Askara dan Kai kini berdiri saling berhadapan di halaman belakang padepokan. Dengan jarak berkisar antara enam meter, keduanya saling melempar tatapan sengit. Di salah satu sisi, ada Sanggapati yang menjadi saksi pertarungan gelombang ke dua. Ditemani satu bakul pisang, pemuda itu siap jadi pengawas mereka.
Sebagai permulaan, Kai lebih dulu menghunuskan pedangnya. Hal itu dilakukan guna memancing lawannya berbuat hal yang sama.
Benar saja. Askara mencabut kujang dari warangka yang menggantung di sabuknya. Berbeda dengan senjata pada umumnya, kujang justru memiliki sarung mirip clurit. Tak bisa dimasukan seperti halnya pedang.
Seiring pusaka kujang diperlihatkan. Baik Kai maupun Sanggapati sempat tercengang dengan bentuk senjata langka yang indah itu.
'Orang ini ... Apa dia benar-benar membangkitkan pusaka itu?' batin Kai.
Berbeda dengan Kai, Sanggapati justru berpikir akan pendek
"Kau jangan takabur anak muda ..."Suara itu terdengar berat dan serak. Amat jelas keluar dari mulut Askara.Sanggapati yang sedikitnya sudah mengenal baik Askara, dibuat kaget karenanya. Bukan hanya suara, aura bahkan energi yang dirasakan juga berbeda dari sebelumnya.Askara mendekat seraya menebaskan kujangnya ke arah Kai. Kai sendiri berusaha menangkis serangan itu menggunakan pedangnya. Suara betrikan logam pun terdengar saling bersahutan. Namun karena jenis senjata yang berbeda, Kai sukses membendung serangan kujang.'Sudah kuduga. Pusaka itu tak bisa menebas apapun. Ini kesempatanku!' pikir Kai.Askara berusaha menikam, namun usahanya digagalkan oleh Kai yang memblok kujang dengan pertahanan pedang panjangnya itu.Gelombang energi pun tercipta, membuat keduanya terpental mudur seketika.Dengan gesit Askara kembali maju, mengacungkan kujang lantas membabi buta mendobrak pertahanan Kai. Kesekian kalinya pedang dan kujang be
"Aku suka saat bertarung tanpa senjata," ucap Askara. "Cih, aku sama sekali tak takut padamu," balas Kai lagi. Dalam jarak berkisar tujuh meter, Askara terlihat melangkah maju. Diikuti Kai juga melakukan hal yang sama. Berawal dari langkah lambat lantas melangkah kian cepat. Pada akhirnya keduanya berlari kencang dan menerjang satu sama lain. Mereka pun baku hantam tanpa senjata. Berawal dari memukul, meninju, menendang dan sebagainya mereka gunakan. Pertarungan yang cukup cepat. Sanggapati sebagai pengawas perkelahian mereka mengakui jika baku hantam kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Askara melakukan tendangan ganda di udara, untung siku Kai berhasil menepis serangan itu dan balik membalasnya dengan tendangan memutar. Askara mengelak dengan jungkir ke belakang. Lalu kembali maju seraya mendaratkan pukulan.  
"Sangga? Tumben sekali kau berdiam di sini?" Baduga mendapati Sanggapati tengah melamun di depan kolam ikan yang letaknya di samping kiri padepokan."Ah, Sepuh. Tidak apa-apa. Aku hanya sedang menikmati suasana kolam saja," jawab Sanggapati lantas menyengir."Yang benar saja. Bukannya waktu sore-sore begini kau selalu diam-diam mengumpulkan pisang dari gudang ya?" sarkas Baduga.Sanggapati mati kutu. Mulutnya terkunci dan tak mampu mengelak lagi. Ternyata Sepuhnya itu tahu pergerakannya selama ini.'Ya ampun! Perkara pisang pun Sepuh sampai mengetahuinya?' gerutu Sanggapati membatin."Ah i-itu ... Hehe ... Tapi Sepuh, aku sekarang berada di sini 'kan?" kilah Sanggapati. Namun bagaimana pun juga Baduga seakan tahu apa yang dipikirkan muridnya yang paling muda itu."Apa masalahmu?" tanya Baduga seraya ikut duduk di sebelah muridnya itu.San
Setelah pertarungan yang hampir merusak fasilitas padepokan. Askara dan Kai memulihkan diri. Lewat laporan yang dibuat Sanggapati, tentu saja Sepuh Dwara sedikit marah pada dua pemuda itu.Bahkan saat keduanya bangun dari pingsan, perkelahian itu masih berlanjut sampai mengobrak-abrik seisi bilik kamar peristirahatan mereka.Pada akhirnya Dwara pun memanggil Askara dan Kai ke ruangan tengah guna menegur mereka."Kalian ... Padahal sudah kubilang, pertarungan kemarin dianggap selesai. Kenapa masih berkelanjutan sampai sekarang, hm?"Baik Askara maupun Kai tidak berani berbicara sepatah kata pun. Hanya saja, keduanya saling melempar tatapan sinis lewat ekor mata mereka."Kalian bangunlah!" perintah Dwara. Dua muridnya itu sontak mematuhi titah sang guru lalu berdiri.Dwara melemparkan dua sapu ke arah mereka. Yang satu sapu jerami, dan satu lagi sapu lidi. Aska
"Mari kita lanjutkan ..." Ajakan Kai disetujui Askara. Keduanya bersiap-siap kemudian berdiri saling menghadap.Tanpa melepaskan sapu yang dipegang masing-masing, keduanya bersiap menggunakan kuda-kuda.Meski tanpa pedang dan kujang. Masih ada sapu lidi dan sapu jerami.Sungguh senjata yang sangat sederhana.Semilir angin berembus menerpa keduanya. Rambut panjang kedua pemuda itu melambai-lambai karena tertiup. Rambut yang satu orang menari-nari di sekitar punggung, sedangkan satu orang lainnya bergoyang-goyang di sekitar bahu.Bukh!Askara dan Kai melesat maju. Mereka saling mengadu sapu yang dipegang layaknya adu pedang.Bukh! Bukh!Benturan antara sapu lidi dan sapu jerami terjadi, suaranya terdengar bak ibu-ibu yang tengah memukuli kasur jemuran.Keduanya sengaja mengalirkan energi pada benda
"Baiklah! Lupakan soal kerusuhan siang tadi! Mari kita berdiskusi dan memikirkannya rencana. Bagaimana supaya aku bisa membuat kalian keluar hidup-hidup dari bukit pasir nagog!"Terhitung satu jam lebih. Sanggapati memberikan arahan pada Kai dan Askara. Bukannya didengar, kedua pemuda itu malah saling mendelik sama lain. Tak menghiraukan oceh demi ocehan Sanggapati.Mereka juga sedikit kesal. Setelah mengetahui jika keduanya harus dikembalikan untuk ujian ulang di bukit pasir nagog.Anggap saja ini bentuk hukuman Dwara untuk mereka berdua.Dengan semangat yang menggebu-gebu, Sanggapati memberikan perintah pada keduanya seakan-akan Askara dan Kai adalah bawahannya."Malam ini kalian bersiap-siaplah! Kai, kau siapkan fisikmu. Askara, persiapan kujangmu. Besok kita akan menghadapi tantangan demi tantangan yang sangat sulit untuk diucapkan! Kita harus mengobrak-abrik pertahanan cinda
Setelah selesai proses pemulihan, Dwara memerintahkan Askara dan Kai untuk kembali menguji kemampuannya di bukit pasir nagog. Tak lupa dia mengirim Sanggapati untuk menjadi pengawas jalannya ujian ulang itu.Maka berangkatlah ketiga pemuda itu menuju jalur tenggara bukit nagog pada malam hari. Jalan terpencil yang terbilang gelap dan sangat lembap. Jalur yang mereka ambil berbeda dengan petunjuk jalur Baduga sebelumnya."Kenapa kita harus melalui jalur ini?" Kai terdengar protes.Sebagai murid yang lebih dulu pernah mengarungi pasir nagog, Kai terasa asing dengan jalur yang dilaluinya kini. Dulu saat menjadi murid termuda Sepuh Dwara, peraturannya tidak terlalu runyam seperti sekarang. Bahkan untuk memulai ujian bertahan hidup di bukit pun tak perlu mencari jalan tikus seperti ini. Kai pergi dan kembali selalu melalui jalur utama.Sanggapati sontak menyahut, "ini termasuk jalan yang paling aman, tahu
Askara dan Kai berjalan berdampingan menelusuri bukit pasir nagog untuk yang kedua kalinya. Sepanjang perjalanan, mereka diam tak berbicara satu sama lain. Hanya edaran bola mata saja, sibuk menelisik keseluruhan bukit yang dipenuhi pepohonan rindang yang tinggi menjulang.Sesekali Askara melirik Kai yang berjalan di samping kirinya. Begitu pula dengan Kai pada Askara.Seolah tak mau bertemu pandang, keduanya sengaja kompak membuang muka setelah sadar saling melirik.Sedangkan di sisi lain di atas pohon, Sanggapati membuntuti keduanya serta mengawasi dari ketinggian.Melompati dahan ke dahan lalu mengintai dari sekumpulan dedaunan. Dia berhenti kala kedua sosok yang diawasinya mengehentikan perjalan. Kadang sejenak dirinya makan pisang, sembari menunggu Askara dan Kai berjalan kembali.Tiba-tiba suara gersakan semak mengejutkan mereka. Terdengar seolah geraman harimau namun denga