Setelah pertarungan yang hampir merusak fasilitas padepokan. Askara dan Kai memulihkan diri. Lewat laporan yang dibuat Sanggapati, tentu saja Sepuh Dwara sedikit marah pada dua pemuda itu.
Bahkan saat keduanya bangun dari pingsan, perkelahian itu masih berlanjut sampai mengobrak-abrik seisi bilik kamar peristirahatan mereka.
Pada akhirnya Dwara pun memanggil Askara dan Kai ke ruangan tengah guna menegur mereka.
"Kalian ... Padahal sudah kubilang, pertarungan kemarin dianggap selesai. Kenapa masih berkelanjutan sampai sekarang, hm?"
Baik Askara maupun Kai tidak berani berbicara sepatah kata pun. Hanya saja, keduanya saling melempar tatapan sinis lewat ekor mata mereka.
"Kalian bangunlah!" perintah Dwara. Dua muridnya itu sontak mematuhi titah sang guru lalu berdiri.
Dwara melemparkan dua sapu ke arah mereka. Yang satu sapu jerami, dan satu lagi sapu lidi. Aska
"Mari kita lanjutkan ..." Ajakan Kai disetujui Askara. Keduanya bersiap-siap kemudian berdiri saling menghadap.Tanpa melepaskan sapu yang dipegang masing-masing, keduanya bersiap menggunakan kuda-kuda.Meski tanpa pedang dan kujang. Masih ada sapu lidi dan sapu jerami.Sungguh senjata yang sangat sederhana.Semilir angin berembus menerpa keduanya. Rambut panjang kedua pemuda itu melambai-lambai karena tertiup. Rambut yang satu orang menari-nari di sekitar punggung, sedangkan satu orang lainnya bergoyang-goyang di sekitar bahu.Bukh!Askara dan Kai melesat maju. Mereka saling mengadu sapu yang dipegang layaknya adu pedang.Bukh! Bukh!Benturan antara sapu lidi dan sapu jerami terjadi, suaranya terdengar bak ibu-ibu yang tengah memukuli kasur jemuran.Keduanya sengaja mengalirkan energi pada benda
"Baiklah! Lupakan soal kerusuhan siang tadi! Mari kita berdiskusi dan memikirkannya rencana. Bagaimana supaya aku bisa membuat kalian keluar hidup-hidup dari bukit pasir nagog!"Terhitung satu jam lebih. Sanggapati memberikan arahan pada Kai dan Askara. Bukannya didengar, kedua pemuda itu malah saling mendelik sama lain. Tak menghiraukan oceh demi ocehan Sanggapati.Mereka juga sedikit kesal. Setelah mengetahui jika keduanya harus dikembalikan untuk ujian ulang di bukit pasir nagog.Anggap saja ini bentuk hukuman Dwara untuk mereka berdua.Dengan semangat yang menggebu-gebu, Sanggapati memberikan perintah pada keduanya seakan-akan Askara dan Kai adalah bawahannya."Malam ini kalian bersiap-siaplah! Kai, kau siapkan fisikmu. Askara, persiapan kujangmu. Besok kita akan menghadapi tantangan demi tantangan yang sangat sulit untuk diucapkan! Kita harus mengobrak-abrik pertahanan cinda
Setelah selesai proses pemulihan, Dwara memerintahkan Askara dan Kai untuk kembali menguji kemampuannya di bukit pasir nagog. Tak lupa dia mengirim Sanggapati untuk menjadi pengawas jalannya ujian ulang itu.Maka berangkatlah ketiga pemuda itu menuju jalur tenggara bukit nagog pada malam hari. Jalan terpencil yang terbilang gelap dan sangat lembap. Jalur yang mereka ambil berbeda dengan petunjuk jalur Baduga sebelumnya."Kenapa kita harus melalui jalur ini?" Kai terdengar protes.Sebagai murid yang lebih dulu pernah mengarungi pasir nagog, Kai terasa asing dengan jalur yang dilaluinya kini. Dulu saat menjadi murid termuda Sepuh Dwara, peraturannya tidak terlalu runyam seperti sekarang. Bahkan untuk memulai ujian bertahan hidup di bukit pun tak perlu mencari jalan tikus seperti ini. Kai pergi dan kembali selalu melalui jalur utama.Sanggapati sontak menyahut, "ini termasuk jalan yang paling aman, tahu
Askara dan Kai berjalan berdampingan menelusuri bukit pasir nagog untuk yang kedua kalinya. Sepanjang perjalanan, mereka diam tak berbicara satu sama lain. Hanya edaran bola mata saja, sibuk menelisik keseluruhan bukit yang dipenuhi pepohonan rindang yang tinggi menjulang.Sesekali Askara melirik Kai yang berjalan di samping kirinya. Begitu pula dengan Kai pada Askara.Seolah tak mau bertemu pandang, keduanya sengaja kompak membuang muka setelah sadar saling melirik.Sedangkan di sisi lain di atas pohon, Sanggapati membuntuti keduanya serta mengawasi dari ketinggian.Melompati dahan ke dahan lalu mengintai dari sekumpulan dedaunan. Dia berhenti kala kedua sosok yang diawasinya mengehentikan perjalan. Kadang sejenak dirinya makan pisang, sembari menunggu Askara dan Kai berjalan kembali.Tiba-tiba suara gersakan semak mengejutkan mereka. Terdengar seolah geraman harimau namun denga
Ctak! Tiba-tiba cindaku muncul dari balik kumpulan rumput gajah, Kai dengan gerakan refleksnya langsung memecut wajah manusia harimau bertaring panjang itu. Cipratan darah pun seketika terbang ke segala arah. Kai pun berjumpalitan seiring cindaku meraung karena wajahnya berdarah. "Kai awas!" teriak Askara seraya mendekat. Graa ...! Cindaku putih itu mengaum, suaranya menggemakan sekitaran. Lantas si monster mengayunkan cakar guna menghempaskan Kai, tetapi pemuda itu lincah menghindar. Dia hendak memecut makhluk itu, sayang masih terpancar keraguan di wajahnya. Padahal, Kai sebelumnya berhasil memecut wajah si monster hanya menggunakan rumput gajah. Alhasil, Kai terus mengelak dari cakaran sampai pemuda itu terdesak mundur. Gra ... Gra! Kai hendak mendaratkan tinju, namun tepisan cakar cindaku malah berakhir melukainya. Dia k
"Aku benci mengatakan ini, tapi sepertinya kita harus bekerja sama.""Wah ... Mai, ternyata kau punya rasa takut juga yah," kata Askara menyempatkan jahil."Namaku Kai!" tegas Kai menekan perkataannya. "Ini bukan soal takut atau tidaknya, rumput ini sama sekali tidak bisa memotong leher cindaku. Karena itulah, gunakan senjatamu untuk menebasnya sebelum aku menemukan cara lain!""Tenang Mai --eh apalah namamu itu. Aku pasti membantu. Tapi kedepannya kau harus bisa melakukannya sendiri karena kita tidak akan terus menerus bersama," saran Askara."Setidaknya kita bunuh cindaku ini lebih dulu!" Kai segera membantingkan diri ke tanah, mengelak dari apungan batu yang mendadak muncul dari arah depan. Lemparan itu berasal dari genggaman tangan cindaku.Dentuman demi dentuman terdengar. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali batu itu melayang ke arah mereka.Kai deng
"Aska ..."Suara sayup itu terdengar di saat kesadaran Askara terasa samar-samar. Panggilan yang membuatnya mengurung langkah untuk tidak masuk ke dalam alam bawah sadar.Seingatnya, Askara sudah berdiri di depan gerbang itu.Namun panggilan dari arah lain, membuat Askara berhasil membuka matanya perlahan.Penglihatan pun semakin jelas dan jernih, dia melihat hamparan daun dengan dahan ranting yang menggantung di atas sana. Askara mengedarkan mata, kelabu gelap ternyata tengah menyelimuti sekelilingnya.Kepalanya tergolek sedikit, di sebelah kiri banyak sekali pepohonan yang tumbang, terutama beringin.Ah, benar juga. Askara baru saja bertarung melawan cindaku.Robohnya pohon besar itu terlalu mencolok, Askara khawatir jika mengundang cindaku yang lainnya."Merepotkan, kenapa bisa kau pingsan?" cetus seseorang.Askara yang mendengar ocehan itu sudah merasa tidak asing lagi. Dia melirik lewat ekor mata. Memastikan jika suar
'Cindaku ini, bukan sembarang cindaku!'Kai bergegas mengeluarkan seutas rumput gajah tadi. Terlihat sudah kusut, sepertinya dia harus segera menggantinya dengan rumput baru.Sungguh! Siapa yang menyangka jika dirinya berhasil menciptakan senjata alternatif dari rumput?Si monster dengan kulit kuning kecoklatan itu mendekati Askara, yang kala itu sedang meronta keluar dari reruntuhan batang pohon. Kai mendecih, mustahil menolongnya dalam keadaan sempit seperti itu.Yang harus dilakukannya pertama kali adalah mengalihkan perhatian si monster. Sehingga Askara bisa memulihkan diri.'Harusnya tadi aku mengajarinya penghambatan energi untuk metode pemulihan,' rutuknya membatin.'Tunggu ... Kenapa aku peduli padanya?'Kai bingung sendiri.Mengenyahkan pikiran bimbangnya itu. Kai tergesa berlari mengejar cindaku yang hendak menerkam Askara.Tepat saat cindaku itu melompat, Kai menggunakan jurus Napak hawa dan ikut melompat dan