"Mari ikut kami, Bu," ucap lelaki itu. Aku menoleh ke arah ibu. Ada keraguan yang tiba-tiba hadir dan menelusup. Bukan hanya diriku, tapi juga ibu. Bagaimana bisa aku ikut dengan orang yang tidak aku kenal? Di saat maraknya penculikan anak-anak. Eh, aku bukan lagi anak-anak. "Mau ke mana, Pak?""Ke rumah sakit, Mbak. Ada wanita paruh baya meninggal karena kecelakaan. Korban tidak membawa identitas, Mbak.""Lalu apa hubungannya denganku, Pak?""Korban menanyakan alamat rumah Mbak Fatimah sebelum akhirnya tertabrak mobil dengan kecepatan tinggi."Mendadak rasa penasaran itu hadir, siapa wanita yang polisi itu maksud? Kenapa harus mencari alamatku? "Mari, Mbak. Kami butuh Mbak Fatimah untuk mengidentifikasi korban."Dengan rasa penasaran aku pun mengikuti langkah dua polisi tersebut. Mobil polisi pun melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan aku hanya diam, pikiran menerka wanita yang polisi maksud tersebut. Lalu lintas tak begitu ramai. Kendaraan melaju dengan lancar. Tanpa h
Aku menelan ludah dengan susah payah. Perkataan bapak bak gempa susulan yang datang tiba-tiba. Membuat kami terguncang lalu jatuh bersamaan. Bukankah semua sudah kujelaskan. Lalu untuk apa lagi dipermasalahkan. Hancurnya hubunganku dengan Mas Aziz bukan salah Rio. Namun ketidakpercayaan lelaki itu padaku. Dalam suatu hubungan kepercayaan adalah kunci. Jika kunci saja tak ada, lalu bagaimana bisa membuka sebuah istana? Itu hal yang sulit untuk dilakukan, mustahil. "Kenapa berdiri di sana? Masuk! Bapak ingin bicara!"Lagi dan lagi aku menelan ludah dengan susah payah. Bayangan kemarahan bapak bak pohon kelapa yang tertiup angin. Melambai-lambai. "Fatimah, Rio, masuk!"Aku dan Rio saling pandang, lalu mengangguk bersamaan. Aku melangkaj dengan degup jantung yang kian terdengar jelas. Tak bisa dipungkiri ada rasa takut yang hadir dan kini mendominasi. "Duduk!" perintah bapak, netranya menatap kami bergantian. Sikap bapak membuat nyaliku menciut. Aku dan Rio pun duduk bersamaan. "Ma
Aku mulai sibuk menyiapkan menu makanan hari ini. Kemudian menatanya di meja yang ada di teras. Ya, sementara teras rumah berubah fungsi menjadi tempat berjualan. Tak apa, ini hanya awal. Semoga selanjutnya aku dapat memiliki rumah makan sendiri. Bukankah semua berasal dari mimpi lalu dengan tekat kuat hingga menjadi sebuah kenyataan. "Sudah siap, Fat?" tanya ibu yanga baru saja keluar. Dia lihat berbagai masakan di atas meja. "Sudah, Bu. Fatimah tinggal mandi sebentar." Ibu mengangguk kemudian duduk di kursi kayu sambil menunggu dagangan kami. Cepat-cepat aku menuju ke kamar mandi, takut ada pembeli saat aku tengah mengguyur air ke tubuh. Teras masih sepi, hanya ibu yang duduk seraya menatap lurus ke depan. Belum ada satu pun orang yang datang kemari. Mungkin karena kami baru buka dan belum banyak yang tahu. "Sabar, namanya juga awalan. Belum banyak orang yang tahu," ucap ibu seolah tahu isi pikiranku. Memulai bisnis tidaklah mudah, apa lagi di dunia kuliner yang memiliki bany
"Tolong!"Suara itu kembali terdengar. Mendadak pikiran buruk bersemayam dalam hati. Apa yang Mas Aziz lakukan di sini? Apa jangan-jangan ... dia...Sesaat aku terdiam, hatiku terguncang. Jujur saja aku takut dengan kenyataan yang ada. Takut apa yang ada di kepala benar-benar menjadi nyata. Astaga, pikiran ini kenapa kian mendominasi? Tanpa diminta masuk dengan sendirinya. "Tolong!" Kembali itu terdengar semakin samar. Aku menatap sekeliling. Tak ada satu orang yang melewati jalar ini. Malam ini begitu sepi, aku harus bagaimana? Menolong atau kabur dari sini? Kaki mulai melangkah mendekati motor. Namun seketika terhenti. Bagaimana jika yang berteriak adalah aku? Lalu tak ada yang mau menolong? Bukankah itu sangat menyakitkan? Bismillah... Aku kuatkan, kemudian melangkah mendekat ke rumah itu. Kutatap kanan dan kiri, mencari sesuatu yang mampu kujadikan senjata. Kalau pun itu Mas Aziz, aku harus siap menghajarnya, karena dia sudah melakukan tindakan kriminal. Sebuah balok kayu a
Dua bulan berjalan begitu cepat. Bisnis kuliner dan ketering yang kutangani semakin membuahkan hasil. Memang belum bisa menyewa lapak atau kios. Namun sudah bisa mencukupi kebutuhan kami. Semua tak luput dari bantuan Rio. Lelaki itu selalu membantu dari hal kecil hingga besar. Dia pula yang yang menyarankan memberi lebel di box. Entah dari mana dia memiliki ide seperti itu. Lelaki itu seolah tahu bisnis kuliner seperti apa. "Mau diambil jam berapa pesanannya, Fat?" tanya ibu seraya memasukkan risol ke dalam kardus. "Jam delapan, Bu. Nanti di antar taksi online. Kalau motor kelamaan."Ibu mengangguk kemudian melanjutkan pekerjaannya. 300 snack pesanan akan siap sebentar lagi. Pesanan dari sebuah sekolah dasar untuk acara parenting. Sudah sejak malam kami menyiapkan ini. Berharap pesanan siap tepat waktu. Ketepatan waktu sangat berpengaruh dengan kepuasan pelanggan. Kami tak hanya menyediakan rasa tapi juga jasa. "Sudah pesan taksi online belum, Ra?" tanya ibu seraya mengeluarkan k
"A--aku tak bisa, Rio."Senyum yang sempat hadir seketika redup, bahkan nyaris hilang. Tangan yang menggenggamku pun ikut terlepas. Rio kecewa. Sebenarnya ini yang aku takutkan. Melukai orang yang begitu baik seperti dia. Namun sebuah hati tak bisa dipaksa, bukan? Rio menghembuskan napas kasar, menatap lurus ke depan. Lautan dengan ombak melambai, mencari perhatian. Lelaki di sampingku diam, entah menikmati atau tenggelam dalam rasa kecewa. Di sini aku ikut membisu, bingung harus memulai dari mana. Seolah kata-kata itu hilang, dihempas oleh ombak di lautan. Ah, apa yang harus aku lakukan? Ikut diam atau bagaimana? Tuhan, aku membenci keadaan ini. "Kamu marah, Rio?" tanyaku pelan, hampir saja tak terdengar. Kalah dengan suara alam. "Apa aku bisa marah sama kamu, Ra?"Kembali aku terdiam. Sejauh ini Rio tak pernah marah denganku. Dia seseorang yang selalu ada ketika aku terpuruk. Inilah yang membuatku merasa bersalah karena telah menolaknya. "Aku tahu sudah ada nama Aziz di hati
"Mas Toni!"Lelaki itu melotot, gula yang ada di tangan ia hempaskan, jatuh berserakan. Dengan cepat ia berlari, meninggalkan aku. Dia ketakutan. Mas Toni berlari tunggang langgang hingga menabrak wanita bertubuh gempal yang sedang membuka pintu. Kepala Mas Toni membentur pintu, tapi dengan cepat ia berdiri, lari keluar toko. Dia meloloskan diri. "Dasar lelaki gak punya mata!" hardik lelaki itu, namun percuma mantan suamiku sudah pergi. "Mbak gak papa," tanya penjaga mini market tersebut. "Gak papa, Mbak."Aku pun segera memberesi barang belanjaan yang berserakan. Satu persatu kumasukkan kembali ke dalam keranjang. Hanya gula yang masih berceceran di mana-mana. "Nanti biar saya sapu, Mbak. Mbak lanjutan atau saja, atau mungkin langsung ke kasir," ucap penjaga toko tersebut. "Makasih, ya, Mbak." Wanita itu mengangguk lalu melangkah pergi, mungkin mengambil sapu untuk meMemalukan saat banyak pasang mata mengawasi gerak-gerikku. Semua gara-gara Mas Toni. Aku menjadi bahan tontonan
"Kenapa, Ra?" tanya Rio penasaran. "Gawat, Rio!""Kenapa?""Orang kantor keracunan setelah makan nasi box dariku.""Apa?"Aku duduk, memijit kepala yang terasa mau meledak. Bagaimana mungkin mereka bisa keracunan jika aku memasaknya dengan benar. Lagi pula aku selalu menjaga kebersihan tiap kali memasak. Ya Allah... Cobaan apa lagi ini? "Kamu masaknya dah benar kan, Ra? Gak ada yang salah, kan?" Rio menatapku lekat. "Bener, Rio. Aku memasaknya dengan higienis. Tapi kenapa bisa keracunan?""Tidak ada yang kadaluwarsa, kan?"Aku menggeleng. Selama ini aku selalu memastikan tanggal kadaluwarsa bahan makanan sebelum memasaknya. Semua sudah kujaga agar tak merugikan customer. Namun kenapa kali ini bisa terjadi? "Gimana dong, Ri? Aku takut."Rio segera menggenggam tangan kanan ini Netranya menatap lekat padaku. Sikap yang mengatakan semua akan baik-baik saja. Dia kembali menguatkan saat aku rapuh. Bahkan menepis ketakutan yang singgah dan menguasai hati. "Aku yakin semua akan baik-bai