"Kita akhiri saja ini ..."
Kai menodongkan pedang tepat di leher Askara. Lantas ia acungkan tinggi-tinggi senjatanya itu, hendak menusuk lawannya.
'Konsentrasi ...'
Askara segera merogoh saku, dia mengambil benda andalannya. Langsung saja Askara melempar batu sedari tadi dikantongi saku tepat mengarah wajah Kai.
Bunyi 'klontrang' terdengar, Kai terlihat berhasil menepis lemparan batu itu. Aksinya sedikit teralihkan karena menggolekkan pedang guna menangkis. Tentu saja hal itu membuat pijakan kaki Kai di perut Askara sedikit melonggar.
Ada kesempatan.
Askara mengangkat sebelah kakinya, hendak menendang area vital Kai.
Sadar jika Askara hendak menyerang organ rawannya. Kai memindahkan pijakannya, beralih menyandung kaki Askara yang terhentak hampir mengenai area rawan.
Askara tak kehabisan akal. Sebelah
"Sampai akhir pun aku akan melawanmu dengan tangan kosong!"Askara menyunggingkan bibir, balik meremehkan lawan.Untungnya Kai tidak tersulut emosi, pemuda itu hanya menganggap perkataan Askara sebagai angin yang lewat. Bahkan sulit percaya jika pemuda itu mampu membendung serangan demi serangan dari pedangnya.Sombong sekali murid baru yang satu ini.Mungkin itulah patah kata yang ada dalam pikiran Kai saat ini.Kai melangkah maju, mendekati Aska yang kala itu masih berdiri lunglai."Jangan sombong, orang baru ..." Setelah mengatakan itu, Kai gesit mendekat. Tergesa mengayunkan pedang, namun sama sekali tak berniat melukai Askara.Kai sengaja membuat Askara takut akan pedang yang dibawanya. Sekaligus memancing lawan agar mengeluarkan senjata.Tebas demi tebasan Kai lontarkan, Askara hanya bisa mundur dan mengelak seb
Dwara menghentikan pertarungan, disertai Askara keluar sebagai pemenang. Tentu saja Kai tak terima, mengingat pertarungan sangat tidak imbang karena salah satu melawan tanpa senjata.Kai kembali menghadap Dwara dan hendak melakukan protes, ia ingin mengulang kembali pertarungannya dengan Askara."Sepuh, aku mohon ulangi lagi pertarungannya. Hasil tadi tidak akurat karena perlawanan tidak seimbang," keluh Kai tidak setuju.Dwara tersenyum menanggapinya. "Jangan terlalu dianggap serius, itu mungkin keberuntungan Aska saja. Aku sengaja menantangnya agar dia bisa mendapatkan senjatanya kembali."Kai tertegun pasca mendengarnya. "Sepuh, menahan senjata dia? Lantas kenapa kau menyuruhnya untuk melawanku?""Jangan bilang kau ingin membuatku melukainya," desis Kai lagi. Hampir saja dia menebas Askara saat bertarung tadi. Pantas saja pemuda itu bersikukuh tidak akan melawan tanpa senjata. Pada dasarnya, ternyata ulah Dwara."Apa maksud Sepuh melakuka
"Setelah sekian lama tak jumpa, kujangku akhirnya kembali ... Aku sangat merindukannya!" seru Askara terharu. "Kan? Kau juga merasakannya. Itulah kenapa aku berat hati saat dikirim ke bukit pasir nagog," sela Sanggapati. Sebenarnya ia ingin menanyakan asal-usul Askara usai melihat kujangnya. Namun dia mengurungkan niatnya dalih menunggu waktu yang tepat. "Ngomong-ngomong Aska." Sanggapati duduk mengangkat satu kakinya ke atas kursi seraya memakan buah pisang kesukaannya. "Tak kusangka, kau akan memenangkan pertarungan tadi. Kau tahu? Aku puas melihat wajah kesal si sok tampan itu." "Sebenarnya aku tidak mengerti kenapa Sepuh menyuruhku bertarung dengan orang itu. Tapi lupakan saja, yang penting kujangku kembali," balas Askara. Satu tangannya meraih pisang dan lahap memakannya. "Hei kau. Berapa banyak pisang yang kau makan?" Askara protes. Pasalnya stok pisang di kamarnya selalu menghilang. Di
Askara dan Kai kini berdiri saling berhadapan di halaman belakang padepokan. Dengan jarak berkisar antara enam meter, keduanya saling melempar tatapan sengit. Di salah satu sisi, ada Sanggapati yang menjadi saksi pertarungan gelombang ke dua. Ditemani satu bakul pisang, pemuda itu siap jadi pengawas mereka.Sebagai permulaan, Kai lebih dulu menghunuskan pedangnya. Hal itu dilakukan guna memancing lawannya berbuat hal yang sama.Benar saja. Askara mencabut kujang dari warangka yang menggantung di sabuknya. Berbeda dengan senjata pada umumnya, kujang justru memiliki sarung mirip clurit. Tak bisa dimasukan seperti halnya pedang.Seiring pusaka kujang diperlihatkan. Baik Kai maupun Sanggapati sempat tercengang dengan bentuk senjata langka yang indah itu.'Orang ini ... Apa dia benar-benar membangkitkan pusaka itu?' batin Kai.Berbeda dengan Kai, Sanggapati justru berpikir akan pendek
"Kau jangan takabur anak muda ..."Suara itu terdengar berat dan serak. Amat jelas keluar dari mulut Askara.Sanggapati yang sedikitnya sudah mengenal baik Askara, dibuat kaget karenanya. Bukan hanya suara, aura bahkan energi yang dirasakan juga berbeda dari sebelumnya.Askara mendekat seraya menebaskan kujangnya ke arah Kai. Kai sendiri berusaha menangkis serangan itu menggunakan pedangnya. Suara betrikan logam pun terdengar saling bersahutan. Namun karena jenis senjata yang berbeda, Kai sukses membendung serangan kujang.'Sudah kuduga. Pusaka itu tak bisa menebas apapun. Ini kesempatanku!' pikir Kai.Askara berusaha menikam, namun usahanya digagalkan oleh Kai yang memblok kujang dengan pertahanan pedang panjangnya itu.Gelombang energi pun tercipta, membuat keduanya terpental mudur seketika.Dengan gesit Askara kembali maju, mengacungkan kujang lantas membabi buta mendobrak pertahanan Kai. Kesekian kalinya pedang dan kujang be
"Aku suka saat bertarung tanpa senjata," ucap Askara. "Cih, aku sama sekali tak takut padamu," balas Kai lagi. Dalam jarak berkisar tujuh meter, Askara terlihat melangkah maju. Diikuti Kai juga melakukan hal yang sama. Berawal dari langkah lambat lantas melangkah kian cepat. Pada akhirnya keduanya berlari kencang dan menerjang satu sama lain. Mereka pun baku hantam tanpa senjata. Berawal dari memukul, meninju, menendang dan sebagainya mereka gunakan. Pertarungan yang cukup cepat. Sanggapati sebagai pengawas perkelahian mereka mengakui jika baku hantam kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Askara melakukan tendangan ganda di udara, untung siku Kai berhasil menepis serangan itu dan balik membalasnya dengan tendangan memutar. Askara mengelak dengan jungkir ke belakang. Lalu kembali maju seraya mendaratkan pukulan.  
"Sangga? Tumben sekali kau berdiam di sini?" Baduga mendapati Sanggapati tengah melamun di depan kolam ikan yang letaknya di samping kiri padepokan."Ah, Sepuh. Tidak apa-apa. Aku hanya sedang menikmati suasana kolam saja," jawab Sanggapati lantas menyengir."Yang benar saja. Bukannya waktu sore-sore begini kau selalu diam-diam mengumpulkan pisang dari gudang ya?" sarkas Baduga.Sanggapati mati kutu. Mulutnya terkunci dan tak mampu mengelak lagi. Ternyata Sepuhnya itu tahu pergerakannya selama ini.'Ya ampun! Perkara pisang pun Sepuh sampai mengetahuinya?' gerutu Sanggapati membatin."Ah i-itu ... Hehe ... Tapi Sepuh, aku sekarang berada di sini 'kan?" kilah Sanggapati. Namun bagaimana pun juga Baduga seakan tahu apa yang dipikirkan muridnya yang paling muda itu."Apa masalahmu?" tanya Baduga seraya ikut duduk di sebelah muridnya itu.San
Setelah pertarungan yang hampir merusak fasilitas padepokan. Askara dan Kai memulihkan diri. Lewat laporan yang dibuat Sanggapati, tentu saja Sepuh Dwara sedikit marah pada dua pemuda itu.Bahkan saat keduanya bangun dari pingsan, perkelahian itu masih berlanjut sampai mengobrak-abrik seisi bilik kamar peristirahatan mereka.Pada akhirnya Dwara pun memanggil Askara dan Kai ke ruangan tengah guna menegur mereka."Kalian ... Padahal sudah kubilang, pertarungan kemarin dianggap selesai. Kenapa masih berkelanjutan sampai sekarang, hm?"Baik Askara maupun Kai tidak berani berbicara sepatah kata pun. Hanya saja, keduanya saling melempar tatapan sinis lewat ekor mata mereka."Kalian bangunlah!" perintah Dwara. Dua muridnya itu sontak mematuhi titah sang guru lalu berdiri.Dwara melemparkan dua sapu ke arah mereka. Yang satu sapu jerami, dan satu lagi sapu lidi. Aska