Fajar mulai memunculkan sinarnya. Suasana bukit pasir nagog mulai terang karena memasuki pagi. Askara, Kai dan Sanggapati masih belum beranjak dari tempat. Diam memerhatikan bangkai cindaku tanpa kepala yang tergeletak di depan mereka.
Melihat tubuh ramping tanpa kelamin, berbadan manusia namun rupa harimau, semakin membuat mereka yakin jika cindaku itu berawal dari manusia.Mungkin asumsi terdekat yang mereka percaya adalah pendapat Kai. Dia mengatakan jika kemungkinan besar cindaku adalah manusia yang dikutuk menjadi monster harimau."Kita harus menyelidiki ini," usul Askara yang penasaran. Semakin terang hutan, semakin jelas pula wujud cindaku yang mereka bunuh semalam."Ah, benar-benar tubuh wanita. Lekukan pinggang dan paha yang jenjang. Bahkan aku baru sadar jika benjolan di dadanya itu payudara," tunjuk Sanggapati."Kukira awalnya itu otot," lanjut Askara."Aneh, cindaku pemangsa tidak seperti ini. Tubuhnya tidak berubah sSepuh Dwara dan Sepuh Baduga diketahui menyusul Askara, Kai dan Sanggapati. Ketiga adiwira pemula yang mereka kirim ke bukit pasir nagog. Kedua pria dewasa itu takjub saat mendapati bangkai cindaku siluman tergeletak di dekat mereka. Tandanya, generasi pendekar adiwira mulai berkembang.Ada harapan untuk memusnahkan cindaku."Wah, cindaku siluman ... Jujur aku terkesan dengan ini. Apa kalian bekerja sama mengalahkannya?" sanjung Baduga."Tentu saja, Sepuh. Kami hampir mati saat melawannya," balas Sanggapati mendramatiskan suasana.Baduga terkekeh, kemudian menghadap pada Dwara yang diam termenung seraya menilik-nilik bangkai si monster. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan, sobat?"Helaan napas berat terdengar dari mulut Dwara. Pria itu jongkok, lantas mengusap-usap area punggung bangkai cindaku itu. Meski banyak darah, Dwara tak jijik sama sekali saat menyentuhnya."Tenanglah di alam sana, semoga pencipta mengampunimu," bisiknya la
Hari berlalu setelah turun dari bukit pasir nagog. Sampailah di suatu malam Sepuh Dwara dan Baduga merayakan kelulusan ketiga bakal calon adiwira. Mereka berlima menggelar makan malam bersama di tengah-tengah padepokan yang terbilang cukup luas itu.Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Askara, Kai dan Sanggapati kembali menemukan hidangan yang sangat istimewa. Beberapa potong daging rusa masak berukuran besar, ditambah seonggok ayam bakar yang dikelilingi berbagai macamn lalap. Cukup menggugah selera mereka. Dua hidangan daging sekaligus, Askara masih menganggapnya sebagai kebiasaan keluarga kaya. Dia cukup termangu melihat semuanya. Bukan hanya dia, respon Sanggapati dan Kai juga sama.Beragam buah-buahan pun banyak tersedia. Mulai dari murbei, pisang, langsat, dan gandaria juga terkumpul dalam satu besek yang sama. Warna-warna yang cerah menggoda, seakan melambai pada mereka untuk segera dimakan.Tak lupa, di pinggir mereka tersedia stok
Beberapa hari usai perayaan makan malam, Askara, Kai, dan Sanggapati berkumpul di depan gerbang padepokan. Ketiganya siap berangkat menuju pegunungan Cimungkal.Anak-anak yang semula dididik para Sepuh, kini telah berubah menjadi sosok pemuda tangguh yang mandiri. Dipaksa keadaan supaya belajar apa arti bertahan hidup. Membuat mereka tumbuh menjadi bakal pendekar muda yang berani.Hal itu tentu membuat para Sepuh sedikit tak tega melepaskannya.Para sepuh sangat tahu jika dunia luar itu sangatlah kejam.Karena itulah, Dwara dan Baduga menyempatkan diri untuk memeluk murid-muridnya.Pria yang satu ini terkadang bersikap lembut, dia juga terlihat mengusap kecil kepala murid-muridnya itu. "Aku percaya dengan kemampuan kalian," tuturnya.Lantas tangan Dwara perlahan mulai merangkul bahu Askara dan Kai, lalu menarik keduanya ke dalam dekapannya. "Tetaplah hidup," bisiknya lagi.Bisikan itu seakan memiliki sima terdiri. Baik Kai maupun Aska
Pesan untuk kalian, para manusia istimewa 500 tahun yang akan datang ....Hari ini, sejarah kelam dunia telah di mulai. Sekumpulan monster bertaring dan bercakar yang memiliki beragam bentuk, mulai memasuki dataran Jawadwipa paling barat. Kami menyebutnya Pasundan. Mereka kelaparan dan butuh asupan makanan berupa daging manusia.Jumlah mereka banyak, menyerbu daratan pasundan dengan ganas dan sangat brutal. Menyerang dan menginjak-injak bumi manusia. Menyantap daging mangsanya, menjadikan tulang mereka sebagai senjata, dan mengumpulkan organ lunak sebagai alat persembahan.lebih dari tujuh ratus ribu manusia tewas akibat serangan brutal mereka di hari pertama. Hal itu terus berlanjut sampai beberapa hari ke depan, hingga korban yang jatuh berkisar tembus satu juta jiwa.Bahkan lebih.Seperempat tanah Jawadwipa diluluhlantakkan oleh segerombolan monster dengan rupa harimau. Namun postur mereka manusia, sehingga mampu berdiri dan memanjat.Man
Menembus kegelapan hutan, terlihat tiga pemuda sibuk menelusuri jalan setapak yang memiliki diameter sangat kecil. Mungkin hanya seukuran lebar telapak kaki mereka, sisanya adalah rerumputan dan tanaman berduri.Pohon beringin dan kiara tersebar di beberapa tempat. Bentuk mereka kebanyakan melengkung, bahkan ada dua pohon yang batangnya berdekatan sehingga membentuk lengkungan gerbang.Selain itu, tersebar pula puluhan pohon besar yang tumbuh tanpa dedaunan. Hanya menyisakan dahan dan ranting yang kering, diterka sudah hidup ratusan tahun jika dilihat dari batangnya yang berkeropos.Sanggapati mengusap bulu roma yang meremang, rasanya dia didorong masuk ke dalam dunia fantasi yang penuh nuansa horor.Askara sibuk celingukan, dia sedikit terpana dengan beberapa bentuk aneh dari pohon-pohon yang tumbuh di sana. Mengejutkannya lagi, ada juga pohon yang tumbuh ke atas, namun bagian pucaknya melengkung lagi ke bawah sampai jungkir balik menyentuh tanah.'Pohon jenis apa itu?'Berbeda denga
Kai pun jongkok di tanah, seiring dengan itu mata birunya yang menghilang."Aku tidak bisa melihat apapun, ilusi ini, benar-benar seperti kenyataan ...." gumamnya sendiri.Lain hal dengan Sanggapati, dia sibuk berteriak tiap ada akar yang menyerangnya.'Konsentrasi ....'Askara masih tetap dalam lilitan akar, dia berusaha melepaskan energi dari sekujur tubuhnya.Bugh!Beberapa kali Askara dilempar lalu ditarik kembali. Konsentrasinya sempat buyar, namun dia paksakan untuk fokus."Cih, merepotkan! Maafkan aku, Sobat! Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mendekatimu. Semoga kau tidak mati hanya karena terbanting!" oceh Sanggapati lagi."HEI KAI! JANGAN DIAM SAJA! BANTU AKU! AKU KEREPOTAN!" Pemuda itu nyaris marah melihat Kai termenung di kejauhan."Ck, berisik! Aku sedang berpikir," decak Kai sambil kembali lanjut merenung."Demi apapun! Kau dari tadi diam saja! Cepat ke sini dan bantu Askara ... whoa!" Sanggapati hampir terkena pecut, dia coba mengelak dengan berlari ke arah lek
"Hoekk ..." Sanggapati masih terkapar, mabuk karena badannya terombang-ambing oleh akar tadi. Padahal menurut Kai semua itu hanyalah ilusi, namun efeknya terbawa sampai dunia asli."Sangga, sadarlah. Buka matamu, kita sudah bebas dari ruang Ilusi tadi." Askara terus mengguncangkan badan Sanggapati yang lemas tak berdaya. Pemuda itu setengah sadar, sesekali dia mengeluh pusing, namun matanya tak kunjung terbuka."Sangga!" pekik Askara sekali lagi. "Ya ampun, bagaimana bisa kau mabuk hanya karena goncangan tadi, huh? Jangan lemah!" ocehnya lagi.Sementara itu, Kai memilih bersandar guna mengistirahatkan diri. Tenaganya terkuras karena penggunaan mata biru, padahal rentan waktu penggunaannya cukup sebentar.Mungkin mata birunya lain dari pendekar adiwira pada umumnya."Kai ... kau baik-baik saja 'kan?" tanya Askara kemudian."Sesuai yang kau lihat.""Uhm ... ada yang ingin aku tanyakan padamu. Ehm ... tadi, matamu itu ...,""Yah aku tau pertanyaanmu," sela Kai. "Aku memang memiliki mata
Grrr ...."Sangga?" Askara memanggil, pasalnya Sanggapati terlihat merenggutkan urat-urat tangan. Kukunya mendadak tumbuh sampai seruncing jarum. Laki-laki itu juga berguling sambil terus memegang kepala seperti orang yang mabuk.Sanggapati juga bersuara, awalnya dia terdengar mengorok seperti babi. Terjadi berulang-ulang, tentu saja Askara dan Kai terkejut akan hal itu."Sangga? Kau baik-baik saja 'kan?" Askara cepat-cepat merangkul Sanggapati yang berlagak seperti orang mabuk itu.Beberapa saat kemudian, Sanggapati menghempaskan rangkulan Askara hingga dia tersungkur di atas tanah.Grrr ...."Sangga, kenapa kau ini?"Kai segera menghampiri Askara, dia juga mencegah rekannya itu supaya tidak mendekati Sanggapati lebih dulu. Bahkan Kai curiga, sepertinya telah terjadi sesuatu pada Sanggapati.Namun Askara mengabaikan peringatan Kai, Askara terlanjur khawatir. Dia segera menarik bahu Sanggapati dari belakang dan mencoba menyadarkannya."Sangga? Kau dengar aku?!"Grrrr ....Graaa!!!Sea