Beranda / Romansa / Cinderella, Mah, Apa Atuh? / Bab 09 - Pernah Sombong Pada Zamannya

Share

Bab 09 - Pernah Sombong Pada Zamannya

Di malam sunyi sepi. Merendah pasrah pada sang Ilahi. Bila esok 'kan tiba. Biarlah cerita mengalir apa adanya

Allah lebih tahu . Segala hal yang terbaik untukku. Jadi tiada lagi . Gundah gelisah merundung hati

Aku 'kan jadi hujan. Tegar, tak putus asa. Aku 'kan jadi mutiara. Tersembunyi di balik cangkang

Aku adalah seperti apa yang Tuhan takdirkan. Biarlah dunia menyiksa. Biarlah mereka mencela. Aku adalah aku, Tuhan lebih tahu itu

Untukmu, pemilik jiwa juang lagi tegar


***


Digandrungi banyak lelaki, mungkin adalah impian kebanyakan kaum hawa. Namun bagi Cinde, itu adalah salah satu momok dalam hidupnya. Sedari duduk di bangku TK hingga SMP, dia adalah the most di antara para siswi, entah itu seangkatan ataupun tidak. Bahkan, dia diperebutkan layaknya sekumpulan kucing kelaparan mengincar satu onggok tikus, betapa mengerikan.


Lihat saja mereka, mengendap di balik jendela, tampak sangat ingin mendekati Cinde. Andai saja bukan anak konglomerat, mereka pasti sudah memangsa seonggok manusia bak bidadari itu dengan segudang rayu dan gombalan.


"Ekhem."


Tentu siapa pun hapal dengan deheman itu. Pemiliknya tidak lain adalah Kanda, manusia yang tingkat ke-PD-annya melebihi lapisan langit ketujuh. Akan tetapi, setampan dan semenawan apa pun dia, Cinde tidak akan kepincut barang sedikit pun pada laki-laki buaya sepertinya. Itulah prinsip Cinde, buaya adalah racun yang harus dihindari. Heran, kenapa seorang playboy sepertinya malah menjadi idam-idaman para cewek? Padahal, sudah tahu ujungnya akan dicampakkan. Tidak habis pikir.


Sekarang, laki-laki itu berjalan di samping Cinde dengan gaya cool-lebih tepatnya 'sok' cool. Kedua tangan dimasukkan ke saku celana biru, tak lupa satu tali tas tersampir di bahu kiri. Diulasnya sebuah senyum manis, lantas mulai bersyair, "Sungguh elok gadis di sampingku ini, tiada yang bisa menandingi. Kembang-kembang pun tertunduk layu, cemburu pada rupamu. Duhai Cinderella, sungguh Kanda tak berdaya. Siapatah gerangan sang pangeran berkuda? Sedang, Kanda hanyalah seorang pemuja setia, tak miliki apa-apa selain cinta."


Gadis berambut hitam sepunggung itu menghentikan langkah, merasa jengkel dengan setiap kalimat yang dilontarkan Kanda. Siswi berkacamata di sampingnya pun turut mematung, ialah Reta, teman sebangku. Menghela napas, tubuh ideal Cinde menghadap laki-laki berambut kecokelatan tersebut dengan senyum lebar, jelas tersemat keterpaksaan. 


"Kak," panggil Cinde sepelan mungkin. Ditanggapi gumaman dan senyum yang kian merekah dari Kanda. Mulai mengumpulkan keberanian, Cinde menegaskan pada dirinya bahwa laki-laki seperti Kanda, patut mendapatkan untai kalimat indah ini dalam satu tarikan napas, "Kakak bukan tipe saya, jadi saya sama sekali tidak suka sama Kakak. Maka dari itu, jangan pernah muncul di hadapan saya lagi. Permisi."


Langkah Cinde bergegas meninggalkan pemilik senyum beracun itu, segera diikuti Reta. Sementara, Kanda hanya mampu terbengong bersama segumpal daging yang mulai terasa seperti berada di dalam wajan penggorengan-mendidih dan panas!


"Cinde ...!"


***


"Pacaran?" tanya Cinde, lengkap dengan kernyitan di dahi seraya melayangkan tatapan heran pada laki-laki berkacamata yang duduk tertunduk di depannya.


Ya, laki-laki malang bernama Gerald itu baru saja menyatakan perasaan sekaligus sebagai bentuk ajakan menjalin hubungan lebih dengan Cinde. Namun ketahuilah, detik berikut, Cinde akan mengatakan kalimat paling lumrah bagi kaum adam yang pernah menembaknya.


"Kakak bukan tipe saya dan saya tidak menyimpan perasaan apa pun sama Kakak."


Teramat jelas dan menusuk, hingga laki-laki berkacamata itu hanya bisa tersenyum sepat di balik tundukan wajahnya. Tanpa menatap Cinde, dia berkata pelan, "Iya, tidak ada yang akan menerima laki-laki seperti saya. Culun, jelek, dan ... tidak bisa melawan ketika di-bully. Maaf sudah menyita waktu berhargamu, setidaknya saya bisa melihat senyum indah itu untuk terakhir kalinya."


Laki-laki itu berdiri, menatap lekat pada Cinde seraya mengulas senyum. "Terima kasih sudah banyak memberikan bantuan tanpa pamrih selama ini. Saya jadi kembali bersemangat untuk melanjutkan sekolah setelah kamu hadir di kehidupan saya. Saya permisi," katanya, lantas berbalik. Tak sedikit pun Cinde tergerak untuk mengejar laki-laki itu, sebab dia pun kehilangan kata-kata untuk menimpali setiap kalimat yang dilontarkan olehnya.


***


Pukul tiga dini hari, Rella terbangun dari tidur dengan napas naik turun seperti orang habis lari maraton. Sekujur tubuhnya dibasahi peluh, lengkap dengan jantung berdegup kencang. Masa lalu itu, entah kenapa hadir di mimpi Rella dan entah hal tersebut adalah mimpi baik atau malah sebaliknya. Yang jelas, tebersit perasaan aneh di benak Rella.


Mengembuskan napas panjang seraya memejam, perlahan detakan di dalam sana kembali normal. Pikiran Rella kembali tertuju pada mimpi itu, mimpi yang pada dasarnya adalah nyata dan pernah terjadi di masa lalu. Untuk pertama kalinya, Rella diberikan mimpi tentang masa yang telah berlalu dan ... sempat terlupakan. 


Mungkin, Allah hendak mengingatkan kembali, bahwa apa yang ia dapat sekarang adalah sebentuk dampak dari perbuatannya dulu-jumawa dan sering kali memandang rendah orang lain. Akan tetapi, memandang dari sebelah sisi saja tidak cukup. Mungkin, Rella dulunya sombong, tetapi ada sisi lain yang menyimpan rahasia dan akan membuat setiap orang yang mengetahuinya berubah pendapat, dari negatif thinking, menjadi sebaliknya. Meski memang, setiap perbuatan akan mendapat ganjaran setimpal.


Rella menghela panjang, setetes kristal bening membasahi kedua pipinya. "Aku memang pantas mendapatkan ini semua," cicitnya dengan suara bergetar seraya menutup wajah menggunakan kedua tangan.


Cukup lama gadis itu menangis dalam diam, menyesali perbuatan tak beradabnya dulu. "Maafkan atas segala perbuatan hamba yang dulu, ya, Rabb, dan maafkan mereka juga. Jangan biarkan orang-orang yang pernah hamba sakiti, menaruh dendam terhadap hamba, jangan ...."


Sayup-sayup terdengar suara pengajian, membuat Rella menghentikan tangis. Astaga, ternyata sudah cukup lama ia terduduk menangisi diri. Menghapus jejak anak sungai pada pipi, lantas mencoba menenangkan diri. Merasa sedikit lega, sepasang netra gadis itu mulai mengedar ke sekitar ruangan temaram dan menemukan sosok Stella yang terlelap di ranjang. Menghela samar, pikiran Rella tentang mimpi tadi tergantikan oleh ingatan akan kejadian beberapa waktu lalu. Haruskah ia melupakan Alka? Pertanyaannya, mampukah?


Kembali menguarkan karbondioksida seraya memijit pelipis, Rella berusaha menepis bisikan-bisikan aneh agar dirinya membatalkan niat awal. Tidak, mungkin keputusan itu memang yang terbaik. Daripada ia harus kehilangan pegangan, lebih baik melepaskan sesuatu yang menjadi biang dari goyahnya iman. Ya, dengan jalan melupakan Alka.


***


Benda pipih berwarna silver yang tergeletak di nakas, membuat Alka mengalihkan fokus dari coretan sketsa perempuan berjilbab tanpa wajah pada buku. Mengambil gawainya, tampak nama Abil tertera di layar, lantas menempelkan ke telinga selepas menggeser tombol hijau. Laki-laki itu terdiam karena sosok di seberang sana mulai melontarkan kata demi kata dengan nada tak biasa.


"Gue butuh bantuan lo, Al."


***


To be continue 


"Cinde ...!"


Panggilan menggelegar dari Kanda tidak dihiraukan Cinde. Langkahnya berpacu cepat dengan mimik wajah memerah. Untung saja Kanda tidak mengejar, menciptakan sedikit ketenangan di benaknya.


Cinde bergegas ke rooftop gedung kelas, diikuti oleh Reta. Sesampainya di sana, gadis kelas dua SMP itu meluruhkan diri ke permukaan yang ia pijaki dengan tangan memeluki kedua kaki yang terlipat. Perlahan bahu Cinde bergetar, terdengar pula tangisan yang memilukan. 


Reta terlihat mendekat, lantas menemukan kedua lututnya dengan atap rooftop. "Nde, apa yang harus Reta lakuin, supaya Cinde tidak menangis lagi?" tanya gadis itu sembari mengelus sebelah pundak Cinde.


Kepala Cinde menggeleng beberapa kali, lalu berkata, "Reta tidak perlu melakukan apa-apa, Reta cuma perlu jadi sahabat Cinde, sampai kapan pun, dan jangan pernah tinggalin Cinde apa pun yang terjadi. Janji?"


Tampak Reta menitikkan air mata seraya mengangguk berulang kali. Kedua sahabat itu saling merengkuh, melepaskan tangis yang menyimpan beribu luka. 


"Reta sayang sama Cinde ..."


"Cinde juga sayang banget sama Reta ...."


***


To be continue.


[Kyuni's Note]: Gimana sama part ini? Udah mulai penisirin bilim? 😂 Rella ternyata pernah sombong juga, loh. Hmmm

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status