Beranda / Romansa / Cinderella, Mah, Apa Atuh? / Bab 13 - Kedai Kopi Bersaksi

Share

Bab 13 - Kedai Kopi Bersaksi

"Melupakanmu adalah hal yang cukup sulit. Namun, melupakan Allah demi mengingatmu, itu mustahil. Ya, lebih baik melupakan kamu daripada dilupakan Allah."


***


Cuaca pagi ini menggambarkan suasana hati Rella, kelabu dan mungkin sebentar lagi hujan akan tumpah ruah membasahi bumi. Hari libur biasanya gadis itu akan mengisi kekosongannya dengan menggambar sketsa baju muslim/ah, menjahit kain-kain perca, membuat kerajinan tangan, menyelesaikan tugas kulih, atau pergi ke pemakaman almarhum sang papa. Namun, kejadian kemarin sore benar-benar menjatuhkan mood-nya untuk sekadar melakukan kegiatan seperti biasa.


Sementara, Stella baru saja berpamitan karena harus memenuhi panggilan orang tuanya. Tidak lain untuk membahas tentang perjodohan yang tempo hari tidak kunjung berjalan sesuai rencana.


Dalam kesendirian, Rella duduk di depan jendela dengan kedua tangan memeluk kaki tertekuk. Ia tampak tiada gairah, menatap kosong ke arah jalanan yang tepinya ditumbuhi pepohonan rindang. Membius diri dalam sahutan gemuruh yang menandakan sebentar lagi akan turun rahmat Allah berupa buliran demi buliran air penyejuk bumi.


Selang beberapa detik, gerimis pun mulai berjatuhan hingga tercipta hujan. Seulas senyum menyambangi wajah muram Rella kala menyaksikan keriuhan di luar sana yang tampak menyenangkan para tumbuhan. Namun dalam sekejap, pendar itu kembali menjadi kelam. Ingatan tentang kejadian kemarin benar-benar membekas kuat di ingatannya. Bukan hanya membekas, tetapi rasa trauma juga kian menjadi. 


Sejujurnya, menjadi gendut bukanlah keinginan Rella, tetapi perempuan yang sekarang sudah tidak lagi ia temui setelah pindah ke kampung sang mama, adalah penyebab utamanya. Perempuan bernama Farah itu adalah istri kedua almarhum sang papa selepas bercerai dengan mamanya empat belas tahun silam. 


"Habiskan semuanya tanpa tersisa sedikit pun. Kalau sampai ada sisa, jangan salahkan saya jika semua bahan dan alat jahit yang ditinggalkan mama kamu tidak ada lagi di tempat, atau pilihan lainnya, kamu tidak lulus sekolah."


Kalimat ancaman itu masih melekat erat di ingatan Rella. Sama sekali tidak bisa dihilangkan meski ingin sekali melupakan. Setiap malam setelah Isya, Farah pasti akan menitahkan pembantu untuk membawa makanan ke kamar gadis itu. Nasi dan lauk pauk dalam porsi melebihi standar, air es segelas penuh, belum lagi snack yang bahan dasarnya cokelat tidak pernah ketinggalan. Itu semua harus masuk ke dalam lambung Rella tanpa bisa dielaknya, sebab takut barang-barang peninggalan sang mama dibuang. 


Perbuatan itu dilakukan sejak Rella dalam masa libur sekolah dan perlahan membuahkan hasil setelah satu bulanan. Tak ayal ia jadi bulan-bulanan teman sekelas, bahkan siswa dari kelas lain karena mengalami perubahan fisik yang signifikan alias gendutan. Mulailah panggilan Rella berubah menjadi sebutan aneh dan pastinya tidak enak didengar.


"Baru kali ini gue ngeliat Cinderella gendut! Ha ha!"


"Cinderella, kok, udah gendutan aja? Rakus apa rakus, tuh?"


"Waduh, princess Cinderella kita sekarang udah berubah jadi ibu peri, guys!"


Dan ... masih banyak lagi lontaran kalimat nyinyir lain yang jumlahnya tidak terhitung. Lalu hari-hari berikutnya, Rella tidak bisa lepas dari kegiatan itu, sebab sudah terbiasa dan menjadi night routine. Jika tidak melakukannya, malah membuat tidur tidak nyenyak. Sampai sekarang pun, kebiasaan buruk itu masih saja khilaf ia lakoni.


Mengenai latar belakang Farah menjadikan Rella sebagai objek yang dipandang sebelah mata, tentu saja itu ia perbuat demi sang anak emas. Adalah Annasterra, gadis yang seumuran dengan Rella dan merupakan saudara tirinya.


Wait. Rella menegakkan kepala, pandangannya tidak lagi menerawang jauh. "Annasterra ... Anna? Om John?" gumam gadis itu dengan alis bertaut. Kedua netra Rella bergerak gelisah seraya kembali berkata, "apa mungkin ...."


Nada dering khas ponsel pintar yang cukup nyaring mengejutkan Rella dan membuyarkan pikirannya tentang sebuah hipotesis. Tangan gadis itu terulur mengambil benda pipih di depan, tampaklah nomor yang tidak dikenal. Seketika dahinya mengernyit, memunculkan tanda tanya 'siapa gerangan pemilik nomor tidak dikenal itu?'.


***


Hati Abil tidak bisa berbohong, meski lisannya mengatakan tidak peduli. Dari kemarin sampai detik ini, pikirannya selalu diliputi Rella, Rella, dan Rella. Bagaimana keadaan gadis itu sekarang, apakah masih menangis, apakah nafsu makannya berkurang, apakah ...? Argh! Abil mengacak rambutnya frustrasi, kenapa malah ia yang merasa bersalah atas kejadian kemarin? Ya ... tetapi kalau bukan karena ia mengajak Rella dan Alka bertemu di cafe J, pastinya Cellin, si mulut berbisa juga tidak akan berada di sana.


"Bener juga, sih ...," gumam Abil membenarkan terlepas dari pikiran merunyam, "tapi, kan, tujuan gue bukan itu, melainkan ... Ck! Kenapa masalahnya jadi belibet, sih? Harusnya gue nggak ngerasa bersalah, yang salah itu, ya, Cellin, karena nggak bisa jaga omongan!"


Tapi ... Abil menghela napas kasar, ia baru ingat belum sempat utarakan permintaan maaf pada Rella gara-gara kedatangan si ular berbisa. "Bener-bener, deh, tuh anak," gerutunya semakin kesal.


Abil menjangkau ponsel hitam yang tergeletak di meja belajar berwarna cokelat kayu itu. Mencari nomor seseorang, lantas menulis pesan via sms.


Lama berkutat dengan ponsel pintarnya, sempat pula berdecak dan tampak kesal. Hingga belasan menit berlalu, akhirnya Abil mendapatkan apa yang ia butuhkan saat itu juga.


Sederet nomor ia simpan ke kontak ponsel, setelah itu menghubunginya via suara. Cukup lama tersambung, hingga panggilan pun terjawab. Menelan saliva, Abil menguarkan napas sebelum menempelkan benda itu ke telinga. Laki-laki itu tidak sedang gugup, 'kan?


Berdehem terlebih dahulu, baru kemudian bersuara, "Hai."


Sosok di seberang sana menyahut, "Kak ... Abil?"


***


"Sorry, gue ganggu waktu lo dan minta ketemuan di tempat ini, nggak pa-pa, 'kan?"


Pernyataan sekaligus pertanyaan Abil ditanggapi seutas senyum singkat dari Rella. "Tidak pa-pa, Kak," jawab gadis itu seadanya tanpa gairah.


Tidak seperti dulu lagi yang selalu takut-takut jika berhadapan dengan Abil, sekarang gadis dengan kerudung abu itu tampak jauh lebih tenang. Bukan sebab Abil hendak meminta maaf, tetapi karena pikirannya masih diliputi kenestapaan.


"Oke, jadi sebelumnya gue minta maaf atas kejadian kemarin, gue nggak tau Cellin bakalan dateng ke cafe J," utara Abil dengan penuh penyesalan.


Melihat raut wajah laki-laki itu yang agak memelas, membuat Rella ingin tertawa saat itu juga. Sebab, sosok Abil yang kemarin-kemarin selalu berwajah lempeng meskipun hendak mengungkap kata maaf, cukup mengejutkan melihatnya bersikap demikian. Rella memalingkan wajah ke meja yang diisi oleh cangkir berisi air putih. By the way, sekarang mereka sedang berada di kedai kopi, tetapi bukan cafe J. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kosan.


"Saya tidak pa-pa, Kak," ungkap Rella bohong, sebenarnya ia lebih dari kata ‘tidak baik-baik saja’. Akan tetapi, tidak mungkin Rella tampakkan kenestapaannya secara gamblang di depan laki-laki yang tidak terlalu ia kenal itu.


"Anaknya emang gitu dari lahir, ngomong suka pedes. Mungkin waktu hamil, Tante Veronica ngidamin cabe rawit sekebun."


Kalimat terakhir Abil sukses membuat Rella menahan senyum. Namun, segera ditepis dengan raut seolah sedang memaksakan senyum.


"Eh, tapi, lo jangan dendam sama Alka, meskipun berstatus sebagai kakak kandung Cellin, dia nggak salah apa-apa. He's a kind and humble. Jadi menurut gue, lo nggak berhak buat benci sama Alka hanya karena adiknya berperilaku kurang ajar.


"Mungkin lo bakalan heran kenapa dua saudara kandung punya sifat yang bertolak belakang. Gue ceritain sedikit, jadi Alka tinggal sama Tante Veronica dan Cellin tinggal bersama Om Antonio. Dari cara pengasuhan mereka jauh beda, Cellin dimanja, dan Alka ditempa. I mean, Tante Veronica mendidik Alka dengan kasih sayang dan petuah-petuah, jadi nggak heran orangnya care, humble, dan sesukses sekarang."


Penuturan panjang Abil tentang Alka yang di luar permintaannya membuat Rella terbius. Ia tidak sedikit pun membenci Alka, tetapi sekarang ia tahu, laki-laki itu memang tinggal bersama sang ibu. Apakah persis dengan yang dimimpikan gadis itu? Mulai dari tempat tinggal dan orang tuanya?


"Cinderella, are you okay?"


Rella tersadar dari lamunan, lantas mengangguk kecil. "Saya tidak pa-pa, Kak."


"Gara-gara nyeritain tentang Cellin sama Alka, gue malah lupa tujuan gue minta ketemuan sama lo. Sorry, ya."


"Never mind," jawab Rella santai, seolah mulai lebur dalam suasana yang berhasil Abil cairkan.


Tersenyum simpul, Abil pun berucap, "Gue bener-bener minta maaf atas kejadian di parkiran waktu lalu. Jujur, ya, sebenernya nyesel banget udah ngatain lo yang enggak-enggak, dan gue tersadar karena perkataan lo sebelum ninggalin cafe, itu ngena banget. Cuman, agak nggak terima aja, sih, waktu itu lo juga ngejelek-jelekin bokap gue. But, it's okay, sekarang udah nggak kepikiran hal itu lagi."


Beberapa detik berlalu. Rella yang tertunduk dalam, rupanya tengah menitikkan air mata, tidak kuasa mendengar ungkapan permintaan maaf Abil yang terdengar sangat tulus dan tidak main-main. Laki-laki itu menyadari perilaku Rella, apalagi setelah melihat kedua bahu Rella bergetar dan suara tangis samar.


"Lo ... nangis gara-gara gue, atau ... sesuatu yang lain?"


Tanpa mengangkat wajahnya yang dipastikan semerah kepiting rebus, Rella berkata, "Seandainya Kak Abil tidak meminta maaf pun, saya sudah memaafkan Kakak, tapi ..." Gadis itu melanjutkan tangisnya sebelum bertutur kembali, "saya merasa menjadi manusia paling buruk karena gengsi meminta maaf lebih dulu. Saya juga salah dan maaf atas bumper mobil Kakak yang lecet gara-gara ulah saya, juga hinaan terhadap orang tua Kakak, saya benar-benar minta maaf ...."


Terdiam dalam waktu yang terbilang cukup lama, tampaknya Abil tengah merenungi setiap ucap yang dilontarkan Rella. Kenapa rasanya lebih melegakan daripada satu hari tidak mendapat omelan dan hukuman dari sang papa? Bahkan, serasa Abil baru saja terlepas dari beban yang bobotnya sangat berat.

"Karena masalah di antara kita sudah impas ..., will you ... be my friend?"


Seketika Rella menegakkan kepala, menatap Abil penuh pertanyaan. "Teman?"


Lantas, laki-laki itu mengangguk dengan tarikan senyum lebar.


***


To be continue


[Al, gue minta nomornya Cinderella. Sekarang.] -From Abil


[Untuk?] -Alka


[Gue ada perlu. Kirim cepet.] -From Abil


[No] -Alka


[Al ... gue cuma minta nomornya Cinderella, apa susahnya, sih, dibagiin ke gue?] -From Abil


[Nothing] -Alka


[Please ...! Gue butuh nomor cewek itu sekarang! Lo ngerti, nggak, sih?!] -From Abil


[Tidak] -Alka


[Al, please ... emangnya nomor Cinderella kenapa, sih, sampe lo nggak mau bagi-bagi ke gue? Lo takut, tuh cewek gue ganggu? Atau lo takut, gue gebet? Atau jangan-jangan ... lo suka sama dia? Ngaku lo!]


[08xxx232xxx] -Alka


[Sbbdkdngkooyxvsnzkhslkank! Sialan lo!] -From Abil


***


To be continue ...


[Kyuni's Note]: Alhamdulillah, akhirnya Rella dan Abil baikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status