“Belagu dia, Ma,”
“Maksud kamu?” tanya Mama di antara suapan sarapannya.
“Pria itu belagu. Tidak mau damai. Tidak mau uang damai yang aku tawarkan,” jelas Shelia bersungut-sungut. “Banyak gaya betul dia. Huh! Macam orang kaya pula!”
Mama menghentikan suapannya. Memandang lurus ke depan. “Kamu datangi dia ke rumah sakit? Jumpai dia?’
“Iya, Ma. Aku datang baik-baik ke rumah sakit. Ngajak berdamai. Eh, dia sama sekali tidak merespos. Malah nyuruh aku pulang.” Shelia menghentakkan siku pada kaca meja makan.
“Salah omong kamu mungkin,” duga Mama.
“Salah omong apa pula. Itulah yang aku bilang ke dia. Tidak salah!"
“Cara masuk kamu, cara ngomong kamu, maksud Mama.”
“Aduh, Mama ini gimana?. Masuk ya ketuk pintu. Omong ya sampaikan apa hendak dikatakan. Jelaskan terus terang. Begiitu kan?”
Mama mengangguk. “Cara omongan kamu kurang sopan mungkin?”
Shelia menyelesaikan tegukan minumannya. “Sopan bagaimana lagi, Ma? Dia itu yang sok. Banyak lagunya!”
“Berapa kamu siapkan uang?”
“Sepuluh juta.”
Mama tertawa tipis. “Mungkin kurang jumlah uangnya.”
“Mama,” cetus Shelia cepat. “Kurang apa lagi? Aku kasih uang damai Rp10 juta. Lalu aku juga bilang ke dia akan menanggung semua biaya di rumah sakit. Total semua nanti bisa-bisa lebih Rp40 juta. Apa itu kurang?”
Papa datang ke meja makan. Duduk di samping Mama. Ia menjangkau gelas minuman yang sudah terisi. Mama menawarkan nasi goreng yang langsung disetujui Papa. Mama mengambilkannya.
“Ada apa?” tanyanya pada Shelia yang masih bermuka sewot.
“Si korban tabrakan itu tidak mau damai. Tidak mau menerima amplop uang yang aku bawa,” jelasnya.
“Kenapa begitu?”
“Itulah banyak betul gayanya. Sama sekali menolak semua yang aku tawarkan. Dia malah nyuruh aku pergi dan tidak boleh datang lagi,” tambah Sheila secara menceritakan isi percakapannya dengan pria yang ditabraknya.
“Begitu katanya?” Papa masih belum percaya.
“Iya, Pa!”
“Kamu dah tahu siapa dia? Di mana tinggalnya. Siapa bapaknya?”
Shelia menggeleng tanpa suara. "Tapi informasi dari pihak rumah sakit dia itu mahasiswa. Tidak ada keluarganya di sini. Dia kost," jelasnya.
"O, mudah itu. Kalau dia sendirian di kota ini. Tambah uang damainya. Sebutkan angkanya sama dia. Pasti mau dia," kata Mama dengan keyakinan yang besar.
Usai meneguk kopi susunya, Papa berkata, “Sekarang biar Papa yang tangani. Papa suruh nanti anggota di kantor yang menyelesaikan. Sekalian mencari tahu siapa dia. Udah kamu diam saja.”
***
Shelia duduk dengan pikiran suntuk. Beberapa hari belakangan bolak-balik ke kantor polisi membuat harinya kocar-kacir juga. Belum lagi sikap Rendi yang dinilainya sangat egois. Menolak semua tawaran yang disampaikannya.
"Kacau betul tampaknya. Ada masalah apa?" tanya Verin.
Shelia melepaskan nafasnya. "Si Kampet itu banyak betul gaya. Muak aku!" rutuknya.
"Si Kampret mana?"
"Itu yang kena tabrak. Kampret betul dia."
Verin menyelesaikan tegukan jusnya. "Kenapa dia?"
Shelia memperbaiki posisi duduknya. "Aku kan tawarkan damai sama dia. Tanggung juga biaya rumah sakitnya. Kasih uang juga. Eh, dia malah belagu pula. Tidak mau," sebutnya tanpa bisa menahan sewot.
Yunia yang asyik main HP menegakan kepala. "Apa alasanya?"
"Tidak tahu juga. Tidak ngomong."
"Berapa kamu siapkan uang damainya?"
"Sepuluh."
"Sepuluh juta?"
Shelia menganggukan kepala.
Verin tertawa. "Pasti karena uang damai itu. Terlalu kecil."
Shelia melotot. "Terlalu kecil? Sepuluh juta dibilang kecil?"
"Coba kamu siapkan Rp50 juta pasti diterimanya," kata Yunia seraya tertawa. "Betul tidak, Rin?" tanya pada Verin.
Verin ikut tertawa. "Bodoh kali dia kalau segitu tidak mau," ulasnya.
"Ya, mau. Tapi akunya yang tidak mau. Bodoh ngasih segitu!" sergah Shelia cepat.
"Betul juga."
"Kalau tak usah dikasih gimana? Tidak mau damai dia?
"Surat perdamaian sudah ditekennya. Uangnya ja yang dia tidak mau," jelas Shelia pula.
"Wah, baguslah itu. Tidak keluar uang. Yang perlu itu surat damainya kan? Tidak perlu lagi kasi uang itu."
Betul juga pemikiran begitu. Hanya saja, kedudukan perdamaian tidak sekuat bila tidak ada yang memberi dan menerima. Seakan tidak ada ikatan secara emosional. Hal ini juga yang menyebabkan Papa bersikeras agar uang tersebut diterima Rendi. Papa malah memandangnya sebagai jerat yang membuat Rendi tidak bisa berkelit lagi bila terjadi sesuatu. Tentu hal ini tidak perlu diketahui Verin dan Yunia.
"Perlu aku turun tangan?"
"Maksud kamu?"
"Merayu dia agar mau menerima uang perdamaian itu," ujar Verin berkata serius. "Perlu bantuan begitu?"
Shelia menggeleng lesu. "Tak perlu."
"Lalu apa yang solusinya?"
"Itulah aku bingung," ujar Shelia mengakui,
"Bagaimana kalau minta tolong pada pihak ketiga?"
Shelia dan Verin sama-sama berkerut keningnya. "Jasa pihak ketiga. Preman gitu?"
"Tidak mesti preman. Tapi orang-orang yang memang bersedia untuk membantu begitu," jelas Yunia.
"Kamu ada kenal dengan orang-orang itu?"
Yunia mengerling. "Ada. Mau ku datangkan mereka ke sini sekarang?"
Shelia menggeleng. "Jangan. Aku pikir dulu," elaknya.
***
Sore Tante Rieka bersama Meylin datang ke rumah sakit. Rendi tengah asyik browsing ketika tiba-tiba dilihatnya ibu dan anak itu sudah berada di sisi tempat tidurnya. "Apa kabar Meylin?" sapa Rendi pada muridnya.
Meylin tersenyum dengan lesung pipit di kedua pipinya. "Baik, Om," ujarnya.
Tante Rieka mendekat ke samping tempat tidur Rendi. “Bagaimana operasi pemasangan pen? Lancar kan?”
“Alhamdulillah, Tan. Berjalan dengan baik dan lancar,” jelas Rendi. “Eh, tidak sekolah nih?” tanyanya pada Meylin.
“Sekolah dong, pagi tadi. Ini kan sudah sore, Om,” jawabnya.
“Oh, iya sudah sore ya. Kirain masih pagi.”
Tante Rieka meletakkan buah apel dan jeruk di atas meja. Rendi menyampaikan terima kasihnya. Tidak saja Tante Rieka, ia mendapatkan perlakuan yang sangat baik dari orang tua murid-muridnya.
“Kalau sudah dipasang pen tentu tinggal pemulihannya. Tak lama itu,” sebut Tante Rieka.
“Kata dokter paling tidak dua atau tiga pekan lagi sudah bisa menjalani perawatan di rumah,” sebut Rendi menjelaskan keterangan dokter. Dari sejumlah tulisan yang dibacanya di internet, dua hingga tiga pekan ke depan sudah bisa menggunakan kruk, tongkat alat bantu untuk berjalan.
“Kalau Om sakit, gimana dengan lesnya?” tanya Meylin pula.
“Ada yang gantikan Om. Tante Siska namanya,” Rendi menoleh pada Tante Rieka. Ia menjelaskan selama menjalani perawatan ada teman yang akan menggantikan mengajar. Temannya, Siska. Namun tidak bisa mendatangi rumah para muridnya. Kegiatan les dilaksanakan di rumah Monika dan Ricardo. Masing-masing bergabung pada rumah yang terdekat dengan kedua rumah itu.
“Para orang tua yang lain sudah aku kasih tahu. Mereka setuju. Tante yang belum aku kasih tahu,” ujar Rendi pula. Tante Rieka tidak keberatan. Apalagi rumah Monika masih satu kompleks dengan kediamannya.
Rendi menjelaskan pada Tante Rieka kalau penabraknya sudah datang menjumpainya. Diceritakannya juga kedatangan gadis penabrak itu yang menawarkan damai dan memintanya mencabut laporan di Kepolisian. Namun tawaran itu ditolaknya.
“Kenapa?”
“Gayanya sombong betul. Muak aku melihatnya,” ujar Rendi dengan nada tinggi.
“Jadi laporan di polisi itu berlanjut?”
Rendi tertawa tipis. “Perlu diberi pelajaran orang-orang sombong macam itu.”
Tante Rieka menanggapi dengan senyuman. “Tidak akan bermasalah menolak perdamaian yang mereka ajukan itu?”
“Kalau disampaikan dengan baik-baik akan kita terima. Tapi, angkuh sekali caranya,” sebut Rendi yang kembali terbayang olehnya bagaimana tutur kata dan sikap yang diperlihatkan gadis penabraknya itu. Sama sekali tidak bersahabat.
“Penabrak itu gadis kan?”
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se