Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu.
"Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.
Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.
Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan.
"Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihat
Siska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum.
"Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja."
"Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak.
"Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau sudah jumpa?" tanya Rendi. "Bro, ini Siska teman aku kuliah. Bro ini namany Fadely. Teman satu kosan. Tapi jarang di rumah. Ia sibuk sekali," jelas Rendi.
Fadely dan Siska bersalaman. "Kalau punya teman cantik itu jangan diam saja. Mesti dikenalkan juga," ujar Fadely memandangi Rendi usai menjabat tangan Siska.
"Itu makanya aku kenalkan sekarang."
"Oh ya, betul juga."
Fadely berdiri. Ia menyerahkan kursi untuk diduduki Siska. "Terima kasih," ujarnya.
"Kamar Bro ini kayaknya sama dengan Gedung DPRD," ujar Fadely pula.
"Kenapa?"
"Sangat terbatas kursi. Dan susah mendapatkannya."
"Ya. Bahkan harus mengeluarkan uang banyak untuk mencari satu kursi," kata Siska menimpali.
"Di gedung dewan harus sogok menyogok beli suara untuk mendapatkannya. Di sini mesti bawa buah-buahan atau kue untuk bisa dapat kursi. Sama kan? Itu makanya aku segera berdiri. Tidak membawa apa-apa. Juga tidak ada uang untuk beli suara," tutur Fadely berwajah serius.
Rendi dan Siska saling pandang terkekeh. "Betul. Betul!" angguk Siska.
Fadely menahan tawanya. "Oke! Aku cabut dulu ya. Ada kerjaan," ujarnya seraya melangkah tanpa merasa perlu menunggu persetujuan. Ia segera menghilang di balik pintu.
"Kocak orangnya," kata Siska memandangi kepergian Fadely.
"Selalu ramai kalau ada dia. Tidak pernah habis bahan dia."
"Masih kuliah juga?"
"Sekolah Tinggi Komputer. Hampir selesai. Sudah kerja di perusahaan IT dia," jelas Rendi tentang sohibnya.
"Bagaimana dengan lesnya?" tanya Rendi pula.
"Lancar," sebut Siska tersenyum. "Menarik juga mengajarinya dengan ucapan yang masih belepotan. Tapi mereka sangat antusias belajar. Saling berebutan mau tampil," tutur Siska mengingat keceriaan kelas les yang ditanganinya beberapa hari belakangan.
"Sangat menyenangkan itu kan?"
"Ya. Tapi tentu sangat capek kalau mendatangi rumah mereka satu per satu. Seperti yang kamu lakukan itu."
"Tidak juga. Asal pandai atur waktu," terang Rendi yang sudah setahun lebih memberikan les privat datang ke rumah para muridnya. Namun itu tidak merasa capek. "Jalani dengan santai saja."
"Kenapa tidak dikumpulkan satu tempat?"
Rendi memiringkan mata. "Nih lagi ngumpulin uang untuk sewa tempat."
"Ada rencana untuk bikin kursus?"
Rendi tersenyum. "Itu rencana jangka panjangnya."
Siska mengerjapkan mata memandangi tembok. Ia memikirkan sesuatu. Setelah beberapa lama terdiam, ia berkata, "Bagaimana kalau kita bekerjasama?" tanyanya kemudian.
"Maksudnya?" Rendi menegakkan kepala.
"Kita berkerjasama. Buat lembaga kursus Bahasa Inggris. Aku yang carikan modal. Kamu yang mengelola kursusnya."
Rendi tertarik. Ia bersandar pada bantal di ujung tempat tidur. "Serius nih?" Matanya memandang tepat pada mata Siska.
"Serius," kata Siska mengangguk.
Siska memperlihatkan wajah keseriusannya. Menempatkan matanya di wajah Rendi. "Kira-kita berapa modalnya?"
Rendi kaget. Sudah bertanya tentang angka, berarti benar-benar serius. Paling tidak, serius bertanya. Ia pun bingung menjawab.
Membuat tempat kursus Bahasa Inggris adalah cita-cita Rendi. Bisa dikatakan, impiannya. Semenjak ia menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Inggris ia sudah berangan-angan mendirikan lembaga pendidikan kursus Bahasa Inggris. Sama dengan kesimpulan banyak orang, Rendi sepakat Bahasa Inggris adalah salah satu sarana untuk melangkah ke dunia. Harus dipunyai untuk maju.
Alasan utamanya memilih kuliah di Sastra Inggris adalah untuk melangkah ke dunia yang lebih luas.
Bila banyak yang mendirikan atau mengembangkan kursus Bahasa Inggris, tentu akan makin banyak anak-anak negeri ini yang punya sarana untuk melangkah ke dunia. Tawaran Siska mesti disambut dengan suka cita.
"Kenapa diam?" usik Siska pula.
Rendi tersentak dari pikirannya. "Ntar aku siapkan rincianya," ujar Rendi buru-buru.
"Sederhana saja. Jangan terlalu besar tempatnya. Anggaran Rp200 juta bisa?"
"Sangat bisa!" sambar Rendi cepat. "Bila anggarannya segitu, sarana dan prasaranannya bisa menyesuaikan. Tapi ini serius kan?"
Rendi masih belum percaya sepenuhnya. impian besarnya akan segera terwujud berawal dari pembicaraan ringan saja.
"Belum percaya sama aku?"
Rendi menyesal menanyakan itu. Ia tidak ingin Siska menjadi tidak percaya pula padanya.
"Bukan tidak percaya. Tapi merasa kaget saja. Suprise sekali!" ujar tanpa menyembunyikan raut wajahnya yang bercahaya.
--
"Akan kusiapkan segera. Proposal dan rencana anggaran biayanya," janji Rendi."Tidak perlu terburu-buru pula. Sehatkan dulu kakinya," kata Siska yang merasa senang melihat wajah Rendi memancarkan kegembiraan.
"Kata dokter, paling lama dua minggu aku sudah bisa menjalani perawatan di rumah. Sudah bisa menggunakan tongkat kruk," jelas Rendi. Ia ingin sekali bisa keluar dari rumah sakit secepatnya. Terasa gatal tangannya untuk menyiapkan proposal.
Siska tertawa. "Santai saja. Jangan kebelet betul."
Disebutkan Siska ia sudah lama berencana mendidikan lembaga kursus Bahasa Inggris. Namun ia merasa perlu waktu meyakinkan Papanya kalau ia sangat serius. "Aku juga sampaikan pada Papa bahwa lembaga kursus itu nanti akan dikelola bersama beberapa orang rekan. Dan sepertinya Papa sudah oke," jelas Siska pula.
Terdengar suara ketukan di pintu. Pintu terbuka. Gadis itu datang lagi. Beda dengan kedatangan pertama. Ia membawa buah-buahan. Terlihat dari kantong plastik transparan yang dijinjingnya.
Ia tersenyum pada Siska. "Maaf, Mbak," ujarnya minta jalan di samping Siska guna meletakkan buah di meja. Siska menggeser kakinya.
Usai meletakkan buah, Siska berdiri dan menyalaminya. "Saya Siska," ujarnya.
Gadis itu menyambut uluran tangan. "Shelia."
Rendi melirik. Terlihat kekakuan sikap gadis penabrak yang baru diketahui Rendi namanya, Shelia. Berubah banyak penampilannya. Tidak tampak judes dan kesombongannya lagi. Mungkin karena ada Siska.
"Belum pernah jumpa kita ya. Kuliah di mana?" tanya Siska.
"Tak kuliah lagi."
Siska menoleh dengan mata bertanya. "Sudah tamat?"
"Lagi istirahat."
Rendi mau mempertanyakan perihal kedatangan tiga pria yang memaksanya teken surat perdamaian. Tapi ia tidak ingin Siska tahu masalah tersebut.
Rendi tetap buka mulut. Ia berkata, “Dialah yang menabrak aku.” Maksud Rendi hanya sekedar memberitahu.
Siska kaget. Matanya meninggi memandang Shiela yang berdiri di depannya di seberang tempat tidur Rendi. Semula dipikirnya gadis berambut pendek itu adalah teman Rendi. Mungkin teman spesial.
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Rendi membuka mata. Seakan berat terbuka. Mengerjap-ngerjap. Pandangannya hanya melihat warna putih. Rendi memencet kedua ujung mata dengan jempol dan jari telunjuk secara bersamaan. Memejamkan sesaat, matanya terbuka lebih lebar.Masih putih yang terlihat olehnya sekeliling. Rendi menggerakkan kepala. Memandang ke kiri. Putih yang tampak. Memandang ke kanan. Putih yang terlihat. Hei, di mana ini?Meragukan matanya, pria muda itu kembali merasa perlu mengucek kedua bola matanya. Mengerjap lalu membuka dengan pandangan mata bulat. Aneh masih putih sekeliling. Dinding dan plafon putih terlihat sempurna.Rendi tersadar ia tengah tertidur. Memandang ke bawah pada kedua kaki, terlihat tertutup dengan selimut. Selimut juga berwarna putih. Rendi menggerakkan kedua tangan. Tidak ada masalah. Kedua tangannya bahkan sudah beberapa kali bergerak mengusap matanya.Ia berusaha menggerakkan kaki. Ops! Terasa berat. Terasa nyeri.Rendi meninggikan dua bantal di belaka
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se