Beranda / Romansa / Cinderella, Mah, Apa Atuh? / Bab 07 - Jodoh yang Fana

Share

Bab 07 - Jodoh yang Fana

"El, Ella, lo kenapa? El, please bangun, jangan bikin gue takut! Ella!"

Tubuh Rella terkesiap, bersamaan dengan netra yang terbuka cepat, seperti orang terbangun dengan keterkejutan pada umumnya. Wajah dibanjiri air mata, lengkap dengan sesenggukan yang masih ada. Bola matanya tertuju pada Stella yang tampak sangat cemas, cairan bening bergelayut di kedua pipi gadis itu. Cukup lama tanpa suara, hingga napas Rella menguar panjang disertai pejaman, antara bahagia dan kecewa.

Stella beranjak tergesa. Beberapa detik kemudian, dia kembali dengan segelas air putih. "Minum dulu, biar agak mendingan."

Rella masih terbungkam, tetapi mengiakan saran Stella lewat gerakan tubuh yang berusaha mengangkat tubuh bagian atas. Stella mengulurkan tangan kirinya yang bebas, menyentuh bahu Rella dengan tujuan membantu meringankan beban gadis itu yang tampak kesusahan untuk sekadar bangun. Meskipun, hasil jerih payah Stella hanya sekitar dua persen.

Setelah Rella berhasil menyandar di tembok, Stella segera memberikan minuman di tangannya. Tidak sampai lima detik gadis berwajah kusut tersebut menandaskan air dalam gelas, lalu mengembalikan benda itu pada yang mengambilkan.

"Mau gue ambilin lagi airnya?" tanya Stella menawarkan, tetapi ditanggapi gelengan kepala oleh Rella. Membuat Stella memilih berdiam diri di tepi ranjang, menatap sendu pada Rella. “Lo barusan mimpiin apa sampe nangis sesenggukan? Tentang bokap lo? Hm?” Pertanyaan Stella terayun pelan dengan nada direndahkan. Mungkin saja sahabatnya itu semakin banyak pikiran jika ditanyai dengan nada cemas berlebihan, atau bisa saja batin Rella kian tertekan. "Tadi gue denger lo bilang 'alhamdulillah', berarti mimpi lo bagus, dong."

Rella menarik napas dalam, lalu melepasnya panjang, baru kemudian bibirnya tergerak untuk menyuarakan sebuah perihal, "Entahlah, mimpi aku tadi menciptakan dua akibat, senang, tapi ketakutan. Yang pasti bukan tentang bapak." Jeda sejenak, iris gadis itu menerawang jauh ke depan. "Kamu percaya, tidak, kalau berjodoh dengan seseorang yang dicintai di dalam mimpi, maka di kehidupan nyata, mereka tidak akan berjodoh?" Lalu berpaling pada Stella yang tampak serius mendengar setiap untaian kalimat darinya.

Mengerjap satu kali, Stella mengembuskan napas. "Menurut lo sendiri, gimana?"

Rella terlihat berpikir keras, pikiran dan hatinya terasa tidak sinkron. Jujur saja, ego ingin sekali untuk tidak meyakini, nyatanya masih ada rasa percaya, tetapi di sisi lain, hati sulit untuk sekadar menerima. "Aku ... aku tidak tau mau percaya atau tidak. Aku pengin untuk tidak percaya, tapi dalam kepercayaan keluarga dari pihak ibu, hal yang seperti itu mutlak untuk dipercaya, mau tidak mau aku dapat andil untuk percaya sama tahayul itu."

Stella manggut-manggut, mencoba merangkai kalimat petuah di kepala. Mungkin saja setelah itu, beban di pundak Rella bisa berkurang walau sedikit. "Andaikan lo disuruh milih, lo lebih milih betindak dengan hati atau bertindak dengan akal?"

Terdiam, Rella mulai memikirkan pertanyaan gadis itu. "Mungkin, yang lebih tau adalah yang bertanya," katanya, secara tidak langsung meminta jawaban pada Stella.

Menarik kedua sudut bibir ke atas, Stella mengerti akan maksud Rella barusan. "Lo pernah bilang sama gue, dan gue inget banget sama pesan lo yang entah jaman kapan, bahkan sampai gue catet di diary. Bunyinya gini, 'akal itu bisa menjebak pemiliknya kapan saja dan di mana saja, tetapi segumpal daging, yakni hati, tidak akan menodai diri sendiri hanya karena pemiliknya terjebak dalam dunia gemerlap, karena di dalamnya bertahta sang pencipta'. Inget, 'kan?"

Beberapa detik kemudian selepas mengingat-ingat, Rella mengangguk dengan senyum terkembang. Tidak disangka, ternyata dia pernah sebijak itu. Namun, mulai terlupakan oleh kisah-kisah pahit yang mengantarkan Rella pada kenestapaan, hingga keputusasaan.

"So, gue tanya lagi, lo lebih milih bertindak dengan hati, atau bertindak dengan akal? Akal itu maksud gue ego alias logika, ya," peringat Stella, mencipta gelak kecil dari Rella.

Gadis dengan perasaan yang mulai agak plong itu berujar, "Iya, tau."

"Nah, bagong."

"Jargon emak aku, tuh, jangan dijiplak, Stel."

"Yaelah ..." Stella melepas tawa absurd-nya, "biarinlah. Sekarang lo jawab dulu pertanyaan gue, jangan lupa baca bismillah."

Mengulas senyum, Rella menuruti perkataan Stella. "Bismillahirrahmanirrahim. Oke, aku pilih hati, karena hati adalah singgasana bagi Dzat yang Mahatunggal. Jadi ... kesimpulannya, aku tidak percaya sama tahayul itu. Karena memang, hati aku menolak keras dengan hal-hal seperti itu, dan ... jodoh itu mutlak di tangan Allah, bukan yang lain."

Tepukan tangan terdengar menelisik gendang telinga, tidak lain pelakunya adalah Stella. "Keren, keren. Gue setuju sama lo." Stella memperbaiki sikap duduknya, menatap Rella seserius mungkin. "Sekarang, lo wajib cerita tentang mimpi lo tadi ke gue. Karena kekepoan gue udah tingkat akut, seakut-akutnya!"

Rella mengerjap dua kali, membisu, tiba-tiba saja perasaan malu menghinggapinya. Kira-kira, bagaimana reaksi Stella jika dia menceritakan tentang mimpi berjodoh dengan seorang dosen pujaan hati? Besar kemungkinan gadis itu akan tertawa membahana sejagat raya. HA, HA!

***

Tawa Stella masih saja mendenging di telinga Rella, ketika tiba-tiba saja gadis pucat itu mendapat panggilan alam. "Udahan ketawanya, Stel, tega banget kamu sama sahabat sendiri!" dedas Rella dengan raut menahan sesuatu yang kian merayap ke ujung tanduk. Tidak tahan, akhirnya Rella beranjak dari tempat, tidak menghiraukan pening di kepala pun tawa membahana Stella.

"Abisnya lucu, El!" timpal Stella diselingi tawa seraya memegangi perut yang mulai sakit. "Aduh ... sumpah, mimpi lo itu nggak tanggung-tanggung, ya, habis air mata gue gara-gara ketawa, perut gue sakit juga, nih. Tanggung jawab lo, El!"

"Bodo amat, Stel!" Terdengar teriakan Rella dari arah toilet. 

Stella ingin melanjutkan gelak, tetapi ada rasa lain yang memaksanya untuk menahan tawa. "Buruan, dong, El, gue pengin pipis, nih!"

"Bentar ...! Aku beneran dapet, nih, Stel! Hiks, mana stok roti tawar kita tinggal satu lagi!"

Tidak perlu menunggu tiga detik untuk membuat Stella melepaskan gelakan, saking terpingkalnya, sesuatu yang berusaha ditahan pun keluar tanpa diminta. Astaga, Stella pipis di celana, pfft.

***

To be continue

Stella merasakan keanehan karena mendengar suara tangisan. Horor, satu kata itu berhasil membangunkan bulu kuduknya yang tertidur lelap. Mencoba tidur dengan selimut menutupi wajah, tidak terasa keringat dingin mengembun di sekujur tubuhnya.

Suara tangisan itu kian membesar, semakin ketakutan pula Stella yang memang pada dasarnya phobia hal-hal berbau horor. "Mama ... papa ...." Air mata gadis itu berjatuhan seiring rasa takut memuncak.

"Alhamdulillah ... alhamdulillah ...."

Seketika setelah mendengar kalimat familiar itu, Stella terdiam dan berhenti menangis. Rasa takutnya pun hilang tanpa bekas. Membuka selimut, lalu membalikkan posisi tubuh menghadap tempat tidur Rella, Stella menyalakan senter ponsel pintarnya yang tadi diambil dari sisi bantal. Tampaklah sosok Rella dengan tangisannya, tetapi dalam keadaan madih tertidur. Itu artinya, Rella sedang bermimpi.

***

To be continue.

[Kyuni's Note]: Huwa ... padahal Rella udah bahagia banget bisa dikhitbah Alka, apalagi sampai nikah, tapi pada kenyataanya itu cuma mimpi -_-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status