Rendi tersenyum. Ia berusaha menegakkan badan. Tante Rieka buru-buru mendekat. "Jangan dipaksa kalau belum kuat duduknya," tuturnya seraya membantu memasang bantal di ujung dipan.
Rendi mencoba duduk bersandar pada bantal. Posisi badannya lurus. Ia menarik nafas. Berkurang panas yang semula memenuhi punggungnya. Ia merasa punggung penuh keringat karena hawa panas tertekan di sana.
Tante Riska meletakkan buah-buahan yang dibawanya di atas meja. Ia kemudian duduk di kursi samping tempat tidur Rendi. Ia menawarkan jeruk. Namun Rendi menggeleng.
"Bagaimana tante tahu dengan kecelakaan aku?" tanya Rendi usai melirik wanita cantik berusia sekitar 35 tahun itu.
"Kebetulan saja. Usai kamu ngajar, Meylin minta dibelikan roti. Tante keluar pakai motor aja. Saat itulah lihat ada tabrakan. Ramai orang menolong. Ketika mendekatinya, ternyata kamu. Bersama warga, Tante bawa kamu ke rumah sakit ini," jelas Tante Rieka yang mengaku sangat kaget mendapatkan Rendi menjadi korban tabrakan tersebut.
"Siapa yang nabrak aku, Tan?"
Tante Rieka memperbaiki posisi duduk di kursi. "Penabrak itu langsung kabur usai kejadian. Dia pakai mobil."
"Belum tahu sampai sekarang?"
"Sudah dilaporkan ke polisi. Ada saksi mata yang melihat tabrakan itu. Mudah-mudahan segera diketahui polisi mobil penabrak itu," sebut Tante Rieka pula.
Tante Rieka adalah mamanya Meylin. Dan Meylin, anak satu-satunya Tante Rieka itu adalah murid Rendi. Meylin masih kelas 5 SD. Tante Rieka single parents. Ia bekerja pada salah satu bank internasional yang berkantor pusat di London.
Rendi tidak tahu semenjak kapan wanita bertubuh tinggi berisi itu berpisah dengan suaminya. Ketika datang pertama kali untuk mengajar Meylin satu setengah tahun lalu, ia sudah mendapatkan rumah kediaman mereka tanpa pria. Hanya tiga orang isinya rumah tersebut. Tante Rieka dan anaknya Myelin serta Bik Mur, pembantunya.
Dan Rendi pun tidak merasa perlu mencari tahu lebih banyak tentang keluarga itu. Yang ia tahu Meylin anak yang cerdas dan cepat menangkap pelajaran yang diberikan. Gadis kecil itu suka sekali mempraktekan kemampuan Bahasa Inggrisnya.
"Tidak kerja hari ini, Tan?" tanya Rendi kemudian.
Rieka tergelak. "Sampai kamu tidak tahu dengan hari karena kecelakaan itu. Parah juga ini," ujarnya.
Rendi memandang bingung.
"Hari ini Sabtu."
Rendi mengguman heran. Heran dengan dirinya yang sudah lupa dengan hari. "Sudah berapa hari aku di sini, Tan?"
"Kecelakaan itu terjadi Kamis malam."
Berarti sudah dua malam. Dua malam di rumah sakit dengan kondisi pingsan. Sudah dua hari tidak pulang. Aduh, tentu kawan-kawan itu pada bingung mencari. Adakah mereka tahu kalau aku berada di rumah sakit?
Sekarang saat sudah sadar, Rendi pun tidak bisa mengontak mereka. Rendi menceritakan pada Tante Rieka tentang kehilangan HP dan dompet saat kecelakaan terjadi. Mungkin terjatuh lalu mungkin diselamatkan pihak lain yang kemudian lupa mengembalikan kepadanya.
Ia kehilangan kontak untuk menghubungi kawan-kawasan sekostan. Ia juga kehilangan surat KTP, ATM, kartu mahasiswa serta kartu identitas lainnya.
"Sering begitu kalau kecelakaan. Selain menyelamatkan korban, ada juga orang-orang yang menyelamatkan HP, dompet dan barang-barang bawaan. Tante sampai di tempat kejadian setelah orang ramai," jelasnya.
Rendi mendengus jengkel. "Begitulah orang kita. Selalu ada yang berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan."
Sekarang saat ia sudah sadar, Rendi pun tidak bisa mengontak mereka. Ia kemudian minta tolong pada Tante Rieka untuk memberitahu pada kawan-kawan sekostan. Rendi menunjukkan alamatnya. "Sepulang nanti minta tolong kabarkan ke kawan-kawan di kosan," ujarnya.
"Kamu tidak ada keluarga di kota ini?"
Rendi menggeleng. Tante Rieka tidak bertanya lagi. Makanya, Rendi tidak merasa perlu menjelaskan tentang dirinya yang hanya sendirian di Kota Bandung ini. Jauh-jauh datang dari Pulau Sumatera untuk mengejar cita-cita. Kuliah. Agar mampu menjadi orang yang berada. Bisa membiayai sekolah adiknya Sonia dan Fikri.
Ia menjadi bingung pula bagaimana menjalani kehidupan dengan kondisi kaki patah. Beberapa bulan ke depan dipastikan ia tidak akan mampu bergerak banyak. Tidak bisa menjalankan les untuk belasan muridnya. Ia mesti menjalani perawatan dan menunggu kaki pulih kembali.
Perawatan? Ya, menjalani perawatan. Dipastikannya untuk menjalani perawatan di rumah sakit ia tidak punya dana yang cukup. Tidak sampai Rp3 juta uang yang ada di rekeningnya sekarang. Lalu kemana mencari tambahan uang?
Rendi menarik nafas. Kini baru ia merasa pentingnya ikut BPJS. Padahal ia merasa mampu membayar iuran bulanannya. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin muncul kesadaran untuk itu? Kesadaran untuk berjaga-jaga itu ternyata sangat penting.
"Kaki kanannya memang tidak bisa digerakkan? Kata dokter kemarin sepertinya mengalami patah," tanya Tante Rieka kemudian.
Rendi tertawa cengir membenarkan. "Sepertinya begitu, Tan."
"Sudah ada rencana? Mau dipasang pen atau dibawa ke tukang urut?"
Rendi menggeleng. Ia tidak tahu. Tidak tahu bagaimana mendapatkan uang untuk membiayainya. Juga tidak paham penanganan terbaik untuk kakinya yang patah. Di pasang pen? Tulang yang patah disambungkan dengan besi. Atau berobat pada tukang urut. Setahunya bila patah lebih banyak diurut untuk penyembuhannya. Tapo apa pun pilihan itu keduanya memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Seperti mencerminkan kebingungannya, Rendi bertanya, "Mana yang bagus diberi pen atau diurut."
Tante Rieka menggeleng. "Tidak paham juga Tante soal itu," sebutnya seraya memikirkan sesuatu. "Entar, bisa coba ditanyain." Tante Rieka mengeluarkan HP dari tas.
Ia menghubungi seseorang. "Hallo Dimas. Kalau kaki patah penanganan terbaiknya bagaimana? Tetap di rumah sakit dengan memasang pen atau berobat dengan tukang urut?" tanya Tante Rieka yang kemudian diam mendengarkan pembicaraan di HP-nya.
Cukup lama Tante Rieka diam mendengarkan. Beberapa saat kemudian baru ia menghentikan pembicaraan mematikan HP.
Kemudian ia berkata, "Dimas adik Tante. Dia dokter muda baru tamat. Sekarang lagi menjalani penugasan di Padang. Katanya kalau tulangnya hancur pada beberapa bagian atau patah tulang terjadi di sekitar sendi yang sering digerakkan sebaiknya memang pasang pen. Tapi bila tidak, pengobatan alternatif dengan tukang urut juga tidak masalah. Jadi sangat tergantung dengan kondisi patahnya. Begitu katanya," tutur Tante Rieka.
"Nah, perlu ditanyakan sama dokter bagaimana kondisi patahnya. Setelah itu mungkin bisa dipilih bagaimanan penanganan selanjutnya," tambah Tante Rieka.
Rendi setuju dan ia akan menanyakan hal itu kepada dokter.
***
Sorenya kawan-kawan di tempat kost datang menjenguk. Mereka mengaku sangat terkejut mendapatkan Rendi terkapar di tempat tidur rumah sakit dengan kepala penuh balutan perban.
"Kami kira Bro ada acara kampus ke luar kota. Heran juga, tidak biasanya Bro pergi tanpa memberitahu. Eh, tak tahunya malah korban tabrakan," ujar Sudar.
Sekilas Rendi menceritakan malam naas yang dialaminya. Ia sendiri tidak tahu sepenuhnya mengapa tabrakan itu terjadi. Tiba-tiba saja ia merasakan didorong dari belakang, terjatuh, tersungkur di jalanan, lalu kemudian ia tersadar setelah berada di rumah sakit.
"Tapi penabraknya bertanggung jawab kan?' tanya Fadely.
Rendi menahan senyum. "Tabrak lagi. Bertanggung jawab gimana?"
"Pelakunya kabur usai menabrak?
Rendi menjawab dengan anggukan. Anggukan lemah itu memancing Fadely. "Sudah dilapor ke polisi?" tanyanya yang segera dibenarkan Rendi.
"Biar akan tanyakan nanti progresnya. Aku banyak kawan di Bagian Lantas. Ini harus dikejar. Korban sampai luka-luka dan parah, eh pelakunya malah kabur. Tidak bertanggung jawab sama sekali," ujar Fadely yang memberi pelatihan karate di Mapolresta Bandung.
"Aku yakin dalam dua hari ini ketahuan penabraknya," tegas Fadely pula.
Sudah lima hari Rendi terbaring di rumah sakit. Luka-luka yang berada di kepala, tangan dan kaki sudah mengering. Hampir sembuh. Menunggu waktu penyembuhannya saja. Soal penanganan kaki kanannya yang patah, Rendi memutuskan untuk pemasangan pen. Ia menolak saran Hernan yang mengaku kenal dengan tukang urut.Dari hasil browsing di internet, disimpulkannya pemasangan implan yang terbuat dari logam lebih aman dari resiko kesehatannya dibandingkan dengan pengobatan alternatif. Terlebih pula, kondisi kepatahan di kakinya sangat memungkinkan untuk di pasang pen tersebut.Pertimbangan lainnya adalah waktu penyembuhan. Bila dipasang pen, diketahuinya, dua pekan setelah pemasangan ia sudah bisa menggunakan tongkat untuk bantu berjalanan. Sementara, diperlukan waktu yang jauh lebih lama untuk bisa beraktivitas bila ia berobat pada tukang urut patah.Persoalan biaya teratasi dengan ide dari Tante Rieka. Setelah tidak mendapat kemungkinan mendapatkan biaya, Rendi kemudian b
Gadis berambut sebahu itu tidak bergerak. Ia berdiri di depan kursi. Memandangi Rendi dengan mata menyipit. Rendi tidak mengubris. Melepaskan pandangan ke atas plafon.“Maaf, maksud aku itu...”Rendi memotong dengan suara tajam. “Pergilah. Sudah selesai!”Gadis itu menjulurkan kepala dengan mata membulat. “Jadi. Jadi, kamu menolak damai?” Suara gadis itu terdengar penuh keraguan, tidak percaya diri lagi. Namun pandangan matanya tetap tajam menusuk.Rendi memutar kepalanya menghadap dinding. Ia diam seribu bahasa. Lima atau mungkin sampai sepuluh menit. Diam saja. Rendi tidak tahu apa yang diperbuat gadis itu. Beberapa saat lamanya terdengar keheningan yang mencekam dalam kamar. Setelahnya, beberapa jenak kemudian, ia mendengar bunyi sepatu berdetak-detak. Suara langkah kaki. Mungkin gadis pergi. Baguslah itu. Rendi memejamkan matanya.Beberapa jenak kemudian terdengar lagi suara detak sepatu. Rendi diam tidak ber
Shelia masih telentang di spring bed saat didengarnya suara panggilan Bik Mur di balik pintu. “Ada tamu, Non. Mau jumpa, Non!” teriaknya.Shelia tidak beraksi. Ia diam saja. “Ada tamu, Non. Penting sepertinya!” teriak Bik Mur lagi.Gadis itu turun dari tempat tidur dengan bersungut-sungut. Siapa pula yang datang pagi-pagi begini? Menganggu saja. Ia membuka pintu dengan tarikan kemarahan. “Siapa, Bik?”“Ada tamu. Katanya mencari Non Shelia,” jelas Bik Mur pula.“Laki perempuan?’“Laki, Non. Dua orang.”Aduh. Menganggu saja. Laki-laki siapa? Shelia bingung. Ia merasa tidak pula ada janji mau jumpa siapa. Meski begitu, ia tetap turun ke lantai satu. Lalu membukakan pintu ingin tahu siapa yang datang.Ternyata dua pria dewasa berpenampilan necis. Berbadan tegap dengan potongan rambut pendek. Sepatunya hitam mengkilap seakan bisa berkaca di sana.“Maaf, &n
“Belagu dia, Ma,”“Maksud kamu?” tanya Mama di antara suapan sarapannya.“Pria itu belagu. Tidak mau damai. Tidak mau uang damai yang aku tawarkan,” jelas Shelia bersungut-sungut. “Banyak gaya betul dia. Huh! Macam orang kaya pula!”Mama menghentikan suapannya. Memandang lurus ke depan. “Kamu datangi dia ke rumah sakit? Jumpai dia?’“Iya, Ma. Aku datang baik-baik ke rumah sakit. Ngajak berdamai. Eh, dia sama sekali tidak merespos. Malah nyuruh aku pulang.” Shelia menghentakkan siku pada kaca meja makan.“Salah omong kamu mungkin,” duga Mama.“Salah omong apa pula. Itulah yang aku bilang ke dia. Tidak salah!"“Cara masuk kamu, cara ngomong kamu, maksud Mama.”“Aduh, Mama ini gimana?. Masuk ya ketuk pintu. Omong ya sampaikan apa hendak dikatakan. Jelaskan terus terang. Begiitu kan?”Mama mengangguk. &ldqu
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se