"Aku suka saat bertarung tanpa senjata," ucap Askara.
"Cih, aku sama sekali tak takut padamu," balas Kai lagi.
Dalam jarak berkisar tujuh meter, Askara terlihat melangkah maju. Diikuti Kai juga melakukan hal yang sama.
Berawal dari langkah lambat lantas melangkah kian cepat. Pada akhirnya keduanya berlari kencang dan menerjang satu sama lain.
Mereka pun baku hantam tanpa senjata. Berawal dari memukul, meninju, menendang dan sebagainya mereka gunakan.
Pertarungan yang cukup cepat. Sanggapati sebagai pengawas perkelahian mereka mengakui jika baku hantam kali ini lebih hebat dari sebelumnya.
Askara melakukan tendangan ganda di udara, untung siku Kai berhasil menepis serangan itu dan balik membalasnya dengan tendangan memutar.
Askara mengelak dengan jungkir ke belakang. Lalu kembali maju seraya mendaratkan pukulan.
 
👋 terimakasih karena setia membaca Cindaku Sang Penguasa. Mohon tinggalkan jejak jika kalian suka ceritanya 😉 Terimakasih atas perhatiannya. Salam, Author Bill 🤙
"Sangga? Tumben sekali kau berdiam di sini?" Baduga mendapati Sanggapati tengah melamun di depan kolam ikan yang letaknya di samping kiri padepokan."Ah, Sepuh. Tidak apa-apa. Aku hanya sedang menikmati suasana kolam saja," jawab Sanggapati lantas menyengir."Yang benar saja. Bukannya waktu sore-sore begini kau selalu diam-diam mengumpulkan pisang dari gudang ya?" sarkas Baduga.Sanggapati mati kutu. Mulutnya terkunci dan tak mampu mengelak lagi. Ternyata Sepuhnya itu tahu pergerakannya selama ini.'Ya ampun! Perkara pisang pun Sepuh sampai mengetahuinya?' gerutu Sanggapati membatin."Ah i-itu ... Hehe ... Tapi Sepuh, aku sekarang berada di sini 'kan?" kilah Sanggapati. Namun bagaimana pun juga Baduga seakan tahu apa yang dipikirkan muridnya yang paling muda itu."Apa masalahmu?" tanya Baduga seraya ikut duduk di sebelah muridnya itu.San
Setelah pertarungan yang hampir merusak fasilitas padepokan. Askara dan Kai memulihkan diri. Lewat laporan yang dibuat Sanggapati, tentu saja Sepuh Dwara sedikit marah pada dua pemuda itu.Bahkan saat keduanya bangun dari pingsan, perkelahian itu masih berlanjut sampai mengobrak-abrik seisi bilik kamar peristirahatan mereka.Pada akhirnya Dwara pun memanggil Askara dan Kai ke ruangan tengah guna menegur mereka."Kalian ... Padahal sudah kubilang, pertarungan kemarin dianggap selesai. Kenapa masih berkelanjutan sampai sekarang, hm?"Baik Askara maupun Kai tidak berani berbicara sepatah kata pun. Hanya saja, keduanya saling melempar tatapan sinis lewat ekor mata mereka."Kalian bangunlah!" perintah Dwara. Dua muridnya itu sontak mematuhi titah sang guru lalu berdiri.Dwara melemparkan dua sapu ke arah mereka. Yang satu sapu jerami, dan satu lagi sapu lidi. Aska
"Mari kita lanjutkan ..." Ajakan Kai disetujui Askara. Keduanya bersiap-siap kemudian berdiri saling menghadap.Tanpa melepaskan sapu yang dipegang masing-masing, keduanya bersiap menggunakan kuda-kuda.Meski tanpa pedang dan kujang. Masih ada sapu lidi dan sapu jerami.Sungguh senjata yang sangat sederhana.Semilir angin berembus menerpa keduanya. Rambut panjang kedua pemuda itu melambai-lambai karena tertiup. Rambut yang satu orang menari-nari di sekitar punggung, sedangkan satu orang lainnya bergoyang-goyang di sekitar bahu.Bukh!Askara dan Kai melesat maju. Mereka saling mengadu sapu yang dipegang layaknya adu pedang.Bukh! Bukh!Benturan antara sapu lidi dan sapu jerami terjadi, suaranya terdengar bak ibu-ibu yang tengah memukuli kasur jemuran.Keduanya sengaja mengalirkan energi pada benda
"Baiklah! Lupakan soal kerusuhan siang tadi! Mari kita berdiskusi dan memikirkannya rencana. Bagaimana supaya aku bisa membuat kalian keluar hidup-hidup dari bukit pasir nagog!"Terhitung satu jam lebih. Sanggapati memberikan arahan pada Kai dan Askara. Bukannya didengar, kedua pemuda itu malah saling mendelik sama lain. Tak menghiraukan oceh demi ocehan Sanggapati.Mereka juga sedikit kesal. Setelah mengetahui jika keduanya harus dikembalikan untuk ujian ulang di bukit pasir nagog.Anggap saja ini bentuk hukuman Dwara untuk mereka berdua.Dengan semangat yang menggebu-gebu, Sanggapati memberikan perintah pada keduanya seakan-akan Askara dan Kai adalah bawahannya."Malam ini kalian bersiap-siaplah! Kai, kau siapkan fisikmu. Askara, persiapan kujangmu. Besok kita akan menghadapi tantangan demi tantangan yang sangat sulit untuk diucapkan! Kita harus mengobrak-abrik pertahanan cinda
Setelah selesai proses pemulihan, Dwara memerintahkan Askara dan Kai untuk kembali menguji kemampuannya di bukit pasir nagog. Tak lupa dia mengirim Sanggapati untuk menjadi pengawas jalannya ujian ulang itu.Maka berangkatlah ketiga pemuda itu menuju jalur tenggara bukit nagog pada malam hari. Jalan terpencil yang terbilang gelap dan sangat lembap. Jalur yang mereka ambil berbeda dengan petunjuk jalur Baduga sebelumnya."Kenapa kita harus melalui jalur ini?" Kai terdengar protes.Sebagai murid yang lebih dulu pernah mengarungi pasir nagog, Kai terasa asing dengan jalur yang dilaluinya kini. Dulu saat menjadi murid termuda Sepuh Dwara, peraturannya tidak terlalu runyam seperti sekarang. Bahkan untuk memulai ujian bertahan hidup di bukit pun tak perlu mencari jalan tikus seperti ini. Kai pergi dan kembali selalu melalui jalur utama.Sanggapati sontak menyahut, "ini termasuk jalan yang paling aman, tahu
Askara dan Kai berjalan berdampingan menelusuri bukit pasir nagog untuk yang kedua kalinya. Sepanjang perjalanan, mereka diam tak berbicara satu sama lain. Hanya edaran bola mata saja, sibuk menelisik keseluruhan bukit yang dipenuhi pepohonan rindang yang tinggi menjulang.Sesekali Askara melirik Kai yang berjalan di samping kirinya. Begitu pula dengan Kai pada Askara.Seolah tak mau bertemu pandang, keduanya sengaja kompak membuang muka setelah sadar saling melirik.Sedangkan di sisi lain di atas pohon, Sanggapati membuntuti keduanya serta mengawasi dari ketinggian.Melompati dahan ke dahan lalu mengintai dari sekumpulan dedaunan. Dia berhenti kala kedua sosok yang diawasinya mengehentikan perjalan. Kadang sejenak dirinya makan pisang, sembari menunggu Askara dan Kai berjalan kembali.Tiba-tiba suara gersakan semak mengejutkan mereka. Terdengar seolah geraman harimau namun denga
Ctak! Tiba-tiba cindaku muncul dari balik kumpulan rumput gajah, Kai dengan gerakan refleksnya langsung memecut wajah manusia harimau bertaring panjang itu. Cipratan darah pun seketika terbang ke segala arah. Kai pun berjumpalitan seiring cindaku meraung karena wajahnya berdarah. "Kai awas!" teriak Askara seraya mendekat. Graa ...! Cindaku putih itu mengaum, suaranya menggemakan sekitaran. Lantas si monster mengayunkan cakar guna menghempaskan Kai, tetapi pemuda itu lincah menghindar. Dia hendak memecut makhluk itu, sayang masih terpancar keraguan di wajahnya. Padahal, Kai sebelumnya berhasil memecut wajah si monster hanya menggunakan rumput gajah. Alhasil, Kai terus mengelak dari cakaran sampai pemuda itu terdesak mundur. Gra ... Gra! Kai hendak mendaratkan tinju, namun tepisan cakar cindaku malah berakhir melukainya. Dia k
"Aku benci mengatakan ini, tapi sepertinya kita harus bekerja sama.""Wah ... Mai, ternyata kau punya rasa takut juga yah," kata Askara menyempatkan jahil."Namaku Kai!" tegas Kai menekan perkataannya. "Ini bukan soal takut atau tidaknya, rumput ini sama sekali tidak bisa memotong leher cindaku. Karena itulah, gunakan senjatamu untuk menebasnya sebelum aku menemukan cara lain!""Tenang Mai --eh apalah namamu itu. Aku pasti membantu. Tapi kedepannya kau harus bisa melakukannya sendiri karena kita tidak akan terus menerus bersama," saran Askara."Setidaknya kita bunuh cindaku ini lebih dulu!" Kai segera membantingkan diri ke tanah, mengelak dari apungan batu yang mendadak muncul dari arah depan. Lemparan itu berasal dari genggaman tangan cindaku.Dentuman demi dentuman terdengar. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali batu itu melayang ke arah mereka.Kai deng
Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La
Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se
Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b
Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti
"Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?
Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany
"Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting
Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu
"Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam