Netra Inez masih terlihat sembab hingga hari ini. Sedari kemarin ia hanya menangis dan menaruh kebencian kepada mamanya. Meski ia tak sepatutnya membenci mama sendiri, tetapi kali ini beliau udah kelewatan.Semua sisa uang gaji bulan ini yang ia simpan di lemari telah raib, bukan hanya itu bahkan kalung berlian peninggalan papa satu-satunya telah hilang. Ia yakin semuanya ulah sang mama. Nggak ada yang tahu perhiasan itu ia simpan kecuali beliau.Bertahun-tahun ia sengaja menjaga perhiasan dari papanya itu sebagai kenangan. Bahkan ketika ia dalam kondisi perekonomian tersulit pun ia tetap tak tega jika harus menggadaikan peninggalan papanya itu. Ia takut nggak bisa menebus dan kehilangan satu-satunya kenangan sang papa yang tertinggal.Tapi kali ini ia tak habis pikir, sampai hati sang mama mengambil benda berharga itu darinya.Dan entah di mana mamanya sekarang, hingga kini beliau belum pulang dari semalam. Apa ia lupa masih punya anak? Oh, enggak perlu ingat dirinya, paling tidak an
"Pinjam dong, Nez. Ngebon di toko kek, atau pinjam uang di tempat kerjamu kan bisa," sahut sang mama setelah mendengar kata gaya hedonisnya disebut-sebut oleh putrinya.Ya, Tuhan ... jika tidak ingat beliau adalah ibu kandung, rasanya sekarang juga ia ingin melarikan diri dari rumah dan melepas tanggung jawabnya sebagai anak."Inez malu, Ma, kalo harus berhutang segala. Selama ini aku selalu berhemat memenuhi kebutuhan di keluarga kita untuk menghindari yang namanya hutang. Terkadang aku sampai rela makan cuma sekali, asal kalian bisa makan tiga atau empat kali sehari. Semua udah Inez lakukan agar kalian nggak kekurangan, agar kalian berdua bisa makan dan aku nggak harus berhutang sana-sini. Tapi sekarang mama malah menyarankan untuk berhutang? Apa, sih, maksud mama?""Ya, maksud mama kalau nggak ada uang mau gimana lagi? Ya berhutang jalan keluarnya.""Ma, cukup! Inez nggak tau lagi harus ngomong apa. Mama selalu—""Assalamualaikum."Ucapan salam dari luar rumah memotong perselisihan
Melihat Inez udah cukup tenang dan berhenti menangis, Rian berinisiatif membuka dompet kulitnya. Ia mengambil uang berwarna merah dengan jumlah dua puluh lembar, lalu memberikannya ke perempuan di depannya. Inez sangat terkejut. "Ini apa, Yan?" tanya Inez dengan dahi berkerut bingung. "Buat lo, Nez." Dahi Inez makin berkerut dalam, bahkan alisnya pun hampir ikut bertaut. "Maksudnya?" "Jangan salah paham dulu, Nez." Rian gelagapan. Ia mencoba mencari kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaannya. "Begini ... gue tadi bilang kan sempat denger kalian bertengkar, dan gue tau lo nggak ada uang sekarang." "Ya, terus maksudnya apa, Yan?" Mendengar suara Inez agak meninggi, Rian sadar ia telah salah bicara. Ia mengumpat dalam hati dan memutar otak untuk memperbaiki ucapannya. "Gue nggak bermaksud apa-apa. Gue cuma mau bantu lo, gue nggak mau lo kesusahan, gue maunya kita hadapi semua masalah bersama." Rian melipat kedua bibirnya ke dalam dengan gugup. "Gini, Nez, Gue sekarang
Pintu kaca transparan pada sebuah toko emas dibuka oleh datangnya Rian dan Inez. Pandangan mereka mengarah ke banyaknya pengunjung yang mengelilingi etalase berbentuk memanjang.Terdengar seorang bapak setengah baya tengah mempromosikan perhiasan di tangannya kepada salah satu pembeli."Ini barang baru dan dijamin nggak akan nyesel Anda membeli kalung liontin berlian ini."Mendengar kata kalung berlian, Inez dan Rian saling pandang, kemudian mereka maju mendekat."Oh, ya? Coba saya lihat dulu."Perhiasan itu berpindah kepada wanita yang dari cara berpakaian dan riasannya nampak glamor dan dari keluarga terhormat."Berapa harganya?""Nggak mahal hanya 25 juta."Seketika Inez melotot mendengar harga yang disebutkan naik dua kali lipat dari uang yang ibunya terima. Mengetahui perubahan ekspresi cewek di sebelahnya Rian tahu kalung itulah yang udah dijual mamanya ke toko emas ini. Tidak salah lagi pasti perhiasan itu adalah peninggalan dari almarhum papanya Inez."Saya yang akan membeliny
Memakan waktu hampir 1 jam mereka menempuh perjalanan dikarenakan keadaan macet di tengah waktu pulangnya para pekerja di hari sibuk begini. Tatkala mobil range rover miliknya telah terpakir sukses, Rian bergegas turun dan berlari kecil memutar, membuka pintu mobil untuk Inez. "Makasih, Yan," ucap Inez tersenyum lembut. "Sama-sama," jawab Rian dengan senyum hangat seraya menggenggam tangan cewek yang dicintainya tersebut masuk ke dalam menemui para temannya yang udah lama menunggu. "Tuh, Rian," seru Evi dari kejauhan saat melihat sosok yang ia kenal. "Eh, itu Rian sama siapa?" "Itu ... Inez, kan?" sambung Lisa. "Adik kelas kita waktu SMA dulu. Iya, kan?" "Iya, bener. Tapi kok Rian bisa sama dia? Nah, gandengan tangan, lagi," sahut Sita terheran-heran mendapati pemandangan di depannya. "Jangan-jangan—" "Mereka jadian!" pekik Sita, Evi dan Lisa bersamaan. "Yup. Betul sekali," kata Beni tiba-tiba membenarkan dengan wajah semringah. Ketiga cewek tersebut saling pandang dengan raut
Siang ini terasa panas membakar, bahkan saat memilih untuk keluar apa tidak, dirinya kini lebih memilih berdiam diri di kamar. Tidur-tiduran dengan raut gelisah. Entahlah, mungkin sebenarnya bukan hanya itu alasan satu-satunya ia merasa lemas seperti sekarang ini, lebih tepatnya banyak pikiran yang membuatnya sedih.Tapi ... sebagian besar emang condong ke situ.Iya. Maksudnya Dara ialah Frel dan tentang sesuatu yang terasa aneh.Ia tahu Frel udah jadian sama Kevan. Ia turut bahagia akan hal itu, yeah, walaupun lubuk hatinya menjerit. Akan tetapi ... asal sahabat baiknya itu senang, ya mau gimana lagi.Oke, jadi begini.Dari awal Dara emang lebih setuju jika Frel bisa pacaran sama Kenn. Mereka seperti cocok satu sama lain. Hanya saja pandangan pertama emang lebih kuat ketimbang yang lain. Frel udah suka sama kakak kelasnya itu sebelum bertemu Kenn. Maka nggak heran si Frel nembaknya ke Kevan daripada Kenn.Tahu-tahu Dara beranjak dari kasur empuknya dan berjalan mondar-mandir di kamar
"Kev, ini laporan buat nanti. Coba dicek ada yang perlu diperbaiki nggak?" kata seorang cewek sambil berdiri lebih dekat ke arah Kevan.Dari penglihatan Frel, dia tahu tuh cewek emang sengaja mepet dan mencari perhatian kepada sang pacar, cuma kali ini ia biarkan. Ia nggak mau membuat keributan, lagian semua di sekolah ini juga udah pada tahu bahwa sang Ketua OSIS kita udah resmi jadi miliknya.Ia akui cewek itu rada cerdas juga, mencari kesempatan di sela-sela tugasnya. Istilahnya sambil menyelam minum air. Ya, mereka lagi membahas soal rapat OSIS yang sebentar lagi akan dimulai. Mana mungkin ia mau merusak acara hanya karena ulah kecentilan yang nggak bermutu dari tuh cewek.Oke, selama nggak berlebihan dia akan terima. Ia hanya akan mengamati dari jarak jauh sambil duduk manis seperti sekarang ini. Menyangga dagu dengan kedua tangan dan menatap pacarnya seraya senyum-senyum sendiri. Ia nggak akan bosan memandangnya, apalagi melihat mata indahnya. Lebih-lebih di saat sang pacar dala
Benar kata Alvin, dia tadi emang mikirin Dara. Tuh anak kayak paranormal, tahu aja apa yang ada di otaknya.Sejujurnya semenjak Dara pulang dari rumahnya kemarin, ia langsung tanyakan apa yang tengah terjadi pada Dito. Ari memaksanya untuk jujur dan tidak ada yang boleh ditutup-tutupi. Dia bahkan sampai mengancam adiknya itu akan membuang mainan kesukaannya jika tidak mau bicara.Alhasil Dito menceritakan segalanya. Dari awal dia telepon hingga si medusa datang ke rumah memakai baju renang ketat yang bermotif bunga-bunga dengan berbagai macam warna."Si medusa bodoh banget tau nggak, sih, Kak. Masa gue bilang help-help, dianya ngira bunyi blulup-blulup. Mirip dari mana coba? Telinganya nggak pernah dibersihin kali, ya," terang Dito berapi-api.Mendengar bunyi "blulup-blulup" yang diucapkan Dito membuat Ari menahan keras tawanya yang hampir menyembur keluar."Dia ngira lo mau kelelep, kali," sahut Ari."Nah itu, Kak. Persis yang diomongin si medusa. Dia juga bilang dikira gue mau kelel
Brak!Pintu itu dibuka agak kasar oleh seseorang hingga membuat Inez kaget dan terbangun dari tidurnya. Dan benar saja orang itu penculiknya, cowok brengsek yang juga adalah ayah tirinya Inez.Ari terdiam sejenak. Ia tidak boleh terlalu lama di satu titik jika tidak mau ketahuan, apalagi ada anak sekecil Tio dan Bella. Tempat persembunyian mereka terlalu berisiko dan ia tak mau terjadi sesuatu terhadap mereka semua.Setelah berpikir beberapa saat, ia memutuskan mengajak mereka menjauh dari gudang. Ia meminta Dara menghubungi Rian, juga polisi untuk menyergap si pelaku secepat mungkin.Sementara itu, Inez yang terbangun dari tidurnya menyipitkan mata tatkala sinar matahari pagi masuk melalui pintu yang dibuka dan tepat mengenai netranya."Selamat pagi, Sayang."Mendengar suara menjijikkan yang ia kenal tersebut, seketika Inez tersadar, lalu menoleh ke arah sumber suara. Netranya membelalak panik. Saat Inez hendak bergerak ia merasa tangan dan kakinya tak bisa berfungsi. Sehingga ia haru
Hari ini demi sang kakak, Dara terpaksa bolos sekolah. Mau bagaimana lagi, semalam kakaknya pulang larut malam dalam kondisi yang mengenaskan. Baju kantor yang kusut, bau dan kotor. Belum lagi rambut yang acak-acakan dan dengan wajahnya yang begitu menyedihkan.Saat ia menyerbu kamarnya dan memaksa Rian untuk bicara, ternyata hal yang mengejutkan terjadi. Calon kakak iparnya diculik.Oh, tidak! Itu memang hanya pemikiran Dara, akan tetapi begitu sang kakak menceritakan awal mula Inez menghilang, tentu saja semua berpusat pada kemungkinan tersebut. Dan Dara sangat yakin calon kakak iparnya yang cantik itu pasti diculik oleh pria brengsek yang telah memerkosanya dulu.Membayangkan kenangan buruk dari calon kakak iparnya itu lagi, Dara merasakan kesedihan yang mendalam. Menurutnya memori tersebut sangat kejam dan memilukan.Maka dari itu, pagi-pagi meski ia pamitnya pergi sekolah—saat ia tiba di depan gerbang dan setelah menyuruh sopir pribadinya pulang—nyatanya ia tidak masuk melainkan m
Rian segera memarkirkan mobilnya di depan minimarket begitu melihat mobil yang ditumpangi Desi dan Dina telah berjalan menjauh. Cowok itu sontak berlari mengejar Devita yang berjalan tak seberapa jauh darinya.Rian sengaja menunggu sampai Devita berbelok, di sebuah gang yang cukup sepi ia memanggil Devita yang kini menoleh ke arahnya."Tante, selamat malam," sapa Rian dengan sopan saat sudah tepat di depan Devita, dan memang saat ini waktu menunjukkan pukul 6.00 malam."Nak Rian? Malam juga. Ada apa kok malam-malam ke sini?" jawab Devita, dahinya berkerut bingung."Begini, Tante. Saya cuma mau tanya, apa ... Inez sudah pulang ke rumah?"Ada sekilas kilatan kaget terlintas di mata itu. "Bukannya Inez bersama Nak Rian?" tanya balik Devita. Tiba-tiba pandangannya meredup dan berubah sedih. "Semenjak Inez memutuskan pergi dari rumah, sampai sekarang dia nggak pernah pulang, Nak," lanjutnya, lalu berubah panik. "Katakan sama tante, apa terjadi sesuatu dengan Inez?"Sejenak Rian terlihat rag
Sore hari sekitar pukul 16.45 Rian tiba di depan rumah kontrakan yang bergaya minimalis, tentu saja menemui pujaan hatinya. Ia buru-buru memarkir mobil dan turun sambil membawa dua buket bunga yaitu mawar merah dan bunga tulip putih. Inilah alasan mengapa ia telat datang. Sepulang kerja bukannya langsung menemui sang pacar sesuai janjinya, ia malah mendatangi toko bunga terlebih dahulu.Cowok itu tak tahu pacarnya menyukai bunga apa, karena ia takut salah sehingga ia memilih dua macam bunga sekaligus agar nanti sang kekasih bisa memilih sendiri di antara kedua bunga tersebut. Setahu Rian dari pengalaman dia sebagai playboy selama ini—dari banyaknya cewek yang ia kencani—mereka lebih dominan menyukai bunga mawar dan tulip putih. Tapi jika nanti Inez tidak menyukai keduanya, ia akan dengan senang hati mengantar cewek yang dicintainya itu langsung ke toko bunga untuk memilih bunga kesukaannya secara langsung. Jangan lupa ia juga membelikan cokelat berbentuk hati untuk Inez dan berharap g
Menilik raut wajah dan gelagat aneh dari kekasihnya, membuat Rian tak kuasa menahan rasa penasarannya."Siapa, Sayang?" tanya Rian.Inez tersentak."Oh, nggak siapa-siapa kok." Gugup menghinggapi. Ia menggenggam ponselnya kuat-kuat. "Cuma iklan nggak penting," lanjutnya sembari berusaha tersenyum senatural mungkin.Inez tak mau memberitahukan kepada Rian, bukan bermaksud apa-apa, ia hanya tak ingin membuatnya khawatir. Ia sudah terlalu banyak membebani dan merepotkan Rian.Meski Inez berusaha keras menampilkan wajah senormal apa pun, tetap saja senyum kaku dan gestur tubuhnya tak bisa membohongi Rian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, mencoba mengerti dan tak mau memaksa kekasihnya untuk jujur padanya. Ia yakin Inez mempunyai alasan sendiri, ketika saatnya tiba ia percaya bahwa kekasihnya akan mengutarakan semuanya."Ya udah gue cabut dulu," ujar Rian, berdiri seraya merapikan kemejanya."Kok cepat banget?" Inez berkata cepat seraya ikut berdiri, menatap kecewa ke arah cowok yang dici
Andin terperangah mendengar Ari bertanya kepadanya bahwa siapa cewek yang pantas untuk menjadi pacarnya? Dan apakah itu dirinya?Andin terdiam sambil berpikir. Apakah ia harus mengiyakan?Tentu saja siapa cewek yang nggak ingin punya pacar sebaik Ari. Selain baik, cowok itu sangat setia.Sejak ia bertemu Ari di tempat karaoke yang dipesan Alvin dan menyuruhnya serta teman-temannya untuk menjebak Ari waktu itu, ia sudah sangat terkesan dengan kesetiaannya yang notabene tidak tergoda sama sekali atas rayuan mereka. Bahkan bisa dikatakan rencana mereka gagal total.Tapi bagi Andin, jarang ada cowok yang begitu setia akan pasangannya dan tidak tergoda satu pun oleh banyaknya cewek cantik yang mengelilinginya. Apalagi menurutnya, Ari terlihat tampan, kalem dan begitu menghargai cewek.Andin membasahi bibirnya gugup. "Ar, bukan gitu maksud gue—""Lalu apa?"Tatapan Ari masih begitu dingin. Ia sebenarnya tidak mempunyai kecurigaan apa pun terhadapnya, bahwa perubahan sikap Dara ada sangkut p
Sejak Dara berani berkata jujur di depan Rian, Inez, dan Ari waktu itu, kini hubungan keduanya makin adem ayem dan sejahtera. Dara tak lagi menuntut Ari untuk menciumnya ataupun melakukan sesuatu yang nyeleneh, di mana Dara selalu ingin menerkam Ari dengan khayalan tingkat tingginya.Ari juga merasa aman tatkala melihat perubahan Dara sekarang. Sejujurnya inilah yang diinginkan Ari dalam sebuah hubungan. Seperti air mengalir, tak harus terburu-buru seolah dikejar sesuatu. Bahkan Ari sangat bersyukur karena kini ia tak pernah mengalami mimpi buruk lagi.Dara yang sekarang adalah cewek yang lumayan terkendali. Ia tak pernah lagi meminta hal-hal yang tak disukai Ari, tidak memaksa melakukan suatu hal yang berlebihan dalam berpacaran. Walaupun dalam mengungkapkan sesuatu masih dengan gaya lebay, tetapi itu tak membuat Ari muak atau menjauhinya. Bisa dibilang ia udah mulai terbiasa dengan tingkah absurd Dara. Selama itu masih dalam batas wajar, Ari rasa semua bisa diterima.Siang ini tampa
"Kamu nggak akan meninggalkanku kan, Sayang? Kamu nggak akan mengkhianatiku, kan?""Kenapa? Apa kamu takut aku akan mengkhianatimu seperti kamu mengkhianati suamimu yang dulu?"Devita terperangah. Hatinya mendadak getir. Ia meneguk ludahnya kasar, lalu mengangguk pelan.Fery mendengkus. Ia mengangkat tangannya, menjepit dagu Devita sambil tersenyum sinis. "Tenang saja. Aku nggak akan meninggalkanmu selama kamu menuruti semua yang aku mau."Setelahnya, ia beranjak keluar dari kamar, meninggalkan Devita yang menatapnya sedih.Melewati dapur, Fery melihat Inez sedang meraih teko di meja makan. Gadis itu menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya. Gerakan gadis itu sangat tenang dan terlihat tak menyadari kedatangannya. Tiba-tiba Fery tertegun. Ia merasa leher jenjang itu sangat mulus, indah dan cantik. Setiap tegukan yang Inez minum, Fery merasa tubuhnya bereaksi tak normal.Ini adalah reaksi kesekian kalinya tiap ia menatap Inez. Dari dulu dan sampai sekarang, tidak pernah berubah.
"Halo, Tante," sapa Rian ramah. "Halo juga, Nak Rian. Makasih sudah antar Inez pulang. Tante benar-benar khawatir, nggak biasanya Inez keluar pagi-pagi sekali." "Sama-sama. Apa tante nggak tau? Dalam minggu ini Inez mendapatkan shift pagi untuk menggantikan temannya yang lagi cuti kerja. Mungkin juga nanti bisa sampai lembur." "Benarkah? Inez belum mengatakannya pada Tante," kata Devita sambil menatap Inez yang saat ini tampak memalingkan mukanya ke arah lain, menghindari tatapan beliau. Dalam hal ini Rian sengaja berbohong untuk mengantisipasi Inez jika ingin keluar pagi lagi. Itu supaya kekasihnya mempunyai alasan kuat agar terhindar dari kecurigaan sang mama tentang rentetan pertanyaan yang tidak ingin didengar gadis itu. Tentu saja juga untuk mengurangi interaksi antara Inez dan ayah tiri brengseknya. "Melihat kini tante disibukkan oleh seseorang yang telah kembali ke rumah, mungkin Inez belum ada kesempatan untuk menyampaikannya sama tante." "Jadi begitu," balas Devita gugup