Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Menyesuaikan cahaya yang tertangkap retina. Sebuah ruangan dengan warna putih dan bau obat-obatan menyengat di hidung. "Aku di mana?" lirihku. "Kamu udah siuman, Ra?" tanya dua orang lelaki yang berdiri di hadapanku. Aku pijit kepala yang terasa berdenyut. Gerakan tubuhku terhenti saat kepala semakin berputar-putar. "Kamu kenapa bisa terkunci di kamar mandi, Ra?" tanya Rio. Kembali kupaksakan kepala untuk berpikir. Ya, aku sempat terkunci di kamar mandi. Kemudian terpeleset karena tak hati-hati melangkah. "Gak tahu, tau-tau pintunya gak bisa dibuka. Mungkin rusak.""Atau mungkin ada orang yang iseng ngerjain kamu, Ra."Aku mengernyitkan dahi, sedikit bingung dengan ucapannya. Siapa juga yang iseng denganku? Aku saja tidak memiliki musuh di sini. Setelah diperiksa dan diberi vitamin, aku pun diantar pulang oleh Pak Aziz. Sementara Rio dan Hani pulang kembali ke kantor terlebih dahulu. Hening, sepanjang jalan tak ada kata yang keluar dari mulu
Beberapa hari aku menjaga jarak dengan Mas Aziz. Sengaja memang, aku ingin meyakinkan diri. Apa aku pantas bersanding dengan lelaki seperti dia. Dia terlalu sempurna untuk aku yang biasa saja. Aku terdiam sesaat, mengatur dada yang kini terasa sesak. Bohong jika ucapan Sahkila tak sampai ke hati. Bohong jika aku tak kenapa-kenapa. Mana bisa aku bersikap biasa jika dalam hati berkecamuk lara? Aku kembali menatap langit, bintang dan bulan datang menyapa. Mereka tersenyum meski di tengah gelapnya malam. Sayang, aku tak bisa seperti mereka. Tertawa di saat luka itu ada. "Malam minggu kok ngelamun, Fat? Nak Aziz gak kemari?" tanya ibu seraya menjatuhkan bobot di sampingku. "Lagi sibuk mungkin, Bu. Namanya juga atasan," jawabku sekenanya. Sebenarnya dia ingin mengajakku keluar malam ini. Menikmati indahnya kota di malam hari. Namun aku menolaknya, pura-pura sibuk. Meski nyatanya hanya diam menatap langit bertabur bintang malam ini. "Kok mungkin? Kalian tidak bertengkar, kan?" Ibu men
Melangkah gontai meninggalkan ruangan direktur utama. Sesaat aku terdiam, tubuh menempel di dinding. Aku atur napas yang terasa sesak. Kembali angan berkelana, mengingat kesalahan saat awal bekerja hingga detik ini. Namun tetap tak bisa aku temukan. Pekerjaanku hampir seluruhnya sesuai, kesalahan sepele bukankah hal yang biasa? Namun kenapa aku bisa dipecat? Setelah tenang, aku kembali melangkahkan kaki menuju ruangan. "Ada masalah apa, Ra?" tanya Rio seolah mampu membaca pikiranku. Aku menghela napas, membiarkan rasa sesak itu menghilang. Namun melihat tatapan mereka membuatku tak kuasa menahan air mata. Tetes demi tetes cairan bening jatuh membasahi pipi. Aku menangis, bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga sahabat. Mbak Mimi, Hani dan Rio adalah orang-orang yang berhati baik. Mereka sudah seperti keluarga baru di sini. Itu yang membuatku berat meninggalkan mereka. Hani dan Mbak Mimi mendekat, mereka menatap heran karena aku diam dan terisak. "Kamu kenapa, Fat?" Mbak Mim
Aku ambil satu persatu foto yang ada di atas meja. Tak henti-hentinya aku menggelengkan kepala. Kenapa ada fotoku dan Rio? "Ada yang bisa kamu jelaskan, Ra?" tanyanya seraya menatapku tajam. Aku mengatur napas, menghilangkan rasa kesal yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Ucapan Mas Aziz tak ubahnya tuduhan untukku. Apa aku semurahan itu karena berstatus janda? "Kamu menuduhku main belakang dengan Rio, begitu?" "Aku hanya minta kamu jelaskan ini, bukan menuduh.""Aku terjatuh saat menuruni anak tangga karena pusing. Kejadian spontan yang siapa saja bisa mengalaminya, termasuk Mas Aziz." Aku letakkan fotoku dan Rio yang ada di tangga tadi."Ini!" Mas Aziz memberikan sebuah foto saat aku menemani Rio makan. "Kamu pergi dengan dia kemarin, sementara ponsel kamu sulit aku hubungi, kan?"Terdiam, tak satu pun kata yang keluar dari mulutku. Entah mengapa aku merasa muak, ucapan-ucapan Mas Aziz seakan memojokkan diriku. Tak tahukan dia aku tengah pusing karena di PHK?"Kamu diam, berati b
"Mari ikut kami, Bu," ucap lelaki itu. Aku menoleh ke arah ibu. Ada keraguan yang tiba-tiba hadir dan menelusup. Bukan hanya diriku, tapi juga ibu. Bagaimana bisa aku ikut dengan orang yang tidak aku kenal? Di saat maraknya penculikan anak-anak. Eh, aku bukan lagi anak-anak. "Mau ke mana, Pak?""Ke rumah sakit, Mbak. Ada wanita paruh baya meninggal karena kecelakaan. Korban tidak membawa identitas, Mbak.""Lalu apa hubungannya denganku, Pak?""Korban menanyakan alamat rumah Mbak Fatimah sebelum akhirnya tertabrak mobil dengan kecepatan tinggi."Mendadak rasa penasaran itu hadir, siapa wanita yang polisi itu maksud? Kenapa harus mencari alamatku? "Mari, Mbak. Kami butuh Mbak Fatimah untuk mengidentifikasi korban."Dengan rasa penasaran aku pun mengikuti langkah dua polisi tersebut. Mobil polisi pun melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan aku hanya diam, pikiran menerka wanita yang polisi maksud tersebut. Lalu lintas tak begitu ramai. Kendaraan melaju dengan lancar. Tanpa h
Aku menelan ludah dengan susah payah. Perkataan bapak bak gempa susulan yang datang tiba-tiba. Membuat kami terguncang lalu jatuh bersamaan. Bukankah semua sudah kujelaskan. Lalu untuk apa lagi dipermasalahkan. Hancurnya hubunganku dengan Mas Aziz bukan salah Rio. Namun ketidakpercayaan lelaki itu padaku. Dalam suatu hubungan kepercayaan adalah kunci. Jika kunci saja tak ada, lalu bagaimana bisa membuka sebuah istana? Itu hal yang sulit untuk dilakukan, mustahil. "Kenapa berdiri di sana? Masuk! Bapak ingin bicara!"Lagi dan lagi aku menelan ludah dengan susah payah. Bayangan kemarahan bapak bak pohon kelapa yang tertiup angin. Melambai-lambai. "Fatimah, Rio, masuk!"Aku dan Rio saling pandang, lalu mengangguk bersamaan. Aku melangkaj dengan degup jantung yang kian terdengar jelas. Tak bisa dipungkiri ada rasa takut yang hadir dan kini mendominasi. "Duduk!" perintah bapak, netranya menatap kami bergantian. Sikap bapak membuat nyaliku menciut. Aku dan Rio pun duduk bersamaan. "Ma
Aku mulai sibuk menyiapkan menu makanan hari ini. Kemudian menatanya di meja yang ada di teras. Ya, sementara teras rumah berubah fungsi menjadi tempat berjualan. Tak apa, ini hanya awal. Semoga selanjutnya aku dapat memiliki rumah makan sendiri. Bukankah semua berasal dari mimpi lalu dengan tekat kuat hingga menjadi sebuah kenyataan. "Sudah siap, Fat?" tanya ibu yanga baru saja keluar. Dia lihat berbagai masakan di atas meja. "Sudah, Bu. Fatimah tinggal mandi sebentar." Ibu mengangguk kemudian duduk di kursi kayu sambil menunggu dagangan kami. Cepat-cepat aku menuju ke kamar mandi, takut ada pembeli saat aku tengah mengguyur air ke tubuh. Teras masih sepi, hanya ibu yang duduk seraya menatap lurus ke depan. Belum ada satu pun orang yang datang kemari. Mungkin karena kami baru buka dan belum banyak yang tahu. "Sabar, namanya juga awalan. Belum banyak orang yang tahu," ucap ibu seolah tahu isi pikiranku. Memulai bisnis tidaklah mudah, apa lagi di dunia kuliner yang memiliki bany
"Tolong!"Suara itu kembali terdengar. Mendadak pikiran buruk bersemayam dalam hati. Apa yang Mas Aziz lakukan di sini? Apa jangan-jangan ... dia...Sesaat aku terdiam, hatiku terguncang. Jujur saja aku takut dengan kenyataan yang ada. Takut apa yang ada di kepala benar-benar menjadi nyata. Astaga, pikiran ini kenapa kian mendominasi? Tanpa diminta masuk dengan sendirinya. "Tolong!" Kembali itu terdengar semakin samar. Aku menatap sekeliling. Tak ada satu orang yang melewati jalar ini. Malam ini begitu sepi, aku harus bagaimana? Menolong atau kabur dari sini? Kaki mulai melangkah mendekati motor. Namun seketika terhenti. Bagaimana jika yang berteriak adalah aku? Lalu tak ada yang mau menolong? Bukankah itu sangat menyakitkan? Bismillah... Aku kuatkan, kemudian melangkah mendekat ke rumah itu. Kutatap kanan dan kiri, mencari sesuatu yang mampu kujadikan senjata. Kalau pun itu Mas Aziz, aku harus siap menghajarnya, karena dia sudah melakukan tindakan kriminal. Sebuah balok kayu a