"Gue, sih, nggak masalah lengser dari jabatan ketua BEM sama gelar mahasiswa teladan, tapi masalahnya ada sama bokap gue, Al. Kalau sampai bokap tau, tamat riwayat gue! Aduh, Al ... please bantuin gue mikir. Gue nggak tau musti ngapain sekarang!"
Racauan sang teman dari lima belas menit lalu hanya ditanggapi kekehan olehnya, laki-laki penyandang gelar dosen termuda. Ialah, Muhammad Alka Marshal, si tuan rumah sekaligus pendengar setia curhatan panjang dari seorang teman yang datang bertandang di malam hampir larut. Tautan jari tangan di atas meja dari awal sesi curhat, kini beralih disedekapkan depan dada.Wajah kusut laki-laki yang tidak lain adalah milik Abil, semakin kusut tatkala mendengar kekehan Alka. "Gila lo, ya, ketawa di atas penderitaan gue. Bukannya kasih solusi, atau apa, kek, malah ketawa."Sebelah tangan Alka memperbaiki kacamata yang membingkai iris berwarna abu dengan bentukan sipit. Lalu, kata demi kata bernada halus teralun merdu melewati bibir tipis kemerahannya. "Cinderella itu gadis yang baik dan pemaaf menurut saya."Seketika raut melongo dilayangkan Abil, lengkap dengan tatapan seolah menyimpan kalimat, 'gue minta solusi, lo malah curcol'. Laki-laki itu mendengus kesal. "Gue serius, Al, gue ngomongnya ke timur, lo malah ke selatan. Akh, rese lo, ya!"Protesan Abil menciptakan tawa kecil dari Alka. "Katanya minta solusi, saya sudah beri clue, kamu malah marah."Wajah keruh Abil sedikit berubah dengan sebelah alis terangkat. "Clue?"Alka mengangguk, lantas berkata, "Gadis yang kamu ceritakan itu, saya mengenalnya dengan baik. Dari segi fisik dan finansial, memang, dia kalah jauh dari kamu, tapi dari segi ..." Alka menunjuk-nunjuk dada kirinya. "She's an angel."Abil sampai tercenung atas penuturan Alka barusan. Seketika pikirannya melayang ke kejadian waktu lalu di cafe. Kalimat demi kalimat perdebatan antara dirinya dan gadis itu terputar kembali."Kakak salah. Time is not just for money, but time for the family, for friendship, for worship, for prayer, and for hope to God."Uang mungkin bisa membuat kita kaya, tapi tidak akan menjamin kita untuk bahagia. Sebab tidak ada kebahagiaan yang sempurna, selain dari keharmonisan keluarga yang utuh dan hubungan baik dengan Tuhan.""Nggak usah nyeramahin gue, deh, lo. Sok-sok-an ceramah tentang keluarga segala, cih! Omong kosong!"Sebagai korban broken home, lo nggak cocok ngomongin soal keluarga utuh. Gue bisa baca dari pandangan lo, kalo lo pernah ngalamin yang namanya 'broken home'. Iya, 'kan?""Kayaknya gue salah ngomong, Al," kata Abil seraya mengusap wajahnya kasar. "Padahal gue cuma iseng bilang dia punya keluarga broken home, taunya malah beneran. Tapi ... sebenarnya gue juga masih marah, karena tuh anak udah ngata-ngatain gue anak yang punya bokap gila tahta dan segala macem. Gue bener-bener nggak tau musti ngapain!"Ekspresi Alka tampak biasa saja menanggapi kefrustrasian temannya. Tidak tegang, tidak juga kasihan, melainkan netral. "Saya, kan, sudah bilang, Cinderella gadis yang baik dan pemaaf. Kenapa harus memusingkan diri? Lagi pula, kamu sendiri yang menyalakan pematik lebih dulu, pasti akan ada api yang tersulut setelahnya."Tepekur pada meja pantri, Abil berusaha mencerna lontaran kalimat dari Alka barusan. Mencari ujung pangkal clue tersebut. Sampai akhirnya, satu kata kerja tercetus di benak Abil. Minta maaf?***Setelah semalaman hampir suntuk memikirkan satu kata kerja yang berhasil membuat dua sisi dalam dirinya berdebat hebat, sekarang Abil kembali dirundung masalah. Kalimat pelecut dari Alka pun mencipta kesadaran dalam dirinya, tetapi tidak mampu menghempas rasa gengsi berlebih.Mondar-mandir di depan sebuah pintu tertutup, sesekali melirik ke arah ruangan yang dipenuhi pelajar lewat jendela. Beberapa menit berlalu, seorang dosen perempuan keluar dari pintu ruangan. Sebagai mahasiswa panutan, tentu Abil menampakkan sikap hormatnya pada dosen pengajar.Setelah dosen tersebut berlalu, Abil berusaha sabar menunggu seseorang yang akan menjadi objek pengutaraan permohonan maafnya. Satu per satu pelajar keluar, tetapi sosok itu belum juga tampak. Sampai seseorang yang dekat dengan si gadis membuat Abil segera mendekat."Stella," panggil Abil, langkahnya dan gadis yang dipanggil berhenti bersamaan.Stella membeliak, seperti mendapat sebuah kejutan, dan memang mengejutkan bagi dirinya. "Ka-kak Abil?" Berusaha memperbaiki sikap yang kentara sekali gugup saat berhadapan langsung dengan sosok pujaan hati."Gue ke sini cuma mau nyari Cinderella, temen lo, 'kan?"Mengangguk kaku, Stella mati-matian menahan tabuhan riuh di dalam sana. Jangan sampai Abil mendengar suara itu. Yah, walau kenyataan berkata, bahwa bukan dirinya yang dicari."Sekarang dia di mana?""El-Ela nggak, nggak ma–" Membuang napas sejenak, baru kemudian melanjutkan, "nggak masuk, Kak." Lantas mengembuskan napas lega. Padahal, ketika berhadapan dengan Abil di parkiran kemarin, Stella tidak segugup ini. Mungkin, karena situasinya berbeda?"Are you ok?" tanya Abil yang sedari tadi memperhatikan Stella berbicara dengan napas megap-megap, seperti orang sesak."Huh?" Seketika semburat merah jambu menggerayang di kedua pipi Stella, tetapi memang pada dasarnya pink karena blush on, jadi tidak terlalu kentara. Gadis itu tampak berusaha menutupi wajahnya dengan menunduk sembari meraup kedua pipi. "A-aku ng-nggak pa-pa, kok, Kak."Abil ber-oh ria. "Jadi, Cinderella nggak masuk karena apa?""De-demam tinggi, Kak." Stella menjawabnya masih dalam tingkah menunduk. Sesekali mengembuskan napas, sebuah usaha mengurangi kegugupan tingkat akut."Demam tinggi?" Pikiran Abil mulai berputar balik ke waktu lalu, ketika Rella pergi meninggalkannya di cafe. Tidak berapa lama selepas Jean mengatakan hal itu, hujan turun mengguyur bumi, dan dia masih setia tepekur di tempat yang tiba-tiba ramai pengunjung tersebut. Mungkinkah gadis itu hujan-hujanan, lalu jatuh sakit? Demikian asumsi yang terlintas di benak Abil."I-iya, Kak.""Oke, thanks." Nada suaranya terdengar tiada gairah. Tanpa permisi, laki-laki itu beranjak meninggalkan Stella yang masih sibuk dengan perasaan gugup dan malu-malu kucingnya.Stellah baru mendongak setelah Abil tidak ada lagi di hadapan. Terbengong cukup lama, gadis itu seperti orang bodoh yang telah menyia-nyiakan kesempatan emas. "Stella ... kenapa lo masih melihara kebiasaan lama, sih ...?! Ish, stupid girl!" Gadis itu menoyor kepalanya, merasa gemas akan tingkah sendiri.***Ting!Bunyi notifikasi pesan masuk dari gawai canggihnya membuat gadis gempal yang tengah tidur di ranjang itu terbangun seketika. Karena pada dasarnya, dia tidak benar-benar tidur, sebab kurang enak badan. Dengan tenaga yang tersisa, Rella mengambil gawai di samping kepalanya, lalu membuka pesan.[My Princess Ella, gue minta maaf, ya, malam ini nggak bisa tidur di kos. Setelah Mama, sekarang giliran Papa yang ngebet banget minta gue nginep di rumah. Lo pasti taulah, maksud Papa suruh gue nginep. Ya, itu, per-jo-do-han GILA! Cowok yang katanya dijodohin sama gue katanya mau dateng malam ini. Katanya doang. Padahal tiap ada pertemuan, dia nggak pernah dateng, katanya sibuklah, katanya ada kendalalah, katanya bla bla bla. Gue, sih, penginnya dia nggak dateng-dateng dan perjodohan ini dibatalin. Eh, kok gue jadi curhat, sih? Sorry, he he. Lo tidur jangan larut malam, ya, makan malam jangan lupa. Oke? See you soon, and get well soon my princess. Sleep tight, ya, muach.]-From StellaRella mengembuskan napas berat, lantas meluruhkan tangannya tanpa gairah. Jadi, malam ini dia benar-benar sendiri? Oh, malang sekali. Dalam keadaan sakit, harus tidur di kosan tanpa teman, serasa tidak memiliki keluarga satu pun. Nasib badan, perasaan sedih mulai merayapi batin Rella.Tiba-tiba panggilan alam membuatnya batal bersedih-sedih hati. Berusaha mengangkat beban tubuh, meski terasa dua kali lebih berat daripada waktu dia fit. Berhasil menapakkan kaki di lantai dengan bokong masih terduduk di tepi ranjang, pusing mulai menghinggapi kepala Rella. Rasanya seperti berada di roller coaster, berputar-putar. Sebelah tangannya memijit pelipis, berusaha mengenyahkan pening.Setelah dirasa baikan, Rella berupaya untuk berdiri dengan sisa-sisa kekuatan yang dimiliki. Sebuah kejanggalan hadir ketika sudah berdiri tegap. Menengok ke belakang, bercak merah ia temukan di ranjang bergambar langit biru berhiaskan awan. Lalu beralih ke celana panjang longgar berwarna biru yang ia kenakan. Merah juga.Rella memalingkan wajah ke depan seraya meringis sadis. Dua masalah sekaligus baru saja bertengger di pundaknya. Menstruasi di kala sakit dan stok pembalut habis. Ambyar!Kaki nan putih bersih tanpa cat kuku itu menyusuri trotoar tepi jalan. Meski sering kali dilanda pening dan mual, Rella tetap memaksakan diri. Cara berjalannya pun terhuyung-huyung seperti orang mabuk yang terlalu banyak minum khamr. Jam 7 lebih 5 menit, seketika perasaan lega merundung benak. Sebuah minimarket sudah terlihat di depan mata.Dengan penuh kesabaran, Rella kembali memacu langkah pelannya memasuki tempat perbelanjaan. Memilih barang-barang yang hendak dibeli, khususnya benda putih nan empuk itu. Tidak tanggung-tanggung, tiga pack ukuran besar pembalut diborong.Setelah dirasa cukup, Rella menuju kasir. Tidak pernah sedikit pun kepeningan enyah dari kepala, tetapi mau bagaimana lagi? Tidak ada Stella yang akan dimintai bantuan, paket data pun belum ada untuk belanja secara online."Sekalian isi kuota sepuluh Gibyte, ya, Mbak," pesan Rella di sela kesibukan petugas kasir bekerja."Iya, Mbak, sebentar, ya. Tolong tulis nomor telepon yang mau diisikan kuota di sini," kata petu
"El, Ella, lo kenapa? El, please bangun, jangan bikin gue takut! Ella!"Tubuh Rella terkesiap, bersamaan dengan netra yang terbuka cepat, seperti orang terbangun dengan keterkejutan pada umumnya. Wajah dibanjiri air mata, lengkap dengan sesenggukan yang masih ada. Bola matanya tertuju pada Stella yang tampak sangat cemas, cairan bening bergelayut di kedua pipi gadis itu. Cukup lama tanpa suara, hingga napas Rella menguar panjang disertai pejaman, antara bahagia dan kecewa.Stella beranjak tergesa. Beberapa detik kemudian, dia kembali dengan segelas air putih. "Minum dulu, biar agak mendingan."Rella masih terbungkam, tetapi mengiakan saran Stella lewat gerakan tubuh yang berusaha mengangkat tubuh bagian atas. Stella mengulurkan tangan kirinya yang bebas, m
Ke-kekeh-an Rella untuk ikut serta ke minimarket membuat Stella mau tidak mau mengalah dan memberi restu-eh-izin. Padahal, gadis yang kabarnya baru saja didatangi bulan itu masih dalam kondisi drop, jalan saja seperti orang habis mabuk ciu. Terpaksa jarak lima puluh meter dari kos-an tersebut harus ditempuh menggunakan si Rose. Astaga, tinggal tekan gas satu detik pun sudah sampai. Dasar manusia kuker, salahkan saja Rella yang ngebet.Satu di antara beberapa alasan Rella kekeh ikut, sejenak mencipta gelak tawa dari Stella. Masih terikat dengan mimpi yang entah buruk atau baik waktu lalu, Rella bersama kemantapan hati pun jiwa, berseru, "Siapa tahu mimpi aku jadi kenyataan, Stel! Didatangi bulan sama stok pembalut di mimpi saja, jadi beneran, apalagi dengan bagian adegan ketemu sama Pak Alka, mungkin saja jadi kenyataan! Alu ikut, ya ... please ...!"
Di malam sunyi sepi. Merendah pasrah pada sang Ilahi. Bila esok 'kan tiba. Biarlah cerita mengalir apa adanyaAllah lebih tahu . Segala hal yang terbaik untukku. Jadi tiada lagi . Gundah gelisah merundung hatiAku 'kan jadi hujan. Tegar, tak putus asa. Aku 'kan jadi mutiara. Tersembunyi di balik cangkangAku adalah seperti apa yang Tuhan takdirkan. Biarlah dunia menyiksa. Biarlah mereka mencela. Aku adalah aku, Tuhan lebih tahu ituUntukmu, pemilik jiwa juang lagi tegar
Rose melaju membelah jalan dengan kecepatan sedang. Gadis di balik kemudi sesekali memutar leher hanya untuk mengamati raut yang tercetak di wajah gembil milik Rella. Berdehem, Stella menggerakkan jari-jemarinya di atas kemudi, mulai memikirkan apa yang akan ia katakan. Kejadian semalam cukup membuat komunikasi mereka sedikit memburuk. Sedari awal, Rella hanya menampilkan senyum tipis tanpa suara, paling untuk menjawab setiap perkataan Stella, itu pun satu-dua patah kata.Entah sudah berapa lama hening meraja, hingga akhirnya potongan kejadian waktu lalu menyambangi pikiran Stella. Demikian membuat gadis itu segera berkata, "Kemarin waktu lo nggak masuk, Kak Abil cariin lo tau."Rella menampakkan respon dengan wajah menghadap Stella. Kedua alisnya bertaut tajam dengan mimik terkejut. "Kak Abil nyari aku?" tanya gadis itu, lantas mendapat anggukan cepat dari St
Keheningan tercipta beberapa saat setelah Rella mengungkapkan tentang kondisi tubuhnya yang sudah membaik atas jawaban dari pertanyaan Abil dan Alka. Tentu hal itu membuat Rella sempat melambung, tetapi sebisa mungkin menyadarkan diri.Tidak lama, seorang waiter sekaligus barista di cafe itu datang membawa pesanan. Tidak lain adalah Jean. Ketika meletakkan secangkir air putih hangat ke hadapan Rella, ia berkata, "This is your water my princess Ella."Rella mendongak kaku, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Mengulas senyum, lantas menjawab lirih, "Thankyou, 'my prince' Jean." Dua kata yang mungkin terdengar memalukan itu diucap sangat-sangat lirih oleh Rella. Ya, pastinya memalukan, apalagi di depan para penyandang gelar 'the most
Cinderella tercenung lama di depan cermin, tidak kunjung memoles krim bayi yang terdapat pada kedua pipi, dahi, dan dagunya. Kejadian waktu lalu masih terngiang di ingatan, berputar berulang kali bagai roller coaster. Bahkan, derit pintu terbuka pun tidak didengar, apalagi dengan gemeletuk high heels Stella yang menguasai ruang."Good evening, my princess Ella ...""Allahu laa ilaha illahu wal hayyul qoyyum, laa ...! Ya, Allah, Stella ... bikin kaget saja kamu, ah!" teriak Rella histeris sambil menodongkan sisir ke arah Stella yang berjongkok di sampingnya.Stella mencebik, kembali berdiri sembari bersedekap depan dada. "Gila aja lo, El, masa gue dibacain ayat kursi? Emangnya gue hantu, apa?"
"Melupakanmu adalah hal yang cukup sulit. Namun, melupakan Allah demi mengingatmu, itu mustahil. Ya, lebih baik melupakan kamu daripada dilupakan Allah."***Cuaca pagi ini menggambarkan suasana hati Rella, kelabu dan mungkin sebentar lagi hujan akan tumpah ruah membasahi bumi. Hari libur biasanya gadis itu akan mengisi kekosongannya dengan menggambar sketsa baju muslim/ah, menjahit kain-kain perca, membuat kerajinan tangan, menyelesaikan tugas kulih, atau pergi ke pemakaman almarhum sang papa. Namun, kejadian kemarin sore benar-benar menjatuhkan mood-nya untuk sekadar melakukan kegiatan seperti biasa.Sementara, Stella baru saja berpamitan karena harus memenuhi panggilan orang tuanya. Tidak lain untuk membahas tentang pe
[Assalamu'alaikum, El, aku cuma pengin kamu tau satu hal, kalo sebenarnya perjodohan antara Kak Stella dan Kak Alka itu murni karena paksaan dari Om Antonio sama Mama Gloria.][Kalo kamu nggak percaya, bisa tanyakan langsung sama Kak Alka, tapi aku yakin, kamu nggak akan mau ngelakuin itu. Jadi, di sini aku mau ngeyakinin kamu kalo di antara Kak Stella dan Kak Alka nggak ada perasaan cinta sedikit pun. Mereka murni berteman, nggak lebih. Aku lihat, Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Terbukti waktu aku ngembaliin sepatu kaca itu, dia keliatan kecewa banget, El.][Oh, iya, aku ngembaliin sepatu itu beberapa saat setelah kita ketemu di cafe J. Awalnya Kak Alka nolak ajakanku, tapi pas nyebut nama kamu dan sepatu kaca pemberiannya, akhirnya dia mau.][Aku yakin, seyakin-yakinnya kalo Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Dan aku juga yakin, Kak Alka nerima perjodohan itu pasti karena ada alasan yang kuat dan nggak bisa disepelekan. Aku sedikit kenal gimana perangai Om Antonio. Kalo dia
Wanita dengan rambut hitam yang tercepol asal itu tengah sibuk mengemasi barang-barang ke dalam tas koper ketika seseorang menghubunginya via video call. Rella, setelah melihat pada layar gawai di samping tempat duduknya, seketika melebarkan kedua mata. “Kak Abil?!” pekiknya panik. Secepat kilat dia meraih ciput dan jilbab bergo yang ada di tepi ranjang, lantas memakainya tanpa bercermin. Gawai masih terus berbunyi, Rella segera mengambil dan meletakkannya ke bolongan berbentuk persegi panjang pada meja laptop yang biasa dia gunakan belajar jika ingin lesehan di lantai. Ini kali pertama Abil menghubunginya via vc, tentu saja Rella tidak cukup berani, tetapi ingin menolak pun rasanya segan. Setelah memastikan dirinya sudah siap, barulah Rella menggeser tombol hijau dan beberapa saat kemudian, wajah tampan Abil memenuhi layar gawainya. Rella mengerjap beberapa kali, mengatur gestur tubuh dan mimik wajah agar terlihat baik dan tidak tegang. Dia mengulas senyum canggung. “Assalamu'ala
Selepas puas bercurhat ria pada sang mama, kini Rella lebih lega untuk menarik dan mengembuskan napasnya. Meskipun masih ada sedikit perasaan kecewa dan luka yang terasa perih di dada. Namun, dia akan berusaha untuk ikhlas, merelakan segala alur yang telah dirancang Allah sedemikian rupa. Wanita itu membuka sebuah aplikasi sosial media dan mencari nama akun seseorang yang menjadi topik utama curhatannya barusan. Setelah masuk ke profil akun tersebut, dia mengklik bagian kirim pesan. Beruntung onstagramnya tidak diblokir juga, sementara itu nomor telepon dan wutsapp-nya sudah diblokir. Sebelum mengetikkan pesan, Rella mengatur napas, menarik seutas senyum penenang. Barulah jari-jemarinya bermain di layar keyboard dengan pelan bersama detakan jantung yang terasa lebih cepat. [Hai, Stel. Kabar baik? Aku harap sangat baik. Maaf malam-malam mengirimimu pesan lewat dm. Aku ... hanya merasa segan untuk memintamu bertemu langsung. Selain itu, aku juga nggak tau nomormu yang lain. Malam
Sejak diantar pulang ke kosan oleh Abil, Rella tidak henti-hentinya menangis. Pikiran dan hatinya benar-benar tidak tenang, kacau. Dia bukan menangisi perihal Alka yang lebih memilih wanita lain, melainkan tentang persahabatannya bersama Stella. Rella memang kecewa atas perlakuan Alka, sangat. Dua kali dilamar, tetapi bukan dirinya yang dinikahi. Namun, Rella sudah berusaha untuk merelakan, sebab jika memang Tuhan tidak menakdirkan mereka berjodoh, mau sekuat apa pun berjuang juga tidak akan pernah bersatu. Sekarang, pikirannya lebih terbuka untuk tidak lagi berlarut-larut menangisi perihal asmara. Itu semua tidak lekang dari bantuan Stella yang selalu setia memberi dukungan, juga nasihat dari Pak Psikolog alias Abil. Hanya saja, kali ini dia tidak yakin bisa lebih tegar. Kehilangan sahabat sungguh berkali-kali lebih menyakitkan dibanding kehilangan kekasih. Bagi Rella, sosok Stella tidak ada gantinya. Sahabat terbaik sejak awal masuk kuliah hingga masuk semester 6, rasanya ketika
Abil menatap lawan bicaranya sembari menahan amarah. “Lo berhutang penjelasan soal kejadian tadi pagi di rumah keluarga Stella. Soal pertunangan kalian yang katanya ... terpaksa?”Laki-laki berwajah lesu itu sekalipun tidak membalas tatapan Abil. Sepasang mata lelahnya hanya tertuju pada permukaan meja dengan segelas air putih yang baru saja ia hidangkan untuk tamu di depan. Alka mengembus berat. Sedikit pun tidak tampak bias keceriaan di wajahnya, hanya ada ketidaktenangan. “Kamu sudah mendengar semua perkataan Stella, apa masih kurang jelas?” Nada suaranya terdengar sangat malas untuk sekadar membahas permasalahan yang baru saja dilalui. Jika boleh, dia sendiri tidak ingin menghadapi alur serumit itu. “Jelas, tapi kenapa lo malah jalanin kalo lo sama Stella nggak mau? Lo udah sering bikin Ella sakit hati, Al, dan sekarang lo bener-bener ngehancurin harapan dia!”Alka memejam. Ia sangat sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, sangat sadar telah membuat luka baru untuk Rella di s
“Tiada yang lebih baik daripada melepaskan. Karena jika aku memilih untuk terus mempertahankan, mungkin retaknya akan terus berulang.” *** Bagaikan racun yang dibungkus kain sutera, begitulah Stella yang menjadi racun dan Rella sebagai pembungkusnya. Kebaikan Rella menutupi segala bentuk tujuan buruk Stella, tetapi lambat laun ketika seseorang memaksa menyingkirkan kain sutera, mau tidak mau racun pun tampak. "Kenapa kamu masih di sini?" "Stella, aku--" "Pergi!" Bahkan, Stella memilih menenggak habis racun itu tanpa sisa, sebab tidak ingin sahabat terbaiknya terluka lebih jauh karena mempertahankan pertemanan mereka. Dia rela menjadi jahat, asalkan Rella menjauhinya. Dia rela menjadi bilah pisau, asalkan tidak ada lagi luka yang tercipta setelahnya. Demi kebaikan Rella, Stella rela menjadi seburuk-buruknya manusia. Rella tidak pantas bersahabat dengan manusia berhati busuk. Rella tidak pantas bebuat baik pada manusia berhati rubah. Sungguh tidak pantas. Satu dua tete
Wanita berpakaian khas dokter itu menggelung tt dan memasukkannya ke dalam tas khusus. Rautnya tampak berbeda selepas memeriksa keadaan pasien yang terbaring di ranjang king size. Sesaat kemudian, dia melempar senyum kepada orang tng duduk di kursi dekat ranjang, Gloria. "Bagaimana keadaan Stella, San? Dia tidak kenapa-napa, kan?" Kecemasan tergurat jelas di wajah renta Gloria. "Ibu jangan khawatir, Stella baik-baik aja. Dia cuma butuh istirahat untuk memulihkan tenaga, sebentar lagi pasti siuman." Ucapan Santiya, dokter yang biasa menanganinya terdengar meyakinkan, membuat Gloria tersenyum tenang dan bernapas lega. "Entah apa yang Stella kerjakan selain kuliah sampai membuatnya kecapean, tapi syukurlah kalau dia nggak kenapa-napa." Gloria berdiri mendekati Santiya yang telah selesai mengemasi peralatan medisnya. "Kamu nggak makan dulu bareng kita? Sambil nunggu Stella siuman.""Nggak usah, Bu, saya mau langsung balik ke rumah sakit selesai dari sini. Mungkin ... lain kali kalau ng
"Sebesar apa pun perjuanganmu untuk mendapatkannya, sekalipun mendaki gunung himalaya, bahkan mengarungi samudera hindia, jika Tuhan tidak berkehendak, kamu tidak akan pernah bisa memilikinya."***Anna, kenapa gadis yang pernah menjadi saudara tirinya itu ada di sini? Pertanyaan itulah yang pertama kali menyambangi pikiran Rella tatkala masuk ke rumah bak istana milik Gloria. Ia benar-benar terkejut, Abil berbisik padanya bahwa gadis dengan dress selutut itu adalah adik Stella. Adik kandung, tetapi beda ibu. Satu rahasia kembali terkuak. Lantas, kenapa selama ini, Stella bersikap seolah tidak mengenal Anna? Tunggu dulu. Annasterra dan ... Annastella. Kenapa Rella baru sadar, jikalau nama dari kedua gadis itu ada kemiripan? Kenapa ia tidak ngeh sama sekali? Rella tidak habis pikir. Lantas, apa alasan Stella sampai merahasiakan tentang ikatannya dengan Anna? Anna sangat menyukai Alka, apakah Stella mendukung hal itu di belakang Rella? Apakah Stella hanya berpura-pura mendukung per
"Setiap hal yang tersembunyi, ada kalanya tampak ke permukaan. Semata-mata agar manusia paham, bahwa sesuatu yang seharusnya tidak menjadi rahasia, tidak perlu dirahasiakan. Jika ketersembunyian saja mencipta masalah baru, kenapa tidak dengan menyuarakan kebenaran saja? Toh, ujungnya akan tetap sama. Walau sejatinya, kejujuran di awal lebih mampu untuk diterima hati, daripada menyemai kebohongan, yang pada akhirnya tertuai kekecewaan dan sulit untuk sekedar diikhlaskan."***[Kemarin lusa, kan, kamu belum jawab iya apa enggak. Apa mau ke sana sekarang? Kebetulan udah selesai kuliah. Kamu udah selesai?]Pesan itu didapat Rella dari Abil dua hari setelah mengajar di panti asuhan. Hal itu yang sangat ingin ditanyakan Rella, seandainya kemarin lusa laki-laki tersebut tidak menerima telepon penting. Pembicaraan tentang Stella pun terhenti, terlupakan begitu saja. Ingin bertanya, sudah sampai kos-an, jadilah Rella menahan rasa penasarannya hingga sekarang. [Udah selesai, Kak, ini mau bali