Tubuh Rella terkesiap, bersamaan dengan netra yang terbuka cepat, seperti orang terbangun dengan keterkejutan pada umumnya. Wajah dibanjiri air mata, lengkap dengan sesenggukan yang masih ada. Bola matanya tertuju pada Stella yang tampak sangat cemas, cairan bening bergelayut di kedua pipi gadis itu. Cukup lama tanpa suara, hingga napas Rella menguar panjang disertai pejaman, antara bahagia dan kecewa.
Stella beranjak tergesa. Beberapa detik kemudian, dia kembali dengan segelas air putih. "Minum dulu, biar agak mendingan."
Rella masih terbungkam, tetapi mengiakan saran Stella lewat gerakan tubuh yang berusaha mengangkat tubuh bagian atas. Stella mengulurkan tangan kirinya yang bebas, menyentuh bahu Rella dengan tujuan membantu meringankan beban gadis itu yang tampak kesusahan untuk sekadar bangun. Meskipun, hasil jerih payah Stella hanya sekitar dua persen.
Setelah Rella berhasil menyandar di tembok, Stella segera memberikan minuman di tangannya. Tidak sampai lima detik gadis berwajah kusut tersebut menandaskan air dalam gelas, lalu mengembalikan benda itu pada yang mengambilkan.
"Mau gue ambilin lagi airnya?" tanya Stella menawarkan, tetapi ditanggapi gelengan kepala oleh Rella. Membuat Stella memilih berdiam diri di tepi ranjang, menatap sendu pada Rella. “Lo barusan mimpiin apa sampe nangis sesenggukan? Tentang bokap lo? Hm?” Pertanyaan Stella terayun pelan dengan nada direndahkan. Mungkin saja sahabatnya itu semakin banyak pikiran jika ditanyai dengan nada cemas berlebihan, atau bisa saja batin Rella kian tertekan. "Tadi gue denger lo bilang 'alhamdulillah', berarti mimpi lo bagus, dong."
Rella menarik napas dalam, lalu melepasnya panjang, baru kemudian bibirnya tergerak untuk menyuarakan sebuah perihal, "Entahlah, mimpi aku tadi menciptakan dua akibat, senang, tapi ketakutan. Yang pasti bukan tentang bapak." Jeda sejenak, iris gadis itu menerawang jauh ke depan. "Kamu percaya, tidak, kalau berjodoh dengan seseorang yang dicintai di dalam mimpi, maka di kehidupan nyata, mereka tidak akan berjodoh?" Lalu berpaling pada Stella yang tampak serius mendengar setiap untaian kalimat darinya.
Mengerjap satu kali, Stella mengembuskan napas. "Menurut lo sendiri, gimana?"
Rella terlihat berpikir keras, pikiran dan hatinya terasa tidak sinkron. Jujur saja, ego ingin sekali untuk tidak meyakini, nyatanya masih ada rasa percaya, tetapi di sisi lain, hati sulit untuk sekadar menerima. "Aku ... aku tidak tau mau percaya atau tidak. Aku pengin untuk tidak percaya, tapi dalam kepercayaan keluarga dari pihak ibu, hal yang seperti itu mutlak untuk dipercaya, mau tidak mau aku dapat andil untuk percaya sama tahayul itu."
Stella manggut-manggut, mencoba merangkai kalimat petuah di kepala. Mungkin saja setelah itu, beban di pundak Rella bisa berkurang walau sedikit. "Andaikan lo disuruh milih, lo lebih milih betindak dengan hati atau bertindak dengan akal?"
Terdiam, Rella mulai memikirkan pertanyaan gadis itu. "Mungkin, yang lebih tau adalah yang bertanya," katanya, secara tidak langsung meminta jawaban pada Stella.
Menarik kedua sudut bibir ke atas, Stella mengerti akan maksud Rella barusan. "Lo pernah bilang sama gue, dan gue inget banget sama pesan lo yang entah jaman kapan, bahkan sampai gue catet di diary. Bunyinya gini, 'akal itu bisa menjebak pemiliknya kapan saja dan di mana saja, tetapi segumpal daging, yakni hati, tidak akan menodai diri sendiri hanya karena pemiliknya terjebak dalam dunia gemerlap, karena di dalamnya bertahta sang pencipta'. Inget, 'kan?"
Beberapa detik kemudian selepas mengingat-ingat, Rella mengangguk dengan senyum terkembang. Tidak disangka, ternyata dia pernah sebijak itu. Namun, mulai terlupakan oleh kisah-kisah pahit yang mengantarkan Rella pada kenestapaan, hingga keputusasaan.
"So, gue tanya lagi, lo lebih milih bertindak dengan hati, atau bertindak dengan akal? Akal itu maksud gue ego alias logika, ya," peringat Stella, mencipta gelak kecil dari Rella.
Gadis dengan perasaan yang mulai agak plong itu berujar, "Iya, tau."
"Nah, bagong."
"Jargon emak aku, tuh, jangan dijiplak, Stel."
"Yaelah ..." Stella melepas tawa absurd-nya, "biarinlah. Sekarang lo jawab dulu pertanyaan gue, jangan lupa baca bismillah."
Mengulas senyum, Rella menuruti perkataan Stella. "Bismillahirrahmanirrahim. Oke, aku pilih hati, karena hati adalah singgasana bagi Dzat yang Mahatunggal. Jadi ... kesimpulannya, aku tidak percaya sama tahayul itu. Karena memang, hati aku menolak keras dengan hal-hal seperti itu, dan ... jodoh itu mutlak di tangan Allah, bukan yang lain."
Tepukan tangan terdengar menelisik gendang telinga, tidak lain pelakunya adalah Stella. "Keren, keren. Gue setuju sama lo." Stella memperbaiki sikap duduknya, menatap Rella seserius mungkin. "Sekarang, lo wajib cerita tentang mimpi lo tadi ke gue. Karena kekepoan gue udah tingkat akut, seakut-akutnya!"
Rella mengerjap dua kali, membisu, tiba-tiba saja perasaan malu menghinggapinya. Kira-kira, bagaimana reaksi Stella jika dia menceritakan tentang mimpi berjodoh dengan seorang dosen pujaan hati? Besar kemungkinan gadis itu akan tertawa membahana sejagat raya. HA, HA!
***
Tawa Stella masih saja mendenging di telinga Rella, ketika tiba-tiba saja gadis pucat itu mendapat panggilan alam. "Udahan ketawanya, Stel, tega banget kamu sama sahabat sendiri!" dedas Rella dengan raut menahan sesuatu yang kian merayap ke ujung tanduk. Tidak tahan, akhirnya Rella beranjak dari tempat, tidak menghiraukan pening di kepala pun tawa membahana Stella.
"Abisnya lucu, El!" timpal Stella diselingi tawa seraya memegangi perut yang mulai sakit. "Aduh ... sumpah, mimpi lo itu nggak tanggung-tanggung, ya, habis air mata gue gara-gara ketawa, perut gue sakit juga, nih. Tanggung jawab lo, El!"
"Bodo amat, Stel!" Terdengar teriakan Rella dari arah toilet.
Stella ingin melanjutkan gelak, tetapi ada rasa lain yang memaksanya untuk menahan tawa. "Buruan, dong, El, gue pengin pipis, nih!"
"Bentar ...! Aku beneran dapet, nih, Stel! Hiks, mana stok roti tawar kita tinggal satu lagi!"
Tidak perlu menunggu tiga detik untuk membuat Stella melepaskan gelakan, saking terpingkalnya, sesuatu yang berusaha ditahan pun keluar tanpa diminta. Astaga, Stella pipis di celana, pfft.
***
To be continue
Stella merasakan keanehan karena mendengar suara tangisan. Horor, satu kata itu berhasil membangunkan bulu kuduknya yang tertidur lelap. Mencoba tidur dengan selimut menutupi wajah, tidak terasa keringat dingin mengembun di sekujur tubuhnya.
Suara tangisan itu kian membesar, semakin ketakutan pula Stella yang memang pada dasarnya phobia hal-hal berbau horor. "Mama ... papa ...." Air mata gadis itu berjatuhan seiring rasa takut memuncak.
"Alhamdulillah ... alhamdulillah ...."
Seketika setelah mendengar kalimat familiar itu, Stella terdiam dan berhenti menangis. Rasa takutnya pun hilang tanpa bekas. Membuka selimut, lalu membalikkan posisi tubuh menghadap tempat tidur Rella, Stella menyalakan senter ponsel pintarnya yang tadi diambil dari sisi bantal. Tampaklah sosok Rella dengan tangisannya, tetapi dalam keadaan madih tertidur. Itu artinya, Rella sedang bermimpi.
***
To be continue.
[Kyuni's Note]: Huwa ... padahal Rella udah bahagia banget bisa dikhitbah Alka, apalagi sampai nikah, tapi pada kenyataanya itu cuma mimpi -_-
Ke-kekeh-an Rella untuk ikut serta ke minimarket membuat Stella mau tidak mau mengalah dan memberi restu-eh-izin. Padahal, gadis yang kabarnya baru saja didatangi bulan itu masih dalam kondisi drop, jalan saja seperti orang habis mabuk ciu. Terpaksa jarak lima puluh meter dari kos-an tersebut harus ditempuh menggunakan si Rose. Astaga, tinggal tekan gas satu detik pun sudah sampai. Dasar manusia kuker, salahkan saja Rella yang ngebet.Satu di antara beberapa alasan Rella kekeh ikut, sejenak mencipta gelak tawa dari Stella. Masih terikat dengan mimpi yang entah buruk atau baik waktu lalu, Rella bersama kemantapan hati pun jiwa, berseru, "Siapa tahu mimpi aku jadi kenyataan, Stel! Didatangi bulan sama stok pembalut di mimpi saja, jadi beneran, apalagi dengan bagian adegan ketemu sama Pak Alka, mungkin saja jadi kenyataan! Alu ikut, ya ... please ...!"
Di malam sunyi sepi. Merendah pasrah pada sang Ilahi. Bila esok 'kan tiba. Biarlah cerita mengalir apa adanyaAllah lebih tahu . Segala hal yang terbaik untukku. Jadi tiada lagi . Gundah gelisah merundung hatiAku 'kan jadi hujan. Tegar, tak putus asa. Aku 'kan jadi mutiara. Tersembunyi di balik cangkangAku adalah seperti apa yang Tuhan takdirkan. Biarlah dunia menyiksa. Biarlah mereka mencela. Aku adalah aku, Tuhan lebih tahu ituUntukmu, pemilik jiwa juang lagi tegar
Rose melaju membelah jalan dengan kecepatan sedang. Gadis di balik kemudi sesekali memutar leher hanya untuk mengamati raut yang tercetak di wajah gembil milik Rella. Berdehem, Stella menggerakkan jari-jemarinya di atas kemudi, mulai memikirkan apa yang akan ia katakan. Kejadian semalam cukup membuat komunikasi mereka sedikit memburuk. Sedari awal, Rella hanya menampilkan senyum tipis tanpa suara, paling untuk menjawab setiap perkataan Stella, itu pun satu-dua patah kata.Entah sudah berapa lama hening meraja, hingga akhirnya potongan kejadian waktu lalu menyambangi pikiran Stella. Demikian membuat gadis itu segera berkata, "Kemarin waktu lo nggak masuk, Kak Abil cariin lo tau."Rella menampakkan respon dengan wajah menghadap Stella. Kedua alisnya bertaut tajam dengan mimik terkejut. "Kak Abil nyari aku?" tanya gadis itu, lantas mendapat anggukan cepat dari St
Keheningan tercipta beberapa saat setelah Rella mengungkapkan tentang kondisi tubuhnya yang sudah membaik atas jawaban dari pertanyaan Abil dan Alka. Tentu hal itu membuat Rella sempat melambung, tetapi sebisa mungkin menyadarkan diri.Tidak lama, seorang waiter sekaligus barista di cafe itu datang membawa pesanan. Tidak lain adalah Jean. Ketika meletakkan secangkir air putih hangat ke hadapan Rella, ia berkata, "This is your water my princess Ella."Rella mendongak kaku, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Mengulas senyum, lantas menjawab lirih, "Thankyou, 'my prince' Jean." Dua kata yang mungkin terdengar memalukan itu diucap sangat-sangat lirih oleh Rella. Ya, pastinya memalukan, apalagi di depan para penyandang gelar 'the most
Cinderella tercenung lama di depan cermin, tidak kunjung memoles krim bayi yang terdapat pada kedua pipi, dahi, dan dagunya. Kejadian waktu lalu masih terngiang di ingatan, berputar berulang kali bagai roller coaster. Bahkan, derit pintu terbuka pun tidak didengar, apalagi dengan gemeletuk high heels Stella yang menguasai ruang."Good evening, my princess Ella ...""Allahu laa ilaha illahu wal hayyul qoyyum, laa ...! Ya, Allah, Stella ... bikin kaget saja kamu, ah!" teriak Rella histeris sambil menodongkan sisir ke arah Stella yang berjongkok di sampingnya.Stella mencebik, kembali berdiri sembari bersedekap depan dada. "Gila aja lo, El, masa gue dibacain ayat kursi? Emangnya gue hantu, apa?"
"Melupakanmu adalah hal yang cukup sulit. Namun, melupakan Allah demi mengingatmu, itu mustahil. Ya, lebih baik melupakan kamu daripada dilupakan Allah."***Cuaca pagi ini menggambarkan suasana hati Rella, kelabu dan mungkin sebentar lagi hujan akan tumpah ruah membasahi bumi. Hari libur biasanya gadis itu akan mengisi kekosongannya dengan menggambar sketsa baju muslim/ah, menjahit kain-kain perca, membuat kerajinan tangan, menyelesaikan tugas kulih, atau pergi ke pemakaman almarhum sang papa. Namun, kejadian kemarin sore benar-benar menjatuhkan mood-nya untuk sekadar melakukan kegiatan seperti biasa.Sementara, Stella baru saja berpamitan karena harus memenuhi panggilan orang tuanya. Tidak lain untuk membahas tentang pe
"Ketika kamu dalam proses move on, hati kamu harus sekuat baja, iman tetap kokoh seperti tiang masjid, dan hilangkan sifat mudah BAPER itu. Semangat, jangan kasih kendor!"***Hari ini Rella harus menyiapkan hati yang kuat dalam rangka bertemu dengan Alka. Bagaimanapun reaksi laki-laki itu nanti ketika bertemu, ia akan berusaha bersikap biasa tanpa melibatkan perasaan. Sebab, di dalam niatnya sudah mutlak tertulis 'Lupakan Alka!'. Oke, fighting Cinderella!Dengan semangat '45, gadis itu memasuki Rose yang terparkir syantik di halaman kos. "Yuk, berangkat," katanya pada Stella selepas mengenakan seatbelt.
"Karenamu aku melayang, karenamu pula aku tenggelam. Bukan salahmu, tetapi hati ini yang jauh dari-Nya dan ketika kaudatang, ia (hati) tiada daya, hingga akhirnya iman pun jadi taruhan. Harus kuakui, aku lemah tanpa Dzat ar-Rahman."***Entah sudah berapa kali Rella mondar-mandir tidak jelas di depan Stella yang matanya tidak pernah lekang mengikuti arah pergerakan gadis itu sembari menopang dagu. Selang lima detik, Rella mengembuskan napas berat. Tidak jarang satu tangannya memegangi kepala dan tangan lainnya berkacak pinggang, menggambarkan betapa runyam pikirannya saat ini."Kenapa nggak lo tolak aja kalo emang nggak bisa?"Rella berhenti, menatap Stella, lalu berkata, "Aku merasa tidak enakan untuk menolak a