Beranda / Romansa / Cinderella, Mah, Apa Atuh? / Bab 04 - Memaafkan atau Tidak?

Share

Bab 04 - Memaafkan atau Tidak?

Cuaca di sore ini terasa dingin. Angin berembus pelan, membelai pepohonan, hingga daun-daunnya menari tanpa beban. Deru kendaraan di jalan terdengar bersahutan. Debu-debu trotoar beterbangan bagai berusaha lari dari kenyataan yang sebentar lagi akan menghempaskan mereka.

Kesedihan Rella juga dimengerti oleh langit. Rintik mulai berjatuhan, bersamaan dengan orang-orang berteduh di bawah naungan. Kecuali Rella, gadis yang menghentikan langkah di tengah guyuran hujan. Tidak peduli dingin menembus tulang. Ia merasa, hujan tengah memberinya rahasia terbesar. Ya, walau berjatuhan dari tempat yang teramat tinggi demi menyuburkan bumi, tetapi ia tidak pernah merengek ataupun menolak takdir Tuhan. Ia sangat tegar.

"... Marah aja tiap hari, biar gue nggak bosen liat wajah lo yang penuh lemak itu."

"Orang tua lo pinter banget, ya, ngasi nama. Terus pangerannya segede apa kira-kira kalo tuan putrinya kayak lo?"

Suara Abil terus berputar keras di telinga Rella. Kedua kaki yang memijak bumi tidak mampu lagi menopang raga. Rella menangis sekeras mungkin, tidak peduli orang yang menyaksikan berkata apa pun.

Ya, bagaimanapun Rella mencoba setegar hujan, tidak akan pernah bisa. Karena hatinya tidak terbuat dari baja, melainkan sebentuk kaca yang mudah retak. Biarlah tangisnya terbawa derai hujan, tiada siapa yang tahu bahwa dia tengah menahan sakitnya hinaan.

Rasanya sakit sekali, bahkan untuk sekadar menjelaskan lewat kata, itu tidak akan bisa, terlalu sakit. Bayangkan, ketika kamu memiliki kekurangan secara fisik, pasti akan sangat tertohok ketika satu orang saja menjadikannya sebagai bahan olokan. Oke, kamu merasa tegar, lalu membalasnya dengan segaris senyuman. Namun, tidakkah kamu berpikir, bahwa hasil dari ciptaan Tuhan terasa sia-sia, terasa tidak sempurna jika dijadikan bahan olokan? Sedang, orang yang menghina sendiri adalah hasil dari ciptaan Tuhan. Paham, 'kan?

Orang yang dihina lalu menangis, merasa sakit, bukan berarti ia tidak bersyukur. Namun, sebenarnya air mata yang Tuhan keluarkan dari pelupuk matanya adalah tanda bahwa ia tengah menangisi orang yang menghina, karena betapa hinanya si penghina di hadapan Tuhan, sebab telah merendahkan hasil ciptaan-Nya, sedang dia sendiri tercipta bukan karena kemauan sendiri, tetapi atas kehendak Tuhan.

Ya, manusia memang egois.

***

"Memaafkan memang sulit, Nde, tapi jika tidak memaafkan, itu akan menjadi beban dalam hidup kamu. Dendam, kebencian, itu adalah sifat tercela, nafsu syetan, sangat buruk. Lebih baik sekarang kamu shalat, baca ayat suci Al-Quran sama tafsirnya, renungi kesalahan yang pernah kamu perbuat. Minta ampunan sama Gusti Allah, minta diberi kelapangan hati. Udah, jangan masukkan kata-katanya ke dalam hati, nggak ada faedahnya. Lebih baik kamu muhasabah."

Kalimat itu menjadi petuah terakhir dari sang ibu yang berada jauh di kampung. Sekembalinya ke kosan, Rella tidak langsung membersihkan diri dari bekas air hujan yang membasah di sekujur tubuh. Namun, memilih menghubungi sang ibu menggunakan telepon umum yang tersedia sepuluh meter dari tempat kos. Sedang, ponselnya tidak lagi bisa digunakan lantaran ikut kehujanan. Nasib, ya, nasib.

Hampir lima belas menit bercurhat-ria dengan ibunya, sekarang gadis itu sudah kembali ke kos. Dengan mengenakan pakaian longgar tertutup, Rella mulai memakai mukena biru muda beserta bawahan warna senada.

Di atas sajadah merah bergambar ka'bah yang tergelar, Rella bersujud sembah sebagaimana mestinya. Sujud terakhir begitu khidmat, cukup lama. Terguncangnya punggung menjadi pertanda bahwa untaian doa gadis itu dibarengi tangisan. Terduduk, membaca tahiatulakhir, lalu salam dengan pelan tanpa ketergesaan.

Selesai berzikir dan bersholawat, Rella menjangkau benda tebal berbentuk persegi seukuran telapak tangan di nakas. Menggulir resleting, lalu membuka surah Ar-Rahman (Q.S 55 ayat 1-78), yakni surah yang diturunkan di Makkah, memiliki julukan Rasul Quran.

Baru saja bibirnya membaca ayat pertama, rasanya begitu menggetarkan hati, hingga tangis tidak bisa dibendung lagi. Disertai isakan, Rella lantunkan ayat suci Al-Quran. Memetik pelajaran dari setiap arti yang terkandung.

فَبِاَ يِّ اٰلَآ ءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

fa bi'ayyi aalaaa'i robbikumaa tukazzibaan

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

(QS. Ar-Rahman 55: Ayat 77)

تَبٰـرَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِى الْجَـلٰلِ وَا لْاِ كْرَا مِ

tabaarokasmu robbika zil-jalaali wal-ikroom

"Maha Suci nama Tuhanmu Pemilik Keagungan dan Kemuliaan."

(QS. Ar-Rahman 55: Ayat 78)

"Shodhokallahul'azim ...." Al-Kitab ia cium cukup lama, masih dengan sengguk yang belum reda dan derai air mata.

Dosa demi dosa yang pernah ia lakukan di dunia, kembali terekam silih berganti. Begitu banyak dosa Rella terhadap Allah, Tuhan Semesta Alam. Betapa hinanya ia karena sering kali melalaikan panggilan Tuhan untuk bersujud sembah. Padahal dengan begitu, hatinya bisa tenang, luka bisa terobati, bahkan masalah bisa teratasi. Namun, namanya Rella adalah manusia biasa, yang tidak luput dari khilaf dan dosa.

***

Rella termenung cukup lama setelah menyelesaikan salat Isya, masih dalam keadaan mengenakan mukena di atas sajadah. Dia ingat betul kejadian waktu lalu di cafe. Sebelum Abil melayangkan kalimat menyesakkan itu padanya, Rella juga sempat melontarkan kata-kata tidak pantas dan seharusnya tidak terucap.

"Semua adik tingkat Kakak di kampus juga tau, kalau Kakak punya ayah yang pemaksa, pengekang, dan gila tahta, itulah kenapa saya juga bisa tau." 'Nggak heran anaknya juga pemaksa.'

Menghela napas berat, Rella menyesali perbuatannya yang satu itu. Gara-gara terlalu menuruti rasa sakit hati, kalimat yang jelas-jelas menyakiti perasaan tersebut menyembur bagai api yang penuh kebencian. Mengucap istigfar berulang kali, lalu kembali tepekur pada gambar dua dimensi berbentuk Ka'bah.

"Memaafkan memang sulit, Nde, tapi jika tidak memaafkan, itu akan menjadi beban dalam hidup kamu."

Nasihat sang ibu pun tidak pernah luput. Mulai detik ini, Rella putuskan untuk memaafkan Abil, baik secara lahir maupun batin. Lalu, apakah dia hanya akan memaafkan? Tidak dengan meminta maaf? Pikiran itu berkecamuk, membuat Rella mulai menimbang-nimbang.

***

Saklar lampu berbunyi, membuat ruangan berubah terang dan terlihat jelas. Stella tampak mengedarkan pandangan. Hingga di satu titik, matanya menilik tajam pada seonggok manusia.

"Ella?" bisik gadis itu, kemudian melangkahkan kaki jenjangnya ke arah Rella yang tertidur menyamping kanan di atas sajadah, masih memakai mukena. Berjongkok, Stella bergumam, "ini anak, kok, tidurnya di sini? Tumben banget."

Tidak lama, alis Stella bertaut, perhatiannya fokus pada wajah sembap Rella yang sangat kentara. Kantung mata tebal dan memerah, ditambah bekas air mata yang mengering begitu jelas terlihat. "Ela habis nangis?" tanyanya lirih pada diri sendiri.

Menyentuh lengan Rella, belum dua detik, ditarik kembali secepat kilat. "Astaga!" Beralih meniup tangannya yang terasa seperti menyentuh bara api. "Ella panas banget, demam kali, ya?"

Stella menempelkan tangan di dahi Rella, lagi-lagi dalam sekejap mata ditarik kembali. "Ya Tuhan, lo, kok, panas banget, sih, El?"

Bingung harus berbuat apa, hingga yang bisa dilakukan Stella hanyalah menyelimuti tubuh Rella dengan selimut tebal miliknya. Membiarkan gadis itu terlelap di atas sajadah yang ukurannya tidak seberapa.

"Sorry, El, gue nggak bakal bisa bopong lo ke ranjang, apalagi buat bangunin lo, mana tega gue?" ucap Stella penuh rasa tidak enak hati telah membiarkan sahabatnya terbaring di lantai beralas sajadah.

Mengambil kompres dan air dingin, Stella mulai mengaplikasikannya pada dahi Rella. Selang lima menit, handuk putih dicelupkan ke wadah, lalu ditembel kembali pada dahi Rella.

Hal itu dilakukan berulang-ulang sampai Stella menguap untuk ke sekian kali lantaran mengantuk. Akhirnya, Stella berhenti, gadis itu memilih memejam karena malam sudah sangat larut.

"Sleep tight, ya. Hope you nice dream my princess Ela."

Beranjak dari samping Rella, Stella menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ketika berada di dalam, dilihatnya pakaian Rella yang menumpuk di keranjangan khusus cucian. Tanpa pikir panjang, disentuhnya kain biru muda yang berada paling atas. Basah. Pikiran Stella tertuju pada hujan beberapa waktu lalu yang menghalangi jalannya untuk kembali ke kosan dan mau tidak mau menunggu hujan reda, baru kemudian pulang. 'Jangan-jangan, Rella habis hujan-hujanan?' Pikirnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status