Di sisi lain setelah kejadian itu.
Askara dan Kai tercengang mendapati cindaku itu bertengger, —lebih tepatnya menggelantung di atas dahan pohon tengkaras. Tentu saja posisinya di atas kepala mereka. Padahal dahannya kecil, namun ternyata si monster mampu menyeimbangkan diri sampai mahir bergelantungan di dahan kecil.
'Begitu ... Kuku-kukunya menancap ke dalam kulit kayu. Pantas saja dia mampu bergelantungan di dahan sekecil itu,' pikir Kai.
'E-eh ... Itu berarti, kecepatan memanjatnya cepat!'
Kai sedikit gemetaran, cindaku yang dihadapi mereka adalah cindaku siluman.
"Apa-apaan ... Sejak kapan monster itu ada di sana?" Askara memaksakan senyum. Antara takjub dan ketakutan, semuanya bercampur menjadi satu kesatuan.
Grrr ...
Mata si monster mengeluarkan kilat, biru kekuning-kuningan dengan satu garis tegak lurus membent
Hai 👋 terimakasih banyak atas dukungan kalian. Silakan tinggalkan jejak jika kalian suka ceritanya 😉 Sekali lagi saya ucapkan terimakasih Salam, Author Bill 🤙
Luka Kai seketika pulih, bekas sayatan itu kembali menyatu. Bahkan tidak ada tanda-tanda jika korneanya terluka. Padahal Askara melihat jelas jika kuku cindaku menyayat bola mata lelaki itu.Kai juga terlihat mengorek telinganya sendiri. Membersihkan darah yang mengalir dari sana. Tatapannya dingin, dengan mata biru hang mengkilat-kilat, wajah memerah karena memendam murka.Krek!Kai membenarkan tulang leher yang sedikit bengkok. Kai berniat membalas perbuatan si monster dengan setimpal. Setelah makhluk itu membenturkan kepalanya ke tanah, minimal dia harus memisahkan kepala cindaku betina itu.Lantas Kai berdiri, napasnya berderu. Mengeluarkan kepulan kabut tipis dari hidungnya."Energinya berubah?" Askara terkejut, pasalnya energi yang dikeluarkan Kai berbeda dari sebelumnya.Mengeluarkan aura yang berbeda, jauh lebih kuat.Kai melesat maju, meninggalkan rumput gajah yang sebelumnya dipegang. Kini pemuda itu menerobos pertarungan ha
Kai tak henti-hentinya menginjak kepala cindaku sampai terbenam ke dalam tanah. Kakinya terluka begitupun dengan kepala si monster. Darah bercipratan ke segala arah, si monster bahkan tak sempat untuk membalas. Serangan yang dilancarkan Kai terlampau cepat, sama sekali tidak memberikan cindaku kesempatan balik menyerang.Mata biru Kai mengkilat-kilat, garis segitiga yang tergambar di pupil matanya mendadak berputar cepat. Seketika energi yang dilepaskan Kai menjadi-jadi, pemuda itu menggunakan kekuatan penuh dari mata birunya.Kai bermuka masam, kian muram, melempar tatapan benci pada monster yang meronta di bawah telapak kakinya itu. Setelah melihat cindaku betina tak berdaya, Kai mengangkat tipis sudut bibir. Dia menyeringai, seakan puas dan menikmati penyiksaan yang dilakukannya."Aska, Kai di luar kendali!" teriak Sanggapati seraya berlari mendekati Kai.Melihat Askara ikut menyusul dari belakang, Sanggapati berusaha mencoba komunikasi dengannya."Aska, kau in
Cindaku itu beregenerasi, organnya yang rusak berganti menjadi organ baru dengan sendirinya. Wujud, aura, bahkan kekuatan cindaku itu berubah drastis seketika. Baik Sanggapati maupun Kai, keduanya tercengang akan perubahan cindaku itu. Pertambahan energinya, jelas terasa sampai tenggorokan mereka tercekat. Mungkin tidak ada hubungannya dengan tenggorokan yang cekat, namun keduanya sama-sama merasakan takut dan ragu bersatu. Ketakutan itu membuat mereka kaku sejenak, bahkan untuk menelan ludah pun sukar rasanya. Sanggapati teringat akan Askara, pemuda itu terkapar lemas di ujung lapang rerumputan sana. Terpental jauh hingga keluar hutan. Meskipun di tengah suasana malam, Sanggapati jelas bisa menemukan Askara yang kondisinya terluka parah. Dia butuh pertolongan segera. Baru saja Sanggapati bangkit, dia dikejutkan oleh regenerasi cindaku. Makhluk it
"Aska! Jangan terburu-buru!" teriak Sanggapati.Askara tak mendengar peringatan itu, dia memacu lari seraya mengacungkan kujangnya tinggi-tinggi. Saat itu dia berhasil mengumpulkan konsentrasi, bersiap menikam leher cindaku menggunakan teknik napak hawa.Si monster duduk bersimbah darah, kepalanya bocor bahkan area wajah pun sudah tak berbentuk. Hidung tulang bengkok, dan pipi kembung membiru. Tulang mata pun penyok karena saking kuatnya pijakan Kai saat itu.Namun yang lebih mengejutkan mereka, cindaku itu masih hidup meskipun sedari tadi terus diam tak bergerak.Askara berlari, dia mengangkat kujang seraya melakukan pelepasan energi pada kakinya. Saat energi itu bertumpu di kakinya, barulah dia melakukan tolakan hingga terbang di udara."Konsentrasi ..."'Kau pasti bisa, Aska!' benaknya menyemangati diri sendiri.Askara kian mendekati si monster jalur udara, bersiap menikam leher makhluk itu supaya bisa memutus urat nadinya.
"Sudah lama tidak bertemu ya, Aska." Askara terhentak. Dia tertegun beberapa saat sebelum akhirnya mengedarkan pandangan. Bunga wisteria ungu dan suara gemericik air yang menenangkan kalbu. Dua objek itu yang sering dia jumpai saat dirinya mulai memasuki gerbang alam bawah sadar. Askara lebih mendongkakkan kepalanya, padahal posisinya saat itu tengah berbaring. Ada wajah yang muncul dari sana, kumis tipis melintang dengan ikat kepala bermotif mega mendung. Wajah orang itu berada tepat di atasnya, sehingga sekilas terlihat terbalik. "Apa kabar Aska?" tanya Abiseka sambil menunjukkan senyum yang merekah. "Paman ..." lirihnya, kemudian celingukan ke segala arah. "Kenapa aku di sini? Ah, iya ... Pasti aku pingsan karena serangan cindaku tadi," gumamnya pada diri sendiri. Askara mencoba bangun dari pembaringannya, namun sekujur tubuhnya seakan kaku. Hal itu membuat Askara memutuskan untuk tetap terlentang di antara hamparan rerumput
"Tentu saja, karena kau keturunan Aditya."Askara masih bingung atas percakapan yang terjadi di alam bawah sadarnya itu. Di tambah suhu badan teramat sangat panas, juga keringat yang terus menerus keluar dan membasahi sekujur tubuh.Konsentrasinya terbagi, membuat Askara sulit menangkap isi perkataan Abiseka."Sudahlah diam dulu, lanjutkan saja pemulihanmu itu," sela Abiseka.Askara berusaha menyatukan kembali konsentrasinya. Berfokus pada satu tujuan, yakni menyembuhkan lukanya itu.Perlahan-lahan, beberapa jemari dan tangannya berhasil digerakkan."Aku akhirnya bisa," kekeh Askara sambil melanjutkan penghambatan energi."Oh ya, lebih baik kau dengarkan penjelasan singkatku sembari menyembuhkan diri," tawar Abiseka."Penjelasan apa?" balas Askara."Matamu, mata jingga akan muncul saat menyerap en
"Jangan Sanggapati! Berhenti!" Kai berusaha mencegah rekannya itu. Namun terlanjur pergi, Sanggapati maju dengan hanya mengandalkan tiga anak panah saja. Kai tak mampu bangun, bahkan untuk berdiri saja sangat sakit rasanya. Sebenarnya pemuda itu bingung, kenapa tenaganya mendadak terkuras dan hilang begitu saja. "Sanggapati! Jangan gegabah!" teriak Kai sekali lagi. Dia berusaha mengerahkan seluruh kemampuan untuk menggunakan teknik penghambatan energi. Sayang sekali energinya tak cukup, membuat dirinya harus beristirahat memulihkan tenaga lebih dulu. "Ah sialan! Aku hanya membuang-buang waktu!" umpatnya. Di saat Sanggapati menerjang lawan, Kai yang merasa jadi beban itu pun berusaha keras untuk bangkit kembali. Namun karena terluka, dia terlihat beberapa kali ambruk. Kai sempat mengerang dan putus asa, dia merasa sana sekali tidak bisa membantu Sanggapati.  
Cindaku itu siap menghimpit tubuh Sanggapati menggunakan telapak tangannya, sama hal seperti orang yang hendak menepuk serangga. Pemuda itu sontak membulatkan mata, mendadak persendiannya seakan kaku dan terhenti. Sanggapati sempat-sempatnya tertegun saat riwayatnya hendak dihabisi si monster. Saat tangan itu melayang hendak menghimpit Sanggapati, mendadak pecut rumput gajah melingkar di sekitar lengan si monster. Serangan itu mendadak terhenti. Kai ternyata lebih gesit, dia cepat mencari rumput gajah untuk dialiri energi. Seketika rumput itu mampu berfungsi sebagai tali. Mengikat kuat-kuat agar gerakan tangan makhluk itu terhenti. "Sangga!" Askara muncul dengan kening bercucuran darah, dengan napas terengah-engah dia mendapati kedua temannya itu dalam kondisi terdesak. Apalagi Kai yang menahan lengan cindaku menggunakan rumput gajah dengan sekuat tenaga. Pemuda itu juga masih terluka, terlihat mati-matian menahan
Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La
Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se
Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b
Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti
"Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?
Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany
"Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting
Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu
"Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam