"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi.
"Mereka tahu aku korban tabrakan itu?"
"Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."
Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka.
"Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik."
"Belum ada beritanya kan?"
"Sepertinya belum."
"Apa yang kubilang tadi akan menjadi berita yang sangat menarik," ujar Fadely tertawa membenarkan prediksinya yang juga didukung oleh Hernan.
"Orang tuanya pasti tidak akan tinggal diam."
"Pasti ikut campur orang tuanya. Tidak mungkin tidak," kata Rendi. Ia beralasan, seperti yang pernah dijelaskan Fadely, orang tua Shelia adalah pengusaha sukses yang cukup disegani.
Berapa pun akan dikeluarkannya uang agar kasus anaknya tidak sampai ke proses hukum.
Fadely tertawa. "Tentulah ada. Itu makanya disarankan berdamai. Lalu untuk kasus narkotika mungkin akhirnya diputuskan melakukan rehabilitasi dan pembinaan saja. Kalau bukan orang berada bapaknya, o dah masuk dia dari kemarin."
Belum ekspos dan belum pula ada wartawan yang tahu, sangat memungkinkan perkara tabrakan itu diakhiri dengan damai. Bisa jadi karena permintaan bapak di gadis itu, tidak dilakukan ekspos dan tidak dishare ke wartawan.
"Siapa sih bapaknya?" tanya Hernan.
"Pengusaha sukses Kota Bandung. Banyak bisnisnya."
Hernan mengangguk dengan mulut membulat. O, katanya yang mengenal nama tapi belum pernah jumpa dengannya pengusaha terkenal itu.
"Ia baru semalam ke sini," jelas Rendi kemudian. Ia merasa tidak perlu menyembunyikan sesuatu masalah dari kawan-kawaan ini. Justru akan menjadi masalah bila tidak diberitahu.
"Siapa? Bapak gadis itu?"
"Bukan. Shelia."
"Gadis penabrak itu ke sini lagi? Jumpa Bro?"
Rendi mengangguk. "Iya. Jumpa dengan Siska dia di sini. Ditatar sama Siska dia."
"Ngapain dia ke sini?"
"Minta perdamaian dan mencabut laporan di polisi."
"Ah, benar kan? Mereka pasti berupaya sekuat tenaga agar bisa damai. Bahkan sampai mau nyogok Bro itu. Bila kasus kecelakaan selesai, tentu mereka bisa fokus lagi menyelesaikan yang masalah narkotikanya. Trus apa tanggapan Bro?"
"Belum aku putuskan."
Fadely kembali tersenyum. "Bagus itu." Ia mengangguk-anggukkan kepala. "Kita tunggu apa yang akan mereka lakukan."
Bukan dengan tujuan mencari kesempatan dalam kesempitan, namun menurut Fadely, mereka perlu diberi pelajaran. Agar tidak seenaknya melepaskan tanggung jawab. Tidak semua masalah pula bisa diselesaikan dengan uang. Pengusa sukses itu perlu tahu tentang itu.
"Tentu harus ada hitungan-hitungan bila ingin berdamai. Jangan asal damai begitu saja," ujar Hernan seakan bermaksud mengingatkan. "Ini juga kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan," tambahnya tertawa bermakna.
"Maksud Bro pemerasan?"
Hernan memencongkan bibirnya. "Bukan pemerasan. Tapi sepakat dengan win win solution. Mengertikan maksudnya?"
"Ya itu makanya kita tunggu saja apa yang akan mereka mainkan. Kita bersikap pasif saja."
Namun Rendi tidak suka dengan maksud itu. "Tak perlu sampai pada pemerasan begitu," tanggap Rendi menolak. "Tidak berkah uangnya."
"Win win solution. Tidak ada yang merasa kalah," kata Hernan lagi. "Tidak ada peras-memeras."
"Kita tunggu saja. Para preman itu tidak datang lagi kan?"
Rendi menggeleng.
"Aku juga belum sempat tanya adik-adik apa ada orang yang dicegah mereka masuk ke kamar ini," kata Fadely pula. "Mudah-mudah tidak ada."
Belum sampai 10 menit kemudian, murid Fadely di Dojo yang berjaga di luar kamar, masuk. Ia melapor pada Fadely.
"Ada dua yang mau masuk. Sepertinya mencurigakan. Kami tanyai mereka marah-marah," jelasnya.
"Tak apa. Suruh mereka masuk," perintah Fadely.
Beberapa saat berikutnya, dua pria berbadan kekar pakai topi dan berjaket kulit hitam, masuk. Fadely dan Hernan mengangguk dengan sopan layaknya menerima tamu yang akan membezuk. Tapi sikap keduanya tidak bagai orang mau melihat orang sakit. Kaku sekali.
Kedua pria itu mendekat ke ujung tempat tidur Rendi. Fadely dan Hernan bergeser ke dekat pintu. Mereka bukan para pria yang sebelumnya datang mengancam dan membawa uang damai Rp10 juta.
"Kami mau menawarkan perdamaian itu dengan tidak melanjutkan prosesnya di Kepolisian. Damai dan tidak diperpanjang. Bagaimana?" ujar salah seorang.
Pria lainnya yang bertubuh agak gemuk mendekat ke samping kepala Rendi. "Ada uang damainya," bisiknya dekat telinga Rendi dengan maksud agar tidak didengar orang lain.
Walau tidak mendengarkan, Fadely paham maksud bisikan itu. Ia bisa membaca gerak bibir pria itu. "Apa yang disampaikan Bro? Soal kecelakaan itu kan?" tanyanya. "Tidak perlu sembunyi-sembunyi kalau soal itu."
"Abang-abang ini mengajukan kesepakatan untuk berdamai," jelas Rendi.
"O, bagus itu," kata Fadely seraya mendekat. "Kami hargai itu. Tapi kami maunya bicara langsung dengan orang tua Shelia."
"Sama saja itu. Kami perwakilan keluarganya."
"Tidak sama itu. Akan beda cara dan hasil kesepakatannya bila tidak langsung dengan yang bersangkutan." tegas Fadely pula.
"Orang tuanya lagi di luar negeri," alasan pria berbadan gendut.
"Kami tunggu. Jumpa nanti setelah mereka pulang dari luar negeri." Fadely tetap bertahan.
Kedua orang suruhan itu saling pandang. Mereka tentu tidak berani memaksa Rendi lagi. Sebab Rendi ditemani dua orang kawannya yang sudah mereka taksir tidak mudah pula meredamnya.
Merasa tidak punya peluang untuk bernegosiasi lagi, kedua pria itu pamit. Mereka berlalu dengan langkah kaku.
***
Shelia menarik kursi. Lalu duduk menghempas badan pantat. Ia menjangkau gelas minuman yang sudah ada di atas meja. Meneguknya seraya menaikkan sebelah kaki ke atas kursi.
Tidak hanya minuman. Di atas meja kaca hitam bulat juga terhidang sarapan pagi. Bubur kacang hijau. Roti. Ada pula buah apel dan pisang.Sheila tidak berselera dengan kuliner yang ada di atas meja. Ia kembali meneguk susu coklat hangat. Kemudian mencelupkan sepotong roti tawar ke minuman. Ternyata enak. Ia nambah. Diambilnya sepotong roti lagi.
Ia menelan roti dengan menengadahkan wajah. Takut potongan roti yang sudah basah dengan susu coklat jatuh. Asyik juga cara makan begitu. Berlangsung dengan cepat dan berburu dengan waktu. Terlambat sedetik alamat roti yang sudah basah itu jatuh di atas pangkuan.
"Gaya makan kamu kayak preman di warung," gerutu Papa yang tiba-tiba sudah berada di depan meja.
Shelia memandang nyegir. "Enak duduk macam ni, Pa," kilah Shelia tanpa menurunkan kaki kanannya.
Papa duduk. Ia meneguk kopi susu. "Tidak sarapan kamu?" tanya Papa saat menyendok bubur kacang hijau ke mangkok yang sudah berisi dua potong roti tawar.
Shelia menggeleng. "Tak selera dengan kacang hijau," alasannya.
Papa justru sangat berselera. Suapan sendok silih berganti naik ke mulutnya. Ia tampak menikmatinya. "Mama kamu kapan pulangnya?"
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Rendi membuka mata. Seakan berat terbuka. Mengerjap-ngerjap. Pandangannya hanya melihat warna putih. Rendi memencet kedua ujung mata dengan jempol dan jari telunjuk secara bersamaan. Memejamkan sesaat, matanya terbuka lebih lebar.Masih putih yang terlihat olehnya sekeliling. Rendi menggerakkan kepala. Memandang ke kiri. Putih yang tampak. Memandang ke kanan. Putih yang terlihat. Hei, di mana ini?Meragukan matanya, pria muda itu kembali merasa perlu mengucek kedua bola matanya. Mengerjap lalu membuka dengan pandangan mata bulat. Aneh masih putih sekeliling. Dinding dan plafon putih terlihat sempurna.Rendi tersadar ia tengah tertidur. Memandang ke bawah pada kedua kaki, terlihat tertutup dengan selimut. Selimut juga berwarna putih. Rendi menggerakkan kedua tangan. Tidak ada masalah. Kedua tangannya bahkan sudah beberapa kali bergerak mengusap matanya.Ia berusaha menggerakkan kaki. Ops! Terasa berat. Terasa nyeri.Rendi meninggikan dua bantal di belaka
Rendi tersenyum. Ia berusaha menegakkan badan. Tante Rieka buru-buru mendekat. "Jangan dipaksa kalau belum kuat duduknya," tuturnya seraya membantu memasang bantal di ujung dipan.Rendi mencoba duduk bersandar pada bantal. Posisi badannya lurus. Ia menarik nafas. Berkurang panas yang semula memenuhi punggungnya. Ia merasa punggung penuh keringat karena hawa panas tertekan di sana.Tante Riska meletakkan buah-buahan yang dibawanya di atas meja. Ia kemudian duduk di kursi samping tempat tidur Rendi. Ia menawarkan jeruk. Namun Rendi menggeleng."Bagaimana tante tahu dengan kecelakaan aku?" tanya Rendi usai melirik wanita cantik berusia sekitar 35 tahun itu."Kebetulan saja. Usai kamu ngajar, Meylin minta dibelikan roti. Tante keluar pakai motor aja. Saat itulah lihat ada tabrakan. Ramai orang menolong. Ketika mendekatinya, ternyata kamu. Be
Sudah lima hari Rendi terbaring di rumah sakit. Luka-luka yang berada di kepala, tangan dan kaki sudah mengering. Hampir sembuh. Menunggu waktu penyembuhannya saja. Soal penanganan kaki kanannya yang patah, Rendi memutuskan untuk pemasangan pen. Ia menolak saran Hernan yang mengaku kenal dengan tukang urut.Dari hasil browsing di internet, disimpulkannya pemasangan implan yang terbuat dari logam lebih aman dari resiko kesehatannya dibandingkan dengan pengobatan alternatif. Terlebih pula, kondisi kepatahan di kakinya sangat memungkinkan untuk di pasang pen tersebut.Pertimbangan lainnya adalah waktu penyembuhan. Bila dipasang pen, diketahuinya, dua pekan setelah pemasangan ia sudah bisa menggunakan tongkat untuk bantu berjalanan. Sementara, diperlukan waktu yang jauh lebih lama untuk bisa beraktivitas bila ia berobat pada tukang urut patah.Persoalan biaya teratasi dengan ide dari Tante Rieka. Setelah tidak mendapat kemungkinan mendapatkan biaya, Rendi kemudian b
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se