"Karenamu aku melayang, karenamu pula aku tenggelam. Bukan salahmu, tetapi hati ini yang jauh dari-Nya dan ketika kaudatang, ia (hati) tiada daya, hingga akhirnya iman pun jadi taruhan. Harus kuakui, aku lemah tanpa Dzat ar-Rahman."
***
Entah sudah berapa kali Rella mondar-mandir tidak jelas di depan Stella yang matanya tidak pernah lekang mengikuti arah pergerakan gadis itu sembari menopang dagu. Selang lima detik, Rella mengembuskan napas berat. Tidak jarang satu tangannya memegangi kepala dan tangan lainnya berkacak pinggang, menggambarkan betapa runyam pikirannya saat ini.
"Kenapa nggak lo tolak aja kalo emang nggak bisa?"
Rella berhenti, menatap Stella, lalu berkata, "Aku merasa tidak enakan untuk menolak ajakan Pak Alka, Stel."
"Ya, udah, apa susahnya buat nemuin Pak Alka, selama lo berusaha buat nggak baper-an nanggepin setiap perhatiannya?" timpal Stella, lantas kembali berujar, "sekecil apa pun itu."
Tampak Rella tidak sedikit pun mengubah ekspresi wajah yang keruh. "Tidak semudah itu, Stel. Kamu, kan, tau, bagaimana lemahnya aku ketika diberi perhatian sama Pak Alka. Aku tidak yakin akan bertahan jika nanti bertemu dengan dia, sebab hati ini benar-benar lemah."
Ekspresi meringis ditunjukkan Stella tatkala mendengar kalimat terakhir sahabatnya, benar-benar dramatis. Apalagi sebelah tangan gadis itu menyentuh bagian dada sembari menggeleng-geleng dengan raut nestapa. Memang dasar Rella.
"Tapi ... kalau aku tidak menemui Pak Alka, apa beliau tidak akan marah? Bagaimana jika Pak Alka marah, terus nilai aku dikurangi? Stel!" Tatapan Rella pada Stella berubah horor, benar-benar tidak tahu keputusan mana yang harus diambil.
Stella menghela napas panjang, lalu menguarkannya pelan. "Lo nggak mau proses move on lo gagal, 'kan?" tanyanya.
Tercenung, Rella terlihat ragu-ragu. Akankah pertanyaan Stella, ia iyakan? Apakah hati Rella benar-benar mau melupakan laki-laki yang selalu ada dalam doanya dulu? Memejam seraya menggeleng pelan, ia putuskan untuk menjawab, "Iya."
"Tapi lo juga nggak mau Pak Alka sampai marah dan berpengaruh pada nilai lo di matkul-nya?"
"Iya." Jawaban kali ini, Rella tidak ada keraguan, sebab bagaimanapun, nilainya adalah bagian penentu kelulusannya nanti. Walaupun tidak masuk akal juga jika masalah pribadi bisa berimbas pada nilai mata kuliah.
"Kalo gitu biar gue yang gantiin posisi lo."
Keterkejutan di wajah Rella tercetak jelas. Stella akan menggantikan posisinya? Apa itu solusi yang tepat?
***
Hari berganti malam, Rella masih setia menunggu kehadiran Stella selepas kepergian gadis yang akhirnya menggantikan posisinya itu pergi untuk menemui Alka. Meski melewati perdebatan panjang dengan batinnya, tetapi Stella meyakinkan, bahwa semuanya akan berjalan sesuai harapan Rella.
Malam sudah menunjukkan waktu Isya. Berakhirnya adzan dari mushola yang berada tidak jauh dari kosan, menjadi pertanda dimulainya rutinitas Rella kala menstruasi, yakni dzikir dan doa, sebagaimana yang selalu ia lakukan selepas salat.
Ayatul Kursi dibaca satu kali, al-Fatihah dibaca tiga kali, surah tiga Qulhu dibaca masing-masing tiga kali. Tahlil, tasbih, tahmid, takbir, dan sholawat dibaca 33 kali.
Selesai menggeluti rutinitasnya itu, kini Rella berdiri di depan jendela yang langsung menghadap jalan. Tidak ada satu pun tanda-tanda Stella akan pulang. Jangankan mobilnya, pesan masuk pun tidak ada. Mengembuskan napas pelan, Rella berharap, semoga Allah melancarkan urusan sahabatnya dengan Alka.
Posisi Rella berpindah ke dapur untuk mengambil minuman, lalu kembali ke depan jendela, mendudukkan diri di sana seraya memandangi jalanan yang lengang. Angin menerbangkan daun-daun pepohonan, sedangkan gemintang tidak lagi tampak. Mungkin, sebentar lagi akan turun hujan.
Perasaan Rella menggelisah, sampai jam 9 lebih gadis itu belum juga pulang. Sedangkan tidak satu pun kabar ia kirim melalui chat. Tidak ingin berdiam saja, Rella segera mengeluarkan ponsel pintar dari dalam kantung sweater-nya, hawa malam ini memang cukup dingin karena sepekan teakhir hujan terus mengguyur.
Kontak bernamakan 'My Bestie' dihubungi via telepon. Tidak mendapat jawaban, Rella kembali menekan tombol bergambar gagang telepon, hingga panggilan darinya diangkat setelah beberapa saat. Berdiri, Rella langsung bercakap, "Stel, kamu di mana? Kamu tidak apa-apa, 'kan? Kenapa sampai jam segini belum pulang?" Pertanyaan bertubi menggambarkan betapa cemasnya ia pada Stella.
Belum ada suara yang menjawab, hingga beberapa detik kemudian, suara Stella menguasai indera pendengaran Rella. "Gue nggak pa-pa, kok, El, nggak usah khawatir. Kayak gue anak kecil aja lo khawatirin gara-gara belum pulang sampe jam segini." Sebuah kekehan renyah dilayangkan setelahnya.
"Bagaimana tidak khawatir? Kamu tidak pernah memberi kabar satu kali pun!" kesal Rella, "sekarang kamu di mana? Jangan keluyuran, cepat pulang!"
Titah dari sang sahabat malah menimbulkan kekehan dari Stella. Sebegitu khawatir Rella terhadap dirinya. "Iya, iya, gue pulang. Ini gue lagi otw kosan. Lo jangan ngomel-ngomel mulu, cepet tua lo, baru tau rasa."
Tanpa menggubris banyolan Stella, Rella menimpali, "Ya, sudah, cepat. Jangan mandek-mandek, langsung pulang. Harus!" Lalu mematikan sambungan tanpa menunggu balasan dari gadis di seberang sana.
Di lain tempat, Stella yang tengah terduduk di atas closet tertutup, tampak menarik senyum lebar setelah mendengar lontaran kalimat Rella yang terdengar otoriter. Namun, selang lima detik, senyumannya memudar, terganti oleh kemuraman.
Air mata yang sempat ditahan, kini tumpah tanpa bisa dikendalikan. Stella menangis, tampak seperti tengah menanggung beban besar. Suara tangisnya kian lantang, sampai sebuah ketukan membuatnya seketika terdiam.
"Kalo ke toilet cuma mau nangis doang, mending keluar, deh, lo! Toilet penuh dan cuma lo yang nggak boker, 'kan? Gue kebelet ini!"
Cepat-cepat gadis itu berdiri, lalu membuka pintu berwarna putih tersebut. Seorang wanita dengan pakaian kurang bahan tampak berdiri kesal sambil memegangi perut.
"Minggir!" Wanita itu melangkah masuk, sengaja menyenggol lengan Stella dengan kasar.
Berusaha sabar, Stella memilih keluar dari tempat yang dihuni wanita dengan pakaian kurang bahan yang kini tengah berdandan di depan cermin persegi panjang. Sampailah ia di tempat beberapa waktu lalu, sebuah kursi kosong depan meja pantri dan di depannya lagi ada seorang bartender berjenis kelamin laki-laki.
Laki-laki berwajah lokal, tetapi berhidung mancung yang tengah bebas tugas itu mendekat, lalu menumpangtindihkan kedua tangan di atas meja. "Lo ada masalah apa lagi, sih? Gue hitung udah tiga kali lo ke sini, katanya mau tobat."
"Bukan urusan lo kayaknya," balas gadis itu malas seraya menumpahkan minuman dalam botol ke gelas kecil. Setelah itu, benda cair berwarna bening itu ditenggaknya tanpa sisa.
"Lo kalo ada masalah, jangan disimpen sendiri. Kalo mau cerita, cerita sama gue. Gue bakal dengerin semua keluh kesah lo."
Berlagak seolah tidak ada beban lagi di pundaknya, Stella mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Really?"
"Kalo lo nggak mau cerita, ya udah. It's up to you." Sosok yang dianggap Stella sebagai orang asing bernama Juna tersebut menyungging maklum seraya mengedikkan bahu.
Sejenak berpikir, sebelum akhirnya Stella menguarkan karbondioksida dari hidungnya. "Jadi gue punya temen, dia itu dijodohin sama orang tuanya. Kalo dia nerima perjodohan, dia bakalan kehilangan sahabatnya, tapi kalo dia nggak nerima perjodohan, dia bakal kehilangan orang yang dicintai dan menyakiti hati orang tuanya. Menurut lo, temen gue ini harus milih yang mana?"
Juna tampak menyipitkan matanya, mematap Stella penuh selidik. "Temen lo, ya? Hm ..." Telunjuknya mengusap-usap dagu sembari mengangguk pelan. "Gue mau balik nanya, kalo lo yang ada di posisi itu, lo bakal pilih yang mana? Kehilangan sahabat atau kehilangan jodoh?"
Raut Stella berubah muram. "Gue yang nanya, kok malah nanya balik. Ck. Udahlah, nggak guna cerita sama lo. Gue mau pulang aja, bye!" Ia menenteng tas yang tergeletak di meja, lalu memacu langkah, menerobos kerumunan masa yang tengah asyik menari-nari.
"Lah?"
***
To be continue
Senyum di wajah gadis itu terlihat tidak begitu nyata kala mengambil posisi di antara tempat duduk sosok laki-laki dengan kemeja hitam dan wanita bercadar di sebuah kedai kopi, yang mana beberapa hari lalu, Rella dan Abil bertemu di tempat ini.
"Stella?" Alka tampak terkejut karena bukan Rella yang datang, melainkan sahabat gadis itu, Stella. Wanita yang menyandang gelar ibu bagi Alka tersebut bereaksi tidak jauh berbeda.
"Saya ke sini untuk menggantikan posisi Cinderella, karena dia ada urusan penting yang harus diselesaikan. Tidak apa-apa, kan, Pak?" ujar Stella. Sejujurnya, ia tengah menyembunyikan kegugupan saat ini.
"Kenapa kamu yang menggantikan Cinderella?"
Pertanyaan yang terdengar tidak mengenakkan dari Alka mengubah raut Stella, tetapi ia segera memperbaiki mimik seperti semula, tersenyum. "Karena hanya saya orang terdekat Cinderella dan hanya Cinderella sahabat terdekat saya."
"Maaf, tapi saya hanya berkepentingan dengan Cinderella. Jadi sepertinya ... pertemuan ini sampai di sini. Ma," panggil Alka seraya menatap wanita di sebelahnya, "Alka rasa kita pulang saja."
Stella benar-benar kehilangan senyuman atas ucapan Alka, apa laki-laki itu tidak memikirkan bagaimana usaha dirinya? Ah, ia memang orang yang tidak pernah memikirkan hal itu, tidak akan pernah.
"Pak, setidaknya sampaikan tujuan Bapak untuk bertemu dengan Cinderella. Jangan khawatir, saya bisa jaga privasi dan hanya akan saya sampaikan kepada Cinderella," kata Stella cepat. Ia hanya tidak ingin mengkhianati ucapannya sendiri untuk menyelesaikan perihal ini sesuai harapan Rella.
"Maaf, Stella, tapi ini mengenai privasi saya dan Cinderella. Mungkin di lain waktu, saya utarakan langsung pada dia. Kalau begitu kami permisi. Ayo, Ma."
Ajakan dari anaknya membuat wanita tersebut mengangguk. Ia menatap iba pada Stella, tetapi tidak mungkin juga ia menyalahi keputusan Alka, sebab itu memang privasi. "Mari, Nak," pamitnya.
Tidak ada lagi bulan sabit di bibir Stella, yang ada hanyalah gurat ketidaksenangan. Bagaimana bisa laki-laki itu menyakiti hatinya? Bahkan, hanya karena tidak ingin privasinya dan Rella diketahui. Apa yang akan Stella ceritakan pada Rella sepulangnya nanti? Haruskah jujur?
***
To be continue ...
[Kyuni's Note]: Apresiasinya jangan lupa, ya, kawan^^
Rella menyodorkan gelas dengan bahan porselen dan bertelinga yang berisi cokelat hangat pada Stella, lalu duduk di tepi ranjangnya membuat mereka saling berhadapan. Gadis dengan balutan kardigan hitam tebal yang duduk bersila di ranjang, seraya bersandar pada tembok itu kembali ke kos beberapa menit lalu dalam keadaan basah-basahan. Seketika sisi keibuan Rella timbul ke permukaan dan melayani Stella layaknya gadis tersebut adalah sang anak."Thankyou very much, Mom. You're so kind," kata Stella memuji disertai kekehan."You're welcome, Honey," balas Rella sedikit mencebik, tetapi kemudian menyunggingkan senyum. Menyeruput minu
"Kata orang, jatuh cinta adalah proses pendewasaan diri. Namun, kenapa yang kurasakan; jatuh cinta adalah proses penyiksaan hati?"***Rella masih kepikiran akan ajakan Alka yang tidak seperti biasanya. Meski sudah sering ia memberi alasan dan akhirnya tidak jadi membicarakan hal yang dimaksud laki-laki itu. Akan tetapi, untuk kali ini, Alka sempat berkata apakah Rella benar-benar tidak ada waktu barang sejenak, sebab hal itu sangatlah penting. Siapa sangka, seorang dosen paling dikagumi oleh mahasiswi seantero kampus, bisa memohon untuk diberi kesempatan guna mengutarakan tujuannya pada seorang gadis yang sering kali dipandang sebelah mata hanya karena ketidaksempurnaan fisiknya.Sempat ingin menerima, tetapi ia teringat akan tugas akhir semester empat yang harus segera diselesaikan. Andai kata tida
"Ternyata, berpura-pura tidak mencintai lebih menyiksa daripada pura-pura mencintai. Perasaan itu harus kamu kubur, pendam, dan rahasiakan dari banyak orang. Sebuah kebohongan besar jika kamu berkata bahagia ketika melihat orang yang dicintai bahagia, meski bukan denganmu, tetapi orang lain. Padahal, di lubuk hati paling dalam, tercipta luka menganga. Namun, rasa sakit yang teramat itu kamu telan seorang diri, tidak tahu kepada siapa untuk berbagi, sebab kamu sudah merasa tiada lagi orang yang peduli."***Pesan yang tidak terlalu panjang pun tidak juga pendek itu—sembari mengerjakan tugas, selang 4-5 detik—kembali ditatap Rella, terhitung sudah setengah jam ia melakukan hal tersebut setelah kembali ke kos. Pesan yang sebenarnya dikirim Stella ketika masih berada di area parkir kedai kopi waktu lalu.
"Jangan pernah mengkhawatirkan hubungan yang belum pasti ujungnya, tetapi khawatirlah pada hubunganmu dengan Tuhan, jangan sampai ada jarak yang membentang, hingga akhirnya engkau dilupakan."***Laki-laki dengan sweater putih gading tengah terduduk di single sofa dalam bilik bernuansa hitam putih. Kedua manik legamnya menatap layar ponsel yang menampilkan bekas panggilan dari seseorang dengan nama ‘Cinderella’. Terdapat satu panggilan masuk dari gadis tersebut, beberapa sisanya adalah panggilan keluar dan tak terjawab yang dari beberapa minggu lalu sebelum jarak perlahan membentang di antara mereka.Mengembuskan napas pelan, laki-laki itu menaruh ponsel ke nakas, terdapat di sisi kanan sofa. Beralih meraih bingkai hitam berukuran 10x15 berisi sketsa wajah laki-laki berkacamata, lengkap dengan senyum lebarnya. Sketsa tersebut adalah Alka yang waktu itu berumur 17 tahun. Salah satu ibu jarinya mengelus tulisan
"Tak selamanya rahasia bersembunyi di balik tabir. Ada waktu di mana Tuhan akan menyingkapnya, sekalipun ada yang menginginkannya untuk tetap menjadi rahasia. Namun, mungkin saja hal yang 'tiada, tetapi ada' itu menjadi benang merah di kemudian hari."***Stella menduduki kursi, masih dengan pandangan was-was ke arah luar. Rella masih di sana untuk beberapa saat, hingga akhirnya mulai berjalan menjauhi area parkiran. Saat itu juga, napas Stella mengembus lega."Sebegitu takutnya kamu ketauan sama Cinderella?"Pertanyaan bernada sindiran itu membuat Stella memalingkan tatap ke arah laki-laki yang baru saja duduk selepas memesan minuman, tampak anteng dengan tangan bersedekap depan dada. Berdehem, gadis itu berujar, "Ya ... lo tau sendiri, 'kan, gue itu sahabatnya dan ... lo juga tau dia suka sama lo. Gue nggak mau, lah, Ella sampai salah paham dan persahabatan kami jadi ambyar."Sebuah senyum a
"Gemuk memang bukan narapidana, bukan pula durjana. Gemuk memang tak selemanya buruk, tetapi ketika ia dihadirkan secara sengaja, itulah gambaran dari ketamakan dan justru dibenci Tuhan."***"Lagi?" tanya Rella ketika Stella yang tengah fokus menyetir, memberitaukan pasal ia yang tidak bisa tidur di kosan malam ini, melainkan di rumah--lagi."Iya, keadaan mama belum pulih banget soalnya. Lo nggak pa-pa, 'kan, tidur sendirian lagi?""Tidak apa-apa, sih," balas Rella. Hening beberapa saat, ia kembali bersuara, "eh, aku pengin tau juga sama keadaan tante. Bisa, tidak, sekalian ikut mampir ke rumah kamu? Kalau masalah pulangnya, nanti aku bisa pesan ojol atau taksi online."Seketika wajah Stella berubah tegang. "Eu ... Bukannya nggak boleh,nih, El, tapi kata dokter yang ngobatin mama, jan
"Seseorang yang mencintaimu akan melangkah ke depan apabila ia tahu, bahwa masih ada kesempatan untuk berjuang. Namun, ia akan mundur ketika Tuhan menutup pintu kesempatan itu, semisal di hatimu sudah ada tambatan atau mungkin ... sudah ada yang melamar."***Penjelasan Abil sejenak mengalihkan perhatian Rella terhadap pesan membingungkan yang bahkan lebih membingungkan dari rumus kimia, fisika, tidak terlinggal matematika yang soalnya selalu beranak pinak. Ah, memikirkan apa sih, Rella ini? Menggaruk pelipisnya, gadis itu memperbaiki posisi duduk sembari mengusahakan alam sadarnya untuk tetap berada di cafe J."Jadi kalian nggak usah khawatir, karena bokap gue nggak bersikap kayak yang kalian pikir," jelas Abil selepas bercuap-cuap pasal sang papa. Jujur saja, ia merasa seperti tengah diwawancarai oleh reporter sekarang.Stella berembus lega. "Syukur, deh, Kak, tapi maaf banget, ya, aku udah mikir yang enggak
"Kebohongan tanpa alasan untuk kebaikan adalah awal dari kehancuran, sebab apabila keburukan terus menerus dipupuk dengan keburukan, maka akan menghasilkan kebinasaan."***Jam yang melingkar di pergelangan kiri Alka menunjukkan pukul 02.55 siang. Sebentar lagi menuju jam 3, tetapi kemacetan di jalan yang sudah dekat dengan bandara belum juga melonggar. Membuang napas gusar, kini kaki berbalut pantofel hitam itu mengetuk-etuk permukaan mobil. Sementara, klakson demi klakson saling bertimpalan tidak sabar.Tepat pukul 03.00, kemacetan pun berakhir dengan Alka yang menghela napas lega, lalu lekas menancap gas lebih dalam. Selang sepuluh menit, ia sampai di tempat tujuan dan beranjak setelah memarkir kendaraan.Suasana bandara tampak ramai orang berlalu lalang, membuat Alka kesusahan mencari keberadaan dua orang yang sekarang tengah ia jemput--terpaksa. Hingga seorang wanita paruh baya dengan kardigan biru langit sepanjang lutut tampak berd