beberapa kali, mencoba menenangkan. Ayunan kaki Abil berubah cepat dan benar saja, dia berhenti tepat di hadapan mereka.
Ketiganya terdiam, dikuasai oleh keheningan bertemankan decitan sepatu milik para mahasiswa yang berlalu lalang tatkala beradu dengan lantai. Abil membuang napas samar, lantas memasang tampang wanti-wanti, seolah tidak berani ketahuan. Tanpa sepatah kata, tangan kanannya menyodorkan secarik kertas yang terlipat rapi pada Rella.
Bingung, Rella hanya menatap penuh tanya pada benda tersebut, lalu beralih menyoroti wajah tampan Abil yang terlihat sedikit tegang. Suasana benar-benar awkward, sedangkan Stella menahan napas sebab mulai dikuasai hal lumrah yang disebut 'cemburu'.
"Ambil." Satu kata yang berdefinisi sebagai kata kerja juga perintah tersebut lolos dari bibir Abil. Terdengar sangat otoriter. Demikian membuat Rella mau tidak mau segera mengambil kertas itu. Tidak butuh dua detik, suara Abil kembali terdengar menelisik gendang telinga Rella, "dibaca nanti."
Gerak-gerik Abil begitu tergesa, tampak jelas dari gerak tubuhnya yang melesat pergi selepas mengatakan dua kata terakhir. Rella mematung di tempat, sementara Stella menyambar benda berisi tulisan tersebut dari tangan sahabatnya. Tidak lain tujuannya untuk membaca 'rahasia' di balik kata yang tertoreh oleh tinta hitam di atas kertas putih.
"Cafe J, selesai matkul terakhir," baca Stella pelan dengan volume rendah. Setelahnya, kedua gadis itu saling tatap dengan memasang raut berbeda-beda. Rella terkejut, sedang Stella sedikit ... cemberut.
***
To be continue
Laki-laki dengan wajah agak keruh itu menghela napas samar. Kekhawatiran tentang dicabutnya gelar 'mahasiswa paling disiplin' alias 'mahasiswa teladan' benar-benar terjadi. Abil, saat ini ia tengah berhadapan dengan rektor kampus yang baru saja menyelesaikan kalimat berisi berita buruk.
Yah, bukti cctv cukup kuat untuk melengserkan kedudukan Abil. Kampus ini memang sangat memperhatikan gerak-gerik setiap mahasiswanya, sekecil apa pun itu. Juga akan sangat mempertimbangkan posisi Abil jika sudah berbuat hal yang tidak terpuji.
"Lusa, poster-poster kamu akan digantikan dengan poster Alang, mahasiswa yang akan menggantikan posisi kamu. Bapak harap, kamu tidak berkecil hati dan tidak menurunkan minat belajar kamu."
Abil kembali menguarkan karbondioksida melalui hidungnya, lantas tersenyum simpul. "Saya pastikan tidak akan berpengaruh pada minat belajar, bahkan nilai saya, Pak. Ini sudah menjadi risiko saya karena memberikan contoh yang tidak baik."
Laki-laki senja tersebut mengangguk dengan senyuman kagum. "Bagus. Kalau begitu, kamu boleh keluar dan melanjutkan aktivitas."
"Baik, Pak. Terima kasih sebelumnya. Permisi, Pak."
***
To be continue ...
[Kyuni's Note]: Wah, wah, mau ngapain Abil ngajak Rella ketemuan?
Keheningan tercipta beberapa saat setelah Rella mengungkapkan tentang kondisi tubuhnya yang sudah membaik atas jawaban dari pertanyaan Abil dan Alka. Tentu hal itu membuat Rella sempat melambung, tetapi sebisa mungkin menyadarkan diri.Tidak lama, seorang waiter sekaligus barista di cafe itu datang membawa pesanan. Tidak lain adalah Jean. Ketika meletakkan secangkir air putih hangat ke hadapan Rella, ia berkata, "This is your water my princess Ella."Rella mendongak kaku, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Mengulas senyum, lantas menjawab lirih, "Thankyou, 'my prince' Jean." Dua kata yang mungkin terdengar memalukan itu diucap sangat-sangat lirih oleh Rella. Ya, pastinya memalukan, apalagi di depan para penyandang gelar 'the most
Cinderella tercenung lama di depan cermin, tidak kunjung memoles krim bayi yang terdapat pada kedua pipi, dahi, dan dagunya. Kejadian waktu lalu masih terngiang di ingatan, berputar berulang kali bagai roller coaster. Bahkan, derit pintu terbuka pun tidak didengar, apalagi dengan gemeletuk high heels Stella yang menguasai ruang."Good evening, my princess Ella ...""Allahu laa ilaha illahu wal hayyul qoyyum, laa ...! Ya, Allah, Stella ... bikin kaget saja kamu, ah!" teriak Rella histeris sambil menodongkan sisir ke arah Stella yang berjongkok di sampingnya.Stella mencebik, kembali berdiri sembari bersedekap depan dada. "Gila aja lo, El, masa gue dibacain ayat kursi? Emangnya gue hantu, apa?"
"Melupakanmu adalah hal yang cukup sulit. Namun, melupakan Allah demi mengingatmu, itu mustahil. Ya, lebih baik melupakan kamu daripada dilupakan Allah."***Cuaca pagi ini menggambarkan suasana hati Rella, kelabu dan mungkin sebentar lagi hujan akan tumpah ruah membasahi bumi. Hari libur biasanya gadis itu akan mengisi kekosongannya dengan menggambar sketsa baju muslim/ah, menjahit kain-kain perca, membuat kerajinan tangan, menyelesaikan tugas kulih, atau pergi ke pemakaman almarhum sang papa. Namun, kejadian kemarin sore benar-benar menjatuhkan mood-nya untuk sekadar melakukan kegiatan seperti biasa.Sementara, Stella baru saja berpamitan karena harus memenuhi panggilan orang tuanya. Tidak lain untuk membahas tentang pe
"Ketika kamu dalam proses move on, hati kamu harus sekuat baja, iman tetap kokoh seperti tiang masjid, dan hilangkan sifat mudah BAPER itu. Semangat, jangan kasih kendor!"***Hari ini Rella harus menyiapkan hati yang kuat dalam rangka bertemu dengan Alka. Bagaimanapun reaksi laki-laki itu nanti ketika bertemu, ia akan berusaha bersikap biasa tanpa melibatkan perasaan. Sebab, di dalam niatnya sudah mutlak tertulis 'Lupakan Alka!'. Oke, fighting Cinderella!Dengan semangat '45, gadis itu memasuki Rose yang terparkir syantik di halaman kos. "Yuk, berangkat," katanya pada Stella selepas mengenakan seatbelt.
"Karenamu aku melayang, karenamu pula aku tenggelam. Bukan salahmu, tetapi hati ini yang jauh dari-Nya dan ketika kaudatang, ia (hati) tiada daya, hingga akhirnya iman pun jadi taruhan. Harus kuakui, aku lemah tanpa Dzat ar-Rahman."***Entah sudah berapa kali Rella mondar-mandir tidak jelas di depan Stella yang matanya tidak pernah lekang mengikuti arah pergerakan gadis itu sembari menopang dagu. Selang lima detik, Rella mengembuskan napas berat. Tidak jarang satu tangannya memegangi kepala dan tangan lainnya berkacak pinggang, menggambarkan betapa runyam pikirannya saat ini."Kenapa nggak lo tolak aja kalo emang nggak bisa?"Rella berhenti, menatap Stella, lalu berkata, "Aku merasa tidak enakan untuk menolak a
Rella menyodorkan gelas dengan bahan porselen dan bertelinga yang berisi cokelat hangat pada Stella, lalu duduk di tepi ranjangnya membuat mereka saling berhadapan. Gadis dengan balutan kardigan hitam tebal yang duduk bersila di ranjang, seraya bersandar pada tembok itu kembali ke kos beberapa menit lalu dalam keadaan basah-basahan. Seketika sisi keibuan Rella timbul ke permukaan dan melayani Stella layaknya gadis tersebut adalah sang anak."Thankyou very much, Mom. You're so kind," kata Stella memuji disertai kekehan."You're welcome, Honey," balas Rella sedikit mencebik, tetapi kemudian menyunggingkan senyum. Menyeruput minu
"Kata orang, jatuh cinta adalah proses pendewasaan diri. Namun, kenapa yang kurasakan; jatuh cinta adalah proses penyiksaan hati?"***Rella masih kepikiran akan ajakan Alka yang tidak seperti biasanya. Meski sudah sering ia memberi alasan dan akhirnya tidak jadi membicarakan hal yang dimaksud laki-laki itu. Akan tetapi, untuk kali ini, Alka sempat berkata apakah Rella benar-benar tidak ada waktu barang sejenak, sebab hal itu sangatlah penting. Siapa sangka, seorang dosen paling dikagumi oleh mahasiswi seantero kampus, bisa memohon untuk diberi kesempatan guna mengutarakan tujuannya pada seorang gadis yang sering kali dipandang sebelah mata hanya karena ketidaksempurnaan fisiknya.Sempat ingin menerima, tetapi ia teringat akan tugas akhir semester empat yang harus segera diselesaikan. Andai kata tida
"Ternyata, berpura-pura tidak mencintai lebih menyiksa daripada pura-pura mencintai. Perasaan itu harus kamu kubur, pendam, dan rahasiakan dari banyak orang. Sebuah kebohongan besar jika kamu berkata bahagia ketika melihat orang yang dicintai bahagia, meski bukan denganmu, tetapi orang lain. Padahal, di lubuk hati paling dalam, tercipta luka menganga. Namun, rasa sakit yang teramat itu kamu telan seorang diri, tidak tahu kepada siapa untuk berbagi, sebab kamu sudah merasa tiada lagi orang yang peduli."***Pesan yang tidak terlalu panjang pun tidak juga pendek itu—sembari mengerjakan tugas, selang 4-5 detik—kembali ditatap Rella, terhitung sudah setengah jam ia melakukan hal tersebut setelah kembali ke kos. Pesan yang sebenarnya dikirim Stella ketika masih berada di area parkir kedai kopi waktu lalu.