Sudah lima hari Rendi terbaring di rumah sakit. Luka-luka yang berada di kepala, tangan dan kaki sudah mengering. Hampir sembuh. Menunggu waktu penyembuhannya saja. Soal penanganan kaki kanannya yang patah, Rendi memutuskan untuk pemasangan pen. Ia menolak saran Hernan yang mengaku kenal dengan tukang urut.
Dari hasil browsing di internet, disimpulkannya pemasangan implan yang terbuat dari logam lebih aman dari resiko kesehatannya dibandingkan dengan pengobatan alternatif. Terlebih pula, kondisi kepatahan di kakinya sangat memungkinkan untuk di pasang pen tersebut.
Pertimbangan lainnya adalah waktu penyembuhan. Bila dipasang pen, diketahuinya, dua pekan setelah pemasangan ia sudah bisa menggunakan tongkat untuk bantu berjalanan. Sementara, diperlukan waktu yang jauh lebih lama untuk bisa beraktivitas bila ia berobat pada tukang urut patah.
Persoalan biaya teratasi dengan ide dari Tante Rieka. Setelah tidak mendapat kemungkinan mendapatkan biaya, Rendi kemudian berterus terang pada Tante Rieka. Ujung-ujungnya ia mengajukan pinjaman.
Tante Rieka tidak keberatan meminjamkan uang. Namun ia memprediksi Rendi yang akan kesulitan membayarnya. Menurut, melakukan pinjaman bukan solusi yang terbaik.
"Tante bantu saja. Juga minta bantu pada orang tua yang anak-anak mereka les sama kamu. Biar Tante yang menghubungi mereka. Bagaimana?"
Menurut Rendi itu ide yang bagus juga. Namun ia kurang sreg minta bantu begitu. "Merasa tidak enak dengan minta bantu begitu, Tan," ujarnya.
"Hidup ini harus tolong menolong. Saling bantu. Sekarang kamu yang perlu dibantu. Biar Tante yang ngomong sama mereka," tutur Tante Rieka dengan maksud menghilangkan rasa tidak enak yang menjadi beban Rendi.
Rendi pun bingung juga. "Aduh, bagaimana ya?"
"Tante yakin pasti mereka mau bantu. Sebagian besar teman-teman Tante juga."
Maka begitulah. Rendi tidak punya alasan kuat untuk menolak ide itu. Dan Tante Rieka segera menjalankan misinya. Rendi menyerahkan nama dan nomor kontak para orang tua yang anak mereka menjadi murid lesnya. Belasan orang.
Hanya semalam Tante Rieka bekerja. Menghubungi orang tua murid les Bahasa Inggris itu. Esok paginya wanita itu menelpon. "Sudah terkumpul Rp15 juta. Benar kan dugaan Tante. Banyak yang bantu. Itu belum semua dihubungi. Beberapa orang nomor HP-nya tidak aktif."
Tentu Rendi menanggapi dengan senang. Sama sekali di luar dugaannya. "Sudah cukup itu, Tan. Untuk biaya perawatan dan pemasangan pen," ujarnya gembira.
Pihak rumah sakit sudah mengkonfirmasi operasi pemasangan pen akan dilakukan lusa. Rendi diingatkan untuk tidak makan dan minum selama 6 jam sebelum operasi dilakukan untuk menghindari efek dari anestesi atau obat bius, terutama anestesi total. Juga diminta menghentikan minum obat-obatan yang sedang dikonsumsi.
Menunggu operasi pemasangan pen, Rendi menghabiskan dengan browsing. Dibacanya semua informasi yang berkaitan dengan cedera patah, pemasangan pen dan perawatan lanjutannya.
Ia pun mengetahui kalau proses pemulihan pascaoperasi patah tulang bisa berbeda pada setiap orang. Untuk kasus patah tulang yang ringan, mungkin perlu 3-6 minggu untuk pulih. Namun pada kasus patah tulang yang parah dan di area tulang yang panjang, umumnya dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk dapat kembali beraktivitas normal.
Pemasangan pen yang semula menjadi ganjalannya, diketahui pula besi sambungan tersebut bisa terpasang sangat lama dan bahkan selamanya. Berapa lama pen dipasang pada tulang yang patah tergantung pada kondisi pasien dan implan itu sendiri.
Dengan kata lain, pen tulang yang telah terpasang cukup lama tidak harus selalu dilepas, meski tulang yang patah tersebut telah tersambung dengan baik. Sebab, implan logam ini memang sudah dirancang sedemikian rupa agar dapat bertahan dalam waktu lama di dalam tulang.
Mendapatkan informasi demikian, Rendi makin mantap dengan pilihan pemasangan pen di kakinya.
***
Terdengar ketukan pintu di ruang perawatan. Rendi sendirian dalam kamar. Ia menunggu tamu masuk. Pintu tidak terkunci. Dalam pikirannya adalah kawan sekostan atau teman kuliah yang datang.
Pintu terkuak setelah beberapa ketukan tidak ada tanggapan. Seorang wanita nonggol dari balik daun pintu. Dipastikan Rendi bukan teman kuliahnya. Ia tidak mengenali wanita berambut sebahu dengan wajah tirus itu.
Masih muda. Paling tinggi usianya 21 tahun. Gadis itu melangkah pasti dengan tas tergantung di bahu. Ia mendekati tempat tidur Rendi dengan sikap percaya diri yang tinggi.
"Ini Rendi kan?" tanyanya segera.
Rendi membenarkan. Sebelum ia bertanya, gadis itu kembali bersuara. "Sori. Aku Shelia. Aku yang nabrak kamu kemarin itu. Malam itu aku buru-buru. Jadi, tak bisa nolong kamu," ujarnya dengan ringan seperti berbicara pada teman sepermainan. Gadis itu mendudukkan badan di kursi dengan gerakan yang cepat. Ia bersandar dengan menegakkan kepala.
Mata Rendi terbelalak. Ia sama sekali tidak menyangka didatangi penabraknya. Ternyata seorang gadis muda. Ia juga heran dengan sikap si gadis itu. Menyebabkan kakinya patah dan sudah lima hari ia rebah di rumah sakit. Namun si pelaku penabrak itu datang dengan wajah tanpa bersalah.
Rendi menelan ludah. Diliriknya dengan ujung mata. Gadis berhidung mancung dengan bibir indah melengkung itu juga memandang padanya. Mata bulatnya bercahaya terang. Tidak ada penyesalan di matanya. Apalagi duka.
"Trus ada apa lagi?" Keinginan Rendi untuk berbicara dengan gadis itu tiba-tiba menguap ke luar kamar. Rahangnya terasa mengeras.
"Aku ingin kita damai ja. Cabut laporan di polisi. Biar aku yang tanggung semua biaya di rumah sakit. Oke!"
Rendi menarik nafas. Dadanya terasa sesak. Bila saja yang berbicara di sampingnya itu adalah pria, tentu sudah disembur dengan ludah. Hatinya benar-benar mengkal mendengar kicauan si gadis itu.
Anehnya si gadis itu seakan tidak melihat mukanya yang gondok marah. Ia merogoh sesuatu dari dalam tasnya. "Ini uang damainya. Biaya rumah sakit aku yang tekel semua. Oke. Kamu tanda tangani ini, surat perdamaian." Ia mengeluarkan dua amplop dari tas. Satu amplop berisi cukup tebal. Tentu berisi uang.
Rendi menarik badannya. Ia berusaha duduk bersandar pada bantal. "Aku pikirkan dulu. Besok atau lusa kamu datang lagi," tegasnya.
Si gadis itu yang malah kaget. "Hei, aku ini datang menawarkan damai. Ini uang damainya Rp10 juta. Juga bayar semua tagihan rumah sakit ini," serunya sewot.
Rendi meredam amarahnya. "Aku pikirkan. Besok kamu datang." Rendi mendelik memandang tajam.
"Jelas-jelas ini perdamaian yang menguntungkan kamu. Mau pikir apalagi?"
Rendi menggelengkan kepala.Ia mengatupkan rahang.
“Kok, mesti dipikir lagi? Udah. Teken surat ini. Selesai semua.” Gadis itu berdiri. Ia menyodorkan amplop berwarna coklat yang menggembung.
Rendi membiarkan tangan gadis itu tergantung. Tidak ada keinginannya untuk menerima amplop itu. Tangan gadis itu masih tertahan sekitar sejangkauan di depannya. Ia tetap menunggu tangan Rendi, seperti yakin Rendi akan menerimanya.
Beberapa detik kemudian, Rendi mengulurkan tangannya. Terlihat si gadis menahan senyum. Ujung bibirnya bergerak. Begitu ujung tangan Rendi berada di dekat amplop, Rendi mengibaskan tangannya. Ia mendorong tangan si gadis yang memegang amplop.
“Sudah. Sudah selesai!” desis Rendi.
Gadis itu gelagapan menarik tangannya. “Maksudnya, kamu menerima perdamaian ini?”
“Kamu bawa semua. Surat dan uang kamu itu!”
“Itu belum selesai namanya,” ujarnya ragu.
“Sudah. Sudah selesai. Dan sekarang tinggalkan kamar ini!” tegas Rendi pula.
Gadis ini kian bingung dengan kening berkerut banyak. Kakinya tersurut selangkah.
“Apalagi?” bentak Rendi. “Mau sekuriti yang mengusir kamu dari kamar ini!”
Gadis itu menyimpan kedua amplop yang berada di tangannya. Ia memandang Rendi dengan mata mengerjap-ngerjap.
“Dan jangan datang lagi ke sini!” desisnya.
Gadis berambut sebahu itu tidak bergerak. Ia berdiri di depan kursi. Memandangi Rendi dengan mata menyipit. Rendi tidak mengubris. Melepaskan pandangan ke atas plafon.“Maaf, maksud aku itu...”Rendi memotong dengan suara tajam. “Pergilah. Sudah selesai!”Gadis itu menjulurkan kepala dengan mata membulat. “Jadi. Jadi, kamu menolak damai?” Suara gadis itu terdengar penuh keraguan, tidak percaya diri lagi. Namun pandangan matanya tetap tajam menusuk.Rendi memutar kepalanya menghadap dinding. Ia diam seribu bahasa. Lima atau mungkin sampai sepuluh menit. Diam saja. Rendi tidak tahu apa yang diperbuat gadis itu. Beberapa saat lamanya terdengar keheningan yang mencekam dalam kamar. Setelahnya, beberapa jenak kemudian, ia mendengar bunyi sepatu berdetak-detak. Suara langkah kaki. Mungkin gadis pergi. Baguslah itu. Rendi memejamkan matanya.Beberapa jenak kemudian terdengar lagi suara detak sepatu. Rendi diam tidak ber
Shelia masih telentang di spring bed saat didengarnya suara panggilan Bik Mur di balik pintu. “Ada tamu, Non. Mau jumpa, Non!” teriaknya.Shelia tidak beraksi. Ia diam saja. “Ada tamu, Non. Penting sepertinya!” teriak Bik Mur lagi.Gadis itu turun dari tempat tidur dengan bersungut-sungut. Siapa pula yang datang pagi-pagi begini? Menganggu saja. Ia membuka pintu dengan tarikan kemarahan. “Siapa, Bik?”“Ada tamu. Katanya mencari Non Shelia,” jelas Bik Mur pula.“Laki perempuan?’“Laki, Non. Dua orang.”Aduh. Menganggu saja. Laki-laki siapa? Shelia bingung. Ia merasa tidak pula ada janji mau jumpa siapa. Meski begitu, ia tetap turun ke lantai satu. Lalu membukakan pintu ingin tahu siapa yang datang.Ternyata dua pria dewasa berpenampilan necis. Berbadan tegap dengan potongan rambut pendek. Sepatunya hitam mengkilap seakan bisa berkaca di sana.“Maaf, &n
“Belagu dia, Ma,”“Maksud kamu?” tanya Mama di antara suapan sarapannya.“Pria itu belagu. Tidak mau damai. Tidak mau uang damai yang aku tawarkan,” jelas Shelia bersungut-sungut. “Banyak gaya betul dia. Huh! Macam orang kaya pula!”Mama menghentikan suapannya. Memandang lurus ke depan. “Kamu datangi dia ke rumah sakit? Jumpai dia?’“Iya, Ma. Aku datang baik-baik ke rumah sakit. Ngajak berdamai. Eh, dia sama sekali tidak merespos. Malah nyuruh aku pulang.” Shelia menghentakkan siku pada kaca meja makan.“Salah omong kamu mungkin,” duga Mama.“Salah omong apa pula. Itulah yang aku bilang ke dia. Tidak salah!"“Cara masuk kamu, cara ngomong kamu, maksud Mama.”“Aduh, Mama ini gimana?. Masuk ya ketuk pintu. Omong ya sampaikan apa hendak dikatakan. Jelaskan terus terang. Begiitu kan?”Mama mengangguk. &ldqu
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
Rendi tersenyum tipis. Seakan berbasa-basi pada kamar yang sudah didiaminya dua tahun lebih. Ia terduduk di pinggir ranjang.Dua bulan kurang beberapa hari Rendi tidak berjumpa dengan kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak banyak yang berubah. Bahkan mungkn tidak ada. Dinding kamar belum berubah warna. Putih berangsur suram. Lemari masih berdiri angkuh dengan pintu tertutup rapat di sudut.Di sebelahnya meja yang di atasnya berisi tumpukan sejumlah buku dan majalah. Ada laptop di tengah. Serta kaleng yang penuh dengan pena, penggaris, spidol dan pensil. Kursi tersuruk di bawah setia menemani meja.Meja plastik kecil di sebelah pintu ke dapur juga masih penuh dengan gelas dan cangkir. Juga ada sejumlah botol. Berisikan gula dan kopi. Terlihat pula di atas tutup botol teh celup dalam kotak. Di samping meja plastik berwarna biru tertegak galon air mineral isi ulang. Masih ada separoh isinya.Benar-benar tidak ada yang berubah. Heps! Tunggu. Ada. Ada yang berub
Semua mata mengarah ke pintu. Pintu terkuak terdengar berderit. Seorang wanita muda berkerudung muncul dengan senyuman. "Assalammualaikum," ujarnya.Rendi dan Hernan menjawab serentak. "Waalaikumsalam." Sementara Fadely dan Siska tersenyum seraya menekuk kepala.Hanya Rendi yang kenal dengan wanita itu. Mayra. Gadis itu tidak sendirian. Beberapa detik kemudian muncul seseorang. Wanita muda juga. Berambut pendek berwarna agak kemerahan. Berbeda dengan Mayra, pakaian wanita ini agak ketat.Rendi terkejut. Kenapa dia datang lagi?Wanita itu, Shelia, tersenyum dan menyapa. "Selamat pagi." Seisi kamar membalasnya dengan sapaan dan anggukan. Namun Rendi merasa mulutnya kaku. Tidak bisa bersuara.Kemudian tercipta keheningan. Seakan tidak ada sesuatu yang bisa disuarakan. Atau mulut pada terkunci semua. Tetapi hanya beberapa jenak. Fadely memecahkan kebisuan itu. "Wah, makin rame nih. Seperti mau pesta," ujarnya menyimpan tawa."Di rumah saki
Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah.""Oke kalau begitu!"Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan."Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenap
Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi."Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?""Kecelakaan.""Kaki mana yang patah, Bang?"Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya.""Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?""Dua minggu lebih."Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji."Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?""Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bert
"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon.""Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya.""Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?""Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia."Kenapa?""Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya.""Dipercaya bagaimana?""Tak tau juga. Dia cuman bilang beg
"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi."Mereka tahu aku korban tabrakan itu?""Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka."Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik.""Belum ada beritanya kan?""Sepertinya belum.""Apa yang kubilang tadi akan
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se