BAB 4: KEPUTUSAN FATAL
Cahaya putih yang menyilaukan itu datang tanpa peringatan. Begitu jari Raka menyentuh permukaan cermin perunggu, energi yang terpendam di dalam artefak itu meledak dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Cahaya itu bukan sekadar cahaya biasa—ia hidup, berdenyut seperti nadi raksasa yang memenuhi seluruh ruangan gua. Raka merasakan tubuhnya seperti ditarik ke dalam pusaran waktu, seolah gravitasi alam semesta tiba-tiba runtuh dan hanya ada satu arah: ke dalam.
"RAKA!" teriak Andini, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh angin kencang yang tiba-tiba bertiup dari dalam cermin. Angin itu dingin menusuk tulang, membawa aroma tanah basah dan dupa yang aneh. Ia mencoba menahan lengan Raka, tapi tarikan energi dari cermin terlalu kuat. Tubuh Raka terangkat beberapa sentimeter dari tanah, matanya terpejam erat seolah berusaha melawan sensasi yang menghancurkan akal sehatnya.
Agus berteriak panik, mencoba meraih tangan Raka, tetapi angin kencang yang berputar di sekitar cermin mendorong mereka semua menjauh. Batu-batu kecil mulai jatuh dari langit-langit gua, memantul di lantai dengan suara keras. Gua itu berguncang hebat, seolah bumi sendiri marah atas pelanggaran yang baru saja dilakukan.
Di dalam hatinya, Raka merasakan konflik batin yang hebat. Tubuhnya terasa seperti dilebur dan dibentuk ulang—panas ekstrem di satu sisi tubuhnya, dingin menusuk tulang di sisi lainnya. Ia melihat bayangan-bayangan makhluk mitologi Jawa di tepi pandangannya: Buto Ijo dengan wajah garang, Naga Niskala yang melilit altar batu, dan Banaspati yang bergerak seperti api hidup di udara. Mereka tidak menyerang, tetapi mengamati dengan mata penuh rahasia, seolah menunggu kedatangannya.
"Kenapa aku?" gumam Raka dalam hati, suaranya hilang ditelan angin. "Apa yang akan terjadi padaku?"
"Kau yang dipilih," kata suara itu lagi, kali ini lebih keras, hampir seperti jeritan. "Takdirmu adalah membuka Gerbang Kala."
"Tidak... aku tidak mengerti!" balas Raka dalam hati, meskipun ia tahu suaranya tidak akan terdengar. Gambar-gambar kilat terus berkelebat di benaknya—potongan-potongan masa depan yang belum terjadi. Ia melihat dirinya sendiri berdiri di sebuah istana megah, diapit oleh dua kekuatan besar yang saling bertentangan. Di antara mereka, ada seorang wanita muda dengan mata yang penuh kesedihan—Putri Dyah Sulastri. Gambar itu lenyap secepat datangnya, digantikan oleh adegan lain: ritual besar di tepi sungai mistis, api yang menyala-nyala, dan sosok-sosok gaib yang bergerak di antara manusia.
"LEPASKAN AKU!" teriak Raka, suaranya hilang ditelan angin. Tapi tidak ada yang mendengarnya. Bahkan Andini dan Agus sudah terjatuh ke belakang, terdorong oleh angin kencang yang semakin liar. Mereka mencoba merangkak menjauh dari altar, wajah mereka penuh ketakutan.
Saat cahaya mencapai puncak intensitasnya, seluruh gua bergetar hebat. Batu-batu besar mulai jatuh dari langit-langit, menghancurkan bagian-bagian dinding gua. Suara gemuruh menggema di seluruh ruangan, seolah gua itu bernapas untuk terakhir kalinya sebelum runtuh sepenuhnya.
"Raka, LEPAS!" teriak Andini, air mata mengalir di pipinya. Tapi sudah terlambat. Dalam sekejap, tubuh Raka lenyap sepenuhnya, tertelan oleh cahaya yang memenuhi gua. Ketika cahaya itu akhirnya memudar, yang tersisa hanyalah kegelapan pekat dan keheningan yang menyesakkan.
Budi, yang sedari tadi berada di luar gua, mendengar suara gemuruh yang mengerikan. Ia berlari menuju mulut gua, berharap bisa membantu timnya keluar. Namun, saat ia mendekat, tanah di sekitar gua mulai retak dan runtuh. Bebatuan besar jatuh dari tebing di atas, menutupi pintu masuk gua sepenuhnya.
"ANDINI! AGUS! RAKA!" teriak Budi, suaranya penuh kepanikan. Ia mencoba menggali bebatuan dengan tangan kosong, tetapi usahanya sia-sia. Tanah terus berguncang, dan debu tebal memenuhi udara.
Setelah beberapa saat, guncangan akhirnya berhenti. Budi terduduk di tanah, napasnya tersengal-sengal. Matanya memandang reruntuhan gua dengan rasa putus asa. "Apa yang terjadi?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar di tengah keheningan hutan.
Andini dan Agus terdiam, tubuh mereka lemah dan gemetar. Mereka berusaha bangkit dari lantai gua yang retak-retak, tetapi udara di dalam sana terasa semakin berat. Cermin perunggu itu kini tampak mati, tidak lagi berdenyut. Permukaannya kembali menjadi permukaan cermin biasa, tanpa jejak energi magis yang sebelumnya begitu kuat.
Namun, sesaat setelah Raka lenyap, Andini melihat sesuatu yang membuatnya bergidik. Di sudut ruangan, bayangan samar Buto Ijo muncul sejenak, matanya menyala merah. Makhluk itu mengamati mereka dengan tatapan dingin sebelum menghilang tanpa suara. Andini menahan napas, tubuhnya membeku karena ketakutan.
"Raka... dia... dia hilang," bisik Andini, suaranya penuh ketidakpercayaan. Air mata mengalir deras di pipinya. "Apa yang baru saja terjadi?"
Agus tidak menjawab. Matanya tertuju pada cermin itu, wajahnya pucat pasi. "Kita harus keluar dari sini," katanya akhirnya, suaranya bergetar. "Gua ini akan runtuh sepenuhnya."
Andini mengangguk pelan, meski tubuhnya masih gemetar. Mereka berusaha berdiri, langkah mereka goyah saat meninggalkan altar batu. Saat mereka berjalan menjauh, Andini menoleh sekali lagi ke arah cermin. Ia merasakan firasat buruk—seolah artefak itu masih hidup, hanya menunggu korban berikutnya.
BAB 5: HILANGNYA RAKAKeheningan yang menyesakkan menyelimuti gua setelah cahaya menyilaukan itu memudar. Andini dan Agus masih terdiam, tubuh mereka gemetar karena ketakutan dan kelelahan. Udara di dalam gua semakin berat, seolah gravitasi sendiri telah berubah. Mereka mencoba mengatur napas, tetapi rasa takut akan apa yang baru saja terjadi membuat jantung mereka berdebar kencang."Raka..." bisik Andini pelan, suaranya penuh ketidakpercayaan. Matanya tertuju pada altar batu yang kosong—cermin perunggu itu tampak mati, tidak lagi berdenyut seperti sebelumnya. "Dia... dia benar-benar hilang."Agus tidak menjawab. Ia hanya menatap altar dengan mata kosong, pikirannya berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya masih lemah akibat ledakan energi dari cermin, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak punya waktu untuk terpaku. Gua ini tidak aman—tanah di bawah kaki mereka retak-retak, dan suara gemuruh dari langit-langit mulai terdengar lagi."Kita harus keluar dari sini," kata Agus ak
BAB 6: DUNIA BARURaka membuka matanya perlahan, kepalanya terasa berat seolah baru saja melewati badai magnetik. Ia mencoba duduk, tetapi tubuhnya masih lemah, seperti habis berlari maraton tanpa henti. Cahaya matahari yang menembus dedaunan di atasnya membuatnya menyipitkan mata. Napasnya tersengal-sengal, dan ia menyadari bahwa ia tidak lagi berada di gua—atau bahkan di tempat yang sama dengan timnya."Di mana aku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar di antara desiran angin yang meliuk-liuk di antara pepohonan.Ia berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Gambar-gambar kilat muncul di benaknya—cermin perunggu, cahaya menyilaukan, angin kencang, dan suara misterius yang memanggil namanya. Namun, ingatan itu kabur, seperti mimpi yang sulit dipegang erat. Yang jelas, ia tahu satu hal: ia tidak lagi berada di dunia modern.Raka meraba-raba tas punggungnya, mencari ponsel atau alat GPS-nya. Tapi ketika ia menyalakan ponselnya, layar hanya menampilkan kegelapan total. Te
BAB 7: PERTEMUAN DENGAN PRAJURITRaka melanjutkan perjalanannya dengan langkah hati-hati, berusaha mengikuti arah yang ditunjuk oleh anak kecil tadi. Pepohonan tinggi di sekitarnya semakin rapat, dan udara terasa semakin dingin meskipun matahari masih bersinar di atas kepala. Suara alam—desiran angin, gemericik air, dan kicau burung—menciptakan harmoni yang menenangkan, tetapi Raka tidak bisa sepenuhnya merasa aman. Perasaan bahwa ia sedang diikuti semakin kuat, seolah ada banyak pasang mata yang mengamati setiap gerakannya dari balik bayang-bayang pepohonan.Tiba-tiba, suara derap langkah kaki terdengar dari kejauhan. Langkah-langkah itu cepat dan teratur, seperti milik orang-orang yang terlatih. Raka berhenti sejenak, tubuhnya membeku. Ia mencoba bersembunyi di balik pohon besar, berharap tidak terlihat. Namun, suara itu semakin dekat, dan tak lama kemudian, sekelompok prajurit muncul dari balik pepohonan.Prajurit-prajurit itu mengenakan pakaian kuno—baju besi ringan yang terbuat d
BAB 8: PENYELAMATAN OLEH DYAH SULASTRIPrajurit-prajurit itu semakin mengepung Raka, tombak mereka teracung ke arahnya dengan sikap defensif. Raka mencoba menjelaskan dirinya sekali lagi, tetapi suaranya tenggelam dalam gemuruh protes dan bisikan prajurit yang semakin curiga. Cahaya samar dari kamera di tangan salah satu prajurit masih memancar, membuat suasana semakin mencekam."Kalian harus percaya padaku!" seru Raka putus asa, suaranya bergetar. "Aku bukan penyihir atau mata-mata! Aku hanya tersesat!"Namun, kata-katanya tidak dihiraukan. Prajurit pemimpin kelompok itu mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada yang lain untuk segera menangkap Raka. "Cukup! Bawa dia ke istana. Resi Agung Darmaja akan memutuskan apakah dia layak hidup atau tidak."Beberapa prajurit langsung maju, menahan lengan Raka dengan erat. Ia mencoba melawan, tetapi tubuhnya masih lemah setelah perjalanan panjang di dunia asing ini. Saat ia merasa semua harapan hilang, sebuah suara tegas memecah ketegangan.
BAB 9: MENUJU ISTANASetelah kejadian di hutan, Dyah Sulastri memimpin rombongan menuju istana Kerajaan Gilingwesi. Raka berjalan di belakangnya, diapit oleh dua prajurit yang tetap waspada meskipun ia telah diselamatkan oleh sang putri. Meski begitu, Raka merasa sedikit lega karena tidak lagi dalam ancaman langsung. Namun, rasa penasaran dan ketidakpastian tentang nasibnya terus menghantui pikirannya.Selama perjalanan, Raka mulai memperhatikan lingkungan sekitarnya dengan lebih saksama. Hutan yang mereka lalui perlahan-lahan membuka jalan menuju dataran luas yang subur, dikelilingi oleh sawah-sawah hijau dan sungai kecil yang mengalir tenang. Di tepi sungai, beberapa penduduk desa tampak melakukan ritual kecil—menyusun sesaji dari bunga dan daun di atas tikar anyaman, lalu meletakkannya di pinggir air. Mereka menyanyikan doa-doa lembut yang mengiringi aktivitas harian mereka, menciptakan atmosfer spiritual yang kuat."Apakah itu istanamu?" tanya Raka kepada Dyah Sulastri, mencoba me
BAB 10: ISTANA GILINGWESIRaka melangkah masuk ke dalam istana dengan hati-hati, diiringi oleh Dyah Sulastri dan para prajurit yang tetap waspada. Udara di dalam istana terasa lebih dingin dibandingkan dengan panas matahari di luar, namun ada sesuatu yang lain—sebuah aura berat yang sulit dijelaskan. Aroma dupa dan rempah-rempah menyelimuti ruangan, menciptakan atmosfer spiritual yang kental. Dinding-dinding istana dihiasi ukiran rumit yang menggambarkan dewa-dewi, pahlawan legendaris, dan adegan-adegan spiritual yang tampak hidup seolah mereka bercerita tentang masa lalu kerajaan ini. Cahaya dari lampu minyak memantul di permukaan logam dan perunggu, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak pelan di dinding.Mereka memasuki ruang utama istana, sebuah aula besar dengan langit-langit tinggi yang dihiasi ukiran naga dan burung garuda. Di ujung ruangan, duduk seorang pria paruh baya dengan postur tegak dan wajah yang tegas namun bijaksana. Ia mengenakan jubah panjang berwarna merah ma
BAB 11: RITUAL SUCIAngin pagi yang dingin menyapu halaman istana Gilingwesi, membawa aroma dupa yang menusuk hidung. Di tengah lapangan luas yang dikelilingi oleh pohon-pohon beringin tua, sebuah altar besar terbuat dari batu hitam mengkilap telah didirikan. Para pendeta berjubah putih berbaris rapi di sekitar altar, memegang genta kecil dan sulur-sulur asap wewangian yang mengepul dari mangkuk-mangkuk tembaga di tangan mereka. Matahari baru saja muncul di balik pegunungan, menyelimuti seluruh pemandangan dengan cahaya emas lembut.Raka berdiri agak jauh dari kerumunan, di bawah naungan salah satu pohon beringin. Ia merasa tidak nyaman, bukan hanya karena pakaiannya yang masih belum sepenuhnya sesuai dengan adat setempat, tetapi juga karena atmosfer mistis yang hampir bisa dirasakan secara fisik. Bau dupa yang kental membuat kepalanya sedikit pusing, dan suara mantra-mantra para pendeta bergema seperti datang dari dimensi lain—terdengar jelas, namun juga samar-samar, seolah-olah ada
BAB 12: RAMALAN KUNOMatahari sore mulai meredup, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya oranye yang hangat namun suram. Raka berjalan menyusuri koridor batu yang dingin, langkahnya terdengar bergema di sepanjang dinding yang dipenuhi ukiran kuno. Ia masih memikirkan ritual suci yang ia saksikan pagi tadi—roh Banaspati, tatapan mereka yang menusuk, dan getaran aneh yang dirasakannya di dalam tubuhnya. Segalanya begitu asing, tetapi juga menarik. Ada sesuatu di balik semua ini, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Saat ia melewati salah satu halaman dalam istana, seorang pendeta tua dengan jubah putih panjang mendekatinya. Wajahnya tertutup kerudung tipis, hanya meninggalkan sepasang mata yang tajam seperti mata elang. Pendeta itu adalah Resi Agung Darmaja, sosok misterius yang selalu tampak mengamati dari kejauhan. Raka pernah melihatnya di ritual pagi tadi, tetapi tidak sempat berbicara dengannya."Kau tampak gelisah, anak muda," kata Resi Agung Darmaja dengan suara ren
BAB 63: RITUAL PEMBEBASAN Persiapan Ritual di Hutan MistisMalam semakin larut, dan hutan mistis yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan energi spiritual yang luar biasa. Udara dingin menyelimuti setiap sudut, sementara kabut tebal mulai merayap di antara pepohonan raksasa. Di tengah hutan, sebuah altar batu kuno telah disiapkan untuk ritual pembebasan Buto Ijo. Api unggun kecil berkedip-kedip di sekitar altar, memberikan cahaya lembut yang memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding pepohonan. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya berdiri di sekitar altar, masing-masing dengan perasaan tegang dan penuh harap. Di belakang mereka, sosok besar Buto Ijo—masih dalam wujud makhluk mitologi—menatap altar dengan mata penuh kerinduan. Ia tampak seperti makhluk yang sudah lama menunggu momen ini.
BAB 62: KUTUKAN BUTO IJOPenemuan Rahasia Buto IjoMatahari mulai tenggelam, menyelimuti hutan mistis dengan cahaya jingga yang lembut. Udara semakin dingin, dan kabut tipis mulai merayap di antara pepohonan raksasa. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya berdiri di depan sebuah altar batu kuno yang tersembunyi di dalam hutan. Di atas altar itu, ada relief tua yang menggambarkan seorang ksatria bersenjata lengkap dikelilingi oleh simbol-simbol dewa."Buto Ijo pernah menjadi manusia?" tanya Arya, suaranya penuh ketidakpercayaan saat ia menatap relief tersebut. "Aku selalu menganggapnya hanya makhluk mitologi."Dyah mengangguk pelan, matanya memindai relief dengan penuh konsentrasi. "Ini lebih dari sekada
BAB 61: SYARAT BUTO IJOPertemuan di Tepi Sungai SuciMatahari mulai terbit, menyinari hutan mistis dengan cahaya keemasan yang lembut. Udara pagi terasa dingin dan segar, namun ketegangan masih membayangi setiap langkah Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya saat mereka mendekati tepi sungai suci. Air sungai itu tampak jernih seperti kristal, memantulkan sinar matahari dengan kilauan aneh, seolah menyimpan rahasia besar di dalamnya."Apakah ini sungai yang dimaksud Buto Ijo?" tanya Arya pelan, matanya menyipit mencermati lingkungan sekitar.Dyah mengangguk, tangannya meraba permukaan air yang dingin. "Ya, aku bisa merasakan energi spiritual yang kuat di sini. Ini pasti tempatnya."Raka berdiri agak jauh dari sungai, matany
BAB 60: HUTAN MISTISAdegan Pembuka: Memasuki Hutan MistisMatahari mulai tenggelam di balik pegunungan, menyelimuti hutan mistis dengan cahaya oranye yang redup. Udara di sekitar terasa lebih dingin dan berat, seolah membawa beban misteri yang tak terucapkan. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya melangkah hati-hati melewati pepohonan raksasa yang menjulang tinggi, cabang-cabangnya saling bertautan membentuk kanopi alami yang menutupi langit."Tempat ini... penuh dengan energi aneh," gumam Raka pelan, tangannya erat mencengkeram cermin perunggu kuno yang selalu ia bawa. Cermin itu mulai bersinar redup, seolah merespons kekuatan gaib di sekitarnya.Dyah mengangguk, matanya waspada. "Ini adalah wilayah makhluk gaib. Kita harus berhati-hati."
BAB 59: PENGKHIANATAN KI JAGABAYA TERUNGKAPArya Menyelidiki Lebih DalamMatahari mulai terbit di balik pegunungan, menyelimuti hutan mistis dengan cahaya keemasan yang lembut. Namun, suasana di dalam kelompok Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya tetap tegang. Setelah berlari semalaman, mereka akhirnya mencapai tempat perlindungan rahasia yang ditunjukkan oleh peta Arya—sebuah gua kecil yang tersembunyi di antara tebing curam dan pepohonan rimbun.Raka duduk di sudut gua, tangannya erat mencengkeram cermin perunggu kuno. Matanya menatap api kecil yang mereka nyalakan untuk menghangatkan tubuh. "Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi," gumamnya pelan.Dyah mendekatinya, wajahnya penuh kekhawatiran. "Apa maksudmu, Raka?"
BAB 58: ARYA KERTAJAYA MENYELAMATKAN MEREKA LAGIAdegan Pembuka: Kejaran di HutanMalam semakin larut, dan udara di hutan terasa semakin dingin. Raka dan Dyah Sulastri berlari sekuat tenaga, napas mereka tersengal-sengal, sementara suara langkah kaki prajurit loyalis terdengar semakin dekat. Pohon-pohon tinggi yang menjulang di sekitar mereka menciptakan bayang-bayang gelap yang menyeramkan, dan angin malam membawa bisikan-bisikan gaib yang samar."Kita harus berhenti sebentar," kata Raka dengan suara bergetar, tangannya erat mencengkeram cermin perunggu. "Aku tidak tahu ke mana kita harus pergi."Dyah menggeleng pelan, matanya penuh ketakutan. "Tidak, Raka. Jika kita berhenti, mereka akan menangkap kita. Kita harus terus bergerak."
BAB 57: DYAH SULASTRI MEMBERONTAKKeputusan yang BeraniMalam semakin larut, dan udara di istana terasa semakin dingin. Api-api kecil yang ditinggalkan oleh Banaspati masih menyala di beberapa sudut istana, menciptakan suasana mencekam yang semakin tebal. Penduduk desa mulai membubarkan diri setelah ritual korban Dyah Sulastri ditunda sementara karena kemarahan Banaspati.Dyah Sulastri berdiri di kamarnya, matanya penuh air mata. Ia tahu bahwa ritual ini adalah takdirnya—tapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa melanjutkannya. Hatinya dipenuhi oleh rasa takut, harapan, dan keberanian. Ia menatap bayangannya sendiri di cermin perunggu kuno yang diberikan Raka padanya sebagai hadiah simbolis."Aku tidak bisa melakukannya," gumam Dyah pelan, suaranya penuh keteg
BAB 56: RESI AGUNG DARMAJA MENGGUNGKAP AGENDA TERSEMBUNYIKedatangan Resi Agung DarmajaMalam semakin larut, dan udara di istana terasa semakin dingin. Api-api kecil yang ditinggalkan oleh Banaspati masih menyala di beberapa sudut istana, menciptakan suasana mencekam yang semakin tebal. Penduduk desa mulai membubarkan diri setelah ritual korban Dyah Sulastri ditunda sementara karena kemarahan Banaspati.Raka berdiri di halaman utama istana, matanya memandang altar batu besar dengan penuh kemarahan. Ia merasakan sensasi aneh di tubuhnya—seolah-olah ada kekuatan gaib yang mencoba masuk ke dalam dirinya. Cermin perunggu yang ia bawa mulai bersinar redup, seolah memberikan peringatan.Tiba-tiba, langkah kaki pelan terdengar di belakangnya. Raka menoleh dan meli
BAB 55: RAKA MELAWAN TAKDIRKetegangan di IstanaMatahari mulai tenggelam, dan bayang-bayang panjang menutupi alun-alun istana. Udara dingin berhembus lembut, membawa aroma dupa dan bunga melati yang tersebar di sekitar altar batu besar. Api-api kecil yang ditinggalkan oleh Banaspati masih menyala di beberapa sudut istana, menciptakan suasana mencekam yang semakin tebal. Penduduk desa berkumpul di sekitar altar, wajah mereka penuh dengan campuran harapan dan ketakutan.Raka berdiri di tepi kerumunan, matanya memandang altar dengan penuh kemarahan. Ia tahu bahwa ritual korban ini adalah kesalahan besar—tapi bagaimana cara meyakinkan orang-orang yang sudah terlanjur percaya pada takhayul? Di sisi lain, Rakai Wisesa duduk di singgasana se