Setelah selesai proses pemulihan, Dwara memerintahkan Askara dan Kai untuk kembali menguji kemampuannya di bukit pasir nagog. Tak lupa dia mengirim Sanggapati untuk menjadi pengawas jalannya ujian ulang itu.
Maka berangkatlah ketiga pemuda itu menuju jalur tenggara bukit nagog pada malam hari. Jalan terpencil yang terbilang gelap dan sangat lembap. Jalur yang mereka ambil berbeda dengan petunjuk jalur Baduga sebelumnya.
"Kenapa kita harus melalui jalur ini?" Kai terdengar protes.
Sebagai murid yang lebih dulu pernah mengarungi pasir nagog, Kai terasa asing dengan jalur yang dilaluinya kini. Dulu saat menjadi murid termuda Sepuh Dwara, peraturannya tidak terlalu runyam seperti sekarang. Bahkan untuk memulai ujian bertahan hidup di bukit pun tak perlu mencari jalan tikus seperti ini. Kai pergi dan kembali selalu melalui jalur utama.
Sanggapati sontak menyahut, "ini termasuk jalan yang paling aman, tahu
Askara dan Kai berjalan berdampingan menelusuri bukit pasir nagog untuk yang kedua kalinya. Sepanjang perjalanan, mereka diam tak berbicara satu sama lain. Hanya edaran bola mata saja, sibuk menelisik keseluruhan bukit yang dipenuhi pepohonan rindang yang tinggi menjulang.Sesekali Askara melirik Kai yang berjalan di samping kirinya. Begitu pula dengan Kai pada Askara.Seolah tak mau bertemu pandang, keduanya sengaja kompak membuang muka setelah sadar saling melirik.Sedangkan di sisi lain di atas pohon, Sanggapati membuntuti keduanya serta mengawasi dari ketinggian.Melompati dahan ke dahan lalu mengintai dari sekumpulan dedaunan. Dia berhenti kala kedua sosok yang diawasinya mengehentikan perjalan. Kadang sejenak dirinya makan pisang, sembari menunggu Askara dan Kai berjalan kembali.Tiba-tiba suara gersakan semak mengejutkan mereka. Terdengar seolah geraman harimau namun denga
Ctak! Tiba-tiba cindaku muncul dari balik kumpulan rumput gajah, Kai dengan gerakan refleksnya langsung memecut wajah manusia harimau bertaring panjang itu. Cipratan darah pun seketika terbang ke segala arah. Kai pun berjumpalitan seiring cindaku meraung karena wajahnya berdarah. "Kai awas!" teriak Askara seraya mendekat. Graa ...! Cindaku putih itu mengaum, suaranya menggemakan sekitaran. Lantas si monster mengayunkan cakar guna menghempaskan Kai, tetapi pemuda itu lincah menghindar. Dia hendak memecut makhluk itu, sayang masih terpancar keraguan di wajahnya. Padahal, Kai sebelumnya berhasil memecut wajah si monster hanya menggunakan rumput gajah. Alhasil, Kai terus mengelak dari cakaran sampai pemuda itu terdesak mundur. Gra ... Gra! Kai hendak mendaratkan tinju, namun tepisan cakar cindaku malah berakhir melukainya. Dia k
"Aku benci mengatakan ini, tapi sepertinya kita harus bekerja sama.""Wah ... Mai, ternyata kau punya rasa takut juga yah," kata Askara menyempatkan jahil."Namaku Kai!" tegas Kai menekan perkataannya. "Ini bukan soal takut atau tidaknya, rumput ini sama sekali tidak bisa memotong leher cindaku. Karena itulah, gunakan senjatamu untuk menebasnya sebelum aku menemukan cara lain!""Tenang Mai --eh apalah namamu itu. Aku pasti membantu. Tapi kedepannya kau harus bisa melakukannya sendiri karena kita tidak akan terus menerus bersama," saran Askara."Setidaknya kita bunuh cindaku ini lebih dulu!" Kai segera membantingkan diri ke tanah, mengelak dari apungan batu yang mendadak muncul dari arah depan. Lemparan itu berasal dari genggaman tangan cindaku.Dentuman demi dentuman terdengar. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali batu itu melayang ke arah mereka.Kai deng
"Aska ..."Suara sayup itu terdengar di saat kesadaran Askara terasa samar-samar. Panggilan yang membuatnya mengurung langkah untuk tidak masuk ke dalam alam bawah sadar.Seingatnya, Askara sudah berdiri di depan gerbang itu.Namun panggilan dari arah lain, membuat Askara berhasil membuka matanya perlahan.Penglihatan pun semakin jelas dan jernih, dia melihat hamparan daun dengan dahan ranting yang menggantung di atas sana. Askara mengedarkan mata, kelabu gelap ternyata tengah menyelimuti sekelilingnya.Kepalanya tergolek sedikit, di sebelah kiri banyak sekali pepohonan yang tumbang, terutama beringin.Ah, benar juga. Askara baru saja bertarung melawan cindaku.Robohnya pohon besar itu terlalu mencolok, Askara khawatir jika mengundang cindaku yang lainnya."Merepotkan, kenapa bisa kau pingsan?" cetus seseorang.Askara yang mendengar ocehan itu sudah merasa tidak asing lagi. Dia melirik lewat ekor mata. Memastikan jika suar
'Cindaku ini, bukan sembarang cindaku!'Kai bergegas mengeluarkan seutas rumput gajah tadi. Terlihat sudah kusut, sepertinya dia harus segera menggantinya dengan rumput baru.Sungguh! Siapa yang menyangka jika dirinya berhasil menciptakan senjata alternatif dari rumput?Si monster dengan kulit kuning kecoklatan itu mendekati Askara, yang kala itu sedang meronta keluar dari reruntuhan batang pohon. Kai mendecih, mustahil menolongnya dalam keadaan sempit seperti itu.Yang harus dilakukannya pertama kali adalah mengalihkan perhatian si monster. Sehingga Askara bisa memulihkan diri.'Harusnya tadi aku mengajarinya penghambatan energi untuk metode pemulihan,' rutuknya membatin.'Tunggu ... Kenapa aku peduli padanya?'Kai bingung sendiri.Mengenyahkan pikiran bimbangnya itu. Kai tergesa berlari mengejar cindaku yang hendak menerkam Askara.Tepat saat cindaku itu melompat, Kai menggunakan jurus Napak hawa dan ikut melompat dan
Beberapa saat sebelumnya.Sanggapati masih mengawasi pertarungan dari puncak dahan kiara payung. Mengamati sekaligus menganalisis kemampuan cindaku betina itu.Yah, sementara waktu mereka akan menyebutnya cindaku betina.Sebenarnya, wujud cindaku itu mirip ke singa betina yang mulus tanpa loreng, kaki jenjang, bulu tak lebat dan tak berotot. Yang menonjol dari monster itu adalah perut dan bokong yang berisi. Pantas saja mereka langsung menyebutnya sebagai betina."Instingnya sangat kuat.Dasar betina!" umpat Sanggapati.Tiba-tiba pemuda itu teringat akan sang ibu.Dulu. Di mana dia sering sembunyi-sembunyi guna mencuri pisang, ibunya itu pasti sigap mengetahui gerak-geriknya. Meskipun dan bagaimanapun cara pintar Sanggapati mencoba mencuri, selalu saja tertangkap basah oleh si ibu. Semenjak itulah, Sanggapati sering beranggapan jika insting perempuan itu
Di sisi lain setelah kejadian itu. Askara dan Kai tercengang mendapati cindaku itu bertengger, —lebih tepatnya menggelantung di atas dahan pohon tengkaras. Tentu saja posisinya di atas kepala mereka. Padahal dahannya kecil, namun ternyata si monster mampu menyeimbangkan diri sampai mahir bergelantungan di dahan kecil. 'Begitu ... Kuku-kukunya menancap ke dalam kulit kayu. Pantas saja dia mampu bergelantungan di dahan sekecil itu,' pikir Kai. 'E-eh ... Itu berarti, kecepatan memanjatnya cepat!' Kai sedikit gemetaran, cindaku yang dihadapi mereka adalah cindaku siluman. "Apa-apaan ... Sejak kapan monster itu ada di sana?" Askara memaksakan senyum. Antara takjub dan ketakutan, semuanya bercampur menjadi satu kesatuan. Grrr ... Mata si monster mengeluarkan kilat, biru kekuning-kuningan dengan satu garis tegak lurus membent
Luka Kai seketika pulih, bekas sayatan itu kembali menyatu. Bahkan tidak ada tanda-tanda jika korneanya terluka. Padahal Askara melihat jelas jika kuku cindaku menyayat bola mata lelaki itu.Kai juga terlihat mengorek telinganya sendiri. Membersihkan darah yang mengalir dari sana. Tatapannya dingin, dengan mata biru hang mengkilat-kilat, wajah memerah karena memendam murka.Krek!Kai membenarkan tulang leher yang sedikit bengkok. Kai berniat membalas perbuatan si monster dengan setimpal. Setelah makhluk itu membenturkan kepalanya ke tanah, minimal dia harus memisahkan kepala cindaku betina itu.Lantas Kai berdiri, napasnya berderu. Mengeluarkan kepulan kabut tipis dari hidungnya."Energinya berubah?" Askara terkejut, pasalnya energi yang dikeluarkan Kai berbeda dari sebelumnya.Mengeluarkan aura yang berbeda, jauh lebih kuat.Kai melesat maju, meninggalkan rumput gajah yang sebelumnya dipegang. Kini pemuda itu menerobos pertarungan ha