Gadis berambut sebahu itu tidak bergerak. Ia berdiri di depan kursi. Memandangi Rendi dengan mata menyipit. Rendi tidak mengubris. Melepaskan pandangan ke atas plafon.
“Maaf, maksud aku itu...”
Rendi memotong dengan suara tajam. “Pergilah. Sudah selesai!”
Gadis itu menjulurkan kepala dengan mata membulat. “Jadi. Jadi, kamu menolak damai?” Suara gadis itu terdengar penuh keraguan, tidak percaya diri lagi. Namun pandangan matanya tetap tajam menusuk.
Rendi memutar kepalanya menghadap dinding. Ia diam seribu bahasa. Lima atau mungkin sampai sepuluh menit. Diam saja. Rendi tidak tahu apa yang diperbuat gadis itu. Beberapa saat lamanya terdengar keheningan yang mencekam dalam kamar. Setelahnya, beberapa jenak kemudian, ia mendengar bunyi sepatu berdetak-detak. Suara langkah kaki. Mungkin gadis pergi. Baguslah itu. Rendi memejamkan matanya.
Beberapa jenak kemudian terdengar lagi suara detak sepatu. Rendi diam tidak bergerak. Ia tidak ingin melihat gadis itu lagi. Ia menahan diri, menahan emosi. Rendi mengatupkan rahangnya.
“Tidur Bro?” terdengar suara seraya menyentuh kakinya.
Rendi membalikkan kepala. “Hehe, Bro yang datang. Kirain masih dia?”
“Dia siapa?” tanya Fadely.
“Barusan si penabrak itu datang,” sebutnya.
Fadely mendekat. Ia duduk di kursi seperti bersiap memberikan penjelasan. “Petugas Polres sudah mendapatkan si penabrak itu. Kemarin dia dipanggil dan dilakukan pemeriksaan. Sudah datang dia ke sini?"
Rendi membenarkan gadis itu sudah datang menemui.
"Trus apa katanya?”
“Dia datang minta damai. Sodorkan uang damai Rp10 juta,” jelas Rendi.
“Bro terima. Jadi, sudah damai gitu?” tanya Fadely terlongo.
Rendi menggeleng. “Aku usir dia. Datang-datang dengan gaya sombong sekali. Bukannya minta maaf atau menyesal, tapi malah menekan aku untuk berdamai,” gerutunya.
“Gadis itu kan yang datang? Shelia namanya.”
“Tak tau aku namanya. Tapi dia ngaku yang menabrak aku malam itu.”
“Cantik orangnya. Berambut pendek di atas bahu?”
“Mungkin,” ujar Rendi tak bersemangat. Ia malas mengingat apa betul gadis itu cantik. Ia juga tidak apa gadis itu punya rambut atau tidak. Yang teringat olehnya hanya keangkuhannya. Seakan orang bisa dibelinya.
“Laporan polisi itu terus berlanjut?” tanya Fadely.
“Sepertinya begitu. Kan belum dicabut.”
Rafdi menyampaikan dukungannya. “Orang-orang seperti itu memang harus diberi pelajaran. Dipikirnya dunia ini bisa diaturnya.” Fadely tersenyum. “Bisa kita mainkan dengan petugas nanti. Jangan cabut laporannya.”
Sebetulnya Rendi tidak ingin pula memperpanjang kasus tabrakan dirinya. Apalagi membawanya ke ranah hukum. Tentu bukan sebuah kesengajaan tabrakan itu. Namun, kedatangan gadis itu dengan angkuh dan sok percaya diri yang sangat tinggi menyebabkan emosinya terpancing juga.
“Coba Bro cari tahu siapa gadis itu,” minta Rendi pada Fadely.
“Siap!”
Rendi minta diambilkan air minum. “Panas juga hati melihat gadis tadi.”
Fadely menyodorkan gelas air mineral. “Panas apa panasaran?” tanyanya terkekeh.
Rendi tersenyum seraya meneguk minuman. “Mungkin keduanya.”
Fadely menerima kembali gelas yang sudah kosong. “Untuk kaki yang patah itu sudah ada putusan?”
“Dipasang pen.” Rendi mengangguk. Hanya ia sendiri yang memutuskan. Toh tidak ada juga yang mesti dimintainya pertimbangan.
“Pasang pen atau obat alternatif, keduanya ada plus minusnya. Tergantung ketetapan hati saja. Soal biaya bagaimana?”
Rendi menceritakan ide yang sudah dijalankan Tante Rieka. Fadely tertawa. “Sudah oke itu. Kapan operasi pasang pen itu?”
“Mungkin lusa.”
Kemudian datang Siska dan Yenita, kawan kuliah Rendi. Kedua gadis itu teman seangkatan yang cukup dekat dengan Rendi. Siska datang untuk yang kedua kali. Sebelumnya sudah datang beramai-ramai.
“Lalu bagaimana dengan lesnya? Tentu liburlah para muridnya,” tanya Yenita.
“Itu yang menjadi masalah. Apalagi mereka mau ujian.”
“Kami yang bantu ngajar, bagaimana?” Siska menyampaikan tawaran.
Rendi tertawa tipis. “Memangnya kalian sanggup?”
“Berapa orang muridnya semua?”
“Sembilan belas orang.”
Yenita menutup mulutnya. Kaget. “Itu didatangi rumah mereka satu-satu?”
Rendi mengiyakan.
“Wuih, susah juga.”
“Kalau berdua mungkin tidak susah,” sebut Siska. “Kita yang tekel berdua, Yen?”
Yenita mengeleng-geleng. Tidak terbayangkan olehnya bagaimana mendatangi satu-satu belasan rumah murid yang tersebar di Kota Bandung lalu memberikan pelajaran. Yenita segera angkat tangan. “Aku mungkin tidak bisa. Rumah aku di luar kota,” jelasnya.
Fadely pamit. Ia akan mencari tahu siapa gadis penabrak yang bernama Shelia itu.
“Biar aku coba sendirian deh,” ucap Siska kemudian.
Rendi tersenyum menggeleng. “Tak usah. Mana sanggup kamu.”
“Bisa tidak kamu atur untuk rumahnya yang berdekatan dikumpulkan pada satu tempat saja. Tidak mesti mendatangi rumah mereka satu-satu,” ujar Siska memberikan jalan keluar.
Rendi berpikiran mungkin bisa. Kenapa hal itu tidak pernah terpikirkan olehnya selama ini. Tetapi tidakkah itu adalah satu kelebihan les yang dijalankannya.Memberikan kemudian, bisa datang ke rumah mereka.
“Kalau bisa digabungkan pada tiga atau empat tempat. Tidak susah betul mendatangi mereka,” tambah Siska.
Solusi yang mungkin bisa dicoba. “Coba nanti aku hubungi orang tua mereka. Mudah-mudahan bisa,” kata Rendi yang bisa menerima solusi yang disampaikan Siska.
“Ini untuk sementara waktu saja. Kalau kamu sudah sehat kembali belajar seperti biasa. Tentu orang tua mereka bisa menerima.”
Yenita memberikan dukungan. “Solusi yang bagus. Tidak terhenti sama sekali. Mereka tetap bisa belajar dengan ibu guru yang cantik ini.” Ia tersenyum melirik Siska dan Rendi bergantian.
Siska yang merasa digombali Yenita menahan senyum. Baginya menolong Rendi adalah sesuatu yang pekerjaan yang menyenangkan. Tidakkah tolong menolong adalah budaya kepedulian yang sesuai dengan ajaran agama manapun? Kalau bisa menolong kenapa tidak dilakukan? Siska membuang pikiran hal itu ditawarkannya untuk menumbuhkan imej positif Rendi terhadap dirinya.
“Tapi tentu uang lesnya dibagikan juga kan?” usik Yenita pula.
Siska memberengut. Ia melayang pukulan ke lengan Yenita. “Bukan begitu maksudnya.”
“Begitu pun tidak masalah juga. Iya kan Ren?”
Rendi tahu Yenita melayangkan pancingan. Ia menolak memakan umpan yang ditebarkan. “Maksud baik jangan diselewengkan. Bisa jadi perkara itu,” kata Rendi asal-asalan.
“Ya, perkara dua hati,” sambut Yenita cepat.
Rendi tersenyum melihat wajah Siska merona. Ah, Siska. Wajahnya manis keibuan. Namun hatinya jauh lebih manis. Siska gadis yang sangat peduli dan penuh perhatian. Gadis itu pernah hadir dalam angan-angannya pada bulan-bulan pertama kuliah.
Tetapi setelah mengenalinya lebih jauh, Rendi terpaksa membuang angan-angannya itu. Ia mesti menempatkan Siska sama dengan Yenita dan gadis-gadis kampus lainnya. Tidak mungkin menempatkannya di tempat yang istimewa. Ada tembok tinggi besar yang menghalangi. Tidak mungkin dilewati.
***
Rendi sudah selesai operasi pemasangan pen di tulang kering kaki kanannya. Tidak lama prosesnya. Hanya sekitar dua jam. Tulang yang patah harus diperbaiki dan dipertahankan posisinya sampai tulang tersebut menyatu kembali. Prosedur pemasangan pen untuk mengobati patah tulang ini dikerjakan oleh dokter bedah melalui operasi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan posisi tulang.
Rendi diberi bius umum agar tertidur selama operasi atau bius lokal untuk membuat area kaki kanan yang akan dioperasi menjadi mati rasa.
Rendi tentu tidak tahu bagaimana dokter bedah membuat sayatan di atas lokasi patah tulang kakinya. Posisi tulang yang patah dikembalikan seperti semula, lalu dokter bedah memasang pen untuk mempertahankan posisi tulang kakinya.
Rendi hanya tahu kaki kanannya dari bawah lutut hingga mata kaki dibaluti dengan kasa yang bersih. Sudah terpasang gips sepanjang tulang terbesar kedua yang terletak di tungkai kaki. Tulang ini menghubungkan lutut dengan pergelangan kaki.
Rendi segera menjalani pemulihan. Beberapa pekan ke depan mesti terpuruk dalam kamar.
Shelia masih telentang di spring bed saat didengarnya suara panggilan Bik Mur di balik pintu. “Ada tamu, Non. Mau jumpa, Non!” teriaknya.Shelia tidak beraksi. Ia diam saja. “Ada tamu, Non. Penting sepertinya!” teriak Bik Mur lagi.Gadis itu turun dari tempat tidur dengan bersungut-sungut. Siapa pula yang datang pagi-pagi begini? Menganggu saja. Ia membuka pintu dengan tarikan kemarahan. “Siapa, Bik?”“Ada tamu. Katanya mencari Non Shelia,” jelas Bik Mur pula.“Laki perempuan?’“Laki, Non. Dua orang.”Aduh. Menganggu saja. Laki-laki siapa? Shelia bingung. Ia merasa tidak pula ada janji mau jumpa siapa. Meski begitu, ia tetap turun ke lantai satu. Lalu membukakan pintu ingin tahu siapa yang datang.Ternyata dua pria dewasa berpenampilan necis. Berbadan tegap dengan potongan rambut pendek. Sepatunya hitam mengkilap seakan bisa berkaca di sana.“Maaf, &n
“Belagu dia, Ma,”“Maksud kamu?” tanya Mama di antara suapan sarapannya.“Pria itu belagu. Tidak mau damai. Tidak mau uang damai yang aku tawarkan,” jelas Shelia bersungut-sungut. “Banyak gaya betul dia. Huh! Macam orang kaya pula!”Mama menghentikan suapannya. Memandang lurus ke depan. “Kamu datangi dia ke rumah sakit? Jumpai dia?’“Iya, Ma. Aku datang baik-baik ke rumah sakit. Ngajak berdamai. Eh, dia sama sekali tidak merespos. Malah nyuruh aku pulang.” Shelia menghentakkan siku pada kaca meja makan.“Salah omong kamu mungkin,” duga Mama.“Salah omong apa pula. Itulah yang aku bilang ke dia. Tidak salah!"“Cara masuk kamu, cara ngomong kamu, maksud Mama.”“Aduh, Mama ini gimana?. Masuk ya ketuk pintu. Omong ya sampaikan apa hendak dikatakan. Jelaskan terus terang. Begiitu kan?”Mama mengangguk. &ldqu
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se