Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”
“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.
Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.
“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.
“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.
Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.
“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.
Meylin memandang heran.
“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Setelah Om sembuh nanti belajarnya di rumah lagi. Oke!”
Meylin mengangguk paham. “Oke, Om!” jawabnya.
Begitu Tante Rieka dan Meylin akan keluar kamar, tiga orang masuk. Mereka berpapasan di depan pintu. Tidak orang pria. Ketiganya berbadan kekar. Tidak seorang pun Rendi tidak kenal dengan mereka.
Tiga orang pria itu berdiri berpencar. Seorang berada di depan meja, di samping tempat tidur Rendi. Sementara dua orang lagi berdiri di ujung tempat tidur, dekat kakinya. Rendi memandang ketiganya bergantian. Benar. Ia tidak kenal mereka.
“Kami dari keluarga Shelia. Kami mau mengajukan perdamaian soal tabrakan itu,” ujar pria yang berdiri di samping Rendi. Bertampang keras dengan kumis yang cukup lebat. Ia mengulurkan tangan pada pria di ujung tempat tidur yang membawa tas. Pria bertopi hitam itu mengeluarkan selembar kertas dan sebuah amplop.
“Ini surat perdamaian itu. Tolong tanda tangani!” tegasnya dengan mata tajam.
Rendi tidak berekasi. Ia diam saja.
"Kamu tandatangani!"
"Surat perdamaian apa?"
"Surat perdamaian mengenai kecelakaan kemarin itu!" tegasnya.
Rendi memandangi mereka seakan-akan menilai kekuatan tinju mereka atau kecepatan kakinya.
“Kenapa? Tidak mau?” tanya pria yang memakai tas.
“Bukan tidak mau, tapi..”
“Tidak ada tapi-tapi. Segera tanda tangani saja!” tegas pria lainnya yang berdiri di sebelah yang membawa tas.
Mereka datang dengan tampang tidak bersahabat. Rendi tidak akan meladeni mereka. Tapi ia juga sadar tidak akan mampu melawan ketiganya. Apalagi dengan kondisinya sekarang. Jangan untuk melawan, untuk bergerak saja ia tidak bisa.
“Apalagi yang kau pikirakan?”
“Atau perlu akan patahkan lagi kaki kau yang sebelahnya!” ancam pria yang berdiri persis di ujung kaki Rendi.
Rendi masih diam. Pria di ujung kakinya bergerak mendekati. Matanya memandang tajam dengan menyipit.
“Jangan bikin masalah baru lagi. Ini uang damainya. Dan kau teken surat ini,” desak pria berkumis tebal di samping tempat tidurnya.
Rendi bukannya tidak ingin melawan. Namun posisi dan situasi sama sekali tidak memungkin ia untuk menolaknya. Ia benar-benar tidak punya pilhan.
“Aku tunggu tiga menit. Bila kau masih diam aku patahkan kaki kau. Jangan main-main dengan kami!” ancam pria berbadan kekar di ujung kakinya.
Pria yang berada di samping menyorongkan kertas dan pena. Sementara pria yang dibawah pun mengulurkan kedua tangannya di atas kaki Rendi. Rendi menarik nafas. Ia melirik dengan menyipitkan mata. Sepertinya tidak main-main ancaman terhadap kakinya. Ujung tangan si pria bertopi itu kini berjarak beberapa sentimeter di atas kaki yang tidak tertutup selimut.
Rendi tidak mau berbuat konyol. Tidak ada pilihan lagi. Apa boleh buat. Digerakkannya tangan kanan mendekati kertas yang sudah terulur. Diambilnya kertas itu. Juga pena. Pria di sebelahnya mengancam dengan anggukan.
Dengan nafas tercekat ia memiringkan badan. Beralasan tangan kirinya Rendi membubuhkan tanda tangan. Dibiarkan saja kertas itu tergeletak di atas samping badannya. Pria di sebelah tempat tidur segera memungutnya. Melipat dan menyerahkannya pada rekannya yang berdiri di ujung tempat tidur.
Pria itu menarik bibir kemenangan. Lalu menyorongkan amplop. Rendi diam saja. Tidak menerimanya. Pria itu menjatuhkan amplop. Tergeletak di samping badan Rendi. “Itu uang damainya. Ambillah. Jangan bertindak bodoh!” tegasnya.
“Tidak perlu aku uang itu. Kalian bawa lagi!” ujar Rendi tidak kalah tegasnya.
“Kalau itu maunya bawa saja. Yang penting dia sudah tanda tangan,” kata pria bertopi . “Baguslah itu,” tambahnya tertawa senang.
Pria berkumis lebat tidak sependapat. “Bermasalah nanti,” katanya.
Pria bertopi bertahan dengan keinginannya untuk membawa amplop itu. Tak jelas maksudnya. Mau mengembalikan uang itu kepada orang tua Shelia atau mengantonginya sendiri. Ia bergerak mau mengambil amplop itu.
Pria berkumis melarangnya. “Biarkan saja!” tegasnya yang membuat pria bertopi menghentikan langkahnya seraya bersungut-sungut.
“Ambil lagi. Aku tidak mau uang itu,” dengus Rendi menahan amarah.
Ketiga pria berbadan kekar itu saling pandang. Mereka seperti mendapat durian runtuh. Namun takut mengambil karena ada binatang buas dekat durian itu. Pria yang membawa tas menggerakkan dagunya pada pria berkumis memberi kode.
Dengan gerakan cepat pria berkumis meraup kembali amplop berwarna coklat yang bergeletak di dekat lengan Rendi. Disurukkan dalam jaket kulit hitam yang dipakainya. Ia melemparkan senyum kemenangan. Rendi melihat dengan helaan nafas. Ketiganya bergegas ke luar kamar.
"Makasih ya," teriak salah seorang sebelum menutup pintu dengan hempasan yang kuat.
Rahang Rendi mengeras. Giginya terlihat seakan bergerak. Ia menjangkau HP di bawah bantal.
"Kalau ada waktu bisa datang ke rumah sakit, Bro," ujarnya setelah nomor yang dihubungi tersambung.
Kuat dugaan Rendi ketiga pria tadi adalah orang suruhan gadis yang menabraknya. Atau perintah dari orang tua si gadis itu. Setelah ia menolak tawaran perdamaian yang disampaikan si gadis penabrak, mereka menempuh jalan ancaman. Baik, aku turuti permainan mereka, bathin Rendi.
Kepada Fadely yang sorenya datang, Rendi mencerita kedatangan tiga orang pria berbadan tegap itu. Juga ancaman yang dilakukan mereka untuk mendapatkan tanda tangan surat perdamaian.
Fadely menanggapi tenang dengan sekilas senyuman. "Tak apa. Dengan teken surat itu saja belum selesai persoalannya."
Fadely duduk di sebelah tempat tidur. Ia mengaku sudah mendapatkan data-data tentang gadis penabrak itu. "Aku pun sudah tahu siapa gadis itu. Bapaknya pengusaha. Banyak bisnisnya di Kota Bandung ini. Dan si gadis itu menjalankan beberapa bisnis bapaknya," jelasnya.
Dan Fadely memastikan ketiga pria yang datang Rendi itu adalah orang-orang suruhan bapak si gadis itu. Fadely berjanji akan segera mencari tahu siapa mereka.
"Lalu apa yang mesti kita lakukan? Apa rencana, Bro?" tanyanya.
Tentu melakukan perlawanan. Namun hal itu jelas tidak mungkin dilakukan sekarang. Perlu waktu menunggu penyembuhan kaki terlebih dahulu. Tentu gila melawan dengan kondisi sekarang.
"Selesai dulu perawatan aku di rumah sakit ini. Setelah itu kita atur apa rencana selanjutnya. Bagaimana menurut, Bro?" tanya Rendi.
"Begitu lebih baik," tanggap Fadely. "Kira-kira berapa lama lagi Bro keluar dari sini?"
"Sekitar dua pekan lagi."
"Pas itu. Lusa aku ke Jakarta. Ada pelatihan di Forki Pusat. Lima hari. Sepulang dari situ kita bicarakan lagi. Kita siapkan segala sesuatunya." Fadely memutar duduknya. Dijangkaunya dua apel. Satu diserahkannya pada Rendi. Sementara satu lagi dimakannya. Keduanya menikmati buah yang terasa segar itu.
"Mulai besok kusuruh anak Dojo Polres stand by di luar. Berjaga-jaga," sebut Fadely pula. "Kalau Bro tidak patah tentu tidak perlu mereka. Orang-orang yang tidak jelas dilarang masuk ke sini."
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se