Keheningan tercipta beberapa saat setelah Rella mengungkapkan tentang kondisi tubuhnya yang sudah membaik atas jawaban dari pertanyaan Abil dan Alka. Tentu hal itu membuat Rella sempat melambung, tetapi sebisa mungkin menyadarkan diri.
Tidak lama, seorang waiter sekaligus barista di cafe itu datang membawa pesanan. Tidak lain adalah Jean. Ketika meletakkan secangkir air putih hangat ke hadapan Rella, ia berkata, "This is your water my princess Ella."
Rella mendongak kaku, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Mengulas senyum, lantas menjawab lirih, "Thankyou, 'my prince' Jean." Dua kata yang mungkin terdengar memalukan itu diucap sangat-sangat lirih oleh Rella. Ya, pastinya memalukan, apalagi di depan para penyandang gelar 'the most boy'.
'Eh, siapa juga yang akan cemburu? Pak Alka, kan, bukan siapa-siapa aku. Akunya aja yang terlalu tinggi harapan. Huft!'
"Ekhem ... maaf, yang tadi itu sudah biasa kalian lakukan atau baru kali ini?"
Pertanyaan dari sosok berkemeja hitam, tiba-tiba saja membuat semua mata beralih menyoroti sang empunya suara. Coba tebak, siapa dia. Of course, he is Muhammad Alka Marshal!
Jean menatap Alka dengan sorot biasa, sedangkan Rella kian menenggelamkan wajah karena dia yakin, saat ini pasti kedua pipi gembilnya semerah kepiting rebus. Laki-laki berdasi kupu-kupu dengan nampan di tangan kanan itu menampilkan senyum, masih pada posisi bersitatap dengan Alka.
Tunggu, ini seperti ajang memperebutkan cinta seorang Cinderella. Yang benar saja, bisa-bisa Rella gagal move on lagi!
"Kita cuma sahabatan dan yang tadi itu hanya sebatas candaan," kata Jean dengan senyum lebar yang masih terpatri.
Tidak butuh waktu tiga detik untuk membuat Rella mendongakkan kepala. Raut gadis itu berangsur lega, tetapi segera sadar, sebenarnya, dia lega karena apa? Apakah karena Jean berkata jujur atau Alka tahu jika di antara dirinya dan Jean tidak ada apa-apa?
"Benarkah? Saya pikir kalian ada hubungan ... ya ... seperti itu," balas Alka dengan sedikit kekehan setelah terdiam beberapa detik.
Jean pun turut terkekeh renyah. "Tidak, tidak. Kalaupun ada, memangnya Pak Alka siapanya Ella? Jika Bapak kekasihnya, maka saya mundur, karena saya jauh berada di bawah Bapak."
Rella menatap tajam Jean, berharap laki-laki itu enyah sekarang juga. Namun, yang ada malah semakin diteruskan.
"Dia salah satu murid saya di kelas," jawab Alka seraya menaikkan kedua sudut bibir.
Jleb!
Apakah Rella kecewa? Seharusnya tidak, 'kan? Akan tetapi ..., dari sorot matanya, cukup untuk mendeskripsikan bagaimana perasaannya saat ini. Sedikit muram, lengkap dengan senyum kecut.
"Boleh saya minta kertas kosong?" tanya Alka pada Jean.
Alhasil, membuat Jean mengangguk, lantas merobek selembar note kosong yang berada di saku celemeknya. Menerima benda bergaris-garis tersebut, Alka mulai mengeluarkan bolpoin dari saku kemeja, kemudian membubuhkan tinta hitam di atas kertas itu.
Hening menyelimuti, hingga akhirnya Alka menyerahkan kertas yang sudah terlipat rapi pada Jean. Tanpa bertanya apa pun, laki-laki itu menerima, lalu membaca isinya tanpa suara.
Jean menarik sebelah sudut bibirnya seraya berkata, "Oke. Thanks, Pak, nggak bakal saya lakuin lagi."
"Terima kasih," balas Alka.
"So, selamat menikmati waktu kalian di cafe J. Semoga terhibur dengan alunan musiknya." Jean meninggalkan ketiga pemuda tersebut dengan raut penuh arti.
Rella tampak tercenung, memikirkan isi dari kertas yang ditulis oleh Alka. Apa isinya, hingga Jean bisa berkata demikian? Kalimat itu berputar dan terus berputar di pikirannya, hingga ingatan tentang ucapan Alka beberapa menit yang lalu tidak lagi berkuasa.
"Oke, kita kembali ke topik awal," kata Abil berhasil mengalihkan perhatian Alka dan Rella. "Jadi tujuan gue ngajak kalian ketemu di sini, buat ngebahas masalah gue sama Cinderella. Tepatnya masalah bumper mobil gue yang kemarin ditabrak."
Kepala Rella terasa nyut-nyutan selepas mendengar kalimat itu mengalir deras bagaikan air terjun dari bibir Abil. Bahkan berhasil membuat jantungnya terpompa lima kali lebih cepat. Tatkala suara merdu khas milik Alka menyambut, tak ayal kian melipatgandakan debaran di dalam sana.
"Artinya, saya bertugas menjadi penengah, begitu?" utara Alka bertanya tanpa sedikit pun ketegangan menyambang di wajah rupawannya.
Abil mengiakan dengan sebuah anggukan. "Sekaligus menjadi saksi, tapi ini bukan masalah ganti rugi," katanya, berhasil menarik perhatian Rella untuk berhenti merunduk. Kali ini, laki-laki itu adalah sorotan utama, lantas dia kembali berujar, "melainkan yang gue ceritain ke lo waktu itu."
'... yang gue ceritain ke lo waktu itu? Maksudnya apa?' Netra Rella beralih menyoroti Alka yang masih anteng memfokuskan diri pada Abil. 'Sebenarnya mereka mau ngapain, sih? Kenapa Pak Alka harus ikut andil dalam masalah aku sama Kak Abil? Please ... jangan buat aku gagal move on!'
Merasa diperhatikan, Alka menarik kedua manik matanya ke arah Rella, sontak membuat gadis itu menahan napas dan segera membuang pandangan. Sebelah sudut bibir Alka terangkat samar untuk beberapa saat, lalu kembali menghadap Abil, mulai fokus mendengar setiap kalimat yang dilontarkan laki-laki dengan sweater putih gading tersebut.
"Masalah yang gue maksud itu, ketika gue sama Cinderella ketemuan di cafe ini, beberapa jam setelah kejadian di parkiran kampus," tutur Abil yang membuat Rella membulatkan mata, tentu gadis itu terkejut sebab Alka mengetahui masalahnya. Sangat memalukan.
"Tujuan kita awalnya buat ngerundingin ganti rugi, tapi ... ujungnya malah runyam dan bikin Cinderella nangis," ujar Abil melanjutkan.
Tenggelamlah wajah Rella untuk ke sekian kali. Merasa sangat malu karena Alka mengetahui semua masalahnya dengan Abil.
"Maka dari itu, tujuan utama gue ngajak Cinderella ketemu, karena gue mau minta maaf sama dia, dan lo sebagai saksinya." Raut keseriusan Abil tidak pernah berubah, benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan pertemuannya dengan Rella.
Rella dibuat tercengang atas pernyataan Abil. Minta maaf? Apa kepalanya sudah terbentur, lalu hilang ingatan? Demikian pemikiran Rella yang jauh dari kata masuk akal terhadap laki-laki itu. Kalaupun Abil hilang ingatan, bisa saja masalah waktu lalu tidak diingat. Ya, 'kan?
Menarik napas dalam, lantas mengembuskannya pelan, Abil terdiam sejenak guna menetralisir perasaan yang entah apa namanya, sulit untuk didefinisikan. Gugup? Mungkin, tetapi apakah dia gugup karena ingin mengutarakan maaf saja? Atau ... justru karena objek pengutaraan maaf? Entahlah, Abil sendiri tidak mengerti dengan situasi hati dan pikirannya.
Suasana hening beradu keseriusan. Hanya ada alunan musik yang berhasil menyuarakan keadaan, tegang, tetapi ada unsur perasaan yang tak karuan. Kedua tangan Abil mulai menyatu padu, saling beradu untuk kemudian menjadi pertanda bahwa kalimat yang sudah tersusun rapi di dalam otak siap diutarakan.
"Cinderella," panggil Abil dalam ritme cukup pelan.
Rella mendongak, menatap kedua manik Abil sejenak, lalu kembali menunduk. Mengambil napas melalui hidung, tersembus samar melewati bibir yang mulai memucat. "Iya, Kak?"
"Gue minta-"
Ting!
"Kak Alka!"
***
To be continue ...
[Kyuni's Note]: Siapa, tuh, yang dateng? Ganggu aja!
To be continue.
Cinderella tercenung lama di depan cermin, tidak kunjung memoles krim bayi yang terdapat pada kedua pipi, dahi, dan dagunya. Kejadian waktu lalu masih terngiang di ingatan, berputar berulang kali bagai roller coaster. Bahkan, derit pintu terbuka pun tidak didengar, apalagi dengan gemeletuk high heels Stella yang menguasai ruang."Good evening, my princess Ella ...""Allahu laa ilaha illahu wal hayyul qoyyum, laa ...! Ya, Allah, Stella ... bikin kaget saja kamu, ah!" teriak Rella histeris sambil menodongkan sisir ke arah Stella yang berjongkok di sampingnya.Stella mencebik, kembali berdiri sembari bersedekap depan dada. "Gila aja lo, El, masa gue dibacain ayat kursi? Emangnya gue hantu, apa?"
"Melupakanmu adalah hal yang cukup sulit. Namun, melupakan Allah demi mengingatmu, itu mustahil. Ya, lebih baik melupakan kamu daripada dilupakan Allah."***Cuaca pagi ini menggambarkan suasana hati Rella, kelabu dan mungkin sebentar lagi hujan akan tumpah ruah membasahi bumi. Hari libur biasanya gadis itu akan mengisi kekosongannya dengan menggambar sketsa baju muslim/ah, menjahit kain-kain perca, membuat kerajinan tangan, menyelesaikan tugas kulih, atau pergi ke pemakaman almarhum sang papa. Namun, kejadian kemarin sore benar-benar menjatuhkan mood-nya untuk sekadar melakukan kegiatan seperti biasa.Sementara, Stella baru saja berpamitan karena harus memenuhi panggilan orang tuanya. Tidak lain untuk membahas tentang pe
"Ketika kamu dalam proses move on, hati kamu harus sekuat baja, iman tetap kokoh seperti tiang masjid, dan hilangkan sifat mudah BAPER itu. Semangat, jangan kasih kendor!"***Hari ini Rella harus menyiapkan hati yang kuat dalam rangka bertemu dengan Alka. Bagaimanapun reaksi laki-laki itu nanti ketika bertemu, ia akan berusaha bersikap biasa tanpa melibatkan perasaan. Sebab, di dalam niatnya sudah mutlak tertulis 'Lupakan Alka!'. Oke, fighting Cinderella!Dengan semangat '45, gadis itu memasuki Rose yang terparkir syantik di halaman kos. "Yuk, berangkat," katanya pada Stella selepas mengenakan seatbelt.
"Karenamu aku melayang, karenamu pula aku tenggelam. Bukan salahmu, tetapi hati ini yang jauh dari-Nya dan ketika kaudatang, ia (hati) tiada daya, hingga akhirnya iman pun jadi taruhan. Harus kuakui, aku lemah tanpa Dzat ar-Rahman."***Entah sudah berapa kali Rella mondar-mandir tidak jelas di depan Stella yang matanya tidak pernah lekang mengikuti arah pergerakan gadis itu sembari menopang dagu. Selang lima detik, Rella mengembuskan napas berat. Tidak jarang satu tangannya memegangi kepala dan tangan lainnya berkacak pinggang, menggambarkan betapa runyam pikirannya saat ini."Kenapa nggak lo tolak aja kalo emang nggak bisa?"Rella berhenti, menatap Stella, lalu berkata, "Aku merasa tidak enakan untuk menolak a
Rella menyodorkan gelas dengan bahan porselen dan bertelinga yang berisi cokelat hangat pada Stella, lalu duduk di tepi ranjangnya membuat mereka saling berhadapan. Gadis dengan balutan kardigan hitam tebal yang duduk bersila di ranjang, seraya bersandar pada tembok itu kembali ke kos beberapa menit lalu dalam keadaan basah-basahan. Seketika sisi keibuan Rella timbul ke permukaan dan melayani Stella layaknya gadis tersebut adalah sang anak."Thankyou very much, Mom. You're so kind," kata Stella memuji disertai kekehan."You're welcome, Honey," balas Rella sedikit mencebik, tetapi kemudian menyunggingkan senyum. Menyeruput minu
"Kata orang, jatuh cinta adalah proses pendewasaan diri. Namun, kenapa yang kurasakan; jatuh cinta adalah proses penyiksaan hati?"***Rella masih kepikiran akan ajakan Alka yang tidak seperti biasanya. Meski sudah sering ia memberi alasan dan akhirnya tidak jadi membicarakan hal yang dimaksud laki-laki itu. Akan tetapi, untuk kali ini, Alka sempat berkata apakah Rella benar-benar tidak ada waktu barang sejenak, sebab hal itu sangatlah penting. Siapa sangka, seorang dosen paling dikagumi oleh mahasiswi seantero kampus, bisa memohon untuk diberi kesempatan guna mengutarakan tujuannya pada seorang gadis yang sering kali dipandang sebelah mata hanya karena ketidaksempurnaan fisiknya.Sempat ingin menerima, tetapi ia teringat akan tugas akhir semester empat yang harus segera diselesaikan. Andai kata tida
"Ternyata, berpura-pura tidak mencintai lebih menyiksa daripada pura-pura mencintai. Perasaan itu harus kamu kubur, pendam, dan rahasiakan dari banyak orang. Sebuah kebohongan besar jika kamu berkata bahagia ketika melihat orang yang dicintai bahagia, meski bukan denganmu, tetapi orang lain. Padahal, di lubuk hati paling dalam, tercipta luka menganga. Namun, rasa sakit yang teramat itu kamu telan seorang diri, tidak tahu kepada siapa untuk berbagi, sebab kamu sudah merasa tiada lagi orang yang peduli."***Pesan yang tidak terlalu panjang pun tidak juga pendek itu—sembari mengerjakan tugas, selang 4-5 detik—kembali ditatap Rella, terhitung sudah setengah jam ia melakukan hal tersebut setelah kembali ke kos. Pesan yang sebenarnya dikirim Stella ketika masih berada di area parkir kedai kopi waktu lalu.
"Jangan pernah mengkhawatirkan hubungan yang belum pasti ujungnya, tetapi khawatirlah pada hubunganmu dengan Tuhan, jangan sampai ada jarak yang membentang, hingga akhirnya engkau dilupakan."***Laki-laki dengan sweater putih gading tengah terduduk di single sofa dalam bilik bernuansa hitam putih. Kedua manik legamnya menatap layar ponsel yang menampilkan bekas panggilan dari seseorang dengan nama ‘Cinderella’. Terdapat satu panggilan masuk dari gadis tersebut, beberapa sisanya adalah panggilan keluar dan tak terjawab yang dari beberapa minggu lalu sebelum jarak perlahan membentang di antara mereka.Mengembuskan napas pelan, laki-laki itu menaruh ponsel ke nakas, terdapat di sisi kanan sofa. Beralih meraih bingkai hitam berukuran 10x15 berisi sketsa wajah laki-laki berkacamata, lengkap dengan senyum lebarnya. Sketsa tersebut adalah Alka yang waktu itu berumur 17 tahun. Salah satu ibu jarinya mengelus tulisan