Mendung menyelimuti sore itu ketika Rian selesai meeting bersama arsitek yang ia bawa ke kantor Pak Ronald untuk membahas konsep dari proyek gedung rumah sakit yang akan ditangani oleh timnya.Sejak keluar dari kantor tersebut, beberapa kali ia melihat jam tangannya hingga membuat rekan kerjanya mengernyit heran."Lo kenapa, Yan? Gue perhatiin dari tadi ngecek jam tangan mulu.""Mendungnya gelap banget. Kayaknya bentar lagi mau hujan," ucap Rian terdengar gusar, berkacak pinggang sambil melihat langit. Tanpa menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya."Hmm, malah gue dikacangin," gerutu Rudi—sang arsitek —yang lagi berdiri di depan kantor Pak Ronald."Sorry, Rud. Gue lagi nggak konsen." Rian menoleh ke arah Rudi. "Menurut lo bentar lagi bakal hujan nggak?""Kalo liat dari langitnya kemungkinan besar akan hujan. Kenapa? Lo takut kehujanan waktu pulang? Lo kan bawa mobil, Yan.""Enggaklah, ngapain takut hujan," tukas Rian cepat. "Takut tuh sama Sang Pencipta.""Lha, terus kenapa?"Rian
Sebuah keluarga di hari minggu kini sedang berkumpul bersama di rumah, meski saat ini mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sang papa yang tengah minum kopi bersama istri di ruang tengah, anak lelaki yang masih bergelut dengan ikan kesayangannya di akuarium yang terletak di halaman belakang, bahkan si anak gadis terlihat sibuk di kamarnya menata beberapa foto yang menarik baginya untuk ditempel di dinding kamarnya."Yes! Udah kelar," serunya sambil memuja hasil karyanya yang ia anggap sangat bernilai harganya. "Kalo gini kan gue tiap malem bisa mimpi indah terus.""Ra...! Udah siap belum?" teriak sang mama di luar pintu kamarnya."Belum, Ma...." Cepat-cepat ia membuka pintu kamar dan menyembulkan kepalanya sambil cengengesan. "Frel udah datang belum, Ma?""Lho, kamu hari ini punya janji sama Frel? Kok nggak ngasih tau mama?""Lupa, hehe. Tadi aku udah minta Pak Komar buat jemput Frel, jadi nanti kita berangkat sama-sama. Nggak apa-apa kan, Ma?""Nggak apa-apa, dong. Malah bagus.
Nita mengajak mereka semua ke lantai atas di sebuah restoran yang menjual aneka makanan. Mereka memesan menu makanan kesukaan masing-masing yang bahkan mejanya kini udah full oleh hidangan yang menggugah selera. Siapa lagi kalau bukan Dara dan Frel yang kali ini lebih dominan menentukan apa aja yang harus dipesan. Tak ketinggalan es krim dan berbagai dessert pun udah tersaji di atas meja."Makannya pelan-pelan saja nggak usah terburu-buru, Frel," tegur Dira—papanya Dara—sambil tersenyum geli."Abis suka banget sama es krim, Om," ujar Frel cengengesan."Yang dimakan harusnya nasinya dulu bukan es krim yang diserbu duluan, Frel," timpal Rian sembari tangannya meraih tisu dan diberikan pada gadis imut tersebut yang ada di sebelahnya. "Lap gih, tuh mulutnya pada belepotan.""Makasih, Kak." Frel nyengir kuda, lalu mengusap cepat bibirnya.Sementara Dara sendiri kini sibuk makan sembari diam-diam main kirim pesan ke Ari. Ia senyum-senyum sendiri sedari tadi, tentu tanpa sepengetahuan mama p
Siang ini restoran Beni begitu ramai pengunjung, meski hari-hari sebelumnya juga bisa dikatakan ramai juga, tetapi sekarang terlihat lebih banyak dari biasanya. Meja tampak penuh, bahkan dari kemarin meja yang kosong udah di booking semua.Mungkin ada banyak acara yang diadakan di sini, sehingga tak sedikit pengunjung baru yang masuk pun terpaksa keluar karena tidak kebagian tempat.Untung aja Rian dari jauh-jauh hari udah memesan pada Beni, pokoknya sebelum ia mendapatkan hati Inez, khusus mejanya tidak ada yang boleh menempati. Beni bisa apa jika sahabatnya udah berkata begitu, hanya bisa menyetujui dan mendukung apa pun keinginannya.Rian saat ini duduk santai sambil menunggu pesanannya datang. Beberapa kali ia mengerutkan dahi ketika mendengar suara menggelegar dan perkataan berlebihan dari meja sebelahnya. Tampak meja itu terisi tiga orang. Dua wanita yang salah satunya berusia paruh baya, dan yang satunya lagi entah siapa yang jelas jauh lebih muda, sedangkan orang ketiga yaitu
Rian masih berdiri sambil menatap tajam ketiga orang yang tengah lari terbirit-birit ke luar ruangan. Matanya seolah bisa menghunus siapa aja yang memandangnya. Rahangnya masih mengeras, tonjolan otot di beberapa bagian tubuhnya pun masih terlihat jelas bagaimana sosok itu terlihat menunjukkan amarahnya saat berteriak mengusir mereka pergi dari hadapannya."Ajak Inez ke lantai atas, Yan," kata Beni memberikan saran.Sahabatnya tersentak. Ia baru sadar akan keberadaan cewek rapuh tersebut.Sontak ia mendekati Inez dan berucap lirih, "Nez, ayo, gue antar ke atas. Di sini banyak orang yang liat."Cewek itu masih terdiam, tetapi air matanya tak bisa berhenti mengalir dari kelopak matanya. Rian terenyuh melihatnya.Ia mengangkat tangannya perlahan dan mengusap lembut air mata itu. Sedetik kemudian Inez mengerjap pelan dan menoleh ke arahnya."Kita ke lantai atas. Gue nggak mau lo jadi bahan tontonan di sini," ucap Rian dengan tatapan lembutnya.Inez mengedar pandangan ke sekelilingnya dan
Sekaget apa pun dirinya, yang paling menderita di sini adalah Inez. Perempuan yang sangat ia cintai.Melihat pundak itu masih bergetar hebat, menelungkupkan wajah dari kedua tangannya dengan isakan tangis yang menyayat hati, Rian tak kuasa serasa jantungnya ada yang menghantam kuat.Ia rengkuh perempuan itu ke dalam dada bidangnya. Ia mengecup puncak kepala itu dengan penuh perasaan. Seakan mencoba menyalurkan kehangatan dan ketegaran yang ia miliki walau hanya setipis benang.Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hari kelam yang Inez lalui setelah kejadian yang menimpa dirinya. Wajar ada perubahan besar saat ia bertemu cewek itu pertama kali. Pertanyaannya waktu itu sudah terjawab hari ini. Ia tidak mau lagi mempertanyakan di mana lelaki bejat itu sekarang atau apa yang terjadi selanjutnya sesudah kejadian itu. Ia tidak akan begitu tega mengulik sesuatu yang dapat menyakitinya lebih dalam lagi."Sorry, Nez. Gue nggak tau. Gue bener-bener nggak tau."Ya, Rian nggak tahu dan nggak
"Halo?" Terdengar suara Devita menjawab telepon saat nama yang sangat ia kenal melakukan panggilan padanya."Halo, Jeng Devita! Masih ingat aku kan? Nomorku pasti kamu simpan, dong."Devita mendengkus sinis, walaupun ia males menanggapi orang di seberang sana, tapi dirinya memang tetap harus berpura-pura senang."Ya, pasti dong, Jeng," ujarnya semangat. "Aku langsung simpan di kontak kok waktu kamu kasih nomor ponsel.""Syukur deh kalau gitu.""Oh, ya, omong-omong ada apa, ya, Jeng? Ada hal penting atau gimana?""Pentinglah. Ini kami pada mau ngajak Jeng Devita ketemuan. Ada waktu, kan? Pokoknya harus ada lho, atau memang Jeng Devita sengaja mau menghindar dari kami semua.""Menghindar apanya, sih, Jeng? Orang nggak punya salah kok menghindar.""Oh, ya? Ya udah buktikan, dong. Kamu sendiri lho yang bilang nggak takut kalau kita semua ketemuan. Malah kalau nggak salah Jeng Devita sendiri yang minta waktu dan tempatnya.""Memangnya kapan dan di mana?""Sekarang waktunya. Siang nanti jam
Devita kini memasuki sebuah restoran yang sudah disepakati. Terdapat banyak sekali para pelanggan elit yang mendatangi kawasan mewah dan mahal tersebut.Dulu ia dan teman-teman sesama arisannya memang sering datang ke tempat seperti ini. Mengobrol dan bersenda gurau sambil menghambur-hamburkan uang yang mereka yakin tidak akan habis dalam waktu singkat.Ia berjalan dengan dagu terangkat. Memperlihatkan sisi berkelasnya walaupun sudah lama ia tak menginjakkan kakinya di sini. Tatapannya menyapu ke seluruh ruangan dan berhenti pada meja panjang yang dikelilingi para kenalannya yang salah satu melambaikan tangan ke arahnya.Ia melihat Desi ada di antara mereka yang tengah melambai kepadanya.Senyumnya melebar dan mulai berakting di depan mereka. Devita lekas menghampiri dan menyapa satu per satu sembari cipika-cipiki. Tak henti-hentinya mereka tersenyum dan saling bertegur sapa."Gimana kabarnya, Jeng Devita?" tanya Risa mengawali obrolan. Senyumnya terulas."Baik, Jeng. Kabar kalian sem