"Ketika kamu dalam proses move on, hati kamu harus sekuat baja, iman tetap kokoh seperti tiang masjid, dan hilangkan sifat mudah BAPER itu. Semangat, jangan kasih kendor!"
***
Hari ini Rella harus menyiapkan hati yang kuat dalam rangka bertemu dengan Alka. Bagaimanapun reaksi laki-laki itu nanti ketika bertemu, ia akan berusaha bersikap biasa tanpa melibatkan perasaan. Sebab, di dalam niatnya sudah mutlak tertulis 'Lupakan Alka!'. Oke, fighting Cinderella!
Dengan semangat '45, gadis itu memasuki Rose yang terparkir syantik di halaman kos. "Yuk, berangkat," katanya pada Stella selepas mengenakan seatbelt.
"Widih ... muka lo cerah ceria bak bulan purnama, El. Kenapa? Habis dilamar Pak Alka, ya ...?" goda Stella yang belum berniat melajukan mobil, sebab merasa wajib untuk menjaili Rella karena sudah tidak semuram kemarin.
"Stel ... bisa, tidak, jangan bahas Pak Alka lagi? Aku masih dalam proses move on ...!" rengut Rella terdengar kesal.
Ups, sepertinya Stella salah pertanyaan, oke ganti, "Kalo gitu, habis menang lotre jangan-jangan lo, ya ...?" Telunjuk kanannya tertuju pada Rella dengan raut yang sama seperti aksi bertanya sebelumnya.
Rella berdecak. "Bukan ...! Jadi, kemarin itu ..."
"Ehem." Stella manggut-manggut antusias disertai mata melebar, seolah tidak sabar menunggu jawaban.
"Aku sama Kak Abil baikan."
Tertegun, lalu mengerjap beberapa kali seolah tidak percaya dengan jawaban yang merasuk ke telinganya. "Seriously?! Lo nggak boong, 'kan?"
"Iya, ngapain juga aku bohong. Bahkan ... tapi kamu jangan marah, ya." Kini giliran Rella yang mematutkan telunjuk kanannya ke wajah Stella.
Tidak menimpali, Stella hanya penasaran dengan ucapan Rella selanjutnya. Memangnya kenapa gadis itu sampai memintanya untuk jangan marah? Apa jangan-jangan Abil menembak Rella? Atau bahkan melamar?! Tidak, tidak, Stella menggeleng kuat, tidak mungkin seorang Abil yang sangat pemilih melakukan hal itu. Tidak mungkin!
Setelah beberapa detik membuat Stella kepo tingkat akut, akhirnya Rella pun bersuara, "Kak Abil nawarin aku jadi temannya."
Duar!
Seketika kedua bola mata Stella membulat. Bagai tidak percaya, bibirnya pun ternganga lebar. Yang benar saja?!
"What?! Oh, God! Demi apa, lo ngelangkahin gue, El?! God ...! Ini nggak bisa dipercaya, nggak bisa dicerna sama otak gue!" celoteh Stella sembari mengipasi-ngipasi wajahnya yang terasa gerah dan panas menggunakan tangan. "Nggak bisa dibiarin, nih!"
Rella terkekeh melihat reaksi sahabatnya yang agak lebay. "Tidak percaya, 'kan? Aku juga awalnya tidak percaya, tapi Kak Abil benar-benar mengatakannya dengan wajah yang ... bisa dibilang cukup tulus."
Raut gadis di belakang kemudi sudah berubah drastis, manyun dan sedih. Dramatisasi dimulai. Rella bergerak mencubit pipi kiri Stella dengan gemas sembari terkikik geli.
"Astaga, sahabat aku lagi cemburu, nih, ceritanya? Masa cemburu, sih? Harusnya, kan, senang. Aku temenan sama Kak Abil, yakin, deh, kayaknya dia bakalan dekat juga sama kamu. Ya ... mengingat kita itu best friends. Serius, nih, mau manyun terus ...?"
Godaan Rella sukses melunturkan kecemberutan Stella, terganti dengan mesem-mesem, tidak lupa menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Iya, deh ... nggak jadi marah. Tapi inget, ya, Kak Abil itu sasaran gue, jadi lo jangan modusin dia entar."
Tak pelak dahi gadis yang sebagian ditutupi ciput putih dengan balutan kerudung biru langit itu mengernyit. "Dih, ngapain aku modusin Kak Abil?"
"Pokoknya nggak boleh, titik!" tegas Stella seperti tidak sedang main-main.
Hal itu memancing tawa renyah dari Rella. "Oke, oke. Aku janji, tidak akan modusin Kak Abil, apalagi merebut dia dari kamu, itu pun mustahil!" Kembali gadis itu menyambung tawanya yang kian menjadi.Fyuh, Stella jadi lebih tenang setelah melihat tawa lepas Rella. Semoga saja ia terus seperti ini, hingga nanti ... ketika waktu tidak lagi sama seperti saat ini. Akan tetapi, mereka benar-benar melupakan waktu yang sudah dihabiskan hampir satu jam di dalam mobil yang tidak kunjung ada pergerakan keluar gerbang. Lihat saja, jam sudah menunjukkan pukul 8 lebih 52 menit. Sementara, jam kuliah mulai jam 9.00, tetapi tampaknya mereka belum menyadari hal itu.
***
Mampus!
Satu kata itu terus menerus bersahutan di kepala Rella dan Stella yang kini tengah berlari menaiki anak tangga yang terasa tidak kunjung ada ujungnya. Untung pak satpam mau membukakan gerbang. Ya, untungnya mau disogok. Tujuan mereka sekarang adalah lantai tiga, di mana seseorang pasti sudah berada di singgasananya di sana. Kenapa juga lift yang rusak dari minggu lalu masih belum diperbaiki? Apakah mereka sudah bosan dengan kegendutan Rella? Gadis itu menggeleng, ngaco saja pikirannya.
Akhirnya, sesi menghitung anak tangga pun selesai. Keduanya segera berbelok ke kanan, tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai pada pintu kelas. Kemudian ... semua orang yang tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing menghentikan pergerakan setelah fokus mereka teralihkan ke objek di ambang pintu. Sepasang sahabat itu saling memandang, sama-sama menelan saliva. Di depan para siswa sudah berdiri sosok dosen muda dengan wajah datarnya sembari menatap intens Rella dan Stella. Alamat dapat sanksi, deh, mereka.
Takut-takut keduanya berjalan memasuki ruangan, tidak lupa menunduk dalam. Suara yang pertama kali terdengar adalah, tentu saja bukan dari Rella maupun Stella, melainkan Alka yang otomatis membuat langkah mereka terhenti.
"Telat dua puluh tiga menit. Saya butuh alasan yang lugas dan konkret."
Perkataan mutlak dari Alka menambah suasana semakin horor. Mengingat, dosen tersebut terkenal dengan ketepatan waktunya dalam segala hal. Telat satu menit, tentu bisa dimaklumi, tetapi jika sudah masuk 23 menit, mana bisa? Yah, seberapapun kedekatannya dengan mahasiswa, entah mahasiswa itu berprestasi atau tidak, Alka tidak membedakan, profesionalitas adalah keharusan baginya.
"Anu, Pak ..." Stella bingung harus beralasan apa. Mana mungkin ia jujur, yang ada malah membuat malu dirinya dan Rella. Tuhan, tolong Stella!
"Tadi di perjalanan ... ban mobil yang kami tumpangi bocor, Pak. Jadi butuh waktu lama untuk menambalnya, belum lagi montir yang kami hubungi terkendala macet. Jadi ..."
"Alasan diterima. Kalian boleh duduk."
Tanpa menunggu lama, kedua gadis itu segera bergabung dengan teman-temannnya. Pembohong, sekarang itulah yang tertulis di dahi Rella. Padahal, mereka telat bukan karena ban bocor, tetapi ember bocor. Iya, berbincang ria tanpa menghiraukan waktu yang mereka habiskan begitu panjang. Apa boleh buat, daripada menanggung malu, demikian pikir Rella, hingga berani berbohong pada dosen yang pernah menjadi mimpi terindahnya. Namun sekarang, mimpi indah itu harus ia lupakan dan kubur dalam-dalam. Aduh, galau lagi, kan.
"Tapi sehabis matkul kedua, kalian berdua datang ke kantor."
Duar!
***
Stella berjalan lesu di trotoar tanpa teman guna menuju ke cafetaria kampus. Seharusnya ia senang karena tidak mendapat hukuman dari Alka. Akan tetapi, entah kenapa permintaan Alka agar Rella berdiam di ruangannya, membuat Stella jadi seperti ini sekarang. Apa ia balik saja ke ruangan itu? Ah, itu bukan ide yang bagus.
Kembali memacu langkah pelan, Stella tidak sadar tengah beriringan jalan dengan siapa. Sebuah deheman membuat matanya melirik ke samping kanan dan seketika ia mematung. Satu kata, Abil. Ya, bahkan laki-laki itu kini tengah menatapnya balik dengan semburat senyum. Apa Stella tidak sedang bermimpi?
"Hai," sapa Abil terdengar sangat ramah.
Tunggu dulu, Stella mencoba kembali memacukan langkah. Namun, apa yang terjadi? Orang di sebelahnya pun mengikuti. Lantas, ia hentikan pergerakan, laki-laki itu juga melakukan hal yang sama. Jadi, bisa disimpulkan bahwa Stella sedang tidak ber-mim-pi. Mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan apakah korneanya tidak salah menangkap objek, tetapi lagi-lagi benar, orang itu adalah Abil alias Yongki Gabriel.
"Lo kenapa, sih?"
Nah, kan, manusianya berbicara dan suaranya persis sama dengan nada milik Abil, serak-serak sedap didengar. Ck! Stella tampak tercenung, apa iya orang itu Abil? Seolah belum sepenuhnya percaya, kali ini gadis itu bergerak hendak menyentuh laki-laki tersebut. Slow motion pun terjadi, tatkala tangannya mengarah ke wajah objek di depan mata. Sedikit lagi ... dan--
"Heh!"
Seketika Stella tersentak, segera menarik kembali tangannya yang agak lancang hendak meraba wajah Abil dari atas ke bawah seperti di drama korea yang sering ia tonton. "Ini beneran Kak Abil?" tanyanya spontan dengan mata membesar dengan sedikit ketakutan selepas mendengar bentakan yang tidak asing di telinganya.
"Ck, emangnya lo pikir gue siapa dari tadi sampe lo planga-plongo nggak jelas? Artis?" Abil terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepala dengan kedua tangan berkacak pinggang.
"A–anu, enggak, Kak," jawab Stella seraya menggeleng cepat, “itu ... a–aku--"
"Aduh ... kelamaan. Kalo nunggu lo jawab, bisa-bisa jam makan siang habis. Lo mau ke cafetaria, 'kan? Temen lo mana? Dia nggak ikut?"
"Eu–anu, itu El–Ella lagi di ru–ruang--"
"Ck, lama. Udah, nggak usah dijawab." Laki-laki jangkung itu berjalan melewati tubuh Stella begitu saja tanpa sepatah kata ‘ajakan’. Namun, ia tampak berhenti setelah beberapa langkah, lalu berbalik ke arah Stella. "Lo mau di situ terus jadi patung, apa ikut ke cafetaria?" tanyanya dengan sedikit teriakan.
Duar!
***
To be continue
Ruangan yang dikelilingi kaca nontransparan itu diisi oleh beberapa dosen yang tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing. Alka sendiri baru saja kedatangan tamu yang diundangnya waktu lalu—Rella dan Stella. Saat ini mereka duduk di depan meja sang dosen yang tengah mendata sesuatu. Keduanya diminta untuk menunggu sejenak sampai laki-laki tersebut menyelesaikan tugas.
Rella tampak memainkan roknya di balik meja. Ia tidak boleh memperhatikan Alka, sebab itu berbahaya bagi kelangsungan proses move on-nya yang sudah berjalan beberapa hari. Sementara, Stella sibuk mengamati sekitar. Beberapa menit kemudian, Alka terlihat membereskan berkas-berkas di hadapannya.
"Cinderella, Stella."
Panggilan Alka mengalihkan perhatian kedua gadis itu untuk menghadapnya. Lantas, ia kembali berujar, "Sebenarnya saya meminta kalian ke sini bukan untuk memberi sanksi atau sejenisnya, tetapi ada hal penting lain. Akan tetapi, saya hanya ada keperluan dengan Cinderella. Stella boleh keluar sekarang." Ia mengulas sebuah senyuman setelahnya.
Stella tersenyum sepat, kenapa dosennya itu harus menakut-nakuti dengan meminta datang ke kantor, sih? Sia-sia, kan, rasa takutnya dari awal masuk kelas hingga selepas laki-laki tersebut mengungkapkan maksud yang sebenarnya. Hadeuh.
"Baik, Pak, terima kasih. Saya permisi, " pamit Stella, lantas keluar dari ruangan.
Tampaknya, Rella tidak rela Stella meninggalkannya, karena sekarang ia harus berhadapan dengan Alka seorang diri. Nasib badan. Kenapa ketika ia ingin move on, malah sering dipertemukan? Akan tetapi ketika ingin berjuang, malah dijauhkan. Yah, itulah rencana dari Allah, tidak bisa ditebak.
Ketertundukan Rella menciptakan bulan sabit di bibir Alka. Di selembar kertas putih polos, ia bubuhkan kalimat pertanyaan, lantas menyodorkannya pada gadis itu. "Cinderella," panggilnya, berhasil menegakkan kepala Rella.
Netra Rella menangkap sebuah benda di hadapannya, spontan tulisan rapi itu dibaca dalam hati. 'Apa nanti sore kamu ada kesibukan? Saya ada hal penting yang ingin dibicarakan.' Seketika Rella memasang raut terkejut. Pak Alka mengajaknya bertemu?!
***
To be continue ...
*) Jika ada kesalahan dalam mendeskripsikan atau memaparkan soal kuliah tata busana, entah dari sisi matkul, dosen, mahasiswa, rektor, dekan, dll, mohon kritik dan sarannya.
"Karenamu aku melayang, karenamu pula aku tenggelam. Bukan salahmu, tetapi hati ini yang jauh dari-Nya dan ketika kaudatang, ia (hati) tiada daya, hingga akhirnya iman pun jadi taruhan. Harus kuakui, aku lemah tanpa Dzat ar-Rahman."***Entah sudah berapa kali Rella mondar-mandir tidak jelas di depan Stella yang matanya tidak pernah lekang mengikuti arah pergerakan gadis itu sembari menopang dagu. Selang lima detik, Rella mengembuskan napas berat. Tidak jarang satu tangannya memegangi kepala dan tangan lainnya berkacak pinggang, menggambarkan betapa runyam pikirannya saat ini."Kenapa nggak lo tolak aja kalo emang nggak bisa?"Rella berhenti, menatap Stella, lalu berkata, "Aku merasa tidak enakan untuk menolak a
Rella menyodorkan gelas dengan bahan porselen dan bertelinga yang berisi cokelat hangat pada Stella, lalu duduk di tepi ranjangnya membuat mereka saling berhadapan. Gadis dengan balutan kardigan hitam tebal yang duduk bersila di ranjang, seraya bersandar pada tembok itu kembali ke kos beberapa menit lalu dalam keadaan basah-basahan. Seketika sisi keibuan Rella timbul ke permukaan dan melayani Stella layaknya gadis tersebut adalah sang anak."Thankyou very much, Mom. You're so kind," kata Stella memuji disertai kekehan."You're welcome, Honey," balas Rella sedikit mencebik, tetapi kemudian menyunggingkan senyum. Menyeruput minu
"Kata orang, jatuh cinta adalah proses pendewasaan diri. Namun, kenapa yang kurasakan; jatuh cinta adalah proses penyiksaan hati?"***Rella masih kepikiran akan ajakan Alka yang tidak seperti biasanya. Meski sudah sering ia memberi alasan dan akhirnya tidak jadi membicarakan hal yang dimaksud laki-laki itu. Akan tetapi, untuk kali ini, Alka sempat berkata apakah Rella benar-benar tidak ada waktu barang sejenak, sebab hal itu sangatlah penting. Siapa sangka, seorang dosen paling dikagumi oleh mahasiswi seantero kampus, bisa memohon untuk diberi kesempatan guna mengutarakan tujuannya pada seorang gadis yang sering kali dipandang sebelah mata hanya karena ketidaksempurnaan fisiknya.Sempat ingin menerima, tetapi ia teringat akan tugas akhir semester empat yang harus segera diselesaikan. Andai kata tida
"Ternyata, berpura-pura tidak mencintai lebih menyiksa daripada pura-pura mencintai. Perasaan itu harus kamu kubur, pendam, dan rahasiakan dari banyak orang. Sebuah kebohongan besar jika kamu berkata bahagia ketika melihat orang yang dicintai bahagia, meski bukan denganmu, tetapi orang lain. Padahal, di lubuk hati paling dalam, tercipta luka menganga. Namun, rasa sakit yang teramat itu kamu telan seorang diri, tidak tahu kepada siapa untuk berbagi, sebab kamu sudah merasa tiada lagi orang yang peduli."***Pesan yang tidak terlalu panjang pun tidak juga pendek itu—sembari mengerjakan tugas, selang 4-5 detik—kembali ditatap Rella, terhitung sudah setengah jam ia melakukan hal tersebut setelah kembali ke kos. Pesan yang sebenarnya dikirim Stella ketika masih berada di area parkir kedai kopi waktu lalu.
"Jangan pernah mengkhawatirkan hubungan yang belum pasti ujungnya, tetapi khawatirlah pada hubunganmu dengan Tuhan, jangan sampai ada jarak yang membentang, hingga akhirnya engkau dilupakan."***Laki-laki dengan sweater putih gading tengah terduduk di single sofa dalam bilik bernuansa hitam putih. Kedua manik legamnya menatap layar ponsel yang menampilkan bekas panggilan dari seseorang dengan nama ‘Cinderella’. Terdapat satu panggilan masuk dari gadis tersebut, beberapa sisanya adalah panggilan keluar dan tak terjawab yang dari beberapa minggu lalu sebelum jarak perlahan membentang di antara mereka.Mengembuskan napas pelan, laki-laki itu menaruh ponsel ke nakas, terdapat di sisi kanan sofa. Beralih meraih bingkai hitam berukuran 10x15 berisi sketsa wajah laki-laki berkacamata, lengkap dengan senyum lebarnya. Sketsa tersebut adalah Alka yang waktu itu berumur 17 tahun. Salah satu ibu jarinya mengelus tulisan
"Tak selamanya rahasia bersembunyi di balik tabir. Ada waktu di mana Tuhan akan menyingkapnya, sekalipun ada yang menginginkannya untuk tetap menjadi rahasia. Namun, mungkin saja hal yang 'tiada, tetapi ada' itu menjadi benang merah di kemudian hari."***Stella menduduki kursi, masih dengan pandangan was-was ke arah luar. Rella masih di sana untuk beberapa saat, hingga akhirnya mulai berjalan menjauhi area parkiran. Saat itu juga, napas Stella mengembus lega."Sebegitu takutnya kamu ketauan sama Cinderella?"Pertanyaan bernada sindiran itu membuat Stella memalingkan tatap ke arah laki-laki yang baru saja duduk selepas memesan minuman, tampak anteng dengan tangan bersedekap depan dada. Berdehem, gadis itu berujar, "Ya ... lo tau sendiri, 'kan, gue itu sahabatnya dan ... lo juga tau dia suka sama lo. Gue nggak mau, lah, Ella sampai salah paham dan persahabatan kami jadi ambyar."Sebuah senyum a
"Gemuk memang bukan narapidana, bukan pula durjana. Gemuk memang tak selemanya buruk, tetapi ketika ia dihadirkan secara sengaja, itulah gambaran dari ketamakan dan justru dibenci Tuhan."***"Lagi?" tanya Rella ketika Stella yang tengah fokus menyetir, memberitaukan pasal ia yang tidak bisa tidur di kosan malam ini, melainkan di rumah--lagi."Iya, keadaan mama belum pulih banget soalnya. Lo nggak pa-pa, 'kan, tidur sendirian lagi?""Tidak apa-apa, sih," balas Rella. Hening beberapa saat, ia kembali bersuara, "eh, aku pengin tau juga sama keadaan tante. Bisa, tidak, sekalian ikut mampir ke rumah kamu? Kalau masalah pulangnya, nanti aku bisa pesan ojol atau taksi online."Seketika wajah Stella berubah tegang. "Eu ... Bukannya nggak boleh,nih, El, tapi kata dokter yang ngobatin mama, jan
"Seseorang yang mencintaimu akan melangkah ke depan apabila ia tahu, bahwa masih ada kesempatan untuk berjuang. Namun, ia akan mundur ketika Tuhan menutup pintu kesempatan itu, semisal di hatimu sudah ada tambatan atau mungkin ... sudah ada yang melamar."***Penjelasan Abil sejenak mengalihkan perhatian Rella terhadap pesan membingungkan yang bahkan lebih membingungkan dari rumus kimia, fisika, tidak terlinggal matematika yang soalnya selalu beranak pinak. Ah, memikirkan apa sih, Rella ini? Menggaruk pelipisnya, gadis itu memperbaiki posisi duduk sembari mengusahakan alam sadarnya untuk tetap berada di cafe J."Jadi kalian nggak usah khawatir, karena bokap gue nggak bersikap kayak yang kalian pikir," jelas Abil selepas bercuap-cuap pasal sang papa. Jujur saja, ia merasa seperti tengah diwawancarai oleh reporter sekarang.Stella berembus lega. "Syukur, deh, Kak, tapi maaf banget, ya, aku udah mikir yang enggak