Share

BAB 6: RITUAL SUCI

Penulis: Arjuna Wiraguna
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-03 19:00:09

Angin pagi yang dingin menyapu halaman istana Gilingwesi, membawa aroma dupa yang menusuk hidung. Di tengah lapangan luas yang dikelilingi oleh pohon-pohon beringin tua, sebuah altar besar terbuat dari batu hitam mengkilap telah didirikan. Para pendeta berjubah putih berbaris rapi di sekitar altar, memegang genta kecil dan sulur-sulur asap wewangian yang mengepul dari mangkuk-mangkuk tembaga di tangan mereka. Matahari baru saja muncul di balik pegunungan, menyelimuti seluruh pemandangan dengan cahaya emas lembut.

Raka berdiri agak jauh dari kerumunan, di bawah naungan salah satu pohon beringin. Ia merasa tidak nyaman, bukan hanya karena pakaiannya yang masih belum sepenuhnya sesuai dengan adat setempat, tetapi juga karena atmosfer mistis yang hampir bisa dirasakan secara fisik. Bau dupa yang kental membuat kepalanya sedikit pusing, dan suara mantra-mantra para pendeta bergema seperti datang dari dimensi lain—terdengar jelas, namun juga samar-samar, seolah-olah ada jarak tak terlihat antara dirinya dan ritual itu.

"Kamu tidak perlu takut," kata Dyah Sulastri pelan, muncul di sampingnya tanpa suara. Gadis itu mengenakan gaun sutra hijau yang melingkar elegan di tubuhnya, dengan kalung emas tipis bertatahkan permata biru menghiasi lehernya. Matanya yang gelap menatap Raka dengan ekspresi tenang, meskipun ada bayangan kekhawatiran di dalamnya.

"Aku tidak takut," jawab Raka, mencoba terdengar yakin. "Hanya... ini semua sangat asing bagiku."

Dyah tersenyum tipis, lalu menunjuk ke arah altar. "Ini adalah ritual untuk memohon perlindungan kepada roh-roh penjaga kerajaan. Mereka adalah makhluk gaib yang menjaga keselamatan kita dari ancaman yang tak terlihat."

Raka mengikuti arah pandangnya. Di atas altar, seekor ayam jantan berbulu merah cerah sudah disiapkan, bersama dengan berbagai persembahan lain seperti buah-buahan, bunga melati, dan mangkuk-mangkuk berisi air suci. Salah satu pendeta, yang lebih tua dengan rambut putih panjang, mulai melafalkan mantra yang lebih keras. Suaranya bergema di udara, seolah-olah menembus dimensi lain.

Tiba-tiba, angin berhenti. Seluruh suasana menjadi begitu sunyi sehingga Raka bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Lalu, dari balik pepohonan, muncul sosok-sosok samar yang awalnya tampak seperti kabut tebal. Namun, ketika mereka semakin dekat, bentuk mereka mulai terlihat lebih jelas—makhluk-makhluk tinggi besar dengan kulit kebiruan dan mata yang menyala seperti bara api. Beberapa di antaranya memiliki tanduk melengkung, sementara yang lain memiliki sayap transparan yang berkilauan.

"Inilah Banaspati," bisik Dyah, suaranya nyaris tak terdengar. "Mereka adalah roh api yang melindungi kerajaan. Jika kamu tidak berniat buruk, mereka tidak akan menyakitimu."

Raka menelan ludah. Meskipun skeptisisme alaminya mencoba menyangkal apa yang dilihatnya sebagai ilusi atau trik optik, nalurinya memberitahunya bahwa makhluk-makhluk itu nyata. Ada kekuatan besar yang menguar dari keberadaan mereka, membuat bulu kuduknya merinding. Saat salah satu Banaspati mendekat, matanya yang menyala menatap langsung ke mata Raka. Tatapan itu membuatnya merasakan denyutan aneh di telapak tangannya, seperti gema dari energi cermin perunggu yang ia temukan di gua. Denyutan itu semakin kuat, hingga ia harus menahan napas untuk menahannya.

Pendeta tua itu melangkah maju, mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dengan gerakan lambat namun penuh otoritas, ia menuangkan air suci ke atas kepala ayam jantan tersebut. Seekor Banaspati mendekat, membungkuk rendah di depan altar, seolah memberi hormat. Pendeta itu kemudian meletakkan telapak tangannya di atas kepala makhluk itu, melafalkan mantra yang lebih panjang.

Raka merasakan getaran halus di udara, seperti resonansi gong yang dipukul jauh di kejauhan. Getaran itu membuatnya merinding, tapi juga menimbulkan sensasi aneh di dalam dadanya, seolah ada sesuatu yang bergerak di dalam tubuhnya. Ia menoleh ke Dyah, yang kini menundukkan kepala dengan mata tertutup rapat, seolah tengah berdoa.

"Kenapa mereka melakukan ini?" tanya Raka akhirnya, suaranya terdengar lebih pelan daripada biasanya.

"Untuk menjaga keseimbangan," jawab Dyah tanpa membuka matanya. "Kerajaan ini berdiri di ambang dua dunia—dunia manusia dan dunia gaib. Jika keseimbangan itu terganggu, maka malapetaka akan datang."

Saat itulah Raka menyadari betapa rapuhnya dunia tempat ia terjebak ini. Dunia ini tidak hanya dipenuhi oleh manusia, tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan supranatural yang tak terlihat. Ritual ini bukan sekadar tradisi atau upacara kosong; ini adalah cara untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka semua.

Namun, ada satu hal yang mengganjal di benaknya. Mengapa ia, seorang asing dari masa depan, dibawa ke sini? Apakah kedatangannya juga bagian dari keseimbangan yang mereka bicarakan? Atau justru sebaliknya—kedatangannya akan membawa malapetaka?

Sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, ritual berakhir. Para Banaspati perlahan menghilang, kembali ke tempat asal mereka, meninggalkan jejak-jejak cahaya redup di udara. Pendeta-pendeta mulai membubarkan diri, dan kerumunan pun mulai bubar. Dyah menarik lengan Raka pelan, mengajaknya kembali ke istana.

"Kamu akan terbiasa dengan semua ini," katanya sambil tersenyum. "Lama-kelamaan, kamu akan mengerti."

Namun, Raka tidak yakin apakah ia ingin terbiasa. Ia merasa ada rahasia besar yang belum diungkapkan kepadanya—rahasia yang mungkin akan mengubah segalanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 7: RAMALAN KUNO

    Matahari sore mulai meredup, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya oranye yang hangat namun suram. Raka berjalan menyusuri koridor batu yang dingin, langkahnya terdengar bergema di sepanjang dinding yang dipenuhi ukiran kuno. Ia masih memikirkan ritual suci yang ia saksikan pagi tadi—roh Banaspati, tatapan mereka yang menusuk, dan getaran aneh yang dirasakannya di dalam tubuhnya. Segalanya begitu asing, tetapi juga menarik. Ada sesuatu di balik semua ini, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Saat ia melewati salah satu halaman dalam istana, seorang pendeta tua dengan jubah putih panjang mendekatinya. Wajahnya tertutup kerudung tipis, hanya meninggalkan sepasang mata yang tajam seperti mata elang. Pendeta itu adalah Resi Agung Darmaja, sosok misterius yang selalu tampak mengamati dari kejauhan. Raka pernah melihatnya di ritual pagi tadi, tetapi tidak sempat berbicara dengannya."Kau tampak gelisah, anak muda," kata Resi Agung Darmaja dengan suara rendah dan berat, sepert

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 8: MAKHLUK GAIB

    Pagi itu, udara di istana Gilingwesi terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman-halaman dalam, menciptakan suasana yang hening dan misterius. Raka berjalan menyusuri jalan setapak menuju candi kecil di tepi hutan, tempat Dyah Sulastri mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan salah satu makhluk gaib penjaga kerajaan—Buto Ijo.“Kau yakin ini aman?” tanya Raka, memandang Dyah dengan ekspresi ragu. Ia masih ingat betapa menyeramkannya Banaspati yang ia lihat selama ritual suci beberapa hari lalu. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang dunia baru ini, tetapi ia juga merasa ada sesuatu yang penting yang harus ia pahami.Dyah tersenyum tipis, matanya yang gelap penuh ketenangan. “Aku sudah memberikan perintah padanya untuk tidak menyakitimu,” katanya sambil melangkah maju. “Selama kau tidak berniat buruk, Buto Ijo tidak akan menyerang.”Raka mengangguk pelan, meskipun rasa cemasnya belum sepenuhnya hilang. Ia memperhatikan sekelilingnya—pohon-pohon ting

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-04
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 9: HUBUNGAN DENGAN DYAH SULASTRI

    Malam itu, istana Gilingwesi terasa lebih tenang dari biasanya. Lampu minyak yang menyala di sepanjang koridor memberikan cahaya temaram, menciptakan bayangan-bayangan lembut di dinding batu. Raka duduk di tepi ranjang kayunya, memandangi cermin perunggu kuno yang ia simpan di sudut ruangan. Cermin itu tampak begitu sederhana, tetapi bagi Raka, ia adalah satu-satunya penghubungnya dengan dunia asalnya—dunia yang kini terasa semakin jauh.Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka pelan. Dyah Sulastri masuk dengan langkah ringan, mengenakan selendang sutra tipis yang melingkar anggun di tubuhnya. Ia membawa sebuah gulungan naskah tua dan duduk di kursi kecil di dekat meja kayu Raka. Angin malam masuk melalui celah jendela, membawa aroma bunga melati dari taman istana."Kau belum tidur?" tanyanya lembut, suaranya seperti bisikan angin malam.Raka menoleh, sedikit terkejut oleh kedatangan mendadaknya. "Aku... hanya memikirkan banyak hal," jawabnya, mencoba tersenyum. "Sulit untuk tidur."Dyah men

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-06
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 10: ANCAMAN DARI LUAR

    Matahari pagi mulai naik tinggi di atas istana Gilingwesi, menyelimuti halaman dalam dengan cahaya emas yang lembut. Namun, suasana di balik dinding-dinding batu istana tidak sesegar udara pagi itu. Di ruang perang, Arya Kertajaya berdiri tegak di depan Rakai Wisesa, raja kerajaan Gilingwesi, dengan ekspresi serius yang jarang terlihat di wajahnya."Paduka," kata Arya Kertajaya dengan suara tegas namun penuh hormat, "aku harus melaporkan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan."Rakai Wisesa menatap panglima perangnya dengan mata tajam. Raja yang bijaksana namun keras ini selalu mendengarkan laporan dari para pembantunya dengan penuh perhatian, tetapi kali ini ada sesuatu dalam nada suara Arya yang membuatnya sedikit waspada."Apa yang mengkhawatirkanmu?" tanya Rakai Wisesa, tangannya yang kokoh bertumpu pada gagang pedangnya.Arya Kertajaya mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Orang asing itu—Raka. Aku percaya dia bukan sekadar orang biasa seperti yang ia klaim. Ada sesuatu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-06
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 11: NAGA NISKALA

    Matahari mulai tenggelam di cakrawala, menciptakan siluet lembut di atas sungai suci yang mengalir tenang di tepi hutan. Airnya jernih dan berkilauan seperti permata biru di bawah sisa-sisa sinar matahari. Raka berdiri di tepi sungai bersama Dyah Sulastri, merasakan aura mistis yang kuat memenuhi udara. Ini adalah tempat yang disebut-sebut sebagai kediaman Naga Niskala, makhluk gaib penjaga aliran kehidupan kerajaan Gilingwesi."Apakah benar ada naga di sini?" tanya Raka, suaranya terdengar ragu namun penuh rasa ingin tahu. Ia menatap air sungai yang tampak begitu tenang, tetapi entah bagaimana ia merasakan bahwa ada sesuatu yang besar—sesuatu yang tidak terlihat—mengamati mereka dari kedalaman.Dyah tersenyum tipis, matanya memancarkan ketenangan yang hanya dimiliki oleh mereka yang akrab dengan dunia gaib. "Naga Niskala bukanlah makhluk yang bisa dilihat oleh semua orang," katanya pelan. "Hanya mereka yang memiliki hubungan khusus dengan dunia ini yang bisa merasakan kehadirannya."

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-06
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 12: RAHASIA DYAH SULASTRI

    Malam itu, bulan purnama bersinar terang di langit, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya perak yang lembut. Namun, di balik keindahan malam itu, ada ketegangan yang menggelayuti udara. Raka duduk di tepi jendela kamarnya, memandangi kegelapan hutan yang membentang luas di luar tembok istana. Pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuannya dengan Naga Niskala beberapa hari lalu. Makhluk gaib itu telah memberikan banyak jawaban, tetapi juga meninggalkan lebih banyak pertanyaan. Salah satunya adalah tentang Dyah Sulastri—putri kerajaan yang tampaknya menyimpan rahasia besar.Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka pelan. Dyah masuk dengan langkah ringan, wajahnya tampak lebih murung daripada biasanya. Ia mengenakan selendang sutra tipis yang melingkar anggun di tubuhnya, namun matanya yang biasanya penuh ketenangan kini dipenuhi oleh bayangan kekhawatiran."Kau belum tidur?" tanyanya pelan, suaranya seperti bisikan angin malam.Raka menoleh, sedikit terkejut oleh kedatangannya. "Aku... hany

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-06
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 13: INTRIK POLITIK

    Matahari pagi mulai naik tinggi di atas istana Gilingwesi, menyelimuti halaman dalam dengan cahaya emas yang lembut. Namun, suasana di balik dinding-dinding batu istana tidak sesegar udara pagi itu. Di ruang perpustakaan kuno, Ki Jagabaya duduk di depan meja kayu besar yang penuh dengan gulungan naskah tua dan artefak-artefak kuno. Matanya yang tajam memindai setiap simbol dan aksara pada dokumen-dokumen tersebut, mencari petunjuk apa pun tentang Raka—Orang dari Kala Lain.Arya Kertajaya berdiri di sisi lain ruangan, lengan terlipat di dada, wajahnya serius namun penuh keteguhan. Ia menatap Ki Jagabaya dengan ekspresi sabar, meskipun ada rasa tidak puas yang samar-samar terlihat di matanya."Apakah kau sudah menemukan sesuatu?" tanya Arya akhirnya, suaranya rendah namun penuh urgensi.Ki Jagabaya mengangkat kepala, matanya menyipit saat ia menatap Arya. "Ada banyak hal yang tidak masuk akal tentang pemuda itu," katanya pelan. "Kedatangannya di hutan kita bukanlah kebetulan. Ia memilik

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-06
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 14: PETUNJUK PERTAMA

    Malam itu, angin dingin berhembus pelan di sekitar istana Gilingwesi. Raka duduk di sudut ruangan kecil yang jarang dikunjungi siapa pun—ruang penyimpanan artefak kuno milik kerajaan. Di sana, ia menemukan sebuah cermin perunggu tua yang tampak usang dan tertutup debu. Cermin itu memiliki pola ukiran rumit di tepinya, dengan simbol-simbol aneh yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Namun, ada sesuatu dalam aura cermin itu yang membuatnya merasa terhubung dengan dunia asalnya.Raka mengambil cermin itu dengan hati-hati, membersihkan debu dari permukaannya. Saat cahaya lilin menyentuh permukaan cermin, kilau redupnya memantulkan bayangan wajahnya sendiri. Namun, ada sesuatu yang aneh. Bayangan itu tidak hanya menunjukkan dirinya, tetapi juga sosok lain yang samar-samar terlihat di belakangnya—seolah-olah ada seseorang yang berdiri di sana, meskipun ia tahu bahwa ruangan itu kosong.Ia menatap cermin itu lebih lama, mencoba memahami apa yang dilihatnya. Tiba-tiba, suara halus seperti bisi

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-06

Bab terbaru

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 197: KI JAGABAYA MENYUSUN STRATEGI BARU

    Di balik pepohonan lebat yang menutupi tepi hutan, Ki Jagabaya duduk di atas batu besar yang tertutup lumut. Cahaya redup dari obor kecil menciptakan bayangan dramatis di wajahnya yang penuh tekad. Di sekitarnya, pasukan bayangannya berdiri dalam diam, mata mereka bersinar seperti bara api di kegelapan.Angin dingin berdesir lembut, membawa aroma belerang dan daun basah. Suara gesekan ranting kecil terdengar di kejauhan, tetapi tidak ada makhluk hidup lain di sekitar—hanya kegelapan dan keheningan yang menggema.Di sampingnya, penyihir gelap dengan jubah hitam panjang dan topeng perak berdiri tegak. Suaranya serak, penuh otoritas. "Kita tidak punya banyak waktu lagi," katanya dingin. "Raka dan Dyah Sulastri semakin kuat. Mereka mulai memperkuat aliansi dengan makhluk gaib."Ki Jagabaya mengangguk pelan, matanya menyipit dengan sinis. "Aku tahu. Itulah mengapa kita harus bertindak cepat. Aku sudah merencanakan serangan mendadak ke istana—tepat ketika mereka lenga

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 196: PASUKAN GAIB BERKUMPUL

    Malam semakin larut, dan suasana di sekitar istana Gilingwesi dipenuhi oleh energi yang tidak biasa. Udara dingin berdesir lembut, membawa aroma tanah basah, dedaunan segar, dan sedikit asap dari api unggun yang menyala di halaman istana. Di kejauhan, suara-suara aneh mulai terdengar—suara dahan pohon yang bergetar tanpa angin, deru napas berat, dan langkah-langkah berat yang menggema di bumi.Para prajurit loyalis yang berjaga di luar istana mulai merasakan kehadiran makhluk-makhluk gaib. Mata mereka menyipit, mencoba melihat lebih jelas ke dalam kegelapan malam. Tiba-tiba, cahaya redup muncul dari balik pepohonan, memperlihatkan siluet-siluet besar yang mendekat perlahan.Buto Ijo, raksasa hijau dengan tubuh berotot dan mata yang bersinar seperti bara api, muncul pertama kali. Langkah-langkahnya yang berat membuat tanah berguncang ringan. Di belakangnya, Banaspati melayang dengan tubuhnya yang transparan, mengeluarkan cahaya oranye kemerahan seperti api abadi. Gender

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 195: GERBANG KEGELAPAN TERBUKA

    Nafas malam semakin larut, dan suasana di istana Gilingwesi dipenuhi oleh ketegangan yang hampir bisa dirasakan secara fisik. Udara dingin berdesir lembut, membawa aroma asap kayu bakar dari api unggun yang menyala di halaman istana. Para prajurit loyalis berkumpul dalam formasi rapi, sementara makhluk-makhluk gaib seperti Banaspati, Buto Ijo, dan Genderuwo mulai berkumpul di sekitar istana, siap untuk melindungi kerajaan. Namun, firasat buruk menggelayuti setiap orang—ancaman besar sudah sangat dekat. Di tengah kegelapan malam, angin bertiup lebih kencang, membuat nyala api unggun berkedip-kedip tidak menentu. Bayangan-bayangan dramatis terbentuk di dinding-dinding istana, menciptakan ilusi bahwa sesuatu yang mengerikan sedang mengintai dari balik bayang-bayang itu sendiri. Suara gemuruh halus terdengar dari tanah di bawah kaki mereka, seolah-olah bumi merasakan kedatangan ancaman besar. Burung malam yang biasanya berkicau dengan tenang tiba

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 194: KEBANGKITAN PASUKAN GAIB

    Langit di kerajaan Gilingwesi tampak semakin gelap, meskipun matahari masih tinggi di langit. Udara dipenuhi dengan energi aneh—sebuah perpaduan antara kekuatan spiritual dan getaran kegelapan yang mendekat. Setelah kehilangan Resi Agung Darmaja dan kemunculan Leak yang misterius, suasana di istana menjadi semakin tegang. Semua orang menyadari bahwa waktu untuk bersiap menghadapi badai besar telah tiba. Namun, kali ini, alam gaib mulai memberikan jawaban. Makhluk-makhluk gaib, baik yang melindungi maupun yang memusuhi manusia, mulai berkumpul di sekitar istana. Ini adalah tanda jelas bahwa pertempuran besar akan segera dimulai.Di tepi hutan lebat yang mengelilingi istana, para prajurit loyalis melihat sesosok api besar bergerak mendekat. Itu adalah Banaspati , roh api pelindung kerajaan. Tubuhnya seperti nyala api yang hidup, matanya bersinar seperti bara panas. Ia datang deng

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 193: RESI AGUNG DARMAJA MENGHILANG LAGI

    Langit pagi di kerajaan Gilingwesi tampak mendung, seolah-olah alam pun merasakan ketidakpastian yang melingkupi istana. Setelah pertemuan dengan Banaspati dan Buto Ijo, serta persiapan intens untuk menghadapi Ki Jagabaya dan penyihir gelap, suasana di istana semakin tegang. Namun, ketegangan ini mencapai puncaknya ketika salah satu tokoh kunci dalam cerita—Resi Agung Darmaja—tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Kepergian Resi Agung Darmaja bukan hanya meninggalkan kekosongan spiritual, tetapi juga memicu berbagai spekulasi tentang motif sebenarnya. Rakai Wisesa, raja bijaksana namun keras, mulai curiga bahwa pendeta kerajaan itu memiliki agenda tersembunyi yang belum terungkap.Pagi itu dimulai seperti biasa di istana. Para prajurit loyalis sibuk berlatih, para pemimpin spiritual berkumpul untuk ritual, dan Raka, Dyah Sulastri, serta Arya Kertajaya sedang membahas strategi lebih lanjut untuk menghadapi ancaman

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 192: PERSIAPAN UNTUK PERTEMPURAN BARU

    Langit di kerajaan Gilingwesi mulai berubah menjadi warna oranye saat matahari perlahan tenggelam di balik pegunungan. Namun, suasana di istana jauh dari kedamaian senja. Setelah informasi penting dari Arya Kertajaya tentang rencana Ki Jagabaya dan penyihir gelap, seluruh istana dipenuhi oleh aktivitas yang intens. Prajurit loyalis sibuk memperkuat pertahanan, sementara para pemimpin spiritual berkumpul untuk merancang strategi melawan ancaman gaib.Raka, Dyah Sulastri, dan tim kecil mereka tahu bahwa ini adalah momen kritis. Mereka harus bersiap menghadapi serangan besar-besaran dalam waktu singkat. Tidak hanya itu, mereka juga menyadari bahwa aliansi dengan makhluk gaib seperti Banaspati dan Buto Ijo akan menjadi kunci kesuksesan mereka.Di ruang singgasana, Rakai Wisesa duduk di singgasananya dengan ekspresi serius. Di sekitarnya, Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan beberapa penasihat senior berkumpul untuk membahas strategi."Kita tidak pu

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 191: ARYA KERTAJAYA KEMBALI

    Langit pagi di kerajaan Gilingwesi tampak mendung, seolah-olah alam pun merasakan ketegangan yang melingkupi istana. Pasca pertempuran besar melawan pasukan bayangan dan penyihir gelap, suasana di istana masih dipenuhi oleh rasa waspada. Banyak penduduk lokal mulai mempertanyakan keberadaan Raka sebagai pemimpin spiritual, sementara para prajurit loyalis terus berlatih untuk menghadapi ancaman baru.Namun, hari itu membawa kabar penting. Arya Kertajaya, panglima perang yang sempat hilang dari pandangan publik setelah pertempuran besar, tiba-tiba muncul kembali di gerbang istana. Ia datang dengan wajah lelah namun penuh tekad, membawa informasi yang bisa mengubah nasib kerajaan.Prajurit penjaga gerbang langsung melapor kepada Rakai Wisesa tentang kedatangan Arya Kertajaya. Tidak menunggu lama, sang raja memerintahkan agar Arya Kertajaya dibawa ke ruang singgasana untuk memberikan laporan langsung.Saat memasuki ruangan, Arya Kertajaya tampak lebih kurus daripada terakhir kali ia terli

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 190: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN BARU

    Malam itu, udara di sekitar sungai suci terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis mulai merayap di permukaan air yang tenang, memantulkan cahaya bulan purnama dengan kilauan perak yang mistis. Raka dan Dyah Sulastri berjalan bersama menuju tepi sungai setelah mendengar desas-desus tentang kemunculan makhluk gaib besar—Naga Niskala."Kau yakin kita harus ke sini?" tanya Dyah Sulastri, suaranya sedikit gemetar. "Konon, hanya mereka yang dipilih oleh dewa yang bisa bertemu dengannya."Raka menggenggam tangannya erat-erat, mencoba menenangkan ketegangannya. "Jika dia benar-benar memiliki jawaban tentang takdir kerajaan ini, maka kita tidak punya pilihan lain. Kita harus mencari tahu."Saat mereka mendekati sungai, airnya mulai bergelombang meskipun tidak ada angin. Cahaya bulan tiba-tiba redup, digantikan oleh cahaya biru kehijauan yang misterius. Dari kedalaman sungai, sesosok raksasa muncul—Naga Niskala, makhluk mitologi yang legendaris.Tubuh Naga Niskala panjang dan melingkar sep

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 189: BANASPATI MEMBERIKAN PERINGATAN

    Malam semakin larut, dan suasana di istana Gilingwesi terasa semakin tegang. Udara dingin berdesir lembut, membawa aroma asap kayu bakar dari api unggun yang menyala di halaman istana. Para prajurit tampak waspada, sementara penduduk lokal mulai merasakan firasat tidak enak tentang sesuatu yang mendekat. Di tengah ketegangan itu, sebuah kehadiran gaib tiba-tiba muncul—Banaspati, roh api pelindung kerajaan.Api di sekitar istana tiba-tiba menyala lebih terang, memancarkan cahaya kemerahan yang aneh. Udara di sekitarnya bergetar seperti gelombang panas, dan dari dalam nyala api tersebut muncul wujud besar Banaspati—makhluk setengah manusia, setengah api. Tubuhnya tampak seperti dipahat dari bara api yang hidup, dengan aliran magma kecil mengalir di permukaan kulitnya. Rambutnya menyala-nyala seperti lidah api liar, dan matanya bersinar seperti dua bola matahari yang terbakar. Setiap kali ia bergerak, udara di sekitarnya bergetar, menciptakan suara gemuruh yang mirip dengan ledakan jauh.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status