"Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.
Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."
Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.
Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya."
"Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?"
"Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia.
"Kenapa?"
"Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya."
"Dipercaya bagaimana?"
"Tak tau juga. Dia cuman bilang begitu."
Usai meneguk kopinya, Papa meraih HP. Ia menghubungi seseorang. "Siapa yang kamu suruh ke rumah sakit ngurus surat damai kemarin itu?" tanya Papa. Papa kemudian diam mendengarkan.
"Berapa kamu kasih uang damainya?"
Papa kembali diam mendengarkan.
"Suruh Joko itu datang ke rumah. Sekarang," perintahnya seraya mematikan HP.
Papa mengambil tisu. Ia kemudian bertanya perihal bisnis yang dijalankan Sheila. Belakangan Sheila lebih tertarik menjalankan bisnis properti yang dilakoninya dari pada kuliah. Padahal kuliahnya di salah satu unversitas swasta terkemuka di Bandung sudah semester empat.
"Lancar. Tidak ada masalah, Pa," ujar Shelia tentang bisnis pembangunan rumah susun yang tengah dikerjakannya.
"Betul begitu?"
"Iya Pa," ujar Shelia tanpa berkeinginan memberikan penjelasan lebih lanjut. Untungnya, Papa pun tidak bertanya lebih lanjut. Penyebabnya, ada tamu yang datang.
"Bagaimana dengan kerjaan yang disuruhkan Meriana?" tanya Papa pada pria dewasa berbadan tegap yang berdiri di ujung pintu.
"Sudah selesai, Pak."
"Selesai bagaimana?"
"Sudah ditekennya surat damai itu," jelasnya.
"Uangnya sudah kalian berikan?"
Pria berbadan tegap itu kelihatan bingung. Ia ragu-ragu menjawab. "Mmh, belum, pak."
"Belum?" Papa terkejut. "Kenapa belum kalian kasih?" tanyanya.
"Dia tidak mau menerima uang itu. Tapi mau meneken suratnya. Jadi, kami bawa kembali uangnya," jelas pria itu lagi dengan suara lebih lancar.
"Dikembalikan uangnya pada Meriana?"
Pria itu menggeleng. "Belum, Pak," ujar tanpa beban.
"Kenapa?"
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia seperti belum punya alasan atau tengah mencari-carinya.
Papa langsung memberikan penegasan. "Besok kalian serahkan kembali pada korban kecelakaan itu!" perintahnya.
Pria berbadan tegap itu ingin membantah. Terlihat dari gerak tubuhnya. "Tapi dia sudah menolak. Tidak mau menerima," alasannya.
"Serahkan ke dia!" tegas Papa.
"Ya, Pak," jawab pria tersebut terpaksa. Wajahnya menyiratkan ia tidak suka melakukan pekerjaan itu. Ia hanya bisa melawan dalam hati.
Pria itu kemudian pamit. Dan Papa kembalikan menekankan padanya untuk menyerahkan uang tersebut kepada Rendi. Pria itu menggerutu dalam diam. Namun kepalanya mengangguk mengiyakan.
Shelia memandangi kepergian pria berbadan tegap dengan gelengan kepala. "Kalau tidak Papa tanyakan pasti sudah ditilap mereka," kata Shelia menyampaikan dugaannya.
Papa tidak menanggapi.
***Dokter menginformasikan tidak terjadi masalah dengan sambungan pen pada kaki Rendi. Semuanya berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan. Dalam tiga atau empat hari ke depan ia sudah bisa menyelesaikan perawatan di rumah sakit. Setelah itu ia hanya diwajibkan datang ke rumah sakit sekali sepekan guna memantau perkembangan kesehatan kakinya.Rendi menanggapi dengan senang. Hampir tiga pekan ai tidak kulaih. Dan sudah tiga pekan pula Siska menggantikan dirinya memberikan les Bahasa Inggris untuk puluhan murid.
Rendi pun sudah diperbolehkan menggunakan kruk. Tongkat untuk membantu kakinya berjalan. Dikatakan dokter penggunaan kruk bertujuan untuk melihara dan mengembalikan fungsi otot. Mencegah kelainan. Memelihara dan meningkatkan kekuatan otot. Serta mencegah komplikasi, seperti otot mengecil dan kekakuan sendi.
Sudah dua kali pagi ia mencoba menggunakan kruk di halaman depan kamar perawatannya. Tengah mempraktekkan cara berjalan yang baik dengan menggunakan kruk di halam depan kamar perawatannya ketika diliharnya, Rendi melihat ada yang mendekat berjalan ke arahnya. Ia seperi mengenali pria itu.
"Saya Bardi yang beberapa waktu lalu sudah datang ke sini," jelasnya. Rendi segera ingat. Ya, ia salah seorang di antara pria bertiga yang memaksanya teken perjanjian damai itu.
"Ya, ada apa?"
"Mau mengembalikan ini pada Anda," ujarnya seraya merogoh saku jaketnya. Dikeluarkannya sebuah amplop warna coklat lalu disodorkannya pada Rendi. Rendi kembai menolak. Tidak mau menermanya.
"Anda sudah tekan surat perdamaian itu. Kini ambillah ini," ujanya lagi.
Rendi masih bersikap seperti semula. Tidak mau menerimanya.
Pria itu heran dengan sikap Rendi. "Ini salah satu bentuk terima kasih karena Anda sudah mau meneken surart damai itu," jelasnya seraya menyebutkan ia diperintah atasannya untuk memberikan uang tersebut. "Kenapa tidak mau?" tanyanya.
Rendi menggeleng. Ia merasa tidak perlu memberikan penjelasan. Intinya, ia tidak akan mau menerimanya.
"Karena sedikit. Ungnya perlu ditambah?"
Bukan persoalan besar atau kecil. Sama sekali bukan soal jumlah. "Aku tidak mau menerima uang sogokan itu. Kenapa emangnya?"
"Heran saja. Dikasih uang tidak mau terima."
Rendi tidak menanggapi.
"Sekarang aku diperintah untuk menyerahkannya kepadamu. Ini uangnya. Terimalah," ujar pria sambil menyorongkan amplop coklat ke hadapan Rendi. Kenapa ia bersemangat betul menyuruhnya menerima?
Rendi bergeming. Ia bertahan dengan putusannya. "Suratnya sudah aku teken. Tidak ada masalah lagi. Dan aku tidak akan menerima amplop itu!" tegasnya lagi.
Rendi tidak mengerti apa keinginan pihak keluarga yang menabraknya itu. Semula datang dengan kesombongan meminta damai. Sudah dipenuhinya. Ditawarkan uang seamplop. Namun ia menolak uang yang akan diberikan itu.
Mestinya mereka senang tidak keluar uang. Tapi kenapa malah memaksanya menerima? Anehkan?
Keanehan itu menyebabkan Rendi makin kuat hatinya untuk tidak menerima wujud kebaikan dari keluarga pelaku penabraknya itu. Ia yakin ada tujuan tersembunyi dari pemberian uang tersebut.
"Maaf, Bang. Aku jalan lagi," ujar Rendi seraya meraih dua kruk yang tersandar di depan bangku tempat mereka duduk.
Perlahan ia berdiri. Menyorongkan pangkal kruk ke bawah ketiaknya. Dengan diawali kaki kiri ia melangkah mengimbanginya dengan langkah kruk sebelah kanan. Tidak terlalu susah menggunakan alat bantu itu. Kuncinya hanya tekun dan serius.
Rendi berjalan di atas rumput taman. Terasa dingin ujung rumput dalam injakan kaki kirinya. Basah. Semenjak diberikan kruk, setiap pagi dan sore ia sudah bisa berjalan sendiri. Melatih kaki agar tidak kaku berhari-hari tidur tanpa gerakan samasekali.
Tidak hanya dengan sebab itu. Dua pekan tidur telentang tanpa bisa banyak bergerak membuat badannya terasa pegal-pegal. Matanya pun terasa tidak nyaman memandangi dinding dan loteng setiap hari. Bosan juga.
Berjalan di taman, banyak yang bisa dilihat. Tidak hanya rumput dan bunga-bunga. Tapi juga orang-orang berjalan beriringan bergandengan tangan. Atau anak-anak yang berlarian di koridor dengan gembira. Atau suster-suster cantik yang tampak selalu berjalan tergegas. Banyak yang bisa dilihat.
"Bang Rendi?" sapa seseorang yang berjalan sendirian di koridor.
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Rendi membuka mata. Seakan berat terbuka. Mengerjap-ngerjap. Pandangannya hanya melihat warna putih. Rendi memencet kedua ujung mata dengan jempol dan jari telunjuk secara bersamaan. Memejamkan sesaat, matanya terbuka lebih lebar.Masih putih yang terlihat olehnya sekeliling. Rendi menggerakkan kepala. Memandang ke kiri. Putih yang tampak. Memandang ke kanan. Putih yang terlihat. Hei, di mana ini?Meragukan matanya, pria muda itu kembali merasa perlu mengucek kedua bola matanya. Mengerjap lalu membuka dengan pandangan mata bulat. Aneh masih putih sekeliling. Dinding dan plafon putih terlihat sempurna.Rendi tersadar ia tengah tertidur. Memandang ke bawah pada kedua kaki, terlihat tertutup dengan selimut. Selimut juga berwarna putih. Rendi menggerakkan kedua tangan. Tidak ada masalah. Kedua tangannya bahkan sudah beberapa kali bergerak mengusap matanya.Ia berusaha menggerakkan kaki. Ops! Terasa berat. Terasa nyeri.Rendi meninggikan dua bantal di belaka
Rendi tersenyum. Ia berusaha menegakkan badan. Tante Rieka buru-buru mendekat. "Jangan dipaksa kalau belum kuat duduknya," tuturnya seraya membantu memasang bantal di ujung dipan.Rendi mencoba duduk bersandar pada bantal. Posisi badannya lurus. Ia menarik nafas. Berkurang panas yang semula memenuhi punggungnya. Ia merasa punggung penuh keringat karena hawa panas tertekan di sana.Tante Riska meletakkan buah-buahan yang dibawanya di atas meja. Ia kemudian duduk di kursi samping tempat tidur Rendi. Ia menawarkan jeruk. Namun Rendi menggeleng."Bagaimana tante tahu dengan kecelakaan aku?" tanya Rendi usai melirik wanita cantik berusia sekitar 35 tahun itu."Kebetulan saja. Usai kamu ngajar, Meylin minta dibelikan roti. Tante keluar pakai motor aja. Saat itulah lihat ada tabrakan. Ramai orang menolong. Ketika mendekatinya, ternyata kamu. Be
Sudah lima hari Rendi terbaring di rumah sakit. Luka-luka yang berada di kepala, tangan dan kaki sudah mengering. Hampir sembuh. Menunggu waktu penyembuhannya saja. Soal penanganan kaki kanannya yang patah, Rendi memutuskan untuk pemasangan pen. Ia menolak saran Hernan yang mengaku kenal dengan tukang urut.Dari hasil browsing di internet, disimpulkannya pemasangan implan yang terbuat dari logam lebih aman dari resiko kesehatannya dibandingkan dengan pengobatan alternatif. Terlebih pula, kondisi kepatahan di kakinya sangat memungkinkan untuk di pasang pen tersebut.Pertimbangan lainnya adalah waktu penyembuhan. Bila dipasang pen, diketahuinya, dua pekan setelah pemasangan ia sudah bisa menggunakan tongkat untuk bantu berjalanan. Sementara, diperlukan waktu yang jauh lebih lama untuk bisa beraktivitas bila ia berobat pada tukang urut patah.Persoalan biaya teratasi dengan ide dari Tante Rieka. Setelah tidak mendapat kemungkinan mendapatkan biaya, Rendi kemudian b
Gadis berambut sebahu itu tidak bergerak. Ia berdiri di depan kursi. Memandangi Rendi dengan mata menyipit. Rendi tidak mengubris. Melepaskan pandangan ke atas plafon.“Maaf, maksud aku itu...”Rendi memotong dengan suara tajam. “Pergilah. Sudah selesai!”Gadis itu menjulurkan kepala dengan mata membulat. “Jadi. Jadi, kamu menolak damai?” Suara gadis itu terdengar penuh keraguan, tidak percaya diri lagi. Namun pandangan matanya tetap tajam menusuk.Rendi memutar kepalanya menghadap dinding. Ia diam seribu bahasa. Lima atau mungkin sampai sepuluh menit. Diam saja. Rendi tidak tahu apa yang diperbuat gadis itu. Beberapa saat lamanya terdengar keheningan yang mencekam dalam kamar. Setelahnya, beberapa jenak kemudian, ia mendengar bunyi sepatu berdetak-detak. Suara langkah kaki. Mungkin gadis pergi. Baguslah itu. Rendi memejamkan matanya.Beberapa jenak kemudian terdengar lagi suara detak sepatu. Rendi diam tidak ber
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se