Cinderella tercenung lama di depan cermin, tidak kunjung memoles krim bayi yang terdapat pada kedua pipi, dahi, dan dagunya. Kejadian waktu lalu masih terngiang di ingatan, berputar berulang kali bagai roller coaster. Bahkan, derit pintu terbuka pun tidak didengar, apalagi dengan gemeletuk high heels Stella yang menguasai ruang.
"Good evening, my princess Ella ..."
"Allahu laa ilaha illahu wal hayyul qoyyum, laa ...! Ya, Allah, Stella ... bikin kaget saja kamu, ah!" teriak Rella histeris sambil menodongkan sisir ke arah Stella yang berjongkok di sampingnya.
Stella mencebik, kembali berdiri sembari bersedekap depan dada. "Gila aja lo, El, masa gue dibacain ayat kursi? Emangnya gue hantu, apa?"
"Kok, kamu tau aku baca ayat kursi?" heran Rella masih dalam posisi yang sama.
"Ya, iyalah, gue tau, orang lo-nya sering baca kalo lagi mati lampu," jawab Stella dengan bola mata hitam naik, berusaha menahan tawa yang tiba-tiba ingin menyembur keluar.
Balik mencebik, Rella melempar sisir di tangannya hingga mengenai tangan Stella. Membuat gadis itu meringis kesakitan seraya mengusap-usap lengannya yang tidak tertutupi sehelai kain pun. Tampaknya Rella sangat sensitif hari ini. Ada dua kemungkinan penyebabnya, entah karena efek menstruasi atau mungkin kejadian di cafe waktu lalu.
"Yaelah, gitu aja ngambek. Ini sakit tau, El ... tuh, merah, tuh." Stella memperlihat lengan kanannya yang terkena sabitan sisir lucknut Rella. Namun, objek yang dituju malah menekuk wajah berhiaskan bentol-bentol putih menghadap cermin.
Tidak mendapat respons apa pun, Stella mulai engah akan ketidakwajaran sikap sahabatnya. Dia pun mulai berjongkok, mensejajarkan kepala dengan pundak milik gadis itu, lantas bersandar di sana sambil menatap manik sendu bertemankan kesedihan yang terpatut di cermin. Sebenarnya, hal apa lagi yang membuat si penyuka biru tersebut bersedih? Apa masih karena kejadian semalam?
"Lo kenapa lagi, sih ...? Masa mau sedih-sedih terus, katanya mau move on."
Rella menghela napas berat, tetapi tidak mampu meringankan beban yang ada di pundak, rasanya malah semakin sarat. "Stel," panggilnya dengan nada terdengar sangat lemah.
"Kenapa? Cerita sama gue," balas Stella, lalu mengapit lengan Rella. Berharap bisa memberi sedikit kekuatan agar sang sahabat tidak terlalu menyuarakan nada keputusasaan. Dia hafal betul bagaimana Rella.
Senyum sepat Rella tercetak samar, tetapi tidak akan ada yang tidak tahu jika dia tengah menyimpan sebuah nelangsa. Detik berikutnya, bibir gadis itu mulai mengadu, "Apa takdir aku hidup di dunia ini hanya untuk di-bully, ya?"
"Wait, lo ngomong apa barusan?" balas Stella cepat, "di-bully? Siapa yang berani nge-bully lo? Siapa?! Bilang sama gue sekarang, biar gue labrak tuh orang!" Stella naik pitam, mencengkeram kuat kedua lengan Rella dengan wajah merah padam.
Sementara, Rella sudah tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi meminta keluar. Namun, segera dihapus, membuat krim bayi di kedua pipinya terseret dan mencipta lukisan abstrak. Dia menggeleng, tidak ingin memberitahukan kebenaran itu pada Stella. "Bukan siapa-siapa, kok. Aku nanya kayak gitu doang, kamu sudah macam Mak Lampir kesetanan, apalagi kalau aku benar-benar di-bully." Dia akhiri dengan kekehan sebagai penyamar ketidakbaikan segumpal daging di dalam sana.
"Gue tau lo lagi bohongin gue. Lo terlalu buruk dalam hal menipu dan nggak ada yang bakal percaya sama omongan lo yang tadi," tandas Stella tidak ingin percaya akan alibi Rella. "Ceritain sekarang atau gue yang nyari tau sendiri," sambung gadis itu dengan raut memohon.
Memejamkan mata, aliran anak sungai di kedua pipi Rella kembali tercipta. Kali ini, kedua bahunya pun bergetar disertai isakan. Hal itu memunculkan empati pada diri Stella, lantas membawa Rella ke dalam rengkuhan kecilnya, berusaha menenangkan lewat usapan pelan. Entah kenapa, ada seberkas perasaan bersalah yang muncul di benak Stella.
"Harusnya gue nemenin lo tadi," bisik Stella di sela tangis Rella yang semakin menyayat hati. "Maafin gue, harusnya gue juga nggak balik duluan cuma buat ngurusin perjodohan bodoh itu. Maafin gue, El, maafin gue." Wajah gadis itu mulai dibasahi bulir-bulir kristal bening.
"Kenapa aku bisa selemah ini, sih? Padahal hanya fisikku yang dinilai, tapi kenapa sakitnya malah terasa di hati?
"Stel, kenapa? Kenapa aku lemah? Seolah-olah aku tidak bersyukur atas takdir yang Allah beri. Kenapa aku tidak setegar hujan? Dan kenapa aku tidak seperti kamu yang selalu sabar dan tidak pernah mengeluh waktu dijadikan dompet kelas? Kenapa, Stel?"
Suasana benar-benar mengharu biru, baru saja pelangi tercipta, sekarang seolah badai kembali menerpa. Apakah tidak ada kesempatan lagi untuk gadis itu merasakan bahagia ketika tidak ada satu orang pun yang menilai keburukan fisiknya? Seburuk itukah orang yang memiliki tubuh berbeda dari biasanya manusia di mata mereka? Memang dasar makhluk durjana!
"Usst, lo nggak boleh ngomong gitu. Setiap manusia pasti punya keterbatasan, El, cuma Tuhan yang nggak punya keterbatasan. Itu, kan, yang lo bilang ke gue waktu lalu?"
Setelah Stella selesai mengucap kalimat itu, seketika tangis Rella mereda. Hanya sengguk yang masih tersisa. 'Stella benar, El, setiap manusia pasti punya keterbatasan dan keterbatasan itu berbeda di masing-masing manusia.' Hati nurani Rella berbisik, berhasil membenahi perasaan demi perasaan dalam kalbu yang berselimut sendu.
"Dihina, bukan berarti paling hina, El. Lo, kan, pernah bilang, yang berhak menilai itu cuma Tuhan, bukan manusia. Lo juga udah pernah ngasih tau gue, kan, biarpun kita terlihat hina di mata manusia, asalkan nggak terlihat hina di mata Tuhan," tutur Stella, mengingatkan kembali pada Rella bahwasanya ia sendiri pernah mengatakan kalimat sebijak itu, dulu.
Stella merenggangkan jarak, beralih memegangi kedua pundak Rella. "Udahan nangisnya, sekarang hapus air mata beserta ingus lo. Jorok, ih."
Kekehan kecil keluar dari bibir Rella. Segera dihapusnya jejak benda cair di kedua pipi, tidak lupa membersihkan ingus yang ternyata nangkring syantik di kediamannya menggunakan tisu yang disodorkan Stella. Tangan kanan Stella bergerak meratakan krim yang ada di sekeliling wajah Rella selepas gadis itu selesai melakukan kegiatan. Dia diam, sama sekali tidak menolak.
"Sekarang, apa pun kata mereka, jangan pernah lo dengerin. Anggap itu sebagai angin sepoi-sepoi yang bikin lo semangat terus jalanin hari. Kita nggak tau, besok atau lusa, mungkin orang yang ngatain lo itu menggantikan posisi lo yang sekarang," kata Stella terdengar bijak, "keren, 'kan, kata-kata mutiara gue?"
Rella kembali terkekeh. "Iyain aja."
Pada akhirnya, tangis mereka tergantikan oleh canda dan tawa. Selalu saja begitu, setiap dari keduanya memang sama-sama pandai mengambil peran sebagai sosok pelipur lara. Ya, begitulah seharusnya sahabat, sedih di kala terluka, tertawa di kala bahagia.
***
Laki-laki berwajah keruh itu mengembuskan napas berat. Begitu berat, hingga sepasang netra berbingkai kacamatanya tidak seberseri waktu lalu. Dialah Alka, pemilik bibir kemerahan itu ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar semacam umpatan, tetapi berusaha untuk ditahan sebisa mungkin. Sebab, itu bukanlah hal yang dibenarkan dalam agama. Hanya bisa mengucap istigfar dalam batinan.
"Sudah tiga hari kamu tidak menghubungi Papa setelah pemberitahuan tentang per-"
"Kak Alka kencan sama cewek gendut, Pa," tukas gadis remaja berambut curly yang duduk bersedekap dengan tatapan tak bersahabat, berhasil memotong ucapan laki-laki senja di sampingnya.
Bibir Alka setengah terbuka, hendak membantah aduan berisi kebohongan dari adik perempuannya, tetapi urung karena pasti akan sia-sia saja. Memilih diam, nyatanya hal itu malah semakin membuat gadis bernama Cellin tidak berhenti bertingkah.
"Jelek lagi, cantikan juga Cellin ke mana-mana. Ya ... walaupun agak berisi, tapi Cellin nggak segendut dia," lanjut anak itu mengompor-ngompori.
Alka hanya bisa mengembuskan napas sabar, berusaha untuk tidak menuruti ego untuk luapkan amarah. Antonio, pemilik gelar ayah dari kedua saudara kandung itu menatap penuh selidik pada anak sulungnya, tampak duduk tegap pada sofa di depannya yang terhalang meja persegi.
"Alka, Papa sama sekali tidak melarangmu berkencan dengan perempuan mana pun, meski perempuan itu gendut dan jelek, seperti yang adikmu katakan. Akan tetapi, bagaimana dengan Tuhanmu dan Mamamu? Bukankah kamu sudah berjanji akan menaati perintah dan menjauhi larangan-Nya? Bagaimana nantinya perasaan Mamamu jika dia mengetahui kelakuanmu yang sebenarnya, Nak?"
Mulai lagi. Antonio akan selalu dan selalu mencari kesempatan untuk menggoyahkan iman Alka. Dia memang belum sepenuhnya menerima keislaman sang putra.
"Saya tidak ada maksud berkencan dengan perempuan itu, tetapi sahabat saya meminta bantuan untuk ditemani," balas Alka berusaha untuk tidak menaikkan oktaf suaranya.
"Ditemani kencan maksud Kakak?" Cellin terkekeh sinis. "Astaga, Kak Alka ... apa bedanya coba? Sama aja boong!"
Mengembuskan napas sabar, kini laki-laki yang tidak banyak tingkah itu mulai memposisikan tubuhnya berdiri tegap. Tatapan dilayangkan pada sosok 'bekas' tulang punggung keluarga di depan dengan penuh hormat, berusaha untuk tidak terlihat marah. "Saya hanya berharap Papa lebih memperhatikan Cellin daripada 'mengurusi' saya, sebelum dia terjerumus pergaulan yang tidak seharusnya."
Kalimat yang terdengar cukup ambigu itu membuat Antonio mengernyit keheranan. Apa maksud dari anak sulungnya? Sedang, Cellin tidak pernah luput dari pantauan para bodyguard suruhannya. Manik laki-laki itu beralih pada Cellin yang tampak diam membisu dengan wajah tegang. Gadis lima belas tahun itu sepertinya tengah ketakutan.
"Apa maksud kamu? Cellin selalu diawasi oleh bodyguard suruhan Papa, tidak mungkin akan terjerumus pergaulan bebas, tidak seperti kamu dulu."
Sedikit menarik kedua sudut bibir, Alka memutar lehernya ke arah sang adik yang berada di samping kanan. "Kakak harap, kamu tidak ditimpa nasib yang sama seperti Kakak dulu." Memalingkan wajah pada Antonio, Alka kembali berkata, "dulu, saya memang bukan laki-laki berwibawa seperti Papa, tapi setidaknya saya tidak menelantarkan orang yang pernah berjasa dalam hidup saya seperti yang Papa lakukan dulu."
Antonio tersentak, baru kali ini Alka berani melontarkan kata-kata yang terbilang kasar padanya. Tidak seperti yang sudah-sudah, Alka kini lebih memilih menyuarakan isi hati yang selama belasan tahun dipendam.
Langkah Alka gegas meninggalkan rumah mewah bak istana tersebut dengan amarah yang masih berusaha ditahan sekuat tenaga. Namun, setidaknya satu hal yang dulu selalu ingin dia ucap, kini berhasil direalisasikan. Laki-laki bejat macam sang papa, memang tidak pantas mendapat hormat dari anak yang dulu ditelantarkan bagaikan hewan. Lalu setelah sukses, dia malah berlagak layaknya ayah yang sangat mencintai putranya.
Akan tetapi Alka sadar, bahwa tanpa adanya sang papa, dia pun tidak akan ada di dunia. Allah pasti akan sangat marah jika keinginan yang dulu-di mana mengharuskannya membalas segala sakit dan luka pada Antonio-dilakukan. Alka masih punya iman yang kuat untuk menahan itu semua. Beruntung sosok gadis cantik di masa lalu berhasil membuatnya jatuh cinta pada islam, hingga saat ini.
***
To be continue
Suasana di cafe J benar-benar panas dan menegangkan, penyebabnya tidak lain setelah kehadiran sosok Cellin, adik kandung Alka. Setelah tanpa izin mengambil tempat duduk di antara ketiga kawula itu, kini ia tampak menghunuskan tatapan tidak suka dan meremehkan pada Rella. "Ternyata Kakak lagi kencan? Sama cewek potongan model kayak gini? Nggak ada cewek yang lebih baik apa? Udah gendut, jelek, iyuh! Tipe Kakak bener-bener serendah ini?"
Mulut pedas gadis itu berhasil mencabik-cabik hati Rella hingga yang terasa hanya sakit dan perih. Berusaha menahan diri untuk tidak menangis atau bahkan bergerak menjambak rambut Cellin, Rella mengembuskan napas sabar.
"Cellin," panggil Alka pelan dan penuh kesabaran. "Kakak tidak suka kamu berbicara seperti itu, sangat tidak beretika. Dia murid Kakak di kampus, murid paling teladan. Sebaiknya kamu jangan pelihara kebiasaan menilai fisik orang lain, tidak baik."
Mungkin, Alka berpikir jika pujian 'murid paling teladan' yang ia lontarkan akan memperbaiki suasana hati Rella. Namun, justru tidak sedikit pun berbekas bagi Rella, sebab hinaan Cellin jauh lebih berpengaruh.
Cellin beralih menatap Alka, sedikit pun tidak tergambar perasaan bersalah di wajanya yang berpoles make up tebal. "Cellin bukan menilai fisiknya, Cellin berbicara sesuai objektifitas, kok. Apa salahnya? Ya, 'kan, Kak Abil?"
Abil memutar bola mata, memilih memalingkan pandangan dari Cellin daripada berkomentar. Dilihatnya Rella yang berusaha mengontrol emosi, tampak jelas dari wajahnya yang kemerahan. Semantara itu, Alka mengebuskan napas, ia pun sama tengah menahan amarah.
"Lebih baik sekaramh kamu pulang, jangan keluyuran, kamu ini anak perempuan," nasihat Alka pada sang adik yang seratus persen tidak akan dihiraukan oleh gadis itu.
"Cellin ke sini nyariin Kakak, papa mau ketemu, mau ngomongin masalah-"
"Kakak sudah tau," sela Alka memotong pembicaraan Cellin.
"Kalo Kakak udah tau, ngapain ke tempat ini? Papa itu udah tua, Kak, bisa nggak, sih, sekali aja nggak nolak permintaan papa buat ketemu sama keluarga Om John?
"Please, deh, Kak. Kak Anna yang kecantikannya bak dewi Yunani malah Kakak tolak? Sedangkan cewek ini yang udah jelas bentukannya jauh dari kata ideal, malah dikencanin? How can?!"
"Cellin, cukup!"
"Maaf." Tiba-tiba saja Rella berdiri dengan air mata yang sudah tumpah, "saya permisi, ada tugas yang harus saya selesaikan. Assalamualaikum." Rella bergegas ke luar cafe dengan perasaan sakit yang tidak bisa dijabarkan. Hari ini benar-benar buruk, mungkin hatinya akan sulit untuk disembuhkan. Ya, bagaimana tidak? Ia dipermalukan di depan laki-laki yang dicintai, bahkan pelakunya adalah adik Alka sendiri!
***
To be continue ...
[Kyuni's Note]: Tidak ada orang yang baik-baik saja ketika dihina, tetapi membalas dengan hinaan adalah menggambarkan bahwa dirinya tidak ada bedanya dengan orang yang menghina. Maka dari itu, memendam rasa sakit itu adalah pilihan.
"Melupakanmu adalah hal yang cukup sulit. Namun, melupakan Allah demi mengingatmu, itu mustahil. Ya, lebih baik melupakan kamu daripada dilupakan Allah."***Cuaca pagi ini menggambarkan suasana hati Rella, kelabu dan mungkin sebentar lagi hujan akan tumpah ruah membasahi bumi. Hari libur biasanya gadis itu akan mengisi kekosongannya dengan menggambar sketsa baju muslim/ah, menjahit kain-kain perca, membuat kerajinan tangan, menyelesaikan tugas kulih, atau pergi ke pemakaman almarhum sang papa. Namun, kejadian kemarin sore benar-benar menjatuhkan mood-nya untuk sekadar melakukan kegiatan seperti biasa.Sementara, Stella baru saja berpamitan karena harus memenuhi panggilan orang tuanya. Tidak lain untuk membahas tentang pe
"Ketika kamu dalam proses move on, hati kamu harus sekuat baja, iman tetap kokoh seperti tiang masjid, dan hilangkan sifat mudah BAPER itu. Semangat, jangan kasih kendor!"***Hari ini Rella harus menyiapkan hati yang kuat dalam rangka bertemu dengan Alka. Bagaimanapun reaksi laki-laki itu nanti ketika bertemu, ia akan berusaha bersikap biasa tanpa melibatkan perasaan. Sebab, di dalam niatnya sudah mutlak tertulis 'Lupakan Alka!'. Oke, fighting Cinderella!Dengan semangat '45, gadis itu memasuki Rose yang terparkir syantik di halaman kos. "Yuk, berangkat," katanya pada Stella selepas mengenakan seatbelt.
"Karenamu aku melayang, karenamu pula aku tenggelam. Bukan salahmu, tetapi hati ini yang jauh dari-Nya dan ketika kaudatang, ia (hati) tiada daya, hingga akhirnya iman pun jadi taruhan. Harus kuakui, aku lemah tanpa Dzat ar-Rahman."***Entah sudah berapa kali Rella mondar-mandir tidak jelas di depan Stella yang matanya tidak pernah lekang mengikuti arah pergerakan gadis itu sembari menopang dagu. Selang lima detik, Rella mengembuskan napas berat. Tidak jarang satu tangannya memegangi kepala dan tangan lainnya berkacak pinggang, menggambarkan betapa runyam pikirannya saat ini."Kenapa nggak lo tolak aja kalo emang nggak bisa?"Rella berhenti, menatap Stella, lalu berkata, "Aku merasa tidak enakan untuk menolak a
Rella menyodorkan gelas dengan bahan porselen dan bertelinga yang berisi cokelat hangat pada Stella, lalu duduk di tepi ranjangnya membuat mereka saling berhadapan. Gadis dengan balutan kardigan hitam tebal yang duduk bersila di ranjang, seraya bersandar pada tembok itu kembali ke kos beberapa menit lalu dalam keadaan basah-basahan. Seketika sisi keibuan Rella timbul ke permukaan dan melayani Stella layaknya gadis tersebut adalah sang anak."Thankyou very much, Mom. You're so kind," kata Stella memuji disertai kekehan."You're welcome, Honey," balas Rella sedikit mencebik, tetapi kemudian menyunggingkan senyum. Menyeruput minu
"Kata orang, jatuh cinta adalah proses pendewasaan diri. Namun, kenapa yang kurasakan; jatuh cinta adalah proses penyiksaan hati?"***Rella masih kepikiran akan ajakan Alka yang tidak seperti biasanya. Meski sudah sering ia memberi alasan dan akhirnya tidak jadi membicarakan hal yang dimaksud laki-laki itu. Akan tetapi, untuk kali ini, Alka sempat berkata apakah Rella benar-benar tidak ada waktu barang sejenak, sebab hal itu sangatlah penting. Siapa sangka, seorang dosen paling dikagumi oleh mahasiswi seantero kampus, bisa memohon untuk diberi kesempatan guna mengutarakan tujuannya pada seorang gadis yang sering kali dipandang sebelah mata hanya karena ketidaksempurnaan fisiknya.Sempat ingin menerima, tetapi ia teringat akan tugas akhir semester empat yang harus segera diselesaikan. Andai kata tida
"Ternyata, berpura-pura tidak mencintai lebih menyiksa daripada pura-pura mencintai. Perasaan itu harus kamu kubur, pendam, dan rahasiakan dari banyak orang. Sebuah kebohongan besar jika kamu berkata bahagia ketika melihat orang yang dicintai bahagia, meski bukan denganmu, tetapi orang lain. Padahal, di lubuk hati paling dalam, tercipta luka menganga. Namun, rasa sakit yang teramat itu kamu telan seorang diri, tidak tahu kepada siapa untuk berbagi, sebab kamu sudah merasa tiada lagi orang yang peduli."***Pesan yang tidak terlalu panjang pun tidak juga pendek itu—sembari mengerjakan tugas, selang 4-5 detik—kembali ditatap Rella, terhitung sudah setengah jam ia melakukan hal tersebut setelah kembali ke kos. Pesan yang sebenarnya dikirim Stella ketika masih berada di area parkir kedai kopi waktu lalu.
"Jangan pernah mengkhawatirkan hubungan yang belum pasti ujungnya, tetapi khawatirlah pada hubunganmu dengan Tuhan, jangan sampai ada jarak yang membentang, hingga akhirnya engkau dilupakan."***Laki-laki dengan sweater putih gading tengah terduduk di single sofa dalam bilik bernuansa hitam putih. Kedua manik legamnya menatap layar ponsel yang menampilkan bekas panggilan dari seseorang dengan nama ‘Cinderella’. Terdapat satu panggilan masuk dari gadis tersebut, beberapa sisanya adalah panggilan keluar dan tak terjawab yang dari beberapa minggu lalu sebelum jarak perlahan membentang di antara mereka.Mengembuskan napas pelan, laki-laki itu menaruh ponsel ke nakas, terdapat di sisi kanan sofa. Beralih meraih bingkai hitam berukuran 10x15 berisi sketsa wajah laki-laki berkacamata, lengkap dengan senyum lebarnya. Sketsa tersebut adalah Alka yang waktu itu berumur 17 tahun. Salah satu ibu jarinya mengelus tulisan
"Tak selamanya rahasia bersembunyi di balik tabir. Ada waktu di mana Tuhan akan menyingkapnya, sekalipun ada yang menginginkannya untuk tetap menjadi rahasia. Namun, mungkin saja hal yang 'tiada, tetapi ada' itu menjadi benang merah di kemudian hari."***Stella menduduki kursi, masih dengan pandangan was-was ke arah luar. Rella masih di sana untuk beberapa saat, hingga akhirnya mulai berjalan menjauhi area parkiran. Saat itu juga, napas Stella mengembus lega."Sebegitu takutnya kamu ketauan sama Cinderella?"Pertanyaan bernada sindiran itu membuat Stella memalingkan tatap ke arah laki-laki yang baru saja duduk selepas memesan minuman, tampak anteng dengan tangan bersedekap depan dada. Berdehem, gadis itu berujar, "Ya ... lo tau sendiri, 'kan, gue itu sahabatnya dan ... lo juga tau dia suka sama lo. Gue nggak mau, lah, Ella sampai salah paham dan persahabatan kami jadi ambyar."Sebuah senyum a