Devita kini memasuki sebuah restoran yang sudah disepakati. Terdapat banyak sekali para pelanggan elit yang mendatangi kawasan mewah dan mahal tersebut.Dulu ia dan teman-teman sesama arisannya memang sering datang ke tempat seperti ini. Mengobrol dan bersenda gurau sambil menghambur-hamburkan uang yang mereka yakin tidak akan habis dalam waktu singkat.Ia berjalan dengan dagu terangkat. Memperlihatkan sisi berkelasnya walaupun sudah lama ia tak menginjakkan kakinya di sini. Tatapannya menyapu ke seluruh ruangan dan berhenti pada meja panjang yang dikelilingi para kenalannya yang salah satu melambaikan tangan ke arahnya.Ia melihat Desi ada di antara mereka yang tengah melambai kepadanya.Senyumnya melebar dan mulai berakting di depan mereka. Devita lekas menghampiri dan menyapa satu per satu sembari cipika-cipiki. Tak henti-hentinya mereka tersenyum dan saling bertegur sapa."Gimana kabarnya, Jeng Devita?" tanya Risa mengawali obrolan. Senyumnya terulas."Baik, Jeng. Kabar kalian sem
Sedari pagi dia masih menunggu, sampai waktu istirahat begini pun ia menunggu dan menunggu. Tetapi tetap aja sosok Kenn masih belum kelihatan batang hidungnya. Cowok itu belum juga masuk sekolah. Ia terus aja ngedumel dalam hati sambil jalan bersama Dara. Rencana mereka emang mau ke kantin di belakang sekolah. Siapa lagi kalau bukan Dara yang selalu mengajaknya ke kantin menemui sang pacar. Sebenarnya dia males, cuma jika dipikir-pikir selain mengirit uang jajan karena ada traktiran, ia kan juga bisa bertemu Kevan. Frel menghela napas dalam. Sejak awal emang dia berniat mendekati kakak kelasnya itu. Cuma gara-gara masalah Kenn, ia seolah berbelok arah dan tujuan utamanya selalu tertunda. Kini ia harus memutuskan kembali ke posisi semula dan masa bodoh sama Kenn. Toh cowok itu juga nggak ada kabar apa pun sampai sekarang, seperti hilang ditelan bumi. Frel mendengarkan celotehan Dara yang tak ada hentinya mendeskripsikan tentang manisnya seorang Ari, sikapnya yang lucu dan menggemaska
"Sepadaaaa, gue datang. Dara si cantik jelita nan manis dataaang...," seru Dara sambil membuka pintu utama. "Gue tamu, nih. Haloooo, sepadaaa. Halo, Kak Ari? Ditooo?"Ia celingukan mencari keberadaan orang di dalam, namun sepi yang ia dapati. Dara memberengut dengan bibir manyun dan mengernyit heran."Kok rumah sebesar ini nggak ada orang sama sekali? Aneh banget. Minimal harusnya ada pembantu, dong." Dara berdiri di ambang pintu sambil berbicara sendiri.Kakinya melangkah perlahan semakin dalam. Tapi tiba-tiba....Plug!"Auw!" Tangan Dara terangkat mengambil sesuatu yang mendarat di jidatnya. "Apaan, nih?" Ia membau sesuatu cairan lengket.Hidungnya mengendus-endus.Bau amis dan...."Hueeek!" Dara mual di tempat. "Siapa yang ngerjain gue?! Keluar nggak?! Gue tau lo pasti ada di sini!" pekik Dara tak sabar.Ia lekas membuang pecahan telur yang mengenai jidatnya itu ke lantai.Pandangannya mengedar ke segala penjuru ruangan. Pikirannya bergentayangan, menerka-nerka siapa dalang dari se
Netra Inez masih terlihat sembab hingga hari ini. Sedari kemarin ia hanya menangis dan menaruh kebencian kepada mamanya. Meski ia tak sepatutnya membenci mama sendiri, tetapi kali ini beliau udah kelewatan.Semua sisa uang gaji bulan ini yang ia simpan di lemari telah raib, bukan hanya itu bahkan kalung berlian peninggalan papa satu-satunya telah hilang. Ia yakin semuanya ulah sang mama. Nggak ada yang tahu perhiasan itu ia simpan kecuali beliau.Bertahun-tahun ia sengaja menjaga perhiasan dari papanya itu sebagai kenangan. Bahkan ketika ia dalam kondisi perekonomian tersulit pun ia tetap tak tega jika harus menggadaikan peninggalan papanya itu. Ia takut nggak bisa menebus dan kehilangan satu-satunya kenangan sang papa yang tertinggal.Tapi kali ini ia tak habis pikir, sampai hati sang mama mengambil benda berharga itu darinya.Dan entah di mana mamanya sekarang, hingga kini beliau belum pulang dari semalam. Apa ia lupa masih punya anak? Oh, enggak perlu ingat dirinya, paling tidak an
"Pinjam dong, Nez. Ngebon di toko kek, atau pinjam uang di tempat kerjamu kan bisa," sahut sang mama setelah mendengar kata gaya hedonisnya disebut-sebut oleh putrinya.Ya, Tuhan ... jika tidak ingat beliau adalah ibu kandung, rasanya sekarang juga ia ingin melarikan diri dari rumah dan melepas tanggung jawabnya sebagai anak."Inez malu, Ma, kalo harus berhutang segala. Selama ini aku selalu berhemat memenuhi kebutuhan di keluarga kita untuk menghindari yang namanya hutang. Terkadang aku sampai rela makan cuma sekali, asal kalian bisa makan tiga atau empat kali sehari. Semua udah Inez lakukan agar kalian nggak kekurangan, agar kalian berdua bisa makan dan aku nggak harus berhutang sana-sini. Tapi sekarang mama malah menyarankan untuk berhutang? Apa, sih, maksud mama?""Ya, maksud mama kalau nggak ada uang mau gimana lagi? Ya berhutang jalan keluarnya.""Ma, cukup! Inez nggak tau lagi harus ngomong apa. Mama selalu—""Assalamualaikum."Ucapan salam dari luar rumah memotong perselisihan
Melihat Inez udah cukup tenang dan berhenti menangis, Rian berinisiatif membuka dompet kulitnya. Ia mengambil uang berwarna merah dengan jumlah dua puluh lembar, lalu memberikannya ke perempuan di depannya. Inez sangat terkejut. "Ini apa, Yan?" tanya Inez dengan dahi berkerut bingung. "Buat lo, Nez." Dahi Inez makin berkerut dalam, bahkan alisnya pun hampir ikut bertaut. "Maksudnya?" "Jangan salah paham dulu, Nez." Rian gelagapan. Ia mencoba mencari kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaannya. "Begini ... gue tadi bilang kan sempat denger kalian bertengkar, dan gue tau lo nggak ada uang sekarang." "Ya, terus maksudnya apa, Yan?" Mendengar suara Inez agak meninggi, Rian sadar ia telah salah bicara. Ia mengumpat dalam hati dan memutar otak untuk memperbaiki ucapannya. "Gue nggak bermaksud apa-apa. Gue cuma mau bantu lo, gue nggak mau lo kesusahan, gue maunya kita hadapi semua masalah bersama." Rian melipat kedua bibirnya ke dalam dengan gugup. "Gini, Nez, Gue sekarang
Pintu kaca transparan pada sebuah toko emas dibuka oleh datangnya Rian dan Inez. Pandangan mereka mengarah ke banyaknya pengunjung yang mengelilingi etalase berbentuk memanjang.Terdengar seorang bapak setengah baya tengah mempromosikan perhiasan di tangannya kepada salah satu pembeli."Ini barang baru dan dijamin nggak akan nyesel Anda membeli kalung liontin berlian ini."Mendengar kata kalung berlian, Inez dan Rian saling pandang, kemudian mereka maju mendekat."Oh, ya? Coba saya lihat dulu."Perhiasan itu berpindah kepada wanita yang dari cara berpakaian dan riasannya nampak glamor dan dari keluarga terhormat."Berapa harganya?""Nggak mahal hanya 25 juta."Seketika Inez melotot mendengar harga yang disebutkan naik dua kali lipat dari uang yang ibunya terima. Mengetahui perubahan ekspresi cewek di sebelahnya Rian tahu kalung itulah yang udah dijual mamanya ke toko emas ini. Tidak salah lagi pasti perhiasan itu adalah peninggalan dari almarhum papanya Inez."Saya yang akan membeliny
Memakan waktu hampir 1 jam mereka menempuh perjalanan dikarenakan keadaan macet di tengah waktu pulangnya para pekerja di hari sibuk begini. Tatkala mobil range rover miliknya telah terpakir sukses, Rian bergegas turun dan berlari kecil memutar, membuka pintu mobil untuk Inez. "Makasih, Yan," ucap Inez tersenyum lembut. "Sama-sama," jawab Rian dengan senyum hangat seraya menggenggam tangan cewek yang dicintainya tersebut masuk ke dalam menemui para temannya yang udah lama menunggu. "Tuh, Rian," seru Evi dari kejauhan saat melihat sosok yang ia kenal. "Eh, itu Rian sama siapa?" "Itu ... Inez, kan?" sambung Lisa. "Adik kelas kita waktu SMA dulu. Iya, kan?" "Iya, bener. Tapi kok Rian bisa sama dia? Nah, gandengan tangan, lagi," sahut Sita terheran-heran mendapati pemandangan di depannya. "Jangan-jangan—" "Mereka jadian!" pekik Sita, Evi dan Lisa bersamaan. "Yup. Betul sekali," kata Beni tiba-tiba membenarkan dengan wajah semringah. Ketiga cewek tersebut saling pandang dengan raut