Hari berlalu setelah turun dari bukit pasir nagog. Sampailah di suatu malam Sepuh Dwara dan Baduga merayakan kelulusan ketiga bakal calon adiwira. Mereka berlima menggelar makan malam bersama di tengah-tengah padepokan yang terbilang cukup luas itu.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Askara, Kai dan Sanggapati kembali menemukan hidangan yang sangat istimewa. Beberapa potong daging rusa masak berukuran besar, ditambah seonggok ayam bakar yang dikelilingi berbagai macamn lalap. Cukup menggugah selera mereka.Dua hidangan daging sekaligus, Askara masih menganggapnya sebagai kebiasaan keluarga kaya. Dia cukup termangu melihat semuanya. Bukan hanya dia, respon Sanggapati dan Kai juga sama.Beragam buah-buahan pun banyak tersedia. Mulai dari murbei, pisang, langsat, dan gandaria juga terkumpul dalam satu besek yang sama. Warna-warna yang cerah menggoda, seakan melambai pada mereka untuk segera dimakan.Tak lupa, di pinggir mereka tersedia stokBeberapa hari usai perayaan makan malam, Askara, Kai, dan Sanggapati berkumpul di depan gerbang padepokan. Ketiganya siap berangkat menuju pegunungan Cimungkal.Anak-anak yang semula dididik para Sepuh, kini telah berubah menjadi sosok pemuda tangguh yang mandiri. Dipaksa keadaan supaya belajar apa arti bertahan hidup. Membuat mereka tumbuh menjadi bakal pendekar muda yang berani.Hal itu tentu membuat para Sepuh sedikit tak tega melepaskannya.Para sepuh sangat tahu jika dunia luar itu sangatlah kejam.Karena itulah, Dwara dan Baduga menyempatkan diri untuk memeluk murid-muridnya.Pria yang satu ini terkadang bersikap lembut, dia juga terlihat mengusap kecil kepala murid-muridnya itu. "Aku percaya dengan kemampuan kalian," tuturnya.Lantas tangan Dwara perlahan mulai merangkul bahu Askara dan Kai, lalu menarik keduanya ke dalam dekapannya. "Tetaplah hidup," bisiknya lagi.Bisikan itu seakan memiliki sima terdiri. Baik Kai maupun Aska
Pesan untuk kalian, para manusia istimewa 500 tahun yang akan datang ....Hari ini, sejarah kelam dunia telah di mulai. Sekumpulan monster bertaring dan bercakar yang memiliki beragam bentuk, mulai memasuki dataran Jawadwipa paling barat. Kami menyebutnya Pasundan. Mereka kelaparan dan butuh asupan makanan berupa daging manusia.Jumlah mereka banyak, menyerbu daratan pasundan dengan ganas dan sangat brutal. Menyerang dan menginjak-injak bumi manusia. Menyantap daging mangsanya, menjadikan tulang mereka sebagai senjata, dan mengumpulkan organ lunak sebagai alat persembahan.lebih dari tujuh ratus ribu manusia tewas akibat serangan brutal mereka di hari pertama. Hal itu terus berlanjut sampai beberapa hari ke depan, hingga korban yang jatuh berkisar tembus satu juta jiwa.Bahkan lebih.Seperempat tanah Jawadwipa diluluhlantakkan oleh segerombolan monster dengan rupa harimau. Namun postur mereka manusia, sehingga mampu berdiri dan memanjat.Man
Menembus kegelapan hutan, terlihat tiga pemuda sibuk menelusuri jalan setapak yang memiliki diameter sangat kecil. Mungkin hanya seukuran lebar telapak kaki mereka, sisanya adalah rerumputan dan tanaman berduri.Pohon beringin dan kiara tersebar di beberapa tempat. Bentuk mereka kebanyakan melengkung, bahkan ada dua pohon yang batangnya berdekatan sehingga membentuk lengkungan gerbang.Selain itu, tersebar pula puluhan pohon besar yang tumbuh tanpa dedaunan. Hanya menyisakan dahan dan ranting yang kering, diterka sudah hidup ratusan tahun jika dilihat dari batangnya yang berkeropos.Sanggapati mengusap bulu roma yang meremang, rasanya dia didorong masuk ke dalam dunia fantasi yang penuh nuansa horor.Askara sibuk celingukan, dia sedikit terpana dengan beberapa bentuk aneh dari pohon-pohon yang tumbuh di sana. Mengejutkannya lagi, ada juga pohon yang tumbuh ke atas, namun bagian pucaknya melengkung lagi ke bawah sampai jungkir balik menyentuh tanah.'Pohon jenis apa itu?'Berbeda denga
Kai pun jongkok di tanah, seiring dengan itu mata birunya yang menghilang."Aku tidak bisa melihat apapun, ilusi ini, benar-benar seperti kenyataan ...." gumamnya sendiri.Lain hal dengan Sanggapati, dia sibuk berteriak tiap ada akar yang menyerangnya.'Konsentrasi ....'Askara masih tetap dalam lilitan akar, dia berusaha melepaskan energi dari sekujur tubuhnya.Bugh!Beberapa kali Askara dilempar lalu ditarik kembali. Konsentrasinya sempat buyar, namun dia paksakan untuk fokus."Cih, merepotkan! Maafkan aku, Sobat! Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mendekatimu. Semoga kau tidak mati hanya karena terbanting!" oceh Sanggapati lagi."HEI KAI! JANGAN DIAM SAJA! BANTU AKU! AKU KEREPOTAN!" Pemuda itu nyaris marah melihat Kai termenung di kejauhan."Ck, berisik! Aku sedang berpikir," decak Kai sambil kembali lanjut merenung."Demi apapun! Kau dari tadi diam saja! Cepat ke sini dan bantu Askara ... whoa!" Sanggapati hampir terkena pecut, dia coba mengelak dengan berlari ke arah lek
"Hoekk ..." Sanggapati masih terkapar, mabuk karena badannya terombang-ambing oleh akar tadi. Padahal menurut Kai semua itu hanyalah ilusi, namun efeknya terbawa sampai dunia asli."Sangga, sadarlah. Buka matamu, kita sudah bebas dari ruang Ilusi tadi." Askara terus mengguncangkan badan Sanggapati yang lemas tak berdaya. Pemuda itu setengah sadar, sesekali dia mengeluh pusing, namun matanya tak kunjung terbuka."Sangga!" pekik Askara sekali lagi. "Ya ampun, bagaimana bisa kau mabuk hanya karena goncangan tadi, huh? Jangan lemah!" ocehnya lagi.Sementara itu, Kai memilih bersandar guna mengistirahatkan diri. Tenaganya terkuras karena penggunaan mata biru, padahal rentan waktu penggunaannya cukup sebentar.Mungkin mata birunya lain dari pendekar adiwira pada umumnya."Kai ... kau baik-baik saja 'kan?" tanya Askara kemudian."Sesuai yang kau lihat.""Uhm ... ada yang ingin aku tanyakan padamu. Ehm ... tadi, matamu itu ...,""Yah aku tau pertanyaanmu," sela Kai. "Aku memang memiliki mata
Grrr ...."Sangga?" Askara memanggil, pasalnya Sanggapati terlihat merenggutkan urat-urat tangan. Kukunya mendadak tumbuh sampai seruncing jarum. Laki-laki itu juga berguling sambil terus memegang kepala seperti orang yang mabuk.Sanggapati juga bersuara, awalnya dia terdengar mengorok seperti babi. Terjadi berulang-ulang, tentu saja Askara dan Kai terkejut akan hal itu."Sangga? Kau baik-baik saja 'kan?" Askara cepat-cepat merangkul Sanggapati yang berlagak seperti orang mabuk itu.Beberapa saat kemudian, Sanggapati menghempaskan rangkulan Askara hingga dia tersungkur di atas tanah.Grrr ...."Sangga, kenapa kau ini?"Kai segera menghampiri Askara, dia juga mencegah rekannya itu supaya tidak mendekati Sanggapati lebih dulu. Bahkan Kai curiga, sepertinya telah terjadi sesuatu pada Sanggapati.Namun Askara mengabaikan peringatan Kai, Askara terlanjur khawatir. Dia segera menarik bahu Sanggapati dari belakang dan mencoba menyadarkannya."Sangga? Kau dengar aku?!"Grrrr ....Graaa!!!Sea
Kai terkurai lemas, butuh beberapa saat untuk mengumpulkan energi supaya bisa bangkit lagi. Serangan temannya itu sangatlah brutal, Askara dan Kai sama sekali belum pernah melihat kekuatan semengerikan itu.Apa semua ini disebabkan oleh ilmu macan itu? Lantas, apa yang telah merasuki Sanggapati sampai seperti ini?Di sisi lain, Sanggapati yang kelakuannya sudah setengah macan itu pun terus mendekat. Kai sedikit terpojokkan. Pemuda itu memandang ke arah temannya dengan tatapan yang lapar."Sangga ..." Apapun itu, Kai berusaha memanggil Sanggapati terus berulang-ulang.Dengan tertatih-tatih, Askara berlari sebisa mungkin guna menghentikannya. Terlihat pemuda itu melompat, dan berusaha menahan tubuh Sanggapati dari belakang.Bugh!Dihempaskan, namun Askara tetap bertahan. Dia berulang kali kembali mendekap tubuh Sanggapati yang hilang kesadaran itu. "Sangga, jangan ...! Ini aku!"Bugh!Hanya sekali ayunan, Askara berhasil dihempaskan lagi. Kali ini lebih kuat dari sebelumnya, terbanting
Kai terkurai lemas, butuh beberapa saat untuk mengumpulkan energi supaya bisa bangkit lagi. Serangan temannya itu sangatlah brutal, Askara dan Kai sama sekali belum pernah melihat kekuatan semengerikan itu.Apa semua ini disebabkan oleh ilmu macan itu? Lantas, apa yang telah merasuki Sanggapati sampai seperti ini?Di sisi lain, Sanggapati yang kelakuannya sudah setengah macan itu pun terus mendekat. Kai sedikit terpojokkan. Pemuda itu memandang ke arah temannya dengan tatapan yang lapar."Sangga ..." Apapun itu, Kai berusaha memanggil Sanggapati terus berulang-ulang.Dengan tertatih-tatih, Askara berlari sebisa mungkin guna menghentikannya. Terlihat pemuda itu melompat, dan berusaha menahan tubuh Sanggapati dari belakang.Bugh!Dihempaskan, namun Askara tetap bertahan. Dia berulang kali kembali mendekap tubuh Sanggapati yang hilang kesadaran itu. "Sangga, jangan ...! Ini aku!"Bugh!Hanya sekali ayunan, Askara berhasil dihempaskan lagi. Kali ini lebih kuat dari sebelumnya, terbanting
Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La
Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se
Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b
Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti
"Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?
Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany
"Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting
Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu
"Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam