'Cindaku ini, bukan sembarang cindaku!'
Kai bergegas mengeluarkan seutas rumput gajah tadi. Terlihat sudah kusut, sepertinya dia harus segera menggantinya dengan rumput baru.
Sungguh! Siapa yang menyangka jika dirinya berhasil menciptakan senjata alternatif dari rumput?
Si monster dengan kulit kuning kecoklatan itu mendekati Askara, yang kala itu sedang meronta keluar dari reruntuhan batang pohon. Kai mendecih, mustahil menolongnya dalam keadaan sempit seperti itu.
Yang harus dilakukannya pertama kali adalah mengalihkan perhatian si monster. Sehingga Askara bisa memulihkan diri.
'Harusnya tadi aku mengajarinya penghambatan energi untuk metode pemulihan,' rutuknya membatin.
'Tunggu ... Kenapa aku peduli padanya?'
Kai bingung sendiri.
Mengenyahkan pikiran bimbangnya itu. Kai tergesa berlari mengejar cindaku yang hendak menerkam Askara.
Tepat saat cindaku itu melompat, Kai menggunakan jurus Napak hawa dan ikut melompat dan
Beberapa saat sebelumnya.Sanggapati masih mengawasi pertarungan dari puncak dahan kiara payung. Mengamati sekaligus menganalisis kemampuan cindaku betina itu.Yah, sementara waktu mereka akan menyebutnya cindaku betina.Sebenarnya, wujud cindaku itu mirip ke singa betina yang mulus tanpa loreng, kaki jenjang, bulu tak lebat dan tak berotot. Yang menonjol dari monster itu adalah perut dan bokong yang berisi. Pantas saja mereka langsung menyebutnya sebagai betina."Instingnya sangat kuat.Dasar betina!" umpat Sanggapati.Tiba-tiba pemuda itu teringat akan sang ibu.Dulu. Di mana dia sering sembunyi-sembunyi guna mencuri pisang, ibunya itu pasti sigap mengetahui gerak-geriknya. Meskipun dan bagaimanapun cara pintar Sanggapati mencoba mencuri, selalu saja tertangkap basah oleh si ibu. Semenjak itulah, Sanggapati sering beranggapan jika insting perempuan itu
Di sisi lain setelah kejadian itu. Askara dan Kai tercengang mendapati cindaku itu bertengger, —lebih tepatnya menggelantung di atas dahan pohon tengkaras. Tentu saja posisinya di atas kepala mereka. Padahal dahannya kecil, namun ternyata si monster mampu menyeimbangkan diri sampai mahir bergelantungan di dahan kecil. 'Begitu ... Kuku-kukunya menancap ke dalam kulit kayu. Pantas saja dia mampu bergelantungan di dahan sekecil itu,' pikir Kai. 'E-eh ... Itu berarti, kecepatan memanjatnya cepat!' Kai sedikit gemetaran, cindaku yang dihadapi mereka adalah cindaku siluman. "Apa-apaan ... Sejak kapan monster itu ada di sana?" Askara memaksakan senyum. Antara takjub dan ketakutan, semuanya bercampur menjadi satu kesatuan. Grrr ... Mata si monster mengeluarkan kilat, biru kekuning-kuningan dengan satu garis tegak lurus membent
Luka Kai seketika pulih, bekas sayatan itu kembali menyatu. Bahkan tidak ada tanda-tanda jika korneanya terluka. Padahal Askara melihat jelas jika kuku cindaku menyayat bola mata lelaki itu.Kai juga terlihat mengorek telinganya sendiri. Membersihkan darah yang mengalir dari sana. Tatapannya dingin, dengan mata biru hang mengkilat-kilat, wajah memerah karena memendam murka.Krek!Kai membenarkan tulang leher yang sedikit bengkok. Kai berniat membalas perbuatan si monster dengan setimpal. Setelah makhluk itu membenturkan kepalanya ke tanah, minimal dia harus memisahkan kepala cindaku betina itu.Lantas Kai berdiri, napasnya berderu. Mengeluarkan kepulan kabut tipis dari hidungnya."Energinya berubah?" Askara terkejut, pasalnya energi yang dikeluarkan Kai berbeda dari sebelumnya.Mengeluarkan aura yang berbeda, jauh lebih kuat.Kai melesat maju, meninggalkan rumput gajah yang sebelumnya dipegang. Kini pemuda itu menerobos pertarungan ha
Kai tak henti-hentinya menginjak kepala cindaku sampai terbenam ke dalam tanah. Kakinya terluka begitupun dengan kepala si monster. Darah bercipratan ke segala arah, si monster bahkan tak sempat untuk membalas. Serangan yang dilancarkan Kai terlampau cepat, sama sekali tidak memberikan cindaku kesempatan balik menyerang.Mata biru Kai mengkilat-kilat, garis segitiga yang tergambar di pupil matanya mendadak berputar cepat. Seketika energi yang dilepaskan Kai menjadi-jadi, pemuda itu menggunakan kekuatan penuh dari mata birunya.Kai bermuka masam, kian muram, melempar tatapan benci pada monster yang meronta di bawah telapak kakinya itu. Setelah melihat cindaku betina tak berdaya, Kai mengangkat tipis sudut bibir. Dia menyeringai, seakan puas dan menikmati penyiksaan yang dilakukannya."Aska, Kai di luar kendali!" teriak Sanggapati seraya berlari mendekati Kai.Melihat Askara ikut menyusul dari belakang, Sanggapati berusaha mencoba komunikasi dengannya."Aska, kau in
Cindaku itu beregenerasi, organnya yang rusak berganti menjadi organ baru dengan sendirinya. Wujud, aura, bahkan kekuatan cindaku itu berubah drastis seketika. Baik Sanggapati maupun Kai, keduanya tercengang akan perubahan cindaku itu. Pertambahan energinya, jelas terasa sampai tenggorokan mereka tercekat. Mungkin tidak ada hubungannya dengan tenggorokan yang cekat, namun keduanya sama-sama merasakan takut dan ragu bersatu. Ketakutan itu membuat mereka kaku sejenak, bahkan untuk menelan ludah pun sukar rasanya. Sanggapati teringat akan Askara, pemuda itu terkapar lemas di ujung lapang rerumputan sana. Terpental jauh hingga keluar hutan. Meskipun di tengah suasana malam, Sanggapati jelas bisa menemukan Askara yang kondisinya terluka parah. Dia butuh pertolongan segera. Baru saja Sanggapati bangkit, dia dikejutkan oleh regenerasi cindaku. Makhluk it
"Aska! Jangan terburu-buru!" teriak Sanggapati.Askara tak mendengar peringatan itu, dia memacu lari seraya mengacungkan kujangnya tinggi-tinggi. Saat itu dia berhasil mengumpulkan konsentrasi, bersiap menikam leher cindaku menggunakan teknik napak hawa.Si monster duduk bersimbah darah, kepalanya bocor bahkan area wajah pun sudah tak berbentuk. Hidung tulang bengkok, dan pipi kembung membiru. Tulang mata pun penyok karena saking kuatnya pijakan Kai saat itu.Namun yang lebih mengejutkan mereka, cindaku itu masih hidup meskipun sedari tadi terus diam tak bergerak.Askara berlari, dia mengangkat kujang seraya melakukan pelepasan energi pada kakinya. Saat energi itu bertumpu di kakinya, barulah dia melakukan tolakan hingga terbang di udara."Konsentrasi ..."'Kau pasti bisa, Aska!' benaknya menyemangati diri sendiri.Askara kian mendekati si monster jalur udara, bersiap menikam leher makhluk itu supaya bisa memutus urat nadinya.
"Sudah lama tidak bertemu ya, Aska." Askara terhentak. Dia tertegun beberapa saat sebelum akhirnya mengedarkan pandangan. Bunga wisteria ungu dan suara gemericik air yang menenangkan kalbu. Dua objek itu yang sering dia jumpai saat dirinya mulai memasuki gerbang alam bawah sadar. Askara lebih mendongkakkan kepalanya, padahal posisinya saat itu tengah berbaring. Ada wajah yang muncul dari sana, kumis tipis melintang dengan ikat kepala bermotif mega mendung. Wajah orang itu berada tepat di atasnya, sehingga sekilas terlihat terbalik. "Apa kabar Aska?" tanya Abiseka sambil menunjukkan senyum yang merekah. "Paman ..." lirihnya, kemudian celingukan ke segala arah. "Kenapa aku di sini? Ah, iya ... Pasti aku pingsan karena serangan cindaku tadi," gumamnya pada diri sendiri. Askara mencoba bangun dari pembaringannya, namun sekujur tubuhnya seakan kaku. Hal itu membuat Askara memutuskan untuk tetap terlentang di antara hamparan rerumput
"Tentu saja, karena kau keturunan Aditya."Askara masih bingung atas percakapan yang terjadi di alam bawah sadarnya itu. Di tambah suhu badan teramat sangat panas, juga keringat yang terus menerus keluar dan membasahi sekujur tubuh.Konsentrasinya terbagi, membuat Askara sulit menangkap isi perkataan Abiseka."Sudahlah diam dulu, lanjutkan saja pemulihanmu itu," sela Abiseka.Askara berusaha menyatukan kembali konsentrasinya. Berfokus pada satu tujuan, yakni menyembuhkan lukanya itu.Perlahan-lahan, beberapa jemari dan tangannya berhasil digerakkan."Aku akhirnya bisa," kekeh Askara sambil melanjutkan penghambatan energi."Oh ya, lebih baik kau dengarkan penjelasan singkatku sembari menyembuhkan diri," tawar Abiseka."Penjelasan apa?" balas Askara."Matamu, mata jingga akan muncul saat menyerap en