Beranda / Romansa / Cinderella, Mah, Apa Atuh? / Bab 06 - Cemburu Karena Sebuah Ciuman

Share

Bab 06 - Cemburu Karena Sebuah Ciuman

Kaki nan putih bersih tanpa cat kuku itu menyusuri trotoar tepi jalan. Meski sering kali dilanda pening dan mual, Rella tetap memaksakan diri. Cara berjalannya pun terhuyung-huyung seperti orang mabuk yang terlalu banyak minum khamr. Jam 7 lebih 5 menit, seketika perasaan lega merundung benak. Sebuah minimarket sudah terlihat di depan mata.

Dengan penuh kesabaran, Rella kembali memacu langkah pelannya memasuki tempat perbelanjaan. Memilih barang-barang yang hendak dibeli, khususnya benda putih nan empuk itu. Tidak tanggung-tanggung, tiga pack ukuran besar pembalut diborong.

Setelah dirasa cukup, Rella menuju kasir. Tidak pernah sedikit pun kepeningan enyah dari kepala, tetapi mau bagaimana lagi? Tidak ada Stella yang akan dimintai bantuan, paket data pun belum ada untuk belanja secara online.

"Sekalian isi kuota sepuluh Gibyte, ya, Mbak," pesan Rella di sela kesibukan petugas kasir bekerja.

"Iya, Mbak, sebentar, ya. Tolong tulis nomor telepon yang mau diisikan kuota di sini," kata petugas kasir Seraya menyerahkan sebuah note kecil beserta bolpoin. Rella mengangguk, lalu mencatat nomor teleponnya.

"Cinderella?"

Tubuh Rella menegang secara tiba-tiba. Baru saja menyelesaikan sesi tulis nomor, gadis itu tampak semakin menunduk dalam. Suara yang sangat familiar itu, dia kenal siapa pemiliknya. Sangat kenal. Entah ini kebetulan pada umumnya, atau memang kebetulan atas dasar takdir Tuhan.

"Sedang berbelanja juga?"

Tidak tega, tidak enak hati, dan tidak mungkin juga untuk bersikap cuek, akhirnya Rella menegakkan badan. Menoleh ke kiri, lalu menarik kedua sudut bibir ke atas meski berat rasanya karena kegugupan melanda.

"Pak Alka? Iya, saya sedang belanja," kata Rella sehalus mungkin, tetapi menyimpan kegugupan. Secepat mungkin memalingkan wajah yang mulai memanas. Jika balik bertanya, bagaimana dengan nasib jantungnya?!

"Katanya kamu demam tinggi, kenapa keluar malam?"

Deg!

Demi apa, Alka mengetahui perihal demam tinggi yang ia alami? Demi apa? Demi Tuhan! Ah, rasanya Rella tidak bisa lagi memaksa keadaan untuk melupakan dan membuang jauh-jauh rasa itu. Jika ujungnya kalah hanya karena secuil perhatian, kenapa ia harus lelah-lelah memikirkan komentar pedas teman setingkat tentang dirinya dan Alka yang tidak ada cocok-cocoknya?

"Eu ... alhamdulillah, sudah baikan, Pak," kilah Rella, tidak ingin perasaan terbang ke awang itu terus membumbung, sampai ia lupa pada kenyataan yang terpampang, hingga melarangnya untuk menaruh rasa dan harapan lebih.

"Alhamdulillah. Saya lega mendengarnya."

Ya Tuhan, tolong bantu Rella untuk tidak mengharapkan sebuah balasan. Tolong ... karena tidak akan ada pihak yang meresetui, mungkin termasuk langit dan bumi. Alka dan Rella umpama permata dan semak belukar, Alka berada di ketinggian paling tinggi, sedang, Rella beringsut di kerendahan bumi yang paling rendah. Tidak akan pernah sepadan, dan tidak akan ada restu, hanya ada ketidaksetujuan. Ya, tidak akan ada yang rela melihat seorang raja memberikan cinta pada budaknya.

"Ini barangnya, Mbak. Kuotanya juga sudah diisi, silakan periksa ponselnya apakah sudah masuk atau belum."

Suara dari petugas kasir membuat Rella mengangguk cepat, lantas mengeluarkan benda pipih dari kantung jaketnya. Melakukan perintah dari petugas kasir, lalu berkata, "Sudah, sudah masuk, Mbak. Terima kasih banyak."

"Total keseluruhannya seratus dua puluh lima ribu, Mbak."

Tangannya terulur memberi bayaran, sekaligus mengambil plastik putih berisi dan selembar nota. Setelah mendapat kembalian, Rella beralih menatap Alka, lalu berujar, "Saya duluan, ya, Pak. Assalamualaikum, mari." Sesegera mungkin memacu langkah menuju pintu keluar.

Namun sayang, panggilan Alka membuat kaki Rella terhenti. Ego memintanya menghindar, tetapi justru kaki tidak mau kompromi. Seperti ada sekat yang menghalangi di depan mata, dan memang itu adalah pintu kaca. Mengharuskannya untuk berputar balik dan mau tidak mau berhadapan dengan laki-laki di sana. Bahkan, senyum tipis itu mampu memorak-porandakan pertahanan Rella untuk tidak lagi menempatkan ia di relung hati. Sungguh ujian terberat selain diet.

"Tunggu dulu, saya ada keperluan sebentar sama kamu," kata Alka, tampak tidak sabar untuk mengambil barang belanjaannya. Seberapa perlukah dia dengan Rella, sehingga sifat yang tidak pernah diperlihatkannya ketika di kampus, kini ia tunjukkan pada sosok gadis seperti Rella?

Tidak mampu menolak, Rella hanya bisa manut dan berdiri di depan minimarket dengan desiran aneh setia menghinggapi hati. Pening di kepala pun seperti lenyap karenanya. Perasaan seperti ini sudah sering dirasakan, tetapi untuk pertama kali, Alka meminta ditunggu sebab sebuah alasan bertajuk ‘ada perlu’, bahkan di luar kampus. Sebuah keajaiban dan sejarah baru dalam hidup Rella.

"Maaf, ya, kamu jadi menunggu lama."

Suara merdu dan menyejukkan kalbu itu seketika meningkatkan debaran jantung. Darah kian berdesir, keringat dingin pun mengembun. "Ti-tidak apa-apa, Pak. Tidak lama, kok,” balas Rella agak gugup. Mata Rella mulai jeli akan satu hal, Alka memakai peci putih serta baju koko hitam. Membuatnya semakin tampan saja.

"Kita bicara di tempat lain saja, ikut saya sebentar. Kamu tidak ada kesibukan lain, 'kan, saat ini?"

Seketika lamunan gadis itu buyar. Mengangguk, Rella mengiakan pertanyaan Alka dengan perasaan malu menyelimuti. Sedang, pening dan mual entah ke mana perginya. Juga, entah apa yang akan dibicarakan Alka. Tentang pengutaraan rasa sukanya? Tentang keinginan untuk melamar—astaga, itu terlalu jauh!

'Mimpi kamu ketinggian, El! Ingat, Pak Alka kasih perhatian lebih ke kamu, karena kamu adalah murid kebanggaannya di kelas, tidak lebih!'

Rella mengekor, memberi jarak satu meter dari Alka. Laki-laki semampai itu mengayun langkah dengan pelan, ringan, dan tidak tergesa. Seperti kebanyakan ceramah yang ia tonton di youtube oleh ustadz-ustadz ternama. Benar-benar lelaki idaman. Tanpa sadar, Rella tersenyum simpul, agak tersipu akan pemikirannya. Lalu, segera tersadar ketika kaki jenjang berbalut celana hitam di atas mata kaki itu berhenti melangkah.

"Saya bawa kamu ke rumah, maaf, bukan bermaksud buruk, tetapi saya ada keperluan yang sangat penting, makanya ajak kamu ke sini. Kebetulan, saya tau tempat kos kamu, nanti saya antar balik."

Terbengong, tercenung cukup lama hanya untuk mencerna kalimat yang terlontar dari bibir Alka barusan. Apa dia tidak salah dengar? Diajak ke rumah? Diantar balik? 'Ya Allah, ini mimpi apa bukan?'

"Cinderella?"

Terbangun dari lamunan yang ke sekian kali, Rella tampak gelagapan. "A-i-ke-aduh! Maaf, Pak!" sentaknya karena sulit hanya untuk mengucap satu patah kata, sehingga kata maaf sebagai pengganti.

Alka terkekeh ringan. "Tidak apa-apa, pasti kamu terkejut karena saya bawa kemari. Jangan panik, ibu dan seorang teman ada di dalam. Mari, masuk."

Pagar berukuran sedang bercat putih itu terbuka. Alka menuntun langkah Rella menjejaki paping semen yang tertata rapi, membawanya ke sebuah pondok sederhana, tetapi berkesan. Jiwa seni seorang dosen fashion designer seperti Alka, memang bukan sekadar wacana, tetapi terealisasi dalam bentuk rumah dengan desain penuh kesenian, sangat berkelas. Sebelumnya, ukiran lafaz salam tersuguh di luar pagar. Kini, pada dua daun pintu, terdapat ukiran lafaz Allah dan Muhammad. Tidak lupa di bawahnya juga terpahat lafaz salam.

Memasuki ruangan bernuansa hitam dan putih, seketika semerbak wangi bunga lili menyapa indra penciuman Rella. Sangat ia kenal, karena dirinya sendiri juga menyukai wangi bunga itu.

Terkesima dengan nuansa apik nan berseni yang tersuguh. Ini seperti rumah impian Rella sejak dahulu. Bersih, wangi, rapi, membuat siapa pun ingin berlama-lama di tempat ini. Satu hal yang menarik, foto makhluk hidup tidak ada yang terpajang di dinding. Sajadah, gambar Makkah (Masjidil Haram), 99 Asma Allah, sangat agamis. Ukiran senyum tercetak lebar di bibir Rella, kagum dengan pemandangan yang menghiasi maniknya.

"Cinderella?"

"Huh?" Rella menghentikan keterpukauan dan langkah abstraknya, lalu mengalihkan pandangan. Sosok Alka berdiri di dekat kursi yang ditempati oleh seorang perempuan bercadar, lalu bercipika-cipiki dengan orang itu.

Seketika sesuatu di dalam diri Rella terasa roboh dalam waktu singkat, hanya karena tontonan romantisme di depan sana. Yang baru saja disaksikan oleh matanya, apakah harus didefinisikan secara gamblang? Alka baru saja mencium dahi perempuan itu, dan ... Alka tersenyum hangat, manis sekali. Tuhan, apakah manusia penuh derita seperti Rella memang harus menanggung kenyataan-kenyataan getir tanpa rasa lain? Setidaknya rasa hambar yang tidak meninggalkan lara, tidak perlu manis yang tinggalkan suka.

"Hey, lo ngapain bengong di situ?"

Tersadar, Rella beralih mencari sosok di balik suara tidak asing tersebut. Satu pemilik, dua suku kata, A-bil.

"Kak Abil?"

***

Ruangan berhawa awkward itu menampung empat insan yang berbeda-beda pikiran. Dengan komposisi duduk-di depan meja astakona (segi delapan)—yakni, Cinderella berhadapan dengan perempuan bercadar hitam, sedang Alka, tidak lain berhadapan dengan Abil.

Alka diam, semua orang pun diam. Sampai sebuah suara lembut nan rendah mengalun, merasuk ke gendang telinga para pendengar. "Nama kamu siapa, Sayang?"

Jelas tatapan perempuan yang belum terungkap identitasnya itu tertuju pada Rella seorang. Rella mengerjap, belum ada respon atas pertanyaan yang terlontar padanya. Satu detik, dua detik, tiga detik, dan ...

"Dia mahasiswi bernama Cinderella yang pernah Alka ceritakan, Umma."

Bahkan, ini lebih dari kata jelas, bahwa yang baru saja mengatakan sepenggal kalimat itu adalah Alka. 'Hey, Tuan, kenapa kau begitu banyak menyimpan rahasia? Kau bahkan melebihi sebuah kemisteriusan!'

Satu kalimat, dua rahasia terungkap. Pertama, Rella mendapat berita paling mencengangkan dari seorang dosen paling digandrungi kaum hawa. Ya, Alka baru saja mengakui, bahwa dia pernah menceritakan tentang sosok Cinderella kepada perempuan bergelar Umma. Kedua, yang Rella tahu, Umma artinya ibu. Berarti ... Alka adalah anaknya? Bukan cemewew—maksudnya, kekasih, 'kan?

"Oh ... yang waktu itu kamu ceritakan hendak dikhitbah?"

Hah, khitbah?! LAMAR, DONG?! Batin Rella berteriak keras, jika diutarakan secara langsung, mungkin terjadi guncangan hebat. Apakah Rella sedang bermimpi? Namun, kenapa terasa begitu nyata? Pikiran gadis itu terjerumus dalam pertanyaan-pertanyaan yang menjurus pada satu kata kunci: khitbah.

Tatapan teduh Alka beradu dengan netra Rella. Ada banyak hal yang tidak bisa Rella definisikan dari manik sipit itu. Kenapa laki-laki itu mau mengkhitbahnya? Hal istimewa apa yang dimilikinya? Kapan awal mula Alka menaruh hati padanya? Bagaimana? Di mana? Apakah tanpa ‘karena’ atau sebaliknya?

Tiba-tiba waktu terasa berjalan begitu cepat, sampai-sampai keterbengongan Rella terbawa hingga ... ijab qobul hendak diucap oleh mempelai pria. Ya, tidak lain adalah Muhammad Alka Marshal.

"Saya terima nikah dan kawinnya Cinderella binti Akbar dengan maskawin tersebut, tunai."

"Bagaimana saksi, sah?"

"Sah ...!"

Tidak terasa, kisah kehidupan Cinderella sudah berada di penghujung jalan cerita. Tinggal berjalan beberapa langkah, sampailah pada gerbang kebahagiaan. Masih dengan perasaan tidak percaya, kini gadis itu menangis haru menatapi tangan kanan Alka yang terulur. Senyum manis menghiasi wajah rupawannya, mencipta tangis semakin keras pada Rella.

'Ya Allah, seperti inikah rasanya bahagia?' Gemetar, tangan Rella terangkat, hendak menyambut tangan laki-laki pujaan hati yang kini telah sah menjadi kekasih halalnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wahyuni Suriati
Abil mau minta maaf kayaknya 😊
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status