"Pinjam dong, Nez. Ngebon di toko kek, atau pinjam uang di tempat kerjamu kan bisa," sahut sang mama setelah mendengar kata gaya hedonisnya disebut-sebut oleh putrinya.Ya, Tuhan ... jika tidak ingat beliau adalah ibu kandung, rasanya sekarang juga ia ingin melarikan diri dari rumah dan melepas tanggung jawabnya sebagai anak."Inez malu, Ma, kalo harus berhutang segala. Selama ini aku selalu berhemat memenuhi kebutuhan di keluarga kita untuk menghindari yang namanya hutang. Terkadang aku sampai rela makan cuma sekali, asal kalian bisa makan tiga atau empat kali sehari. Semua udah Inez lakukan agar kalian nggak kekurangan, agar kalian berdua bisa makan dan aku nggak harus berhutang sana-sini. Tapi sekarang mama malah menyarankan untuk berhutang? Apa, sih, maksud mama?""Ya, maksud mama kalau nggak ada uang mau gimana lagi? Ya berhutang jalan keluarnya.""Ma, cukup! Inez nggak tau lagi harus ngomong apa. Mama selalu—""Assalamualaikum."Ucapan salam dari luar rumah memotong perselisihan
Melihat Inez udah cukup tenang dan berhenti menangis, Rian berinisiatif membuka dompet kulitnya. Ia mengambil uang berwarna merah dengan jumlah dua puluh lembar, lalu memberikannya ke perempuan di depannya. Inez sangat terkejut. "Ini apa, Yan?" tanya Inez dengan dahi berkerut bingung. "Buat lo, Nez." Dahi Inez makin berkerut dalam, bahkan alisnya pun hampir ikut bertaut. "Maksudnya?" "Jangan salah paham dulu, Nez." Rian gelagapan. Ia mencoba mencari kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaannya. "Begini ... gue tadi bilang kan sempat denger kalian bertengkar, dan gue tau lo nggak ada uang sekarang." "Ya, terus maksudnya apa, Yan?" Mendengar suara Inez agak meninggi, Rian sadar ia telah salah bicara. Ia mengumpat dalam hati dan memutar otak untuk memperbaiki ucapannya. "Gue nggak bermaksud apa-apa. Gue cuma mau bantu lo, gue nggak mau lo kesusahan, gue maunya kita hadapi semua masalah bersama." Rian melipat kedua bibirnya ke dalam dengan gugup. "Gini, Nez, Gue sekarang
Pintu kaca transparan pada sebuah toko emas dibuka oleh datangnya Rian dan Inez. Pandangan mereka mengarah ke banyaknya pengunjung yang mengelilingi etalase berbentuk memanjang.Terdengar seorang bapak setengah baya tengah mempromosikan perhiasan di tangannya kepada salah satu pembeli."Ini barang baru dan dijamin nggak akan nyesel Anda membeli kalung liontin berlian ini."Mendengar kata kalung berlian, Inez dan Rian saling pandang, kemudian mereka maju mendekat."Oh, ya? Coba saya lihat dulu."Perhiasan itu berpindah kepada wanita yang dari cara berpakaian dan riasannya nampak glamor dan dari keluarga terhormat."Berapa harganya?""Nggak mahal hanya 25 juta."Seketika Inez melotot mendengar harga yang disebutkan naik dua kali lipat dari uang yang ibunya terima. Mengetahui perubahan ekspresi cewek di sebelahnya Rian tahu kalung itulah yang udah dijual mamanya ke toko emas ini. Tidak salah lagi pasti perhiasan itu adalah peninggalan dari almarhum papanya Inez."Saya yang akan membeliny
Memakan waktu hampir 1 jam mereka menempuh perjalanan dikarenakan keadaan macet di tengah waktu pulangnya para pekerja di hari sibuk begini. Tatkala mobil range rover miliknya telah terpakir sukses, Rian bergegas turun dan berlari kecil memutar, membuka pintu mobil untuk Inez. "Makasih, Yan," ucap Inez tersenyum lembut. "Sama-sama," jawab Rian dengan senyum hangat seraya menggenggam tangan cewek yang dicintainya tersebut masuk ke dalam menemui para temannya yang udah lama menunggu. "Tuh, Rian," seru Evi dari kejauhan saat melihat sosok yang ia kenal. "Eh, itu Rian sama siapa?" "Itu ... Inez, kan?" sambung Lisa. "Adik kelas kita waktu SMA dulu. Iya, kan?" "Iya, bener. Tapi kok Rian bisa sama dia? Nah, gandengan tangan, lagi," sahut Sita terheran-heran mendapati pemandangan di depannya. "Jangan-jangan—" "Mereka jadian!" pekik Sita, Evi dan Lisa bersamaan. "Yup. Betul sekali," kata Beni tiba-tiba membenarkan dengan wajah semringah. Ketiga cewek tersebut saling pandang dengan raut
Siang ini terasa panas membakar, bahkan saat memilih untuk keluar apa tidak, dirinya kini lebih memilih berdiam diri di kamar. Tidur-tiduran dengan raut gelisah. Entahlah, mungkin sebenarnya bukan hanya itu alasan satu-satunya ia merasa lemas seperti sekarang ini, lebih tepatnya banyak pikiran yang membuatnya sedih.Tapi ... sebagian besar emang condong ke situ.Iya. Maksudnya Dara ialah Frel dan tentang sesuatu yang terasa aneh.Ia tahu Frel udah jadian sama Kevan. Ia turut bahagia akan hal itu, yeah, walaupun lubuk hatinya menjerit. Akan tetapi ... asal sahabat baiknya itu senang, ya mau gimana lagi.Oke, jadi begini.Dari awal Dara emang lebih setuju jika Frel bisa pacaran sama Kenn. Mereka seperti cocok satu sama lain. Hanya saja pandangan pertama emang lebih kuat ketimbang yang lain. Frel udah suka sama kakak kelasnya itu sebelum bertemu Kenn. Maka nggak heran si Frel nembaknya ke Kevan daripada Kenn.Tahu-tahu Dara beranjak dari kasur empuknya dan berjalan mondar-mandir di kamar
"Kev, ini laporan buat nanti. Coba dicek ada yang perlu diperbaiki nggak?" kata seorang cewek sambil berdiri lebih dekat ke arah Kevan.Dari penglihatan Frel, dia tahu tuh cewek emang sengaja mepet dan mencari perhatian kepada sang pacar, cuma kali ini ia biarkan. Ia nggak mau membuat keributan, lagian semua di sekolah ini juga udah pada tahu bahwa sang Ketua OSIS kita udah resmi jadi miliknya.Ia akui cewek itu rada cerdas juga, mencari kesempatan di sela-sela tugasnya. Istilahnya sambil menyelam minum air. Ya, mereka lagi membahas soal rapat OSIS yang sebentar lagi akan dimulai. Mana mungkin ia mau merusak acara hanya karena ulah kecentilan yang nggak bermutu dari tuh cewek.Oke, selama nggak berlebihan dia akan terima. Ia hanya akan mengamati dari jarak jauh sambil duduk manis seperti sekarang ini. Menyangga dagu dengan kedua tangan dan menatap pacarnya seraya senyum-senyum sendiri. Ia nggak akan bosan memandangnya, apalagi melihat mata indahnya. Lebih-lebih di saat sang pacar dala
Benar kata Alvin, dia tadi emang mikirin Dara. Tuh anak kayak paranormal, tahu aja apa yang ada di otaknya.Sejujurnya semenjak Dara pulang dari rumahnya kemarin, ia langsung tanyakan apa yang tengah terjadi pada Dito. Ari memaksanya untuk jujur dan tidak ada yang boleh ditutup-tutupi. Dia bahkan sampai mengancam adiknya itu akan membuang mainan kesukaannya jika tidak mau bicara.Alhasil Dito menceritakan segalanya. Dari awal dia telepon hingga si medusa datang ke rumah memakai baju renang ketat yang bermotif bunga-bunga dengan berbagai macam warna."Si medusa bodoh banget tau nggak, sih, Kak. Masa gue bilang help-help, dianya ngira bunyi blulup-blulup. Mirip dari mana coba? Telinganya nggak pernah dibersihin kali, ya," terang Dito berapi-api.Mendengar bunyi "blulup-blulup" yang diucapkan Dito membuat Ari menahan keras tawanya yang hampir menyembur keluar."Dia ngira lo mau kelelep, kali," sahut Ari."Nah itu, Kak. Persis yang diomongin si medusa. Dia juga bilang dikira gue mau kelel
"Bagus nggak tempatnya, Ar? Gue nggak salah pilih kan buat lo? Di sini lo bisa lampiasin kekesalan, kegalauan atau apa pun itu. Lo bisa teriak-teriak sekenceng mungkin dan terpenting enggak akan ada yang anggap lo gila." Ari terdiam, nggak menanggapi ocehan Alvin. Ia hanya menatap sekeliling ruangan dengan tenang. Ruangan yang begitu besar dan mewah. "Kayaknya ini terlalu besar." "Ya, bagus dong. Makin besar makin bagus. Agar lo nggak pengap di sini, Ar," sahut Alvin. "Ini sih kapasitas ruangan bisa untuk 30 orang lebih. Kegedean kalo cuma buat kita berdua, Vin. Pasti lo sewa ruang VVIP." "Nggak apa-apa, Ar. K-kalo masalah uang, lo nggak perlu khawatir. Udah gue bayar lunas di muka," jawab Alvin tergagap, meski ia kembali bisa mengendalikan sikap gugupnya sambil berdoa semoga Ari jangan sampai mengetahui rencananya. "Ya, ya, gue tau lo tuan muda kaya," ucap Ari seraya memutar kedua bola matanya, malas. "Ya, itu lo tau," timpal si songong Alvin sambil menyengir kuda. Memang seja