Siang ini restoran Beni begitu ramai pengunjung, meski hari-hari sebelumnya juga bisa dikatakan ramai juga, tetapi sekarang terlihat lebih banyak dari biasanya. Meja tampak penuh, bahkan dari kemarin meja yang kosong udah di booking semua.Mungkin ada banyak acara yang diadakan di sini, sehingga tak sedikit pengunjung baru yang masuk pun terpaksa keluar karena tidak kebagian tempat.Untung aja Rian dari jauh-jauh hari udah memesan pada Beni, pokoknya sebelum ia mendapatkan hati Inez, khusus mejanya tidak ada yang boleh menempati. Beni bisa apa jika sahabatnya udah berkata begitu, hanya bisa menyetujui dan mendukung apa pun keinginannya.Rian saat ini duduk santai sambil menunggu pesanannya datang. Beberapa kali ia mengerutkan dahi ketika mendengar suara menggelegar dan perkataan berlebihan dari meja sebelahnya. Tampak meja itu terisi tiga orang. Dua wanita yang salah satunya berusia paruh baya, dan yang satunya lagi entah siapa yang jelas jauh lebih muda, sedangkan orang ketiga yaitu
Rian masih berdiri sambil menatap tajam ketiga orang yang tengah lari terbirit-birit ke luar ruangan. Matanya seolah bisa menghunus siapa aja yang memandangnya. Rahangnya masih mengeras, tonjolan otot di beberapa bagian tubuhnya pun masih terlihat jelas bagaimana sosok itu terlihat menunjukkan amarahnya saat berteriak mengusir mereka pergi dari hadapannya."Ajak Inez ke lantai atas, Yan," kata Beni memberikan saran.Sahabatnya tersentak. Ia baru sadar akan keberadaan cewek rapuh tersebut.Sontak ia mendekati Inez dan berucap lirih, "Nez, ayo, gue antar ke atas. Di sini banyak orang yang liat."Cewek itu masih terdiam, tetapi air matanya tak bisa berhenti mengalir dari kelopak matanya. Rian terenyuh melihatnya.Ia mengangkat tangannya perlahan dan mengusap lembut air mata itu. Sedetik kemudian Inez mengerjap pelan dan menoleh ke arahnya."Kita ke lantai atas. Gue nggak mau lo jadi bahan tontonan di sini," ucap Rian dengan tatapan lembutnya.Inez mengedar pandangan ke sekelilingnya dan
Sekaget apa pun dirinya, yang paling menderita di sini adalah Inez. Perempuan yang sangat ia cintai.Melihat pundak itu masih bergetar hebat, menelungkupkan wajah dari kedua tangannya dengan isakan tangis yang menyayat hati, Rian tak kuasa serasa jantungnya ada yang menghantam kuat.Ia rengkuh perempuan itu ke dalam dada bidangnya. Ia mengecup puncak kepala itu dengan penuh perasaan. Seakan mencoba menyalurkan kehangatan dan ketegaran yang ia miliki walau hanya setipis benang.Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hari kelam yang Inez lalui setelah kejadian yang menimpa dirinya. Wajar ada perubahan besar saat ia bertemu cewek itu pertama kali. Pertanyaannya waktu itu sudah terjawab hari ini. Ia tidak mau lagi mempertanyakan di mana lelaki bejat itu sekarang atau apa yang terjadi selanjutnya sesudah kejadian itu. Ia tidak akan begitu tega mengulik sesuatu yang dapat menyakitinya lebih dalam lagi."Sorry, Nez. Gue nggak tau. Gue bener-bener nggak tau."Ya, Rian nggak tahu dan nggak
"Halo?" Terdengar suara Devita menjawab telepon saat nama yang sangat ia kenal melakukan panggilan padanya."Halo, Jeng Devita! Masih ingat aku kan? Nomorku pasti kamu simpan, dong."Devita mendengkus sinis, walaupun ia males menanggapi orang di seberang sana, tapi dirinya memang tetap harus berpura-pura senang."Ya, pasti dong, Jeng," ujarnya semangat. "Aku langsung simpan di kontak kok waktu kamu kasih nomor ponsel.""Syukur deh kalau gitu.""Oh, ya, omong-omong ada apa, ya, Jeng? Ada hal penting atau gimana?""Pentinglah. Ini kami pada mau ngajak Jeng Devita ketemuan. Ada waktu, kan? Pokoknya harus ada lho, atau memang Jeng Devita sengaja mau menghindar dari kami semua.""Menghindar apanya, sih, Jeng? Orang nggak punya salah kok menghindar.""Oh, ya? Ya udah buktikan, dong. Kamu sendiri lho yang bilang nggak takut kalau kita semua ketemuan. Malah kalau nggak salah Jeng Devita sendiri yang minta waktu dan tempatnya.""Memangnya kapan dan di mana?""Sekarang waktunya. Siang nanti jam
Devita kini memasuki sebuah restoran yang sudah disepakati. Terdapat banyak sekali para pelanggan elit yang mendatangi kawasan mewah dan mahal tersebut.Dulu ia dan teman-teman sesama arisannya memang sering datang ke tempat seperti ini. Mengobrol dan bersenda gurau sambil menghambur-hamburkan uang yang mereka yakin tidak akan habis dalam waktu singkat.Ia berjalan dengan dagu terangkat. Memperlihatkan sisi berkelasnya walaupun sudah lama ia tak menginjakkan kakinya di sini. Tatapannya menyapu ke seluruh ruangan dan berhenti pada meja panjang yang dikelilingi para kenalannya yang salah satu melambaikan tangan ke arahnya.Ia melihat Desi ada di antara mereka yang tengah melambai kepadanya.Senyumnya melebar dan mulai berakting di depan mereka. Devita lekas menghampiri dan menyapa satu per satu sembari cipika-cipiki. Tak henti-hentinya mereka tersenyum dan saling bertegur sapa."Gimana kabarnya, Jeng Devita?" tanya Risa mengawali obrolan. Senyumnya terulas."Baik, Jeng. Kabar kalian sem
Sedari pagi dia masih menunggu, sampai waktu istirahat begini pun ia menunggu dan menunggu. Tetapi tetap aja sosok Kenn masih belum kelihatan batang hidungnya. Cowok itu belum juga masuk sekolah. Ia terus aja ngedumel dalam hati sambil jalan bersama Dara. Rencana mereka emang mau ke kantin di belakang sekolah. Siapa lagi kalau bukan Dara yang selalu mengajaknya ke kantin menemui sang pacar. Sebenarnya dia males, cuma jika dipikir-pikir selain mengirit uang jajan karena ada traktiran, ia kan juga bisa bertemu Kevan. Frel menghela napas dalam. Sejak awal emang dia berniat mendekati kakak kelasnya itu. Cuma gara-gara masalah Kenn, ia seolah berbelok arah dan tujuan utamanya selalu tertunda. Kini ia harus memutuskan kembali ke posisi semula dan masa bodoh sama Kenn. Toh cowok itu juga nggak ada kabar apa pun sampai sekarang, seperti hilang ditelan bumi. Frel mendengarkan celotehan Dara yang tak ada hentinya mendeskripsikan tentang manisnya seorang Ari, sikapnya yang lucu dan menggemaska
"Sepadaaaa, gue datang. Dara si cantik jelita nan manis dataaang...," seru Dara sambil membuka pintu utama. "Gue tamu, nih. Haloooo, sepadaaa. Halo, Kak Ari? Ditooo?"Ia celingukan mencari keberadaan orang di dalam, namun sepi yang ia dapati. Dara memberengut dengan bibir manyun dan mengernyit heran."Kok rumah sebesar ini nggak ada orang sama sekali? Aneh banget. Minimal harusnya ada pembantu, dong." Dara berdiri di ambang pintu sambil berbicara sendiri.Kakinya melangkah perlahan semakin dalam. Tapi tiba-tiba....Plug!"Auw!" Tangan Dara terangkat mengambil sesuatu yang mendarat di jidatnya. "Apaan, nih?" Ia membau sesuatu cairan lengket.Hidungnya mengendus-endus.Bau amis dan...."Hueeek!" Dara mual di tempat. "Siapa yang ngerjain gue?! Keluar nggak?! Gue tau lo pasti ada di sini!" pekik Dara tak sabar.Ia lekas membuang pecahan telur yang mengenai jidatnya itu ke lantai.Pandangannya mengedar ke segala penjuru ruangan. Pikirannya bergentayangan, menerka-nerka siapa dalang dari se
Netra Inez masih terlihat sembab hingga hari ini. Sedari kemarin ia hanya menangis dan menaruh kebencian kepada mamanya. Meski ia tak sepatutnya membenci mama sendiri, tetapi kali ini beliau udah kelewatan.Semua sisa uang gaji bulan ini yang ia simpan di lemari telah raib, bukan hanya itu bahkan kalung berlian peninggalan papa satu-satunya telah hilang. Ia yakin semuanya ulah sang mama. Nggak ada yang tahu perhiasan itu ia simpan kecuali beliau.Bertahun-tahun ia sengaja menjaga perhiasan dari papanya itu sebagai kenangan. Bahkan ketika ia dalam kondisi perekonomian tersulit pun ia tetap tak tega jika harus menggadaikan peninggalan papanya itu. Ia takut nggak bisa menebus dan kehilangan satu-satunya kenangan sang papa yang tertinggal.Tapi kali ini ia tak habis pikir, sampai hati sang mama mengambil benda berharga itu darinya.Dan entah di mana mamanya sekarang, hingga kini beliau belum pulang dari semalam. Apa ia lupa masih punya anak? Oh, enggak perlu ingat dirinya, paling tidak an