"Melupakanmu adalah hal yang cukup sulit. Namun, melupakan Allah demi mengingatmu, itu mustahil. Ya, lebih baik melupakan kamu daripada dilupakan Allah."
***
Cuaca pagi ini menggambarkan suasana hati Rella, kelabu dan mungkin sebentar lagi hujan akan tumpah ruah membasahi bumi. Hari libur biasanya gadis itu akan mengisi kekosongannya dengan menggambar sketsa baju muslim/ah, menjahit kain-kain perca, membuat kerajinan tangan, menyelesaikan tugas kulih, atau pergi ke pemakaman almarhum sang papa. Namun, kejadian kemarin sore benar-benar menjatuhkan mood-nya untuk sekadar melakukan kegiatan seperti biasa.
Sementara, Stella baru saja berpamitan karena harus memenuhi panggilan orang tuanya. Tidak lain untuk membahas tentang perjodohan yang tempo hari tidak kunjung berjalan sesuai rencana.
Dalam kesendirian, Rella duduk di depan jendela dengan kedua tangan memeluk kaki tertekuk. Ia tampak tiada gairah, menatap kosong ke arah jalanan yang tepinya ditumbuhi pepohonan rindang. Membius diri dalam sahutan gemuruh yang menandakan sebentar lagi akan turun rahmat Allah berupa buliran demi buliran air penyejuk bumi.
Selang beberapa detik, gerimis pun mulai berjatuhan hingga tercipta hujan. Seulas senyum menyambangi wajah muram Rella kala menyaksikan keriuhan di luar sana yang tampak menyenangkan para tumbuhan. Namun dalam sekejap, pendar itu kembali menjadi kelam. Ingatan tentang kejadian kemarin benar-benar membekas kuat di ingatannya. Bukan hanya membekas, tetapi rasa trauma juga kian menjadi.
Sejujurnya, menjadi gendut bukanlah keinginan Rella, tetapi perempuan yang sekarang sudah tidak lagi ia temui setelah pindah ke kampung sang mama, adalah penyebab utamanya. Perempuan bernama Farah itu adalah istri kedua almarhum sang papa selepas bercerai dengan mamanya empat belas tahun silam.
"Habiskan semuanya tanpa tersisa sedikit pun. Kalau sampai ada sisa, jangan salahkan saya jika semua bahan dan alat jahit yang ditinggalkan mama kamu tidak ada lagi di tempat, atau pilihan lainnya, kamu tidak lulus sekolah."
Kalimat ancaman itu masih melekat erat di ingatan Rella. Sama sekali tidak bisa dihilangkan meski ingin sekali melupakan. Setiap malam setelah Isya, Farah pasti akan menitahkan pembantu untuk membawa makanan ke kamar gadis itu. Nasi dan lauk pauk dalam porsi melebihi standar, air es segelas penuh, belum lagi snack yang bahan dasarnya cokelat tidak pernah ketinggalan. Itu semua harus masuk ke dalam lambung Rella tanpa bisa dielaknya, sebab takut barang-barang peninggalan sang mama dibuang.
Perbuatan itu dilakukan sejak Rella dalam masa libur sekolah dan perlahan membuahkan hasil setelah satu bulanan. Tak ayal ia jadi bulan-bulanan teman sekelas, bahkan siswa dari kelas lain karena mengalami perubahan fisik yang signifikan alias gendutan. Mulailah panggilan Rella berubah menjadi sebutan aneh dan pastinya tidak enak didengar.
"Baru kali ini gue ngeliat Cinderella gendut! Ha ha!"
"Cinderella, kok, udah gendutan aja? Rakus apa rakus, tuh?"
"Waduh, princess Cinderella kita sekarang udah berubah jadi ibu peri, guys!"
Dan ... masih banyak lagi lontaran kalimat nyinyir lain yang jumlahnya tidak terhitung. Lalu hari-hari berikutnya, Rella tidak bisa lepas dari kegiatan itu, sebab sudah terbiasa dan menjadi night routine. Jika tidak melakukannya, malah membuat tidur tidak nyenyak. Sampai sekarang pun, kebiasaan buruk itu masih saja khilaf ia lakoni.
Mengenai latar belakang Farah menjadikan Rella sebagai objek yang dipandang sebelah mata, tentu saja itu ia perbuat demi sang anak emas. Adalah Annasterra, gadis yang seumuran dengan Rella dan merupakan saudara tirinya.
Wait. Rella menegakkan kepala, pandangannya tidak lagi menerawang jauh. "Annasterra ... Anna? Om John?" gumam gadis itu dengan alis bertaut. Kedua netra Rella bergerak gelisah seraya kembali berkata, "apa mungkin ...."
Nada dering khas ponsel pintar yang cukup nyaring mengejutkan Rella dan membuyarkan pikirannya tentang sebuah hipotesis. Tangan gadis itu terulur mengambil benda pipih di depan, tampaklah nomor yang tidak dikenal. Seketika dahinya mengernyit, memunculkan tanda tanya 'siapa gerangan pemilik nomor tidak dikenal itu?'.
***
Hati Abil tidak bisa berbohong, meski lisannya mengatakan tidak peduli. Dari kemarin sampai detik ini, pikirannya selalu diliputi Rella, Rella, dan Rella. Bagaimana keadaan gadis itu sekarang, apakah masih menangis, apakah nafsu makannya berkurang, apakah ...? Argh! Abil mengacak rambutnya frustrasi, kenapa malah ia yang merasa bersalah atas kejadian kemarin? Ya ... tetapi kalau bukan karena ia mengajak Rella dan Alka bertemu di cafe J, pastinya Cellin, si mulut berbisa juga tidak akan berada di sana.
"Bener juga, sih ...," gumam Abil membenarkan terlepas dari pikiran merunyam, "tapi, kan, tujuan gue bukan itu, melainkan ... Ck! Kenapa masalahnya jadi belibet, sih? Harusnya gue nggak ngerasa bersalah, yang salah itu, ya, Cellin, karena nggak bisa jaga omongan!"
Tapi ... Abil menghela napas kasar, ia baru ingat belum sempat utarakan permintaan maaf pada Rella gara-gara kedatangan si ular berbisa. "Bener-bener, deh, tuh anak," gerutunya semakin kesal.
Abil menjangkau ponsel hitam yang tergeletak di meja belajar berwarna cokelat kayu itu. Mencari nomor seseorang, lantas menulis pesan via sms.
Lama berkutat dengan ponsel pintarnya, sempat pula berdecak dan tampak kesal. Hingga belasan menit berlalu, akhirnya Abil mendapatkan apa yang ia butuhkan saat itu juga.
Sederet nomor ia simpan ke kontak ponsel, setelah itu menghubunginya via suara. Cukup lama tersambung, hingga panggilan pun terjawab. Menelan saliva, Abil menguarkan napas sebelum menempelkan benda itu ke telinga. Laki-laki itu tidak sedang gugup, 'kan?
Berdehem terlebih dahulu, baru kemudian bersuara, "Hai."
Sosok di seberang sana menyahut, "Kak ... Abil?"
***
"Sorry, gue ganggu waktu lo dan minta ketemuan di tempat ini, nggak pa-pa, 'kan?"
Pernyataan sekaligus pertanyaan Abil ditanggapi seutas senyum singkat dari Rella. "Tidak pa-pa, Kak," jawab gadis itu seadanya tanpa gairah.
Tidak seperti dulu lagi yang selalu takut-takut jika berhadapan dengan Abil, sekarang gadis dengan kerudung abu itu tampak jauh lebih tenang. Bukan sebab Abil hendak meminta maaf, tetapi karena pikirannya masih diliputi kenestapaan.
"Oke, jadi sebelumnya gue minta maaf atas kejadian kemarin, gue nggak tau Cellin bakalan dateng ke cafe J," utara Abil dengan penuh penyesalan.
Melihat raut wajah laki-laki itu yang agak memelas, membuat Rella ingin tertawa saat itu juga. Sebab, sosok Abil yang kemarin-kemarin selalu berwajah lempeng meskipun hendak mengungkap kata maaf, cukup mengejutkan melihatnya bersikap demikian. Rella memalingkan wajah ke meja yang diisi oleh cangkir berisi air putih. By the way, sekarang mereka sedang berada di kedai kopi, tetapi bukan cafe J. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kosan.
"Saya tidak pa-pa, Kak," ungkap Rella bohong, sebenarnya ia lebih dari kata ‘tidak baik-baik saja’. Akan tetapi, tidak mungkin Rella tampakkan kenestapaannya secara gamblang di depan laki-laki yang tidak terlalu ia kenal itu.
"Anaknya emang gitu dari lahir, ngomong suka pedes. Mungkin waktu hamil, Tante Veronica ngidamin cabe rawit sekebun."
Kalimat terakhir Abil sukses membuat Rella menahan senyum. Namun, segera ditepis dengan raut seolah sedang memaksakan senyum.
"Eh, tapi, lo jangan dendam sama Alka, meskipun berstatus sebagai kakak kandung Cellin, dia nggak salah apa-apa. He's a kind and humble. Jadi menurut gue, lo nggak berhak buat benci sama Alka hanya karena adiknya berperilaku kurang ajar.
"Mungkin lo bakalan heran kenapa dua saudara kandung punya sifat yang bertolak belakang. Gue ceritain sedikit, jadi Alka tinggal sama Tante Veronica dan Cellin tinggal bersama Om Antonio. Dari cara pengasuhan mereka jauh beda, Cellin dimanja, dan Alka ditempa. I mean, Tante Veronica mendidik Alka dengan kasih sayang dan petuah-petuah, jadi nggak heran orangnya care, humble, dan sesukses sekarang."
Penuturan panjang Abil tentang Alka yang di luar permintaannya membuat Rella terbius. Ia tidak sedikit pun membenci Alka, tetapi sekarang ia tahu, laki-laki itu memang tinggal bersama sang ibu. Apakah persis dengan yang dimimpikan gadis itu? Mulai dari tempat tinggal dan orang tuanya?
"Cinderella, are you okay?"
Rella tersadar dari lamunan, lantas mengangguk kecil. "Saya tidak pa-pa, Kak."
"Gara-gara nyeritain tentang Cellin sama Alka, gue malah lupa tujuan gue minta ketemuan sama lo. Sorry, ya."
"Never mind," jawab Rella santai, seolah mulai lebur dalam suasana yang berhasil Abil cairkan.
Tersenyum simpul, Abil pun berucap, "Gue bener-bener minta maaf atas kejadian di parkiran waktu lalu. Jujur, ya, sebenernya nyesel banget udah ngatain lo yang enggak-enggak, dan gue tersadar karena perkataan lo sebelum ninggalin cafe, itu ngena banget. Cuman, agak nggak terima aja, sih, waktu itu lo juga ngejelek-jelekin bokap gue. But, it's okay, sekarang udah nggak kepikiran hal itu lagi."
Beberapa detik berlalu. Rella yang tertunduk dalam, rupanya tengah menitikkan air mata, tidak kuasa mendengar ungkapan permintaan maaf Abil yang terdengar sangat tulus dan tidak main-main. Laki-laki itu menyadari perilaku Rella, apalagi setelah melihat kedua bahu Rella bergetar dan suara tangis samar.
"Lo ... nangis gara-gara gue, atau ... sesuatu yang lain?"
Tanpa mengangkat wajahnya yang dipastikan semerah kepiting rebus, Rella berkata, "Seandainya Kak Abil tidak meminta maaf pun, saya sudah memaafkan Kakak, tapi ..." Gadis itu melanjutkan tangisnya sebelum bertutur kembali, "saya merasa menjadi manusia paling buruk karena gengsi meminta maaf lebih dulu. Saya juga salah dan maaf atas bumper mobil Kakak yang lecet gara-gara ulah saya, juga hinaan terhadap orang tua Kakak, saya benar-benar minta maaf ...."
Terdiam dalam waktu yang terbilang cukup lama, tampaknya Abil tengah merenungi setiap ucap yang dilontarkan Rella. Kenapa rasanya lebih melegakan daripada satu hari tidak mendapat omelan dan hukuman dari sang papa? Bahkan, serasa Abil baru saja terlepas dari beban yang bobotnya sangat berat.
"Karena masalah di antara kita sudah impas ..., will you ... be my friend?"
Seketika Rella menegakkan kepala, menatap Abil penuh pertanyaan. "Teman?"
Lantas, laki-laki itu mengangguk dengan tarikan senyum lebar.
***
To be continue
[Al, gue minta nomornya Cinderella. Sekarang.] -From Abil
[Untuk?] -Alka
[Gue ada perlu. Kirim cepet.] -From Abil
[No] -Alka
[Al ... gue cuma minta nomornya Cinderella, apa susahnya, sih, dibagiin ke gue?] -From Abil
[Nothing] -Alka
[Please ...! Gue butuh nomor cewek itu sekarang! Lo ngerti, nggak, sih?!] -From Abil
[Tidak] -Alka
[Al, please ... emangnya nomor Cinderella kenapa, sih, sampe lo nggak mau bagi-bagi ke gue? Lo takut, tuh cewek gue ganggu? Atau lo takut, gue gebet? Atau jangan-jangan ... lo suka sama dia? Ngaku lo!]
[08xxx232xxx] -Alka
[Sbbdkdngkooyxvsnzkhslkank! Sialan lo!] -From Abil
***
To be continue ...
[Kyuni's Note]: Alhamdulillah, akhirnya Rella dan Abil baikan.
"Ketika kamu dalam proses move on, hati kamu harus sekuat baja, iman tetap kokoh seperti tiang masjid, dan hilangkan sifat mudah BAPER itu. Semangat, jangan kasih kendor!"***Hari ini Rella harus menyiapkan hati yang kuat dalam rangka bertemu dengan Alka. Bagaimanapun reaksi laki-laki itu nanti ketika bertemu, ia akan berusaha bersikap biasa tanpa melibatkan perasaan. Sebab, di dalam niatnya sudah mutlak tertulis 'Lupakan Alka!'. Oke, fighting Cinderella!Dengan semangat '45, gadis itu memasuki Rose yang terparkir syantik di halaman kos. "Yuk, berangkat," katanya pada Stella selepas mengenakan seatbelt.
"Karenamu aku melayang, karenamu pula aku tenggelam. Bukan salahmu, tetapi hati ini yang jauh dari-Nya dan ketika kaudatang, ia (hati) tiada daya, hingga akhirnya iman pun jadi taruhan. Harus kuakui, aku lemah tanpa Dzat ar-Rahman."***Entah sudah berapa kali Rella mondar-mandir tidak jelas di depan Stella yang matanya tidak pernah lekang mengikuti arah pergerakan gadis itu sembari menopang dagu. Selang lima detik, Rella mengembuskan napas berat. Tidak jarang satu tangannya memegangi kepala dan tangan lainnya berkacak pinggang, menggambarkan betapa runyam pikirannya saat ini."Kenapa nggak lo tolak aja kalo emang nggak bisa?"Rella berhenti, menatap Stella, lalu berkata, "Aku merasa tidak enakan untuk menolak a
Rella menyodorkan gelas dengan bahan porselen dan bertelinga yang berisi cokelat hangat pada Stella, lalu duduk di tepi ranjangnya membuat mereka saling berhadapan. Gadis dengan balutan kardigan hitam tebal yang duduk bersila di ranjang, seraya bersandar pada tembok itu kembali ke kos beberapa menit lalu dalam keadaan basah-basahan. Seketika sisi keibuan Rella timbul ke permukaan dan melayani Stella layaknya gadis tersebut adalah sang anak."Thankyou very much, Mom. You're so kind," kata Stella memuji disertai kekehan."You're welcome, Honey," balas Rella sedikit mencebik, tetapi kemudian menyunggingkan senyum. Menyeruput minu
"Kata orang, jatuh cinta adalah proses pendewasaan diri. Namun, kenapa yang kurasakan; jatuh cinta adalah proses penyiksaan hati?"***Rella masih kepikiran akan ajakan Alka yang tidak seperti biasanya. Meski sudah sering ia memberi alasan dan akhirnya tidak jadi membicarakan hal yang dimaksud laki-laki itu. Akan tetapi, untuk kali ini, Alka sempat berkata apakah Rella benar-benar tidak ada waktu barang sejenak, sebab hal itu sangatlah penting. Siapa sangka, seorang dosen paling dikagumi oleh mahasiswi seantero kampus, bisa memohon untuk diberi kesempatan guna mengutarakan tujuannya pada seorang gadis yang sering kali dipandang sebelah mata hanya karena ketidaksempurnaan fisiknya.Sempat ingin menerima, tetapi ia teringat akan tugas akhir semester empat yang harus segera diselesaikan. Andai kata tida
"Ternyata, berpura-pura tidak mencintai lebih menyiksa daripada pura-pura mencintai. Perasaan itu harus kamu kubur, pendam, dan rahasiakan dari banyak orang. Sebuah kebohongan besar jika kamu berkata bahagia ketika melihat orang yang dicintai bahagia, meski bukan denganmu, tetapi orang lain. Padahal, di lubuk hati paling dalam, tercipta luka menganga. Namun, rasa sakit yang teramat itu kamu telan seorang diri, tidak tahu kepada siapa untuk berbagi, sebab kamu sudah merasa tiada lagi orang yang peduli."***Pesan yang tidak terlalu panjang pun tidak juga pendek itu—sembari mengerjakan tugas, selang 4-5 detik—kembali ditatap Rella, terhitung sudah setengah jam ia melakukan hal tersebut setelah kembali ke kos. Pesan yang sebenarnya dikirim Stella ketika masih berada di area parkir kedai kopi waktu lalu.
"Jangan pernah mengkhawatirkan hubungan yang belum pasti ujungnya, tetapi khawatirlah pada hubunganmu dengan Tuhan, jangan sampai ada jarak yang membentang, hingga akhirnya engkau dilupakan."***Laki-laki dengan sweater putih gading tengah terduduk di single sofa dalam bilik bernuansa hitam putih. Kedua manik legamnya menatap layar ponsel yang menampilkan bekas panggilan dari seseorang dengan nama ‘Cinderella’. Terdapat satu panggilan masuk dari gadis tersebut, beberapa sisanya adalah panggilan keluar dan tak terjawab yang dari beberapa minggu lalu sebelum jarak perlahan membentang di antara mereka.Mengembuskan napas pelan, laki-laki itu menaruh ponsel ke nakas, terdapat di sisi kanan sofa. Beralih meraih bingkai hitam berukuran 10x15 berisi sketsa wajah laki-laki berkacamata, lengkap dengan senyum lebarnya. Sketsa tersebut adalah Alka yang waktu itu berumur 17 tahun. Salah satu ibu jarinya mengelus tulisan
"Tak selamanya rahasia bersembunyi di balik tabir. Ada waktu di mana Tuhan akan menyingkapnya, sekalipun ada yang menginginkannya untuk tetap menjadi rahasia. Namun, mungkin saja hal yang 'tiada, tetapi ada' itu menjadi benang merah di kemudian hari."***Stella menduduki kursi, masih dengan pandangan was-was ke arah luar. Rella masih di sana untuk beberapa saat, hingga akhirnya mulai berjalan menjauhi area parkiran. Saat itu juga, napas Stella mengembus lega."Sebegitu takutnya kamu ketauan sama Cinderella?"Pertanyaan bernada sindiran itu membuat Stella memalingkan tatap ke arah laki-laki yang baru saja duduk selepas memesan minuman, tampak anteng dengan tangan bersedekap depan dada. Berdehem, gadis itu berujar, "Ya ... lo tau sendiri, 'kan, gue itu sahabatnya dan ... lo juga tau dia suka sama lo. Gue nggak mau, lah, Ella sampai salah paham dan persahabatan kami jadi ambyar."Sebuah senyum a
"Gemuk memang bukan narapidana, bukan pula durjana. Gemuk memang tak selemanya buruk, tetapi ketika ia dihadirkan secara sengaja, itulah gambaran dari ketamakan dan justru dibenci Tuhan."***"Lagi?" tanya Rella ketika Stella yang tengah fokus menyetir, memberitaukan pasal ia yang tidak bisa tidur di kosan malam ini, melainkan di rumah--lagi."Iya, keadaan mama belum pulih banget soalnya. Lo nggak pa-pa, 'kan, tidur sendirian lagi?""Tidak apa-apa, sih," balas Rella. Hening beberapa saat, ia kembali bersuara, "eh, aku pengin tau juga sama keadaan tante. Bisa, tidak, sekalian ikut mampir ke rumah kamu? Kalau masalah pulangnya, nanti aku bisa pesan ojol atau taksi online."Seketika wajah Stella berubah tegang. "Eu ... Bukannya nggak boleh,nih, El, tapi kata dokter yang ngobatin mama, jan
[Assalamu'alaikum, El, aku cuma pengin kamu tau satu hal, kalo sebenarnya perjodohan antara Kak Stella dan Kak Alka itu murni karena paksaan dari Om Antonio sama Mama Gloria.][Kalo kamu nggak percaya, bisa tanyakan langsung sama Kak Alka, tapi aku yakin, kamu nggak akan mau ngelakuin itu. Jadi, di sini aku mau ngeyakinin kamu kalo di antara Kak Stella dan Kak Alka nggak ada perasaan cinta sedikit pun. Mereka murni berteman, nggak lebih. Aku lihat, Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Terbukti waktu aku ngembaliin sepatu kaca itu, dia keliatan kecewa banget, El.][Oh, iya, aku ngembaliin sepatu itu beberapa saat setelah kita ketemu di cafe J. Awalnya Kak Alka nolak ajakanku, tapi pas nyebut nama kamu dan sepatu kaca pemberiannya, akhirnya dia mau.][Aku yakin, seyakin-yakinnya kalo Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Dan aku juga yakin, Kak Alka nerima perjodohan itu pasti karena ada alasan yang kuat dan nggak bisa disepelekan. Aku sedikit kenal gimana perangai Om Antonio. Kalo dia
Wanita dengan rambut hitam yang tercepol asal itu tengah sibuk mengemasi barang-barang ke dalam tas koper ketika seseorang menghubunginya via video call. Rella, setelah melihat pada layar gawai di samping tempat duduknya, seketika melebarkan kedua mata. “Kak Abil?!” pekiknya panik. Secepat kilat dia meraih ciput dan jilbab bergo yang ada di tepi ranjang, lantas memakainya tanpa bercermin. Gawai masih terus berbunyi, Rella segera mengambil dan meletakkannya ke bolongan berbentuk persegi panjang pada meja laptop yang biasa dia gunakan belajar jika ingin lesehan di lantai. Ini kali pertama Abil menghubunginya via vc, tentu saja Rella tidak cukup berani, tetapi ingin menolak pun rasanya segan. Setelah memastikan dirinya sudah siap, barulah Rella menggeser tombol hijau dan beberapa saat kemudian, wajah tampan Abil memenuhi layar gawainya. Rella mengerjap beberapa kali, mengatur gestur tubuh dan mimik wajah agar terlihat baik dan tidak tegang. Dia mengulas senyum canggung. “Assalamu'ala
Selepas puas bercurhat ria pada sang mama, kini Rella lebih lega untuk menarik dan mengembuskan napasnya. Meskipun masih ada sedikit perasaan kecewa dan luka yang terasa perih di dada. Namun, dia akan berusaha untuk ikhlas, merelakan segala alur yang telah dirancang Allah sedemikian rupa. Wanita itu membuka sebuah aplikasi sosial media dan mencari nama akun seseorang yang menjadi topik utama curhatannya barusan. Setelah masuk ke profil akun tersebut, dia mengklik bagian kirim pesan. Beruntung onstagramnya tidak diblokir juga, sementara itu nomor telepon dan wutsapp-nya sudah diblokir. Sebelum mengetikkan pesan, Rella mengatur napas, menarik seutas senyum penenang. Barulah jari-jemarinya bermain di layar keyboard dengan pelan bersama detakan jantung yang terasa lebih cepat. [Hai, Stel. Kabar baik? Aku harap sangat baik. Maaf malam-malam mengirimimu pesan lewat dm. Aku ... hanya merasa segan untuk memintamu bertemu langsung. Selain itu, aku juga nggak tau nomormu yang lain. Malam
Sejak diantar pulang ke kosan oleh Abil, Rella tidak henti-hentinya menangis. Pikiran dan hatinya benar-benar tidak tenang, kacau. Dia bukan menangisi perihal Alka yang lebih memilih wanita lain, melainkan tentang persahabatannya bersama Stella. Rella memang kecewa atas perlakuan Alka, sangat. Dua kali dilamar, tetapi bukan dirinya yang dinikahi. Namun, Rella sudah berusaha untuk merelakan, sebab jika memang Tuhan tidak menakdirkan mereka berjodoh, mau sekuat apa pun berjuang juga tidak akan pernah bersatu. Sekarang, pikirannya lebih terbuka untuk tidak lagi berlarut-larut menangisi perihal asmara. Itu semua tidak lekang dari bantuan Stella yang selalu setia memberi dukungan, juga nasihat dari Pak Psikolog alias Abil. Hanya saja, kali ini dia tidak yakin bisa lebih tegar. Kehilangan sahabat sungguh berkali-kali lebih menyakitkan dibanding kehilangan kekasih. Bagi Rella, sosok Stella tidak ada gantinya. Sahabat terbaik sejak awal masuk kuliah hingga masuk semester 6, rasanya ketika
Abil menatap lawan bicaranya sembari menahan amarah. “Lo berhutang penjelasan soal kejadian tadi pagi di rumah keluarga Stella. Soal pertunangan kalian yang katanya ... terpaksa?”Laki-laki berwajah lesu itu sekalipun tidak membalas tatapan Abil. Sepasang mata lelahnya hanya tertuju pada permukaan meja dengan segelas air putih yang baru saja ia hidangkan untuk tamu di depan. Alka mengembus berat. Sedikit pun tidak tampak bias keceriaan di wajahnya, hanya ada ketidaktenangan. “Kamu sudah mendengar semua perkataan Stella, apa masih kurang jelas?” Nada suaranya terdengar sangat malas untuk sekadar membahas permasalahan yang baru saja dilalui. Jika boleh, dia sendiri tidak ingin menghadapi alur serumit itu. “Jelas, tapi kenapa lo malah jalanin kalo lo sama Stella nggak mau? Lo udah sering bikin Ella sakit hati, Al, dan sekarang lo bener-bener ngehancurin harapan dia!”Alka memejam. Ia sangat sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, sangat sadar telah membuat luka baru untuk Rella di s
“Tiada yang lebih baik daripada melepaskan. Karena jika aku memilih untuk terus mempertahankan, mungkin retaknya akan terus berulang.” *** Bagaikan racun yang dibungkus kain sutera, begitulah Stella yang menjadi racun dan Rella sebagai pembungkusnya. Kebaikan Rella menutupi segala bentuk tujuan buruk Stella, tetapi lambat laun ketika seseorang memaksa menyingkirkan kain sutera, mau tidak mau racun pun tampak. "Kenapa kamu masih di sini?" "Stella, aku--" "Pergi!" Bahkan, Stella memilih menenggak habis racun itu tanpa sisa, sebab tidak ingin sahabat terbaiknya terluka lebih jauh karena mempertahankan pertemanan mereka. Dia rela menjadi jahat, asalkan Rella menjauhinya. Dia rela menjadi bilah pisau, asalkan tidak ada lagi luka yang tercipta setelahnya. Demi kebaikan Rella, Stella rela menjadi seburuk-buruknya manusia. Rella tidak pantas bersahabat dengan manusia berhati busuk. Rella tidak pantas bebuat baik pada manusia berhati rubah. Sungguh tidak pantas. Satu dua tete
Wanita berpakaian khas dokter itu menggelung tt dan memasukkannya ke dalam tas khusus. Rautnya tampak berbeda selepas memeriksa keadaan pasien yang terbaring di ranjang king size. Sesaat kemudian, dia melempar senyum kepada orang tng duduk di kursi dekat ranjang, Gloria. "Bagaimana keadaan Stella, San? Dia tidak kenapa-napa, kan?" Kecemasan tergurat jelas di wajah renta Gloria. "Ibu jangan khawatir, Stella baik-baik aja. Dia cuma butuh istirahat untuk memulihkan tenaga, sebentar lagi pasti siuman." Ucapan Santiya, dokter yang biasa menanganinya terdengar meyakinkan, membuat Gloria tersenyum tenang dan bernapas lega. "Entah apa yang Stella kerjakan selain kuliah sampai membuatnya kecapean, tapi syukurlah kalau dia nggak kenapa-napa." Gloria berdiri mendekati Santiya yang telah selesai mengemasi peralatan medisnya. "Kamu nggak makan dulu bareng kita? Sambil nunggu Stella siuman.""Nggak usah, Bu, saya mau langsung balik ke rumah sakit selesai dari sini. Mungkin ... lain kali kalau ng
"Sebesar apa pun perjuanganmu untuk mendapatkannya, sekalipun mendaki gunung himalaya, bahkan mengarungi samudera hindia, jika Tuhan tidak berkehendak, kamu tidak akan pernah bisa memilikinya."***Anna, kenapa gadis yang pernah menjadi saudara tirinya itu ada di sini? Pertanyaan itulah yang pertama kali menyambangi pikiran Rella tatkala masuk ke rumah bak istana milik Gloria. Ia benar-benar terkejut, Abil berbisik padanya bahwa gadis dengan dress selutut itu adalah adik Stella. Adik kandung, tetapi beda ibu. Satu rahasia kembali terkuak. Lantas, kenapa selama ini, Stella bersikap seolah tidak mengenal Anna? Tunggu dulu. Annasterra dan ... Annastella. Kenapa Rella baru sadar, jikalau nama dari kedua gadis itu ada kemiripan? Kenapa ia tidak ngeh sama sekali? Rella tidak habis pikir. Lantas, apa alasan Stella sampai merahasiakan tentang ikatannya dengan Anna? Anna sangat menyukai Alka, apakah Stella mendukung hal itu di belakang Rella? Apakah Stella hanya berpura-pura mendukung per
"Setiap hal yang tersembunyi, ada kalanya tampak ke permukaan. Semata-mata agar manusia paham, bahwa sesuatu yang seharusnya tidak menjadi rahasia, tidak perlu dirahasiakan. Jika ketersembunyian saja mencipta masalah baru, kenapa tidak dengan menyuarakan kebenaran saja? Toh, ujungnya akan tetap sama. Walau sejatinya, kejujuran di awal lebih mampu untuk diterima hati, daripada menyemai kebohongan, yang pada akhirnya tertuai kekecewaan dan sulit untuk sekedar diikhlaskan."***[Kemarin lusa, kan, kamu belum jawab iya apa enggak. Apa mau ke sana sekarang? Kebetulan udah selesai kuliah. Kamu udah selesai?]Pesan itu didapat Rella dari Abil dua hari setelah mengajar di panti asuhan. Hal itu yang sangat ingin ditanyakan Rella, seandainya kemarin lusa laki-laki tersebut tidak menerima telepon penting. Pembicaraan tentang Stella pun terhenti, terlupakan begitu saja. Ingin bertanya, sudah sampai kos-an, jadilah Rella menahan rasa penasarannya hingga sekarang. [Udah selesai, Kak, ini mau bali