Luka Kai seketika pulih, bekas sayatan itu kembali menyatu. Bahkan tidak ada tanda-tanda jika korneanya terluka. Padahal Askara melihat jelas jika kuku cindaku menyayat bola mata lelaki itu.
Kai juga terlihat mengorek telinganya sendiri. Membersihkan darah yang mengalir dari sana. Tatapannya dingin, dengan mata biru hang mengkilat-kilat, wajah memerah karena memendam murka.
Krek!
Kai membenarkan tulang leher yang sedikit bengkok. Kai berniat membalas perbuatan si monster dengan setimpal. Setelah makhluk itu membenturkan kepalanya ke tanah, minimal dia harus memisahkan kepala cindaku betina itu.
Lantas Kai berdiri, napasnya berderu. Mengeluarkan kepulan kabut tipis dari hidungnya.
"Energinya berubah?" Askara terkejut, pasalnya energi yang dikeluarkan Kai berbeda dari sebelumnya.
Mengeluarkan aura yang berbeda, jauh lebih kuat.
Kai melesat maju, meninggalkan rumput gajah yang sebelumnya dipegang. Kini pemuda itu menerobos pertarungan ha
Kai tak henti-hentinya menginjak kepala cindaku sampai terbenam ke dalam tanah. Kakinya terluka begitupun dengan kepala si monster. Darah bercipratan ke segala arah, si monster bahkan tak sempat untuk membalas. Serangan yang dilancarkan Kai terlampau cepat, sama sekali tidak memberikan cindaku kesempatan balik menyerang.Mata biru Kai mengkilat-kilat, garis segitiga yang tergambar di pupil matanya mendadak berputar cepat. Seketika energi yang dilepaskan Kai menjadi-jadi, pemuda itu menggunakan kekuatan penuh dari mata birunya.Kai bermuka masam, kian muram, melempar tatapan benci pada monster yang meronta di bawah telapak kakinya itu. Setelah melihat cindaku betina tak berdaya, Kai mengangkat tipis sudut bibir. Dia menyeringai, seakan puas dan menikmati penyiksaan yang dilakukannya."Aska, Kai di luar kendali!" teriak Sanggapati seraya berlari mendekati Kai.Melihat Askara ikut menyusul dari belakang, Sanggapati berusaha mencoba komunikasi dengannya."Aska, kau in
Cindaku itu beregenerasi, organnya yang rusak berganti menjadi organ baru dengan sendirinya. Wujud, aura, bahkan kekuatan cindaku itu berubah drastis seketika. Baik Sanggapati maupun Kai, keduanya tercengang akan perubahan cindaku itu. Pertambahan energinya, jelas terasa sampai tenggorokan mereka tercekat. Mungkin tidak ada hubungannya dengan tenggorokan yang cekat, namun keduanya sama-sama merasakan takut dan ragu bersatu. Ketakutan itu membuat mereka kaku sejenak, bahkan untuk menelan ludah pun sukar rasanya. Sanggapati teringat akan Askara, pemuda itu terkapar lemas di ujung lapang rerumputan sana. Terpental jauh hingga keluar hutan. Meskipun di tengah suasana malam, Sanggapati jelas bisa menemukan Askara yang kondisinya terluka parah. Dia butuh pertolongan segera. Baru saja Sanggapati bangkit, dia dikejutkan oleh regenerasi cindaku. Makhluk it
"Aska! Jangan terburu-buru!" teriak Sanggapati.Askara tak mendengar peringatan itu, dia memacu lari seraya mengacungkan kujangnya tinggi-tinggi. Saat itu dia berhasil mengumpulkan konsentrasi, bersiap menikam leher cindaku menggunakan teknik napak hawa.Si monster duduk bersimbah darah, kepalanya bocor bahkan area wajah pun sudah tak berbentuk. Hidung tulang bengkok, dan pipi kembung membiru. Tulang mata pun penyok karena saking kuatnya pijakan Kai saat itu.Namun yang lebih mengejutkan mereka, cindaku itu masih hidup meskipun sedari tadi terus diam tak bergerak.Askara berlari, dia mengangkat kujang seraya melakukan pelepasan energi pada kakinya. Saat energi itu bertumpu di kakinya, barulah dia melakukan tolakan hingga terbang di udara."Konsentrasi ..."'Kau pasti bisa, Aska!' benaknya menyemangati diri sendiri.Askara kian mendekati si monster jalur udara, bersiap menikam leher makhluk itu supaya bisa memutus urat nadinya.
"Sudah lama tidak bertemu ya, Aska." Askara terhentak. Dia tertegun beberapa saat sebelum akhirnya mengedarkan pandangan. Bunga wisteria ungu dan suara gemericik air yang menenangkan kalbu. Dua objek itu yang sering dia jumpai saat dirinya mulai memasuki gerbang alam bawah sadar. Askara lebih mendongkakkan kepalanya, padahal posisinya saat itu tengah berbaring. Ada wajah yang muncul dari sana, kumis tipis melintang dengan ikat kepala bermotif mega mendung. Wajah orang itu berada tepat di atasnya, sehingga sekilas terlihat terbalik. "Apa kabar Aska?" tanya Abiseka sambil menunjukkan senyum yang merekah. "Paman ..." lirihnya, kemudian celingukan ke segala arah. "Kenapa aku di sini? Ah, iya ... Pasti aku pingsan karena serangan cindaku tadi," gumamnya pada diri sendiri. Askara mencoba bangun dari pembaringannya, namun sekujur tubuhnya seakan kaku. Hal itu membuat Askara memutuskan untuk tetap terlentang di antara hamparan rerumput
"Tentu saja, karena kau keturunan Aditya."Askara masih bingung atas percakapan yang terjadi di alam bawah sadarnya itu. Di tambah suhu badan teramat sangat panas, juga keringat yang terus menerus keluar dan membasahi sekujur tubuh.Konsentrasinya terbagi, membuat Askara sulit menangkap isi perkataan Abiseka."Sudahlah diam dulu, lanjutkan saja pemulihanmu itu," sela Abiseka.Askara berusaha menyatukan kembali konsentrasinya. Berfokus pada satu tujuan, yakni menyembuhkan lukanya itu.Perlahan-lahan, beberapa jemari dan tangannya berhasil digerakkan."Aku akhirnya bisa," kekeh Askara sambil melanjutkan penghambatan energi."Oh ya, lebih baik kau dengarkan penjelasan singkatku sembari menyembuhkan diri," tawar Abiseka."Penjelasan apa?" balas Askara."Matamu, mata jingga akan muncul saat menyerap en
"Jangan Sanggapati! Berhenti!" Kai berusaha mencegah rekannya itu. Namun terlanjur pergi, Sanggapati maju dengan hanya mengandalkan tiga anak panah saja. Kai tak mampu bangun, bahkan untuk berdiri saja sangat sakit rasanya. Sebenarnya pemuda itu bingung, kenapa tenaganya mendadak terkuras dan hilang begitu saja. "Sanggapati! Jangan gegabah!" teriak Kai sekali lagi. Dia berusaha mengerahkan seluruh kemampuan untuk menggunakan teknik penghambatan energi. Sayang sekali energinya tak cukup, membuat dirinya harus beristirahat memulihkan tenaga lebih dulu. "Ah sialan! Aku hanya membuang-buang waktu!" umpatnya. Di saat Sanggapati menerjang lawan, Kai yang merasa jadi beban itu pun berusaha keras untuk bangkit kembali. Namun karena terluka, dia terlihat beberapa kali ambruk. Kai sempat mengerang dan putus asa, dia merasa sana sekali tidak bisa membantu Sanggapati.  
Cindaku itu siap menghimpit tubuh Sanggapati menggunakan telapak tangannya, sama hal seperti orang yang hendak menepuk serangga. Pemuda itu sontak membulatkan mata, mendadak persendiannya seakan kaku dan terhenti. Sanggapati sempat-sempatnya tertegun saat riwayatnya hendak dihabisi si monster. Saat tangan itu melayang hendak menghimpit Sanggapati, mendadak pecut rumput gajah melingkar di sekitar lengan si monster. Serangan itu mendadak terhenti. Kai ternyata lebih gesit, dia cepat mencari rumput gajah untuk dialiri energi. Seketika rumput itu mampu berfungsi sebagai tali. Mengikat kuat-kuat agar gerakan tangan makhluk itu terhenti. "Sangga!" Askara muncul dengan kening bercucuran darah, dengan napas terengah-engah dia mendapati kedua temannya itu dalam kondisi terdesak. Apalagi Kai yang menahan lengan cindaku menggunakan rumput gajah dengan sekuat tenaga. Pemuda itu juga masih terluka, terlihat mati-matian menahan
Waktu seakan menunjukkan dini hari, suasana sekitaran terasa dingin bahkan terlihat berembun. Askara, Sanggapati, dan Kai memulihkan diri beberapa saat. Melakukan penghambatan energi sesuai arahan Kai.Askara adalah orang yang paling lama pulih. Pemuda itu juga mandi akan keringat karena hawa panas yang bergejolak dalam tubuhnya. Bukan karena apa, keturunan Aditya sepertinya memiliki teknik khusus yang berlawanan dengan teknik dasar pendekar adiwira.Bahkan Sanggapati juga sempat mengira Askara demam setelah pertarungan."Tidak apa-apa, jangan khawatir," ucapnya sambil menyengir lebar."Hilih, siapa yang khawatir denganmu? Aku hanya kaget kenapa suhu tubuhmu bisa sepanas itu? Padahal kan kau sedang pemulihan," sangkal Sanggapati."I-itu ... Uhm, yah mungkin itu refleks tubuhku. Dulu juga aku pernah seperti ini saat berlatih di padepokan," jawabnya.Sanggapati mengangguk. Tentu saja dia ingat saat Askara pingsan karena terlalu lam