Rella menyodorkan gelas dengan bahan porselen dan bertelinga yang berisi cokelat hangat pada Stella, lalu duduk di tepi ranjangnya membuat mereka saling berhadapan. Gadis dengan balutan kardigan hitam tebal yang duduk bersila di ranjang, seraya bersandar pada tembok itu kembali ke kos beberapa menit lalu dalam keadaan basah-basahan. Seketika sisi keibuan Rella timbul ke permukaan dan melayani Stella layaknya gadis tersebut adalah sang anak.
"Thankyou very much, Mom. You're so kind," kata Stella memuji disertai kekehan.
"You're welcome, Honey," balas Rella sedikit mencebik, tetapi kemudian menyunggingkan senyum.
Kerutan di dahi Rella timbul, mulai was-was atas perkataan maaf dari sahabatnya. "Kenapa memangnya? Ada masalah apa?"
Sempat berpikir sejenak, Stella terlihat tidak enak hati untuk mengutarakan hal yang mungkin akan membuat kecewa Rella. Namun, ia harus memberitahukannya. "Pak Alka ... nggak mau ngutarain tujuannya ke gue dan milih pergi. Pak Alka bilang bakal ngomong sama lo lain kali secara langsung."
Terkesiap, Rella tertegun setelah kalimat itu merasuk ke telinganya. Itu artinya, ia akan bertemu dengan Alka—lagi pada jarak dekat dan dalam waktu yang mungkin lama. Fix, ini gambaran dari gejala gagal move on. Wadidaw!
Mengembuskan napas panjang, saat ini yang bisa dilakukan Rella hanyalah pasrah. "Ya sudahlah, tidak pa-pa. Lagi pun kalau sudah masuk jadwalnya, akan tetap bertatap muka.
Stella tersenyum disertai ringisan, merasa semakin bersalah setelah mendengar balasan dari Rella. Hingga keheningan menyergap cukup lama, minuman cokelat Stella pun tampak hampir habis. Sampai suara Rella melenyapkan suasana hening.
"Tadi ... waktu kamu masuk ke kosan, aku kayak nyium bau ... minuman ... beralkohol. Kamu ... habis minum, ya?" Takut-takut Rella bertanya.
Saat itu juga pupil Stella melebar, tertegun akan pertanyaan tiba-tiba Rella. Kata demi kata yang berceceran di kepalanya sebisa mungkin dirangkai untuk menjadi kalimat paling masuk akal untuk dijadikan alasan agar Rella tidak bertanya lagi dan curiga.
"Atau ... hidung aku yang salah, ya? Tapi kemarin-kemarin pas kamu pulang Subuh, aku juga nyium bau minuman. Bener kamu minum, Stel? Setau aku, kamu udah nggak mau minum-minum lagi."
"Gue ..."
Stuck! Otak Stella benar-benar blong untuk memberikan alasan paling logis bahwa dirinya tidak pernah minum. Bagaimana mungkin Rella percaya jika gadis itu sudah mencium bau alkohol pada dirinya sudah dua kali? Yang ada malah diinterogasi sampai pagi.
"Stel ..."
"Huh?"
"Kamu ada masalah? Kenapa tidak cerita?"
Keterdiaman dan raut bingung sekaligus cemas pada wajah Stella membuat Rella menyimpulkan jika sahabatnya itu memang benar-benar habis minum.
"Masalah perjodohan itu? Memang cowoknya belum mau nampakin diri?"
Pertanyaan Rella membuat ekspresi cemas Stella sedikit meringan, embusan napas yang mengandung kelegaan pun menguar. "Cowoknya nolak, El."
"Hah, serius? Kenapa?" tanya Rella tidak percaya. "Jadi perjodohannya dibatalin?" lanjutnya bertanya.
Menghela napas panjang, lalu menguarkannya pelan, Stella mulai bersuara, "Eum ... Gue juga nggak tau kenapa. Tiba-tiba aja cowoknya nolak, terus pergi gitu aja. Entah perjodohannya dibatalain atau enggak, gue, sih nggak peduli. Tapi gue ngerasa direndahin, El. Masa baru ketemu, udah langsung nolak aja, nggak sopan banget pula. Dikira gue nggak punya hati apa?"
Jawaban Stella yang lebih ke curhatan, mendorong Rella untuk berada lebih dekat, lalu memberi usapan pada pundaknya. Ternyata selama ini Stella menyimpan rasa sakit itu sendirian dan melampiaskannya pada minum-minuman keras. Rella merasa tidak becus menjadi seorang sahabat terbaik bagi Stella. Padahal, ia sendiri selalu membagi rasa sakitnya dengan gadis itu.
'Maaf banget, ya, Stel ....'
***
Rella benar-benar menjauh, menyembunyikan diri, bahkan selalu menghindar dari Alka. Hari Rabu kemarin misalnya, ketika laki-laki itu mengajar di kelasnya. Lalu setelah mata kuliah selesai, ia mengutarakan maksud untuk membicarakan suatu hal, tetapi gadis itu segera meminta izin ke belakang dan berlama-lama di sana sampai dosen pengampu yang lain masuk. Ia berhasil menghindari laki-laki itu.
Beralih ke hari Senin, di mana mata kuliah yang dipegang Alka ada di jam terakhir. Kali ini Rella beralasan ada keperluan di luar ketika dosen tersebut meminta bertemu di cafe J. Lagi-lagi ia berhasil membuat Alka tidak berkata banyak dan membiarkannya berlalu.
Di hari-hari lain sebenarnya Alka sering mengawasi gerak-gerik Rella untuk kemudian mengajaknya berbicara. Akan tetapi, selalu saja terlewatkan. Entah karena Rella beralasan ada urusan, harus mengerjakan tugas, pergi ke suatu tempat, atau Alka sendiri yang demikian.
"Sepekan lagi," bisik Rella tatkala mematut diri di depan cermin, lalu kembali berkata, "semangat!"
Sepekan lagi ia harus menghindari Alka, sepekan lagi ia juga harus menyusun alasan. Sepekan lagi pula, ia memasuki semester lima. Akan tetapi, kenyataannya berbanding terbalik dengan harapan Rella. Selesai mata kuliah yang dipegang Alka, memang ia sempat ditanya apakah ada waktu sebentar dan menjawab jika ia sedang sibuk mengerjakan tugas dari dosen lain. Alhasil, laki-laki itu memaklumi dan mengurungkan niatnya.
Hal yang berbanding terbalik dengan harapan Rella itu adalah ... ketika Alka harus memergokinya tengah bersama Abil di kedai kopi. Selain ketakutan yang menyergap karena ketahuan berbohong, perasaan heran pun bergentayangan tatkala Stella terlihat turun dari mobil Alka, dan di sinilah mereka sekarang. Pertemuan yang sangat menegangkan, tetapi juga membingungkan.
***
To be continue
Alka tampak membereskan peralatannya ke dalam sebuah tas, lalu menentengnya. Setelah berpamitan dengan para murid, ia berlalu ke luar kelas. Melihat hal itu, seketika menciptakan raut lega pada Rella. Selamat ... ia tidak perlu menghindar, karena laki-laki itu sudah pergi sebelum alasan yang sudah disiapkannya—dari kemarin dan malamnya begadang dan tidur jam dua dini hari—meluncur jikalau Alka mengajaknya bertemu.
"Selamat lagi aku, Stel ...," ucapnya penuh kelegaan.
Stella terkekeh geli. "Sampe segitunya lo, El. Mau move on aja susah bener prosesnya. Pake takut ketemu segala."
"Kamu, kan, tau sendiri, aku orangnya kayak gimana kalau sudah dihadapkan dengan orang itu." Rella mendekatkan bibirnya ke telinga Stella, lalu berbisik, "bawaannya pengin bawa dia ke pelaminan."
Sontak Stella membulatkan mata tidak percaya, menatap horor pada Rella. "Gila! Gue baru tau, isi otak lo ternyata seagresif itu, El!"
Rella tertawa seraya menutup bibirnya yang menganga. "Nope-lah, canda aku, Stel. Aslinya, mah, bakalan merunduk terus kalau bertemu."
Keduanya berjalan keluar diiringi cekikikan. Padahal, di depan sudah berjaga sosok Alka, menunggu kehadiran—siapa lagi kalau bukan Rella.
"Cinderella."
Tiba-tiba langkah Rella terhenti, ia mematung, membuat Stella ikut berdiam. Suara dari arah kanan yang tidak akan pernah bisa dilupakan Rella meski sekuat hati ingin lupa. Kepalanya memutar 45° ke samping, sehingga terbingkailah sosok Alka di mata gadis itu.
"P–Pak Alka?"
Alka mengulum senyum, manis, seperti madu yang baru diambil dari sarangnya. Membuat Rella tertegun dengan mulut setengah terbuka, tanpa sadar membuat laki-laki di depannya berdehem karena terus ditatap tanpa kedipan. Segera tersadar dari kelakuan buruknya, Rella segera menunduk, malu sendiri.
"Katanya bakalan merunduk terus kalo ketemu, yang tadi itu apa coba?" bisikan jail Stella menciptakan ringisan pada Rella. Astaga, jadi bahan olokan, kan, dia. "Kayaknya, kali ini lo nggak selamat, El."
Stella ... tidak bisakah ia diam?! Rella semakin menunduk dalam. Bagaimana jika asumsi Stella benar? Wah, mungkin ia pingsan saja sekarang, daripada kemungkinan terbesarnya sudah dipastikan berakhir pada kata gagal move on.
"Eu ... Saya boleh minta waktu kamu sebentar? Sore ini di cafe J, ada hal yang harus saya bicarakan."
Kalimat yang beberapa menit lalu sempat dikira Rella tidak akan menelisik pendengarannya, kini benar-benar menyusup hingga ke jaringan dalam. Sampai-sampai degupan pada jantungnya mulai keluar batas normal.
'Ayo, El ... kamu harus utarain alasan yang udah kamu susun semalaman suntuk. Ayo, kamu pasti bisa ...! Please ... jangan sampai gagal move on lagi! Tidak ingat bagaimana perlakuan dunia ketika kamu mendekatinya? Sadar, Ella, sadar! Bahkan adiknya saja jijik pada wanita seperti kamu!'
Seketika Rella mendongak setelah sisi yang entah buruk atau tidak memohon-mohon, hingga ia putuskan untuk berkata, "Maaf, Pak, tapi saya dan Stella ada keperluan penting yang harus dikerjakan dan ..." Ia benar-benar berbohong, "harus dikerjakan sekarang dan ..." Lagi-lagi kebohongan. Kalimat terakhir mengandung dustanya diucap, "mungkin akan memakan waktu yang lama."
Tampak Alka terdiam sesaat, tetapi detik berikutnya ia mengangguk pelan dengan bibir menipis, bukan sebuah senyuman. "Ya, sudah. Mungkin bisa di lain waktu."
Di lain waktu? Lantas sampai kapan Rella akan terus menghindar dan dengan kebohongan yang bagaimana lagi?!
***
To be continue ...
[Kyuni's Note]: Alhamdulillah, bisa double update per hari. Jangan lupa apresiasinya, ya, Sayangku, Cintaku ❤
"Kata orang, jatuh cinta adalah proses pendewasaan diri. Namun, kenapa yang kurasakan; jatuh cinta adalah proses penyiksaan hati?"***Rella masih kepikiran akan ajakan Alka yang tidak seperti biasanya. Meski sudah sering ia memberi alasan dan akhirnya tidak jadi membicarakan hal yang dimaksud laki-laki itu. Akan tetapi, untuk kali ini, Alka sempat berkata apakah Rella benar-benar tidak ada waktu barang sejenak, sebab hal itu sangatlah penting. Siapa sangka, seorang dosen paling dikagumi oleh mahasiswi seantero kampus, bisa memohon untuk diberi kesempatan guna mengutarakan tujuannya pada seorang gadis yang sering kali dipandang sebelah mata hanya karena ketidaksempurnaan fisiknya.Sempat ingin menerima, tetapi ia teringat akan tugas akhir semester empat yang harus segera diselesaikan. Andai kata tida
"Ternyata, berpura-pura tidak mencintai lebih menyiksa daripada pura-pura mencintai. Perasaan itu harus kamu kubur, pendam, dan rahasiakan dari banyak orang. Sebuah kebohongan besar jika kamu berkata bahagia ketika melihat orang yang dicintai bahagia, meski bukan denganmu, tetapi orang lain. Padahal, di lubuk hati paling dalam, tercipta luka menganga. Namun, rasa sakit yang teramat itu kamu telan seorang diri, tidak tahu kepada siapa untuk berbagi, sebab kamu sudah merasa tiada lagi orang yang peduli."***Pesan yang tidak terlalu panjang pun tidak juga pendek itu—sembari mengerjakan tugas, selang 4-5 detik—kembali ditatap Rella, terhitung sudah setengah jam ia melakukan hal tersebut setelah kembali ke kos. Pesan yang sebenarnya dikirim Stella ketika masih berada di area parkir kedai kopi waktu lalu.
"Jangan pernah mengkhawatirkan hubungan yang belum pasti ujungnya, tetapi khawatirlah pada hubunganmu dengan Tuhan, jangan sampai ada jarak yang membentang, hingga akhirnya engkau dilupakan."***Laki-laki dengan sweater putih gading tengah terduduk di single sofa dalam bilik bernuansa hitam putih. Kedua manik legamnya menatap layar ponsel yang menampilkan bekas panggilan dari seseorang dengan nama ‘Cinderella’. Terdapat satu panggilan masuk dari gadis tersebut, beberapa sisanya adalah panggilan keluar dan tak terjawab yang dari beberapa minggu lalu sebelum jarak perlahan membentang di antara mereka.Mengembuskan napas pelan, laki-laki itu menaruh ponsel ke nakas, terdapat di sisi kanan sofa. Beralih meraih bingkai hitam berukuran 10x15 berisi sketsa wajah laki-laki berkacamata, lengkap dengan senyum lebarnya. Sketsa tersebut adalah Alka yang waktu itu berumur 17 tahun. Salah satu ibu jarinya mengelus tulisan
"Tak selamanya rahasia bersembunyi di balik tabir. Ada waktu di mana Tuhan akan menyingkapnya, sekalipun ada yang menginginkannya untuk tetap menjadi rahasia. Namun, mungkin saja hal yang 'tiada, tetapi ada' itu menjadi benang merah di kemudian hari."***Stella menduduki kursi, masih dengan pandangan was-was ke arah luar. Rella masih di sana untuk beberapa saat, hingga akhirnya mulai berjalan menjauhi area parkiran. Saat itu juga, napas Stella mengembus lega."Sebegitu takutnya kamu ketauan sama Cinderella?"Pertanyaan bernada sindiran itu membuat Stella memalingkan tatap ke arah laki-laki yang baru saja duduk selepas memesan minuman, tampak anteng dengan tangan bersedekap depan dada. Berdehem, gadis itu berujar, "Ya ... lo tau sendiri, 'kan, gue itu sahabatnya dan ... lo juga tau dia suka sama lo. Gue nggak mau, lah, Ella sampai salah paham dan persahabatan kami jadi ambyar."Sebuah senyum a
"Gemuk memang bukan narapidana, bukan pula durjana. Gemuk memang tak selemanya buruk, tetapi ketika ia dihadirkan secara sengaja, itulah gambaran dari ketamakan dan justru dibenci Tuhan."***"Lagi?" tanya Rella ketika Stella yang tengah fokus menyetir, memberitaukan pasal ia yang tidak bisa tidur di kosan malam ini, melainkan di rumah--lagi."Iya, keadaan mama belum pulih banget soalnya. Lo nggak pa-pa, 'kan, tidur sendirian lagi?""Tidak apa-apa, sih," balas Rella. Hening beberapa saat, ia kembali bersuara, "eh, aku pengin tau juga sama keadaan tante. Bisa, tidak, sekalian ikut mampir ke rumah kamu? Kalau masalah pulangnya, nanti aku bisa pesan ojol atau taksi online."Seketika wajah Stella berubah tegang. "Eu ... Bukannya nggak boleh,nih, El, tapi kata dokter yang ngobatin mama, jan
"Seseorang yang mencintaimu akan melangkah ke depan apabila ia tahu, bahwa masih ada kesempatan untuk berjuang. Namun, ia akan mundur ketika Tuhan menutup pintu kesempatan itu, semisal di hatimu sudah ada tambatan atau mungkin ... sudah ada yang melamar."***Penjelasan Abil sejenak mengalihkan perhatian Rella terhadap pesan membingungkan yang bahkan lebih membingungkan dari rumus kimia, fisika, tidak terlinggal matematika yang soalnya selalu beranak pinak. Ah, memikirkan apa sih, Rella ini? Menggaruk pelipisnya, gadis itu memperbaiki posisi duduk sembari mengusahakan alam sadarnya untuk tetap berada di cafe J."Jadi kalian nggak usah khawatir, karena bokap gue nggak bersikap kayak yang kalian pikir," jelas Abil selepas bercuap-cuap pasal sang papa. Jujur saja, ia merasa seperti tengah diwawancarai oleh reporter sekarang.Stella berembus lega. "Syukur, deh, Kak, tapi maaf banget, ya, aku udah mikir yang enggak
"Kebohongan tanpa alasan untuk kebaikan adalah awal dari kehancuran, sebab apabila keburukan terus menerus dipupuk dengan keburukan, maka akan menghasilkan kebinasaan."***Jam yang melingkar di pergelangan kiri Alka menunjukkan pukul 02.55 siang. Sebentar lagi menuju jam 3, tetapi kemacetan di jalan yang sudah dekat dengan bandara belum juga melonggar. Membuang napas gusar, kini kaki berbalut pantofel hitam itu mengetuk-etuk permukaan mobil. Sementara, klakson demi klakson saling bertimpalan tidak sabar.Tepat pukul 03.00, kemacetan pun berakhir dengan Alka yang menghela napas lega, lalu lekas menancap gas lebih dalam. Selang sepuluh menit, ia sampai di tempat tujuan dan beranjak setelah memarkir kendaraan.Suasana bandara tampak ramai orang berlalu lalang, membuat Alka kesusahan mencari keberadaan dua orang yang sekarang tengah ia jemput--terpaksa. Hingga seorang wanita paruh baya dengan kardigan biru langit sepanjang lutut tampak berd
"Suatu hari, akan ada masa di mana hati yang berusaha melupa seseorang demi terhindar dari melupa sang Kuasa, akan didekatkan dengan sosok yang ia cinta dan mencintainya Lillahi Taala."***"Serius, kamu mau kuliah, An?"Gadis yang tengah diajak berbincang tersebut menghentikan kegiatan membuat digital ilustration bentuk wajah pria pada sebuah tab. Pandangan Anna beralih ke sang mama yang berdiri di samping kursinya. "Kenapa enggak, Ma? Lagi pula, Papa yang biayai, 'kan?" Pena di antara jempol dan telunjuknya kembali dimainkan dengan sorot fokus pada layar."Tapi, kamu udah mau dua puluh tahun, loh, apa nggak malu sama teman-teman kuliah kamu nanti?"Anna lagi-lagi menghentikan kegiatannya, lalu menghela napas panjang. "Buat apa malu, Ma? Kuliah itu nggak mandang usia, yang umurnya melebihi aku juga ada, bahkan yang udah jadi nenek-nenek, kuliah, Ma. Jadi umur itu bukan tolak ukur. Banyak, kok, yang gap year selama puluha