Home / Romansa / Cinderella, Mah, Apa Atuh? / Bab 12 - Dihina Bukan Berarti Paling Hina

Share

Bab 12 - Dihina Bukan Berarti Paling Hina

Author: Kyuni Chan
last update Last Updated: 2021-03-13 16:20:00

Cinderella tercenung lama di depan cermin, tidak kunjung memoles krim bayi yang terdapat pada kedua pipi, dahi, dan dagunya. Kejadian waktu lalu masih terngiang di ingatan, berputar berulang kali bagai roller coaster. Bahkan, derit pintu terbuka pun tidak didengar, apalagi dengan gemeletuk high heels Stella yang menguasai ruang.


"Good evening, my princess Ella ..."

"Allahu laa ilaha illahu wal hayyul qoyyum, laa ...! Ya, Allah, Stella ... bikin kaget saja kamu, ah!" teriak Rella histeris sambil menodongkan sisir ke arah Stella yang berjongkok di sampingnya.


Stella mencebik, kembali berdiri sembari bersedekap depan dada. "Gila aja lo, El, masa gue dibacain ayat kursi? Emangnya gue hantu, apa?"


"Kok, kamu tau aku baca ayat kursi?" heran Rella masih dalam posisi yang sama.


"Ya, iyalah, gue tau, orang lo-nya sering baca kalo lagi mati lampu," jawab Stella dengan bola mata hitam naik, berusaha menahan tawa yang tiba-tiba ingin menyembur keluar.


Balik mencebik, Rella melempar sisir di tangannya hingga mengenai tangan Stella. Membuat gadis itu meringis kesakitan seraya mengusap-usap lengannya yang tidak tertutupi sehelai kain pun. Tampaknya Rella sangat sensitif hari ini. Ada dua kemungkinan penyebabnya, entah karena efek menstruasi atau mungkin kejadian di cafe waktu lalu.


"Yaelah, gitu aja ngambek. Ini sakit tau, El ... tuh, merah, tuh." Stella memperlihat lengan kanannya yang terkena sabitan sisir lucknut Rella. Namun, objek yang dituju malah menekuk wajah berhiaskan bentol-bentol putih menghadap cermin.


Tidak mendapat respons apa pun, Stella mulai engah akan ketidakwajaran sikap sahabatnya. Dia pun mulai berjongkok, mensejajarkan kepala dengan pundak milik gadis itu, lantas bersandar di sana sambil menatap manik sendu bertemankan kesedihan yang terpatut di cermin. Sebenarnya, hal apa lagi yang membuat si penyuka biru tersebut bersedih? Apa masih karena kejadian semalam?


"Lo kenapa lagi, sih ...? Masa mau sedih-sedih terus, katanya mau move on."


Rella menghela napas berat, tetapi tidak mampu meringankan beban yang ada di pundak, rasanya malah semakin sarat. "Stel," panggilnya dengan nada terdengar sangat lemah.


"Kenapa? Cerita sama gue," balas Stella, lalu mengapit lengan Rella. Berharap bisa memberi sedikit kekuatan agar sang sahabat tidak terlalu menyuarakan nada keputusasaan. Dia hafal betul bagaimana Rella.


Senyum sepat Rella tercetak samar, tetapi tidak akan ada yang tidak tahu jika dia tengah menyimpan sebuah nelangsa. Detik berikutnya, bibir gadis itu mulai mengadu, "Apa takdir aku hidup di dunia ini hanya untuk di-bully, ya?"


"Wait, lo ngomong apa barusan?" balas Stella cepat, "di-bully? Siapa yang berani nge-bully lo? Siapa?! Bilang sama gue sekarang, biar gue labrak tuh orang!" Stella naik pitam, mencengkeram kuat kedua lengan Rella dengan wajah merah padam.


Sementara, Rella sudah tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi meminta keluar. Namun, segera dihapus, membuat krim bayi di kedua pipinya terseret dan mencipta lukisan abstrak. Dia menggeleng, tidak ingin memberitahukan kebenaran itu pada Stella. "Bukan siapa-siapa, kok. Aku nanya kayak gitu doang, kamu sudah macam Mak Lampir kesetanan, apalagi kalau aku benar-benar di-bully." Dia akhiri dengan kekehan sebagai penyamar ketidakbaikan segumpal daging di dalam sana.


"Gue tau lo lagi bohongin gue. Lo terlalu buruk dalam hal menipu dan nggak ada yang bakal percaya sama omongan lo yang tadi," tandas Stella tidak ingin percaya akan alibi Rella. "Ceritain sekarang atau gue yang nyari tau sendiri," sambung gadis itu dengan raut memohon.


Memejamkan mata, aliran anak sungai di kedua pipi Rella kembali tercipta. Kali ini, kedua bahunya pun bergetar disertai isakan. Hal itu memunculkan empati pada diri Stella, lantas membawa Rella ke dalam rengkuhan kecilnya, berusaha menenangkan lewat usapan pelan. Entah kenapa, ada seberkas perasaan bersalah yang muncul di benak Stella.


"Harusnya gue nemenin lo tadi," bisik Stella di sela tangis Rella yang semakin menyayat hati. "Maafin gue, harusnya gue juga nggak balik duluan cuma buat ngurusin perjodohan bodoh itu. Maafin gue, El, maafin gue." Wajah gadis itu mulai dibasahi bulir-bulir kristal bening.


"Kenapa aku bisa selemah ini, sih? Padahal hanya fisikku yang dinilai, tapi kenapa sakitnya malah terasa di hati?


"Stel, kenapa? Kenapa aku lemah? Seolah-olah aku tidak bersyukur atas takdir yang Allah beri. Kenapa aku tidak setegar hujan? Dan kenapa aku tidak seperti kamu yang selalu sabar dan tidak pernah mengeluh waktu dijadikan dompet kelas? Kenapa, Stel?"


Suasana benar-benar mengharu biru, baru saja pelangi tercipta, sekarang seolah badai kembali menerpa. Apakah tidak ada kesempatan lagi untuk gadis itu merasakan bahagia ketika tidak ada satu orang pun yang menilai keburukan fisiknya? Seburuk itukah orang yang memiliki tubuh berbeda dari biasanya manusia di mata mereka? Memang dasar makhluk durjana!


"Usst, lo nggak boleh ngomong gitu. Setiap manusia pasti punya keterbatasan, El, cuma Tuhan yang nggak punya keterbatasan. Itu, kan, yang lo bilang ke gue waktu lalu?"


Setelah Stella selesai mengucap kalimat itu, seketika tangis Rella mereda. Hanya sengguk yang masih tersisa. 'Stella benar, El, setiap manusia pasti punya keterbatasan dan keterbatasan itu berbeda di masing-masing manusia.' Hati nurani Rella berbisik, berhasil membenahi perasaan demi perasaan dalam kalbu yang berselimut sendu.


"Dihina, bukan berarti paling hina, El. Lo, kan, pernah bilang, yang berhak menilai itu cuma Tuhan, bukan manusia. Lo juga udah pernah ngasih tau gue, kan, biarpun kita terlihat hina di mata manusia, asalkan nggak terlihat hina di mata Tuhan," tutur Stella, mengingatkan kembali pada Rella bahwasanya ia sendiri pernah mengatakan kalimat sebijak itu, dulu.


Stella merenggangkan jarak, beralih memegangi kedua pundak Rella. "Udahan nangisnya, sekarang hapus air mata beserta ingus lo. Jorok, ih."


Kekehan kecil keluar dari bibir Rella. Segera dihapusnya jejak benda cair di kedua pipi, tidak lupa membersihkan ingus yang ternyata nangkring syantik di kediamannya menggunakan tisu yang disodorkan Stella. Tangan kanan Stella bergerak meratakan krim yang ada di sekeliling wajah Rella selepas gadis itu selesai melakukan kegiatan. Dia diam, sama sekali tidak menolak.


"Sekarang, apa pun kata mereka, jangan pernah lo dengerin. Anggap itu sebagai angin sepoi-sepoi yang bikin lo semangat terus jalanin hari. Kita nggak tau, besok atau lusa, mungkin orang yang ngatain lo itu menggantikan posisi lo yang sekarang," kata Stella terdengar bijak, "keren, 'kan, kata-kata mutiara gue?"


Rella kembali terkekeh. "Iyain aja."


Pada akhirnya, tangis mereka tergantikan oleh canda dan tawa. Selalu saja begitu, setiap dari keduanya memang sama-sama pandai mengambil peran sebagai sosok pelipur lara. Ya, begitulah seharusnya sahabat, sedih di kala terluka, tertawa di kala bahagia.


***


Laki-laki berwajah keruh itu mengembuskan napas berat. Begitu berat, hingga sepasang netra berbingkai kacamatanya tidak seberseri waktu lalu. Dialah Alka, pemilik bibir kemerahan itu ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar semacam umpatan, tetapi berusaha untuk ditahan sebisa mungkin. Sebab, itu bukanlah hal yang dibenarkan dalam agama. Hanya bisa mengucap istigfar dalam batinan.


"Sudah tiga hari kamu tidak menghubungi Papa setelah pemberitahuan tentang per-"


"Kak Alka kencan sama cewek gendut, Pa," tukas gadis remaja berambut curly yang duduk bersedekap dengan tatapan tak bersahabat, berhasil memotong ucapan laki-laki senja di sampingnya.


Bibir Alka setengah terbuka, hendak membantah aduan berisi kebohongan dari adik perempuannya, tetapi urung karena pasti akan sia-sia saja. Memilih diam, nyatanya hal itu malah semakin membuat gadis bernama Cellin tidak berhenti bertingkah.


"Jelek lagi, cantikan juga Cellin ke mana-mana. Ya ... walaupun agak berisi, tapi Cellin nggak segendut dia," lanjut anak itu mengompor-ngompori.


Alka hanya bisa mengembuskan napas sabar, berusaha untuk tidak menuruti ego untuk luapkan amarah. Antonio, pemilik gelar ayah dari kedua saudara kandung itu menatap penuh selidik pada anak sulungnya, tampak duduk tegap pada sofa di depannya yang terhalang meja persegi.


"Alka, Papa sama sekali tidak melarangmu berkencan dengan perempuan mana pun, meski perempuan itu gendut dan jelek, seperti yang adikmu katakan. Akan tetapi, bagaimana dengan Tuhanmu dan Mamamu? Bukankah kamu sudah berjanji akan menaati perintah dan menjauhi larangan-Nya? Bagaimana nantinya perasaan Mamamu jika dia mengetahui kelakuanmu yang sebenarnya, Nak?"


Mulai lagi. Antonio akan selalu dan selalu mencari kesempatan untuk menggoyahkan iman Alka. Dia memang belum sepenuhnya menerima keislaman sang putra. 


"Saya tidak ada maksud berkencan dengan perempuan itu, tetapi sahabat saya meminta bantuan untuk ditemani," balas Alka berusaha untuk tidak menaikkan oktaf suaranya.


"Ditemani kencan maksud Kakak?" Cellin terkekeh sinis. "Astaga, Kak Alka ... apa bedanya coba? Sama aja boong!"


Mengembuskan napas sabar, kini laki-laki yang tidak banyak tingkah itu mulai memposisikan tubuhnya berdiri tegap. Tatapan dilayangkan pada sosok 'bekas' tulang punggung keluarga di depan dengan penuh hormat, berusaha untuk tidak terlihat marah. "Saya hanya berharap Papa lebih memperhatikan Cellin daripada 'mengurusi' saya, sebelum dia terjerumus pergaulan yang tidak seharusnya."


Kalimat yang terdengar cukup ambigu itu membuat Antonio mengernyit keheranan. Apa maksud dari anak sulungnya? Sedang, Cellin tidak pernah luput dari pantauan para bodyguard suruhannya. Manik laki-laki itu beralih pada Cellin yang tampak diam membisu dengan wajah tegang. Gadis lima belas tahun itu sepertinya tengah ketakutan. 


"Apa maksud kamu? Cellin selalu diawasi oleh bodyguard suruhan Papa, tidak mungkin akan terjerumus pergaulan bebas, tidak seperti kamu dulu."


Sedikit menarik kedua sudut bibir, Alka memutar lehernya ke arah sang adik yang berada di samping kanan. "Kakak harap, kamu tidak ditimpa nasib yang sama seperti Kakak dulu." Memalingkan wajah pada Antonio, Alka kembali berkata, "dulu, saya memang bukan laki-laki berwibawa seperti Papa, tapi setidaknya saya tidak menelantarkan orang yang pernah berjasa dalam hidup saya seperti yang Papa lakukan dulu."


Antonio tersentak, baru kali ini Alka berani melontarkan kata-kata yang terbilang kasar padanya. Tidak seperti yang sudah-sudah, Alka kini lebih memilih menyuarakan isi hati yang selama belasan tahun dipendam.


Langkah Alka gegas meninggalkan rumah mewah bak istana tersebut dengan amarah yang masih berusaha ditahan sekuat tenaga. Namun, setidaknya satu hal yang dulu selalu ingin dia ucap, kini berhasil direalisasikan. Laki-laki bejat macam sang papa, memang tidak pantas mendapat hormat dari anak yang dulu ditelantarkan bagaikan hewan. Lalu setelah sukses, dia malah berlagak layaknya ayah yang sangat mencintai putranya.


Akan tetapi Alka sadar, bahwa tanpa adanya sang papa, dia pun tidak akan ada di dunia. Allah pasti akan sangat marah jika keinginan yang dulu-di mana mengharuskannya membalas segala sakit dan luka pada Antonio-dilakukan. Alka masih punya iman yang kuat untuk menahan itu semua. Beruntung sosok gadis cantik di masa lalu berhasil membuatnya jatuh cinta pada islam, hingga saat ini.


***


To be continue


Suasana di cafe J benar-benar panas dan menegangkan, penyebabnya tidak lain setelah kehadiran sosok Cellin, adik kandung Alka. Setelah tanpa izin mengambil tempat duduk di antara ketiga kawula itu, kini ia tampak menghunuskan tatapan tidak suka dan meremehkan pada Rella. "Ternyata Kakak lagi kencan? Sama cewek potongan model kayak gini? Nggak ada cewek yang lebih baik apa? Udah gendut, jelek, iyuh! Tipe Kakak bener-bener serendah ini?" 


Mulut pedas gadis itu berhasil mencabik-cabik hati Rella hingga yang terasa hanya sakit dan perih. Berusaha menahan diri untuk tidak menangis atau bahkan bergerak menjambak rambut Cellin, Rella mengembuskan napas sabar.


"Cellin," panggil Alka pelan dan penuh kesabaran. "Kakak tidak suka kamu berbicara seperti itu, sangat tidak beretika. Dia murid Kakak di kampus, murid paling teladan. Sebaiknya kamu jangan pelihara kebiasaan menilai fisik orang lain, tidak baik."


Mungkin, Alka berpikir jika pujian 'murid paling teladan' yang ia lontarkan akan memperbaiki suasana hati Rella. Namun, justru tidak sedikit pun berbekas bagi Rella, sebab hinaan Cellin jauh lebih berpengaruh.


Cellin beralih menatap Alka, sedikit pun tidak tergambar perasaan bersalah di wajanya yang berpoles make up tebal. "Cellin bukan menilai fisiknya, Cellin berbicara sesuai objektifitas, kok. Apa salahnya? Ya, 'kan, Kak Abil?"


Abil memutar bola mata, memilih memalingkan pandangan dari Cellin daripada berkomentar. Dilihatnya Rella yang berusaha mengontrol emosi, tampak jelas dari wajahnya yang kemerahan. Semantara itu, Alka mengebuskan napas, ia pun sama tengah menahan amarah.


"Lebih baik sekaramh kamu pulang, jangan keluyuran, kamu ini anak perempuan," nasihat Alka pada sang adik yang seratus persen tidak akan dihiraukan oleh gadis itu. 


"Cellin ke sini nyariin Kakak, papa mau ketemu, mau ngomongin masalah-"


"Kakak sudah tau," sela Alka memotong pembicaraan Cellin.


"Kalo Kakak udah tau, ngapain ke tempat ini? Papa itu udah tua, Kak, bisa nggak, sih, sekali aja nggak nolak permintaan papa buat ketemu sama keluarga Om John?


"Please, deh, Kak. Kak Anna yang kecantikannya bak dewi Yunani malah Kakak tolak? Sedangkan cewek ini yang udah jelas bentukannya jauh dari kata ideal, malah dikencanin? How can?!"


"Cellin, cukup!"


"Maaf." Tiba-tiba saja Rella berdiri dengan air mata yang sudah tumpah, "saya permisi, ada tugas yang harus saya selesaikan. Assalamualaikum." Rella bergegas ke luar cafe dengan perasaan sakit yang tidak bisa dijabarkan. Hari ini benar-benar buruk, mungkin hatinya akan sulit untuk disembuhkan. Ya, bagaimana tidak? Ia dipermalukan di depan laki-laki yang dicintai, bahkan pelakunya adalah adik Alka sendiri!


***


To be continue ...


[Kyuni's Note]: Tidak ada orang yang baik-baik saja ketika dihina, tetapi membalas dengan hinaan adalah menggambarkan bahwa dirinya tidak ada bedanya dengan orang yang menghina. Maka dari itu, memendam rasa sakit itu adalah pilihan.

Related chapters

  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 13 - Kedai Kopi Bersaksi

    "Melupakanmu adalah hal yang cukup sulit. Namun, melupakan Allah demi mengingatmu, itu mustahil. Ya, lebih baik melupakan kamu daripada dilupakan Allah."***Cuaca pagi ini menggambarkan suasana hati Rella, kelabu dan mungkin sebentar lagi hujan akan tumpah ruah membasahi bumi. Hari libur biasanya gadis itu akan mengisi kekosongannya dengan menggambar sketsa baju muslim/ah, menjahit kain-kain perca, membuat kerajinan tangan, menyelesaikan tugas kulih, atau pergi ke pemakaman almarhum sang papa. Namun, kejadian kemarin sore benar-benar menjatuhkan mood-nya untuk sekadar melakukan kegiatan seperti biasa.Sementara, Stella baru saja berpamitan karena harus memenuhi panggilan orang tuanya. Tidak lain untuk membahas tentang pe

    Last Updated : 2021-03-16
  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 14 - Hari yang Penuh ‘Duar!’

    "Ketika kamu dalam proses move on, hati kamu harus sekuat baja, iman tetap kokoh seperti tiang masjid, dan hilangkan sifat mudah BAPER itu. Semangat, jangan kasih kendor!"***Hari ini Rella harus menyiapkan hati yang kuat dalam rangka bertemu dengan Alka. Bagaimanapun reaksi laki-laki itu nanti ketika bertemu, ia akan berusaha bersikap biasa tanpa melibatkan perasaan. Sebab, di dalam niatnya sudah mutlak tertulis 'Lupakan Alka!'. Oke, fighting Cinderella!Dengan semangat '45, gadis itu memasuki Rose yang terparkir syantik di halaman kos. "Yuk, berangkat," katanya pada Stella selepas mengenakan seatbelt.

    Last Updated : 2021-03-16
  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 15 - Pengganti Posisi

    "Karenamu aku melayang, karenamu pula aku tenggelam. Bukan salahmu, tetapi hati ini yang jauh dari-Nya dan ketika kaudatang, ia (hati) tiada daya, hingga akhirnya iman pun jadi taruhan. Harus kuakui, aku lemah tanpa Dzat ar-Rahman."***Entah sudah berapa kali Rella mondar-mandir tidak jelas di depan Stella yang matanya tidak pernah lekang mengikuti arah pergerakan gadis itu sembari menopang dagu. Selang lima detik, Rella mengembuskan napas berat. Tidak jarang satu tangannya memegangi kepala dan tangan lainnya berkacak pinggang, menggambarkan betapa runyam pikirannya saat ini."Kenapa nggak lo tolak aja kalo emang nggak bisa?"Rella berhenti, menatap Stella, lalu berkata, "Aku merasa tidak enakan untuk menolak a

    Last Updated : 2021-03-19
  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 16 - Menghindar dengan Kebohongan

    Rella menyodorkan gelas dengan bahan porselen dan bertelinga yang berisi cokelat hangat pada Stella, lalu duduk di tepi ranjangnya membuat mereka saling berhadapan. Gadis dengan balutan kardigan hitam tebal yang duduk bersila di ranjang, seraya bersandar pada tembok itu kembali ke kos beberapa menit lalu dalam keadaan basah-basahan. Seketika sisi keibuan Rella timbul ke permukaan dan melayani Stella layaknya gadis tersebut adalah sang anak."Thankyou very much, Mom. You're so kind," kata Stella memuji disertai kekehan."You're welcome, Honey," balas Rella sedikit mencebik, tetapi kemudian menyunggingkan senyum. Menyeruput minu

    Last Updated : 2021-03-19
  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 17 - Kedai Kopi Kembali Menjadi Saksi

    "Kata orang, jatuh cinta adalah proses pendewasaan diri. Namun, kenapa yang kurasakan; jatuh cinta adalah proses penyiksaan hati?"***Rella masih kepikiran akan ajakan Alka yang tidak seperti biasanya. Meski sudah sering ia memberi alasan dan akhirnya tidak jadi membicarakan hal yang dimaksud laki-laki itu. Akan tetapi, untuk kali ini, Alka sempat berkata apakah Rella benar-benar tidak ada waktu barang sejenak, sebab hal itu sangatlah penting. Siapa sangka, seorang dosen paling dikagumi oleh mahasiswi seantero kampus, bisa memohon untuk diberi kesempatan guna mengutarakan tujuannya pada seorang gadis yang sering kali dipandang sebelah mata hanya karena ketidaksempurnaan fisiknya.Sempat ingin menerima, tetapi ia teringat akan tugas akhir semester empat yang harus segera diselesaikan. Andai kata tida

    Last Updated : 2021-03-22
  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 18 - Penjelasan

    "Ternyata, berpura-pura tidak mencintai lebih menyiksa daripada pura-pura mencintai. Perasaan itu harus kamu kubur, pendam, dan rahasiakan dari banyak orang. Sebuah kebohongan besar jika kamu berkata bahagia ketika melihat orang yang dicintai bahagia, meski bukan denganmu, tetapi orang lain. Padahal, di lubuk hati paling dalam, tercipta luka menganga. Namun, rasa sakit yang teramat itu kamu telan seorang diri, tidak tahu kepada siapa untuk berbagi, sebab kamu sudah merasa tiada lagi orang yang peduli."***Pesan yang tidak terlalu panjang pun tidak juga pendek itu—sembari mengerjakan tugas, selang 4-5 detik—kembali ditatap Rella, terhitung sudah setengah jam ia melakukan hal tersebut setelah kembali ke kos. Pesan yang sebenarnya dikirim Stella ketika masih berada di area parkir kedai kopi waktu lalu.

    Last Updated : 2021-03-22
  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 19 - Teka-Teki

    "Jangan pernah mengkhawatirkan hubungan yang belum pasti ujungnya, tetapi khawatirlah pada hubunganmu dengan Tuhan, jangan sampai ada jarak yang membentang, hingga akhirnya engkau dilupakan."***Laki-laki dengan sweater putih gading tengah terduduk di single sofa dalam bilik bernuansa hitam putih. Kedua manik legamnya menatap layar ponsel yang menampilkan bekas panggilan dari seseorang dengan nama ‘Cinderella’. Terdapat satu panggilan masuk dari gadis tersebut, beberapa sisanya adalah panggilan keluar dan tak terjawab yang dari beberapa minggu lalu sebelum jarak perlahan membentang di antara mereka.Mengembuskan napas pelan, laki-laki itu menaruh ponsel ke nakas, terdapat di sisi kanan sofa. Beralih meraih bingkai hitam berukuran 10x15 berisi sketsa wajah laki-laki berkacamata, lengkap dengan senyum lebarnya. Sketsa tersebut adalah Alka yang waktu itu berumur 17 tahun. Salah satu ibu jarinya mengelus tulisan

    Last Updated : 2021-03-24
  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 20 - Menyingkap Tabir

    "Tak selamanya rahasia bersembunyi di balik tabir. Ada waktu di mana Tuhan akan menyingkapnya, sekalipun ada yang menginginkannya untuk tetap menjadi rahasia. Namun, mungkin saja hal yang 'tiada, tetapi ada' itu menjadi benang merah di kemudian hari."***Stella menduduki kursi, masih dengan pandangan was-was ke arah luar. Rella masih di sana untuk beberapa saat, hingga akhirnya mulai berjalan menjauhi area parkiran. Saat itu juga, napas Stella mengembus lega."Sebegitu takutnya kamu ketauan sama Cinderella?"Pertanyaan bernada sindiran itu membuat Stella memalingkan tatap ke arah laki-laki yang baru saja duduk selepas memesan minuman, tampak anteng dengan tangan bersedekap depan dada. Berdehem, gadis itu berujar, "Ya ... lo tau sendiri, 'kan, gue itu sahabatnya dan ... lo juga tau dia suka sama lo. Gue nggak mau, lah, Ella sampai salah paham dan persahabatan kami jadi ambyar."Sebuah senyum a

    Last Updated : 2021-03-24

Latest chapter

  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 84 - Pesan dari Anna

    [Assalamu'alaikum, El, aku cuma pengin kamu tau satu hal, kalo sebenarnya perjodohan antara Kak Stella dan Kak Alka itu murni karena paksaan dari Om Antonio sama Mama Gloria.][Kalo kamu nggak percaya, bisa tanyakan langsung sama Kak Alka, tapi aku yakin, kamu nggak akan mau ngelakuin itu. Jadi, di sini aku mau ngeyakinin kamu kalo di antara Kak Stella dan Kak Alka nggak ada perasaan cinta sedikit pun. Mereka murni berteman, nggak lebih. Aku lihat, Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Terbukti waktu aku ngembaliin sepatu kaca itu, dia keliatan kecewa banget, El.][Oh, iya, aku ngembaliin sepatu itu beberapa saat setelah kita ketemu di cafe J. Awalnya Kak Alka nolak ajakanku, tapi pas nyebut nama kamu dan sepatu kaca pemberiannya, akhirnya dia mau.][Aku yakin, seyakin-yakinnya kalo Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Dan aku juga yakin, Kak Alka nerima perjodohan itu pasti karena ada alasan yang kuat dan nggak bisa disepelekan. Aku sedikit kenal gimana perangai Om Antonio. Kalo dia

  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 83 - Video Call-an

    Wanita dengan rambut hitam yang tercepol asal itu tengah sibuk mengemasi barang-barang ke dalam tas koper ketika seseorang menghubunginya via video call. Rella, setelah melihat pada layar gawai di samping tempat duduknya, seketika melebarkan kedua mata. “Kak Abil?!” pekiknya panik. Secepat kilat dia meraih ciput dan jilbab bergo yang ada di tepi ranjang, lantas memakainya tanpa bercermin. Gawai masih terus berbunyi, Rella segera mengambil dan meletakkannya ke bolongan berbentuk persegi panjang pada meja laptop yang biasa dia gunakan belajar jika ingin lesehan di lantai. Ini kali pertama Abil menghubunginya via vc, tentu saja Rella tidak cukup berani, tetapi ingin menolak pun rasanya segan. Setelah memastikan dirinya sudah siap, barulah Rella menggeser tombol hijau dan beberapa saat kemudian, wajah tampan Abil memenuhi layar gawainya. Rella mengerjap beberapa kali, mengatur gestur tubuh dan mimik wajah agar terlihat baik dan tidak tegang. Dia mengulas senyum canggung. “Assalamu'ala

  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 82 - Sepatu Kaca untuk Melupa

    Selepas puas bercurhat ria pada sang mama, kini Rella lebih lega untuk menarik dan mengembuskan napasnya. Meskipun masih ada sedikit perasaan kecewa dan luka yang terasa perih di dada. Namun, dia akan berusaha untuk ikhlas, merelakan segala alur yang telah dirancang Allah sedemikian rupa. Wanita itu membuka sebuah aplikasi sosial media dan mencari nama akun seseorang yang menjadi topik utama curhatannya barusan. Setelah masuk ke profil akun tersebut, dia mengklik bagian kirim pesan. Beruntung onstagramnya tidak diblokir juga, sementara itu nomor telepon dan wutsapp-nya sudah diblokir. Sebelum mengetikkan pesan, Rella mengatur napas, menarik seutas senyum penenang. Barulah jari-jemarinya bermain di layar keyboard dengan pelan bersama detakan jantung yang terasa lebih cepat. [Hai, Stel. Kabar baik? Aku harap sangat baik. Maaf malam-malam mengirimimu pesan lewat dm. Aku ... hanya merasa segan untuk memintamu bertemu langsung. Selain itu, aku juga nggak tau nomormu yang lain. Malam

  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 81 - I Hate You So Much

    Sejak diantar pulang ke kosan oleh Abil, Rella tidak henti-hentinya menangis. Pikiran dan hatinya benar-benar tidak tenang, kacau. Dia bukan menangisi perihal Alka yang lebih memilih wanita lain, melainkan tentang persahabatannya bersama Stella. Rella memang kecewa atas perlakuan Alka, sangat. Dua kali dilamar, tetapi bukan dirinya yang dinikahi. Namun, Rella sudah berusaha untuk merelakan, sebab jika memang Tuhan tidak menakdirkan mereka berjodoh, mau sekuat apa pun berjuang juga tidak akan pernah bersatu. Sekarang, pikirannya lebih terbuka untuk tidak lagi berlarut-larut menangisi perihal asmara. Itu semua tidak lekang dari bantuan Stella yang selalu setia memberi dukungan, juga nasihat dari Pak Psikolog alias Abil. Hanya saja, kali ini dia tidak yakin bisa lebih tegar. Kehilangan sahabat sungguh berkali-kali lebih menyakitkan dibanding kehilangan kekasih. Bagi Rella, sosok Stella tidak ada gantinya. Sahabat terbaik sejak awal masuk kuliah hingga masuk semester 6, rasanya ketika

  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 80 - Bajingan Pengecut

    Abil menatap lawan bicaranya sembari menahan amarah. “Lo berhutang penjelasan soal kejadian tadi pagi di rumah keluarga Stella. Soal pertunangan kalian yang katanya ... terpaksa?”Laki-laki berwajah lesu itu sekalipun tidak membalas tatapan Abil. Sepasang mata lelahnya hanya tertuju pada permukaan meja dengan segelas air putih yang baru saja ia hidangkan untuk tamu di depan. Alka mengembus berat. Sedikit pun tidak tampak bias keceriaan di wajahnya, hanya ada ketidaktenangan. “Kamu sudah mendengar semua perkataan Stella, apa masih kurang jelas?” Nada suaranya terdengar sangat malas untuk sekadar membahas permasalahan yang baru saja dilalui. Jika boleh, dia sendiri tidak ingin menghadapi alur serumit itu. “Jelas, tapi kenapa lo malah jalanin kalo lo sama Stella nggak mau? Lo udah sering bikin Ella sakit hati, Al, dan sekarang lo bener-bener ngehancurin harapan dia!”Alka memejam. Ia sangat sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, sangat sadar telah membuat luka baru untuk Rella di s

  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 79 - Retak

    “Tiada yang lebih baik daripada melepaskan. Karena jika aku memilih untuk terus mempertahankan, mungkin retaknya akan terus berulang.” *** Bagaikan racun yang dibungkus kain sutera, begitulah Stella yang menjadi racun dan Rella sebagai pembungkusnya. Kebaikan Rella menutupi segala bentuk tujuan buruk Stella, tetapi lambat laun ketika seseorang memaksa menyingkirkan kain sutera, mau tidak mau racun pun tampak. "Kenapa kamu masih di sini?" "Stella, aku--" "Pergi!" Bahkan, Stella memilih menenggak habis racun itu tanpa sisa, sebab tidak ingin sahabat terbaiknya terluka lebih jauh karena mempertahankan pertemanan mereka. Dia rela menjadi jahat, asalkan Rella menjauhinya. Dia rela menjadi bilah pisau, asalkan tidak ada lagi luka yang tercipta setelahnya. Demi kebaikan Rella, Stella rela menjadi seburuk-buruknya manusia. Rella tidak pantas bersahabat dengan manusia berhati busuk. Rella tidak pantas bebuat baik pada manusia berhati rubah. Sungguh tidak pantas. Satu dua tete

  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 78 - Luka di Balik Rahasia

    Wanita berpakaian khas dokter itu menggelung tt dan memasukkannya ke dalam tas khusus. Rautnya tampak berbeda selepas memeriksa keadaan pasien yang terbaring di ranjang king size. Sesaat kemudian, dia melempar senyum kepada orang tng duduk di kursi dekat ranjang, Gloria. "Bagaimana keadaan Stella, San? Dia tidak kenapa-napa, kan?" Kecemasan tergurat jelas di wajah renta Gloria. "Ibu jangan khawatir, Stella baik-baik aja. Dia cuma butuh istirahat untuk memulihkan tenaga, sebentar lagi pasti siuman." Ucapan Santiya, dokter yang biasa menanganinya terdengar meyakinkan, membuat Gloria tersenyum tenang dan bernapas lega. "Entah apa yang Stella kerjakan selain kuliah sampai membuatnya kecapean, tapi syukurlah kalau dia nggak kenapa-napa." Gloria berdiri mendekati Santiya yang telah selesai mengemasi peralatan medisnya. "Kamu nggak makan dulu bareng kita? Sambil nunggu Stella siuman.""Nggak usah, Bu, saya mau langsung balik ke rumah sakit selesai dari sini. Mungkin ... lain kali kalau ng

  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 77 - Akhirnya, Kita Sama-Sama Kecewa

    "Sebesar apa pun perjuanganmu untuk mendapatkannya, sekalipun mendaki gunung himalaya, bahkan mengarungi samudera hindia, jika Tuhan tidak berkehendak, kamu tidak akan pernah bisa memilikinya."***Anna, kenapa gadis yang pernah menjadi saudara tirinya itu ada di sini? Pertanyaan itulah yang pertama kali menyambangi pikiran Rella tatkala masuk ke rumah bak istana milik Gloria. Ia benar-benar terkejut, Abil berbisik padanya bahwa gadis dengan dress selutut itu adalah adik Stella. Adik kandung, tetapi beda ibu. Satu rahasia kembali terkuak. Lantas, kenapa selama ini, Stella bersikap seolah tidak mengenal Anna? Tunggu dulu. Annasterra dan ... Annastella. Kenapa Rella baru sadar, jikalau nama dari kedua gadis itu ada kemiripan? Kenapa ia tidak ngeh sama sekali? Rella tidak habis pikir. Lantas, apa alasan Stella sampai merahasiakan tentang ikatannya dengan Anna? Anna sangat menyukai Alka, apakah Stella mendukung hal itu di belakang Rella? Apakah Stella hanya berpura-pura mendukung per

  • Cinderella, Mah, Apa Atuh?   Bab 76 - Menuju Kecewa

    "Setiap hal yang tersembunyi, ada kalanya tampak ke permukaan. Semata-mata agar manusia paham, bahwa sesuatu yang seharusnya tidak menjadi rahasia, tidak perlu dirahasiakan. Jika ketersembunyian saja mencipta masalah baru, kenapa tidak dengan menyuarakan kebenaran saja? Toh, ujungnya akan tetap sama. Walau sejatinya, kejujuran di awal lebih mampu untuk diterima hati, daripada menyemai kebohongan, yang pada akhirnya tertuai kekecewaan dan sulit untuk sekedar diikhlaskan."***[Kemarin lusa, kan, kamu belum jawab iya apa enggak. Apa mau ke sana sekarang? Kebetulan udah selesai kuliah. Kamu udah selesai?]Pesan itu didapat Rella dari Abil dua hari setelah mengajar di panti asuhan. Hal itu yang sangat ingin ditanyakan Rella, seandainya kemarin lusa laki-laki tersebut tidak menerima telepon penting. Pembicaraan tentang Stella pun terhenti, terlupakan begitu saja. Ingin bertanya, sudah sampai kos-an, jadilah Rella menahan rasa penasarannya hingga sekarang. [Udah selesai, Kak, ini mau bali

DMCA.com Protection Status