“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.
“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.
“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”
Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.
“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.
Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.
Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”
“Takut."
"Takut apa?"
"Aku takut dihakimi orang ramai.”
“Kamu mestinya bertanggung jawab. Apalagi yang menjadi korban mengalami luka-luka dan patah kaki. Kamu lihat kan bagaimana kondisi korbannya? Terkapar di sini,” ujarnya dengan muka sangat serius.
Siska mengalihkan pandangan ke Rendi. "Kasus tabrakan ini sampai ke polisi kan?” tanyanya yang dijawab Rendi dengan anggukan. “Ya, bagusnya diselesaikan saja secara hukum. Siapa yang salah akan ketahuan nanti. Juga untuk pelajaran bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab.”
HP Siska berdering. Usai berbicara beberapa patah kata, ia memandangi Shelia dan Rendi bergantian.
"Aku pamit dulu ya. Kelupaan. Ada janji jumpa sama teman," jelasnya sambil menyentuh lengan Rendi. Ia hanya menganggukan kaku tanpa suara pada Sheila.
Siska pergi, Sheila lega. Terdengar ia melepaskan nafas beberapa kali. Shelia duduk di kursi tempat duduk Siska sebelumnya. Hanya sekitar semeter dari tempat tidur Rendi. Ia mau berbicara. Beberapa kali memandangi Rendi. Rendi menunggu apa yang akan dikatakan gadis itu.
“Dia itu pacar kamu?” tanya kemudian.
“Kenapa?”
“Marah betul dia sama aku.”
Rendi tidak memberikan tanggapan. Tidak perlu dijelaskan. Sheila diam saja. Kesimpilannya, diam berarti iya. Gadis itu menautkan ujung jari di depan mulut. Menoleh sekilas.
"Aku bisa minta teken surat lagi?" tanyanya ragu.
"Surat itu sudah aku teken kan?"
"Iya. Tapi masih perlu surat lainnya."
"Kenapa tidak pakai preman lagi?" tanya Rendi. Kalau preman kalian datang besok, akan berhadapan terlebih dahulu dengan anak-anak Dojo sebelum masuk ke kamar ini, kata Rendi dalam hati. Pasti tidak akan bisa masuk mereka.
"Maaf. Papa itu. Mereka anggota Papa. Bukan preman."
"Bilang ke Papa kamu kalau nyuruh orang yang bisa dipercaya."
"Kenapa?"
"Bilang ja begitu!"
Shelia diam dengan pandangan heran. Ia enggan bertanya lagi. Tak tahu juga apa yang mesti disampaikan ke Papa. Ia pun tidak kenal siapa yang disuruh Papa menjumpai Rendi.
"Mau surat apa lagi?"
"Cabut surat di polisi."
"Mencabut laporan polisi tidak mudah. Aku harus di sana memberikan penjelasan. Berikan surat perdamaian. Baru bisa diajukan pencabutan laporan. Mesti tunggu pengobatan di sini selesai," tutur Rendi
"Kata Papa bisa cepat," kilah Sheila.
"Pakai ancam-ancam lagi? Mau pakai preman lagi? Kalau begitu mungkin bisa cepat."
Sheila menggeleng. "Bukan. Maksud aku..."
"Cobalah kalian urus kalau bisa.”
***“Aku dapat berita bagus, Bro. Ini benar-benar berita penting!” cerocos Fadely begitu masuk dalam kamar. Ia datang bersama Hernan, kawan kost lainnya.Fadely menarik kursi dan segera duduk. Ia menoleh pada Hernan. “Nan, di sini sama dengan gedung dewan. Kursi sangat mahal dan sudah mendapatkanya. Makanya kau berdiri saja. Cari modal untuk mendapatkan kursi,” tuturnya.
Hernan menanggapi dengan senyuman. “Tidak susah. Campur saja sianida pada kopimu. Kamu almarhum, aku lakukan PAW. Dapat kan kursimu itu. Aku lagi yang duduk di situ.”
“Ah, betul juga ya. Jadi, aku harus hati-hati.”
“Tidak hanya hati-hati, tetapi juga harus sering bagi-bagi dana aspirasi.”
Fadely terkekeh. Rendi pun tidak bisa menahan tawanya. “Betul. Betul itu. Kalau mau aman harus berpandai-pandai. Tidak bisa pandai saja,” ujarnya mengikuti debat kedua rekannya.
“Nah, sekarang bagilah dana aspirasi itu,” tagih Hernan segera.
Fadely mengibaskan tangannya. “Aman itu. Jangan di sini dibaginya. Di luar nanti.”
“Kenapa?”
“Kalau di sini ntar jadi berita pula. Terpampang pula beritanya di media online, Bro ini,” ujar Fadely.
“Makanya itu harus berpandai-pandai. Kalau kalian berpandai-pandai dengan aku, tentu aku bisa memakluminya. Ia akan menjadi fakta yang tidak diperlu diberitakan. Bagaimana?” tawar Rendi.
“Setuju!” angguk Hernan dan Fadely bersamaan.
“Jadi, berita apa yang Bro bawa?” tanya Rendi.
“Berita yang sangat penting. Sangat menggemparkan. Benar-benar akan menjadi pembicaraan banyak orang”
“Berita apa?”
Fadely menahan senyum. “Kalau di koran cetak letaknya bisa di HL halaman satu. Jadi berita utama.”
“Ya. Berita apa?” tanya Rendi makin tertarik.
Fadely masih berliku-liku. “Bro tahu, kalau di tivi ini akan menjadi berita breaking news. Berita yang akan diupdate terus menerus. Tiap jam diberitakan."
Tidak hanya Rendi, Hernan pun mulai penasaran. “Jangan berputar-putar juga. Berita apa?”
Fadely tertawa panjang. Seakan tak peduli dengan Rendi yang tidak bisa mengurangi ketertarikannya. Tidak peduli dengan Hernan yang keningnya makin banyak kerutnya.
“Cepatlah Bro. Jangan bikin aku sampai mati penasaran pula,” kata Hernan yang matanya membulat. Kondisi yang sama juga terjadi dengan Rendi.
“Berita tentang Sheila.” Fadely masih berputar-putar. Belum mau masuk ke titik utama.
“Siapa Sheila?” tanya Hernan.
“Gadis penabrak Rendi”
Fadely diam. Ia mengunci mulut. Ia memandangi Hernan. Lama. Berpindah pada Rendi. Dengan pandangan yang lama pula. Berpindah lagi. Dari Rendi ke Hernan. Terlihat gerahamnya bergerak-gerak. Menahan agar tidak terbuka. Berpindah lagi pandangannya dari Hernan ke Rendi.
Fadely melepaskan nafas. “Sheila... Sheila itu…” Ia mengantung kata. Beberapa lama. Hernan menunggu dengan mata bulat. Rendi menanti dengan mata melotot.
"Shelia itu positif narkotika," ujar Fadely singkat dan pelan.
Meski singkat dan pelan, namun terdengar bagai letusan bom. Terdengar menggelegar. Rendy melotot dengan mata tidak percaya. Sementara Hernan menggeleng bingung. Ia tidak kenal orangnya. Siapa yang narkotika?
Fadely menarik nafas. Ia melanjutkan penjelasannya. "Ia positif memakai narkotika saat tabrakan itu terjadi. Begitu diketahui polisi ia pelaku tabrakan, langsung dilakukan tes urine. Dan hasilnya positif," jelas Fadely.
"Sumber informasinya bisa dipercaya? A satu?" tanya Rendi yang masih belum percaya dengan kabar yang disampaikan Fadely.
Sebagai orang media massa, aktif sebagai koresponden media online, Rendi sangat paham dengan macam-macam sumber informasi yang layak dijadikan berita. Mana yang bisa dipercaya. Mana yang hoaks.
"Tidak mungkin kan polisi memberikan informasi kalau tidak A satu. Bro pasti lebih tahu tentang itu."
"Bro dapat informasi dari dalam?"
Fadely tersenyum miring. "Tidak mungkin dapat informasi dari luar."
Rendi membenarkan. "Dari angota Reskrim?"
"Bang Kornel yang ngomong."
Rendi kenal dengan Bang Kornel. Ia anggota Reskrim yang senior. Bisa dipercaya bila informasi darinya.
"Lalu bagaimana prosesnya lagi?" tanya Hernan.
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Rendi membuka mata. Seakan berat terbuka. Mengerjap-ngerjap. Pandangannya hanya melihat warna putih. Rendi memencet kedua ujung mata dengan jempol dan jari telunjuk secara bersamaan. Memejamkan sesaat, matanya terbuka lebih lebar.Masih putih yang terlihat olehnya sekeliling. Rendi menggerakkan kepala. Memandang ke kiri. Putih yang tampak. Memandang ke kanan. Putih yang terlihat. Hei, di mana ini?Meragukan matanya, pria muda itu kembali merasa perlu mengucek kedua bola matanya. Mengerjap lalu membuka dengan pandangan mata bulat. Aneh masih putih sekeliling. Dinding dan plafon putih terlihat sempurna.Rendi tersadar ia tengah tertidur. Memandang ke bawah pada kedua kaki, terlihat tertutup dengan selimut. Selimut juga berwarna putih. Rendi menggerakkan kedua tangan. Tidak ada masalah. Kedua tangannya bahkan sudah beberapa kali bergerak mengusap matanya.Ia berusaha menggerakkan kaki. Ops! Terasa berat. Terasa nyeri.Rendi meninggikan dua bantal di belaka
Rendi tersenyum. Ia berusaha menegakkan badan. Tante Rieka buru-buru mendekat. "Jangan dipaksa kalau belum kuat duduknya," tuturnya seraya membantu memasang bantal di ujung dipan.Rendi mencoba duduk bersandar pada bantal. Posisi badannya lurus. Ia menarik nafas. Berkurang panas yang semula memenuhi punggungnya. Ia merasa punggung penuh keringat karena hawa panas tertekan di sana.Tante Riska meletakkan buah-buahan yang dibawanya di atas meja. Ia kemudian duduk di kursi samping tempat tidur Rendi. Ia menawarkan jeruk. Namun Rendi menggeleng."Bagaimana tante tahu dengan kecelakaan aku?" tanya Rendi usai melirik wanita cantik berusia sekitar 35 tahun itu."Kebetulan saja. Usai kamu ngajar, Meylin minta dibelikan roti. Tante keluar pakai motor aja. Saat itulah lihat ada tabrakan. Ramai orang menolong. Ketika mendekatinya, ternyata kamu. Be
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se