"Sudah lama tidak bertemu ya, Aska."
Askara terhentak. Dia tertegun beberapa saat sebelum akhirnya mengedarkan pandangan. Bunga wisteria ungu dan suara gemericik air yang menenangkan kalbu. Dua objek itu yang sering dia jumpai saat dirinya mulai memasuki gerbang alam bawah sadar.
Askara lebih mendongkakkan kepalanya, padahal posisinya saat itu tengah berbaring.
Ada wajah yang muncul dari sana, kumis tipis melintang dengan ikat kepala bermotif mega mendung. Wajah orang itu berada tepat di atasnya, sehingga sekilas terlihat terbalik.
"Apa kabar Aska?" tanya Abiseka sambil menunjukkan senyum yang merekah.
"Paman ..." lirihnya, kemudian celingukan ke segala arah.
"Kenapa aku di sini? Ah, iya ... Pasti aku pingsan karena serangan cindaku tadi," gumamnya pada diri sendiri.
Askara mencoba bangun dari pembaringannya, namun sekujur tubuhnya seakan kaku. Hal itu membuat Askara memutuskan untuk tetap terlentang di antara hamparan rerumput
Catatan : Pelepasan energi (teknik mengeluarkan jurus), Penghambatan energi (teknik pemulihan/medis), Penyerapan energi (teknik rahasia turun temurun). Ada dua mata yang terbentuk dalam cerita ini. Pertama, Mata Biru (Mata para pendekar adiwira). Kedua, Mata Jingga (Mata Keturunan Aditya) Semoga faham :)
"Tentu saja, karena kau keturunan Aditya."Askara masih bingung atas percakapan yang terjadi di alam bawah sadarnya itu. Di tambah suhu badan teramat sangat panas, juga keringat yang terus menerus keluar dan membasahi sekujur tubuh.Konsentrasinya terbagi, membuat Askara sulit menangkap isi perkataan Abiseka."Sudahlah diam dulu, lanjutkan saja pemulihanmu itu," sela Abiseka.Askara berusaha menyatukan kembali konsentrasinya. Berfokus pada satu tujuan, yakni menyembuhkan lukanya itu.Perlahan-lahan, beberapa jemari dan tangannya berhasil digerakkan."Aku akhirnya bisa," kekeh Askara sambil melanjutkan penghambatan energi."Oh ya, lebih baik kau dengarkan penjelasan singkatku sembari menyembuhkan diri," tawar Abiseka."Penjelasan apa?" balas Askara."Matamu, mata jingga akan muncul saat menyerap en
"Jangan Sanggapati! Berhenti!" Kai berusaha mencegah rekannya itu. Namun terlanjur pergi, Sanggapati maju dengan hanya mengandalkan tiga anak panah saja. Kai tak mampu bangun, bahkan untuk berdiri saja sangat sakit rasanya. Sebenarnya pemuda itu bingung, kenapa tenaganya mendadak terkuras dan hilang begitu saja. "Sanggapati! Jangan gegabah!" teriak Kai sekali lagi. Dia berusaha mengerahkan seluruh kemampuan untuk menggunakan teknik penghambatan energi. Sayang sekali energinya tak cukup, membuat dirinya harus beristirahat memulihkan tenaga lebih dulu. "Ah sialan! Aku hanya membuang-buang waktu!" umpatnya. Di saat Sanggapati menerjang lawan, Kai yang merasa jadi beban itu pun berusaha keras untuk bangkit kembali. Namun karena terluka, dia terlihat beberapa kali ambruk. Kai sempat mengerang dan putus asa, dia merasa sana sekali tidak bisa membantu Sanggapati.  
Cindaku itu siap menghimpit tubuh Sanggapati menggunakan telapak tangannya, sama hal seperti orang yang hendak menepuk serangga. Pemuda itu sontak membulatkan mata, mendadak persendiannya seakan kaku dan terhenti. Sanggapati sempat-sempatnya tertegun saat riwayatnya hendak dihabisi si monster. Saat tangan itu melayang hendak menghimpit Sanggapati, mendadak pecut rumput gajah melingkar di sekitar lengan si monster. Serangan itu mendadak terhenti. Kai ternyata lebih gesit, dia cepat mencari rumput gajah untuk dialiri energi. Seketika rumput itu mampu berfungsi sebagai tali. Mengikat kuat-kuat agar gerakan tangan makhluk itu terhenti. "Sangga!" Askara muncul dengan kening bercucuran darah, dengan napas terengah-engah dia mendapati kedua temannya itu dalam kondisi terdesak. Apalagi Kai yang menahan lengan cindaku menggunakan rumput gajah dengan sekuat tenaga. Pemuda itu juga masih terluka, terlihat mati-matian menahan
Waktu seakan menunjukkan dini hari, suasana sekitaran terasa dingin bahkan terlihat berembun. Askara, Sanggapati, dan Kai memulihkan diri beberapa saat. Melakukan penghambatan energi sesuai arahan Kai.Askara adalah orang yang paling lama pulih. Pemuda itu juga mandi akan keringat karena hawa panas yang bergejolak dalam tubuhnya. Bukan karena apa, keturunan Aditya sepertinya memiliki teknik khusus yang berlawanan dengan teknik dasar pendekar adiwira.Bahkan Sanggapati juga sempat mengira Askara demam setelah pertarungan."Tidak apa-apa, jangan khawatir," ucapnya sambil menyengir lebar."Hilih, siapa yang khawatir denganmu? Aku hanya kaget kenapa suhu tubuhmu bisa sepanas itu? Padahal kan kau sedang pemulihan," sangkal Sanggapati."I-itu ... Uhm, yah mungkin itu refleks tubuhku. Dulu juga aku pernah seperti ini saat berlatih di padepokan," jawabnya.Sanggapati mengangguk. Tentu saja dia ingat saat Askara pingsan karena terlalu lam
Melupakan kejadian sebelumnya. Askara, Kai dan Sanggapati beristirahat di bawah pohon Kiara payung yang rindang. Mengembalikan tenaga seraya memikirkan asal-usul dari cindaku.Apalagi cindaku yang mereka lawan sebelumnya mengalami perubahan yang cukup drastis. Badannya yang semula kekar, mendadak menciut dan mengecil.Apa mungkin mereka berasal dari manusia?Bisa jadi. Karena perawakan monster itu sendiri terlihat seperti manusia setengah harimau.Hal itu menjadi percik rasa keingintahuan Sanggapati, pada akhirnya pemuda itu berakhir membuka perbincangan."Hei, kalian menyadarinya? Cindaku tadi memiliki postur mirip wanita. Kai, cobalah kau analisis itu. Kau kan pintar," pinta Sanggapati.Kai masih terdiam. Tanpa disuruh pun dia sudah memikirkannya lebih dulu. "Sepertinya benar. Mereka berasal dari manusia.""Apa mungkin, mereka sejenis manusia kanibal?" sela Sanggapati."Sudah jelas cindaku itu manusia harimau,
"Kan ... Benar apa yang kupikirkan. Ternyata tubuh kalian memiliki penjaga khusus. Aku pintar menyimpulkan juga ternyata ha ha ...." Sanggapati tertawa sambil menjentikkan jari jemarinya."Tunggu, kau bilang tadi fase energi tumpang tindih? Jadi saat itu juga aku tidak sadar bertarung?" tanya Kai."Yup, benar. Kau langsung agresif. Marah dan menyerang cindaku kemudian menginjak-injak kepalanya sampai tersungkur ke dalam tanah. Itu juga yang menyebabkan kakimu terluka," tujuk Sanggapati pada balutan kain di telapak kaki Kai."Kalau begitu aku ingat," sela Kai lagi. "Energi tumpang tindih sempat aku rasakan saat melawan Askara. Auranya langsung berubah. Saat itu dia marah padaku karena aku menyebutnya putra penghianat.""Nah, saat itu juga tubuh Aska diambil alih. Entah apa itu, mungkin si pengendali itu tidak menerima jika Askara disebut anak penghianat," lanjut Sanggapati."Yah, sebenarnya hari itu aku benar-benar marah. Padahal aku tida
Fajar mulai memunculkan sinarnya. Suasana bukit pasir nagog mulai terang karena memasuki pagi. Askara, Kai dan Sanggapati masih belum beranjak dari tempat. Diam memerhatikan bangkai cindaku tanpa kepala yang tergeletak di depan mereka.Melihat tubuh ramping tanpa kelamin, berbadan manusia namun rupa harimau, semakin membuat mereka yakin jika cindaku itu berawal dari manusia.Mungkin asumsi terdekat yang mereka percaya adalah pendapat Kai. Dia mengatakan jika kemungkinan besar cindaku adalah manusia yang dikutuk menjadi monster harimau."Kita harus menyelidiki ini," usul Askara yang penasaran. Semakin terang hutan, semakin jelas pula wujud cindaku yang mereka bunuh semalam."Ah, benar-benar tubuh wanita. Lekukan pinggang dan paha yang jenjang. Bahkan aku baru sadar jika benjolan di dadanya itu payudara," tunjuk Sanggapati."Kukira awalnya itu otot," lanjut Askara."Aneh, cindaku pemangsa tidak seperti ini. Tubuhnya tidak berubah s
Sepuh Dwara dan Sepuh Baduga diketahui menyusul Askara, Kai dan Sanggapati. Ketiga adiwira pemula yang mereka kirim ke bukit pasir nagog. Kedua pria dewasa itu takjub saat mendapati bangkai cindaku siluman tergeletak di dekat mereka. Tandanya, generasi pendekar adiwira mulai berkembang.Ada harapan untuk memusnahkan cindaku."Wah, cindaku siluman ... Jujur aku terkesan dengan ini. Apa kalian bekerja sama mengalahkannya?" sanjung Baduga."Tentu saja, Sepuh. Kami hampir mati saat melawannya," balas Sanggapati mendramatiskan suasana.Baduga terkekeh, kemudian menghadap pada Dwara yang diam termenung seraya menilik-nilik bangkai si monster. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan, sobat?"Helaan napas berat terdengar dari mulut Dwara. Pria itu jongkok, lantas mengusap-usap area punggung bangkai cindaku itu. Meski banyak darah, Dwara tak jijik sama sekali saat menyentuhnya."Tenanglah di alam sana, semoga pencipta mengampunimu," bisiknya la